logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 40. Lamaran resmi

Nudy menggilirkan matanya ke sana ke mari mengikuti langkah Gudy yang sudah seperti setrikaan baju. Dia berdecak jengkel karena lehernya mulai pegal teros mendongak dari satu jam yang lalu. Salah dia sendiri memang, sudah tahu Gudy tengah gelisah, tetap saja dia penasaran akan kakaknya itu.
Berkali-kali Gudy melihat, lalu menyimpan kembali Handpohn di tangangannya ke dalam saku celana. Helaan napas kasar sudah puluhan kali dia keluarkan. Bukan pusing yang saat ini Gudy rasakan, melainkan dug dug ser jantungnya yang dari tadi berdetak terus.
Gudy tidak dapat untuk tidak berpikir, apa dia saja yang mengalami hal seperti ini saat melamar anak orang? Apa orang lain juga mengalami hal sama? Baru kali ini Gudy merasa hidupnya berada di ambang antara hidup dan mati.
"Kak, lo sudah kaya setrika yang di pakai bok Narsih pakai ngelicin baju. Pusing gue lihat, lo. Perut gue rasanya diaduk, mabok darat gue gara-gara kelamaan melototin lo yang mondar-mandir sana-sini." Nudy mengeluh. Dia tidak bercanda doal perutnya yang mual. Entah ini beneran karena ngeliatin Gudy yang mondar-mandir, entah karena mag-nya yang kambuh.
Gudy berhenti, dia menunduk menatap Nudy malas. "Yang suruh lo lihatin gue siapa?"
"Emangnya apa lagi sih yang lo khawatirin?"
Gudy menghembuskan napas dengan berat. Bahunya merosot seiring tubuhnya yang luruh duduk ke sopa yang berhadapan langsung dengan Nudy. Kelakuannya itu percis seperti orang yang mempunyai beban hidup dengan banyak tanggungan ditambah hutang menggunung.
"Gue... takut ditolak."
Salah satu mata Nudy berkedut. Ada apa dengan kakaknya ini? Bukankah antara ditolak atau diterimanya seorang laki-laki saat melamar wanita itu adalah hal biasa?
"Cemen, lo. Kalau ditolak ya berusaha lagi. Lamarannya saja belum, ini sudah gelisah tak beralasan dengan alasan takut ditolak. Bukan kakak gue, lo."
"Sialan, lo." Gudy mengambil bantal dan melemparkannya tepat mengenai waja Nudy.
"Ada apa ini?" Hendrawan datang dengan secangkir kopi di tangannya, lalu ikut duduk di samping Gudy. Dia melirik wajah kusut Gudy, sedikit banyak dia tahu alasan di baik wajah kusut Gudy.
"Kak Gudy, Pah. Masa lamran saja belum, gelisahnya sudah kaya orang ditolak." Nudy menunjuk Gudy yang kini mendelik kesal ke arahnya.
"Besok kita sekeluarga lamar Maria untukmu. Tadi Papa sudah telpon Pak Bagus mengenai ini dan alhamdulillah beliou menerima maksud kita besok. Persiakan saja dirimu! Tunjukan kalau kamu itu memang pantas untuk putrinya!" Hendrawan menatap Gudy serius.
"Loh, jadi Papa kenal sama ayahnya Maria?" Gudy terkejut.
Hendrawan tersenyum tipi, "ya gitu, Bagus adalah mitra bisnis Papa. Jadi kami kenal sudah cukup lama. Kalau gak salah, muali dari awal mula perusahan Papa dan perusahaan Pak Bagus bekerja sama 20 tahun lalu."
"20 tahun lalu?" Gudy semakin terkejut. Dia tidak menyangka papanya sudah mengenal cukup lama ayahnya Maria.
"Tunggu!" Bagus tercengang. "Jangan bilang kalau Maria itu gadis cilik yang suka ngikutin kamu ke mana-mana?"
"Hah?" Gudy tidak paham apa maksud ayahnya.
"Benar. Maria pasti gadis cilik yang suka ngakuin kamu suaminya di masa depan. Mungkin kamu melupakannya, karena waktu itu kalian masih kecil juga."
"Jadi aku dan Maria sudah kenal dari kecil?"Gudy mesem-mesem kesenangan, membuat Nudy mencibir jijik.
"Ya, saat itu usia kamu baru 6 tahun sih."
"Ok, tidak apa-apa. Besok jangan lupa dandan pagi-pagi sekali, karena aku gak mau sampe kesiangan pada acara lamarannya." Gudy berkata semangat. Terlihat sekali binar bahagia menghiasai wajahnya.
Gudy berdiri dan melangkah pergi.
"Semangat sekali dia," Nudy mengfeleng tak habis pikir. "Tadi saja dia gelisah galau merana, sekarang malah kaya orang kelebihan energi."
"Kamu belum tahu rasanya anak muda. Sebentar lagi kamu juga akan ngalamin hal yang sama." Hendrawan tersenyum guyon.
"Gak, Aku adalah laki-laki jantan dan pemberani. Kalau mau melamar anak gadis orang, akan aku persipkan dengan matang dan disertai jiwa tenang." Nudy tersenyum penuh percaya diri.
"Baiklah, Papa akan menantikansaat itu terjadi nanti." Hendrawan tertawa renyah. Dia menikmati setiap ekspresi penuh keyakinan dari anak bungsunya ini.
***
Tak henti-hentinya Arkan melirik Gudy yang duduk di depannya. Mata lasernya menatap Gudy sinis, kenatara sekali dia tidak menyukai Gudy. Bagus yang duduk di sampingnya berdehem mengingatkan Arkan agar berlaku sopan dan berhenti menatapi Gudy dengan panadangan buruk seperti itu.
"Jadi, kedatangan kami ke sini untuk melamar putri Pak Bagus yang bernama Maria untuk anak kami yang bernama Gudy Parmugiya. Kalau berkenan, kami akan sangat bahagia bila mau menerima dengan segala kelebihan serta kekurangannya." Hendrawan menyampaikan maksudnya setelah terlebih dahulu berbincang basa-basi dengan Bagus.
"Saya pribadi menerima lamaran ini, tapi balik lagi pada putri saya, karena dialah yang akan menjalankan pernikahan ini." Bagus menatap Maria disertai senyuman kebapaan, "bagaimana, apa Uri mau menerima pinangan dari Nak Gudy ini?"
"Saya..., tidak tahu." Maria menjawab tidak pasti, membuat semua orang bingung dengan jawabannya.
Diam-diam Arkan tersenyum senang. Dia berharap Maria menolak lamaran laki-laki ini karena keraguannya sekarang.
"Apa maksudmu, Maria?" Gudy bertanya tidak paham. Gerogi yang coba dia tahan dari tadi tidak menyurutkan keingintahuannya bertanya maksud dari jawaban Maria barusan.
"Sebelumnya saya minta maaf, tapi apakah Pak Gudy mau menerima saya yang seorang janda dan kemungkinan tidak bisa memberikan anak?"
Arkan yang semula tersenyum senang, perlahan melunturkan aenyuman itu begitu tahu keraguan Maria bukan karena Gudy, melainkan dirinya dengan segala kekuarangannya. Kalau saja dulu dia tidak terlambat menemukan Maria, mungkin dia masih bisa mencegah pernikahan adiknya dengan laki-laki brengsek seperti Fiko.
"Kalau dia tidak mau menerimamu apa adanya, biar Kakak yang akan mendampingimu seumur hidup. Jadi, lupakan ketidak percayaan dirimu itu, jangan kamu simpan dalam kenangan. Biarlah itu berlalu, karena sekarang kamu sudah punya kami." Arkan menatap adiknya pemuh kasih.
Maria tersenyum tipis pada Arkan. Namun, saat mendengar jawaban dari Gudy, Maria kembali meluruskan tatapannya pada Gudy.
"Saya sudah tahu akan hal ini. Jadi apapun keadaanmu, saya terima apa adanya. Apa jawaban itu cukup melegakan hatimu?"
Maria tersenyum, "ya, tapi madih ada satu hal lagi."
"Apa?" Gudy bertanya penasaran.
"Saya masih mempunyai seorang ibu. Menurut saya ini bukan aib, tapi entah menurut pandangan orang lain. Ibu saya saat ini di rawat di rumah sakit jiwa karena depresi saat saya hilang dan sekarang lagi masa pemulihan. Kalau Pak Gudy bisa mendapatka restunya, maka saya mau menerima lamran dari Pak Gudy."
"Ok, ayo sekarang juga kita temui ibumu!" Gudy berdiri. Namun, seketika tubuhnya terhempas kembalibsaat Hendrawan menariknya untuk duduk.
"Tunggu dulu, acara ini belum selesai." Hendrawan berbisik memperingati sang anak dengan disertai delikan galak.
"Menatang-mentang sudah dapat lampu kuning, main hengkang saja." Nudy juga ikut berbisik sambil mentertawakan.
"Tidak bisa! Maria tidak bisa mebikah dengan laki-laki ini." Arkan berdiri sambil berkacak pinggang menatap satu-persatu orang-orang yang berkumpul di ruang tamunya.
***

Book Comment (127)

  • avatar
    Ike Roesli

    Mantap... ceritanya gak bertele2... endingnya jg cukup singkat tapi 👍👍👍👍👍

    04/04/2022

      0
  • avatar
    SafirahSiti

    sy suka

    2m

      0
  • avatar
    WaniSyaz

    Makin seruu

    18/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters