logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Takut

Kamar Mayat
Part 7
***
Kak Hardiman dan Kak Yono saling berpandangan, membuat aku makin tak mengerti dan penasaran.
"Kak, kenapa pada liat-liatan gitu sih? Memangnya ada yang salah dengan ucapanku barusan?" tanyaku ingin tahu.
Kedua kakak senior itu tetap tak menjawab pertanyaanku. Mereka hanya terlihat menghela napas dalam. Kak Yono terlihat mengedipkan mata ke arah Kak Hardiman, mungkin sebagai kode agar dia tak memberitahu padaku.
"Kita jalan lagi yuk. Ahmad, mungkin tadi kamu itu salah lihat. Mana mungkin lah dokter Hani duduk di depan poliklinik gigi malam hari begini, kayak yang nggak ada kerjaan aja," kata Kak Hardiman, setelah beberapa saat kami hanya berdiri diam di koridor.
Aku sangat tahu kalau kakak seniorku ini sedang berusaha mengalihkan pembicaraan. Sebab tadi aku melihat dengan jelas sekali waktu Kak Yono mengedipkan sebelah mata ke arah Kak Hardiman.
"Nggak mungkin kalau saya tadi itu salah lihat, Kak. Mata saya masih normal kok, belum minus apalagi plus atau katarak. Saya betulan tadi melihat dokter Hani ada di depan poliklinik gigi. Makanya saya berhenti soalnya ingin tahu apa yang sedang dia lakukan di situ," kataku bersikukuh.
Kak Hardiman dan Kak Yono diam saja, mereka tak menanggapi ucapanku.
Aku lalu menengok lagi ke belakang, melihat ke arah poliklinik gigi, dimana tadi tampak dokter Hani sedang duduk di sana. Aku bermaksud akan memberitahukan pada Kak Hardiman dan Kak Yono, bahwa dokter Hani memang ada di sana. Dan penglihatanku memang tak bermasalah.
Tapi, ternyata dokter Hani sudah tak ada lagi di depan poliklinik gigi. Sejenak pandanganku lalu mengitari sekitar tempat itu, mencari sosok dokter Hani. Namun dokter Hani tetap tak terlihat lagi ada di sana. Beberapa kali aku mengucek mata, dan mempertajam penglihatan, barangkali saja aku salah lihat. Tapi sosok dokter Hani tetap tak tampak lagi ada di sana.
[Loh … ke mana perginya dokter Hani ya? Padahal tadi aku jelas banget lihat dia sedang duduk di depan poliklinik gigi itu. Apa dia pergi ke kamar mayat lagi. Tapi kan ini sudah malam, sudah waktunya pergantian shift. Ngapain dokter Hani kembali lagi ke kamar mayat]
Dengan masih merasa bingung, beberapa waktu aku terpaku melihat bagian depan poliklinik gigi tersebut.
"Ahmad! Ngapain lagi kamu masih berdiri di situ?" teriak Kak Yono mengagetkan. Ternyata kedua orang kakak senior itu sudah berjalan jauh di depan.
Dengan sedikit berlari aku segera menyusul Kak Hardiman dan Kak Yono, yang sudah hampir sampai di pelataran RS. Kami kemudian menuju ke tempat dimana sepeda motor kami diparkir. Ada beberapa orang perawat yang juga sedang mengeluarkan sepeda motor mereka dari tempat parkir. Mereka baru saja selesai dinas sore.
"Ahmad, kami berangkat duluan ya. Kamu hati-hati di jalan," kata Kak Yono, saat sepeda motor yang dikendarainya melintas pelan di depanku. Dia berboncengan dengan Kak Hardiman.
Kak Yono pernah bilang, kalau rumah mereka memang satu arah. Jadi mereka berdua selalu berboncengan jika kebetulan dinas di shift yang sama.
"Iya, Kak. Kakak juga hati-hati di jalan," ucapku, sembari berusaha mengeluarkan sepeda motor dari tempat parkir.
Aku kemudian memakai jaket yang tersimpan di dalam jok sepeda motor. Aku memang selalu membawa jaket dan baju ganti setiap kali bepergian kemana saja, untuk berjaga-jaga kalau tiba-tiba turun hujan, jadi tidak kedinginan karena memakai baju basah. Setelah itu, aku menghidupkan mesin motor dan perlahan meninggalkan pelataran RS Angkasa.
***
Hingga pukul setengah dua belas malam, aku belum juga bisa tidur. Mata ini sulit sekali untuk dipejamkan. Terngiang kembali di telinga kata-kata Kak Hardiman saat kami pulang tadi. Yang mengatakan kalau aku salah melihat dokter Hani. Terbayang wajahnya dan wajah Kak Yono yang tampak keheranan menatapku, saat diri ini bilang kalau tak mungkin salah lihat dokter Hani yang sedang duduk di depan poliklinik gigi.
[Kenapa Kak Hardiman sama Kak Yono kayak yang heran gitu ya, waktu aku bilang soal dokter Hani. Kenapa mereka berdua seperti yang nggak percaya dengan apa yang aku katakan. Apa ada yang salah sama ucapanku tentang dokter Hani ya. Bukankah wajar aja kalau tadi aku lihat dokter Hani? Tapi kenapa juga Kak Yono tadi aku lihat mengedipkan mata ke arah Kak Hardiman, seolah sebuah kode agar dia tak bicara padaku]
Bermacam pertanyaan singgah di kepala, dan diri ini merasa aneh dengan reaksi kedua kakak seniorku tadi. Aku jadi penasaran, kenapa Kak Hardiman dan Kak Yono bersikap seperti itu.
Aku mencoba untuk menebak-nebak, tapi tak juga kutemukan jawabannya. Sampai rasa kantuk mulai menyerang, dan entah pukul berapa akhirnya aku tertidur.
***
Keesokan harinya, aku sampai lebih awal di tempat dinas. Kak Hardiman dan Kak Yono belum datang, saat aku tiba di kamar mayat.
Pak Kiswo tadi bilang akan keluar, mau cari sarapan dulu katanya. Kebetulan pikirku, daripada aku harus berlama-lama melihat wajah laki-laki setengah baya itu, yang sama sekali tak bersahabat.
"Kamu sudah datang, Ahmad? Pagi sekali?" tanya dokter Hani. Dia tiba-tiba sudah berada di dekatku.
"Eh … iya, Dok. Kebetulan tadi jalanan nggak begitu macet, jadi saya bisa cepat sampai di sini," jawabku.
"Ohh … begitu," kata dokter Hani. Dia lalu menuju ke meja kerjanya dan duduk di sana.
"Maaf, Dok. Kemarin waktu saya menghadap Pak Nengah, beliau bilang saya disuruh lapor ke dokter Agung. Tapi kok dari kemarin saya belum ketemu sama dokter Agung ya," kataku, setelah beberapa saat.
Dokter Hani menengadahkan wajahnya. Tiba-tiba wajah cantik itu berubah jadi menakutkan. Rahangnya mengeras, giginya terdengar gemeretak, mulutnya terkatup rapat. Dia seperti orang yang sedang menahan marah. Dia memandangku dengan tatapan mata yang sungguh mengerikan, tanpa ucapan sepatah kata pun. Aku menjadi salah tingkah dibuatnya.
Seketika aku langaung merinding. Bulu kuduk di kedua tangan meremang dan detakan jantungku berpacu tak karuan.
"Sa … saya … saya minta maaf, Dok. Kalau kata-kata saya tadi ada yang salah. Tapi sungguh, saya nggak sengaja. Saya cuma ingin tanya," kataku dengan menundukan kepala. Karena terus terang, aku merasa sangat takut, melihat wajah cantik dokter Hani yang tiba-tiba berubah menjadi sangat menyeramkan.
Dokter Hani diam saja. Aku makin salah tingkah. Karena merasa bingung, aku buru-buru pergi dari hadapan dokter Hani. Menuju ke meja Kak Hardiman dan duduk di sana. Aku tak berani melihat dokter Hani lagi.
Kenapa wajah dokter Hani tiba-tiba berubah menakutkan gitu ya? Apa ada yang salah dengan ucapanku tadi? Kenapa dia seperti yang tak suka waktu aku menyebut nama dokter Agung ya? Aku membatin.
Dua menit berlalu. Aku belum berani melihat ke arah dokter Hani. Aku makin merinding.
[Aneh! Kenapa aku jadi malah tambah merinding gini ya]
***
Bersambung

Book Comment (409)

  • avatar
    UtamiSella

    ceritanya bikin merinding 😟😟😟

    19/07/2022

      0
  • avatar
    NAN91CHANEL

    segala Bentuk Kejahatan Akan terungkap Jadi Tuk Saling mengingat Perbuatan Kejahatan Itu akan terpecahakan masalahnya

    03/02/2022

      1
  • avatar
    Ilomfi

    cerita nya bagus dalam hal membongkar suatu misteri dan aku suka karena ada juga pesan moral nya. terimakasih author telah membuat cerita ini.

    30/01/2022

      1
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters