logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 28

Jangan Nikahi Aku, Om!
Bab 28
“Goblok kalian semua! Bagaimana bisa tidak ada yang melihat ke mana Inggit pergi!” teriak Darren marah.
Beberapa penjaga dan pelayan di rumah Darren hanya diam dan menunduk. Tidak ada salah satu pun yang berani menatap Darren. Mereka paham, saat marah, laki-laki itu akan berubah seperti monster.
Prang!
Darren menendang vas yang terlihat di depannya, membuat pecahan vas berserakan di lantai.
“Siapa yang tadi terakhir bertemu Inggit?” tanya Darren.
“Sa-saya, Tuan.” Salah seorang penjaga bersuara.
Darren menatapnya nyalang seolah ingin membunuh.
Bugh! Bugh!
Darren meninju perut penjaga itu berkali-kali sampai akhirnya lemas dan terduduk di lantai.
“Pergi kalian semua!” teriak Darren.
Tinggallah Darren terduduk di sofa, tubuhnya lemas, tak sanggup ia membayangkan Inggit bertahan sendirian di luar sana.
Apa yang harus dilakukan sekarang? Darren bingung. Pikirannya buntu. Jika mencari Inggit, ke mana harus melangkah?
Darren meraih ponsel, lalu mencoba menghubungi Inggit. Terhubung, sayangnya tak kunjung diangkat. Sudah berapa kali ia mencoba menelepon, tetap tak diangkat.
“Sial!” umpat Darren kesal.
“Ke mana Inggit? Aluna sialan! Jika dia tidak menjebak pasti Inggit tidak akan kabur.”
Darren memijat pelipis pelan, sakit sekali kepalanya. Ia takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
“Aku harus cari dia!” Darren beranjak dari sofa, ia berjalan ke luar rumah.
Darren menginjak pedal gas dengan cepat, membuat kendaraan roda 4 itu melaju kencang di jalanan.
Jika terjadi hal yang tidak diinginkan, Darren akan mengutuk kelalaiannya.
---
“Aku lapar, di mana aku bisa membeli makanan?” gumam Inggit.
Saat ini Inggit berada di kos-kosan yang ia dapatkan dari sopir taksi yang ia temui. Kamar kos dengan ukuran 4x7, sudah ada lemari, ranjang, dan kamar mandi dalam.
Pak Andi, sopir yang Inggit temui berbaik hati menunjukkan kos-kosan yang masih ada kamar.
“Nona di sini saja. Tenang, ini punya adik saya. Dia baik orangnya,” ucap Pak Andi saat menunjukkan kos-kosan.
Pak Andi mengantar Inggit menemui sang adik yang rumahnya tepat di depan kos. Setelah sepakat dengan harga dan lain-lain, Inggit menerima kunci dari Adik Pak Andi.
“Saya tidak tega melihat ibu hamil luntang lantung, Nona.” Ucapan Pak Andi terngiang di kepala Inggit.
Sekarang, Inggit lapar. Ia tidak begitu paham daerah kos, ke arah mana harus membeli makanan.
Ceklek!
Inggit membuka pintu, lalu menengok kanan dan kiri, tidak ada siapa pun yang bisa ditanyai. Inggit mengerang kecewa.
“Kamu penghuni kos baru?” tanya seseorang mengejutkan Inggit.
“Iya,” jawab Inggit pelan. Ia menoleh ke arah sumber suara, matanya menangkap laki-laki yang berpenampilan menurut Inggit sedikit urakan. Rambut gondrong, hidung bertindik, dan memakai celana sobek bagian lutut. Jika diperhatikan, wajahnya lumayan tampan, sayangnya bukan tipe Inggit.
“Kenalin, aku Rey. Kamu?” tanya Rey sambil mengulurkan tangan.
“Inggit,” jawab Inggit singkat.
Rey menatap Inggit dari atas ke bawah, membuat gadis itu sedikit salah tingkah.
“Kenapa lihat-lihat?” tanya Inggit ketus.
“Lo cantik.” Rey terlihat nyengir, puas menggoda Inggit.
“Apaan sih!” Inggit terlihat kesal, lalu membuang muka.
“Jan gitu napa?”
Brak!
Inggit membanting pintu karena kesal. Lengkap sudah penderitanya sekarang, kabur dari rumah, perut lapar, sekarang ada laki-laki yang mengganggunya.
Inggit merebahkan diri di atas ranjang, matanya menerawang jauh. Tiba-tiba ia merindukan suasana di rumah Darren, semua ada yang mengurus.
Namun, segera Inggit menepis rasa itu. Teringat bagaimana kelakuan Darren di luar bersama Aluna, cukup membuatnya tahu diri.
Inggit sadar bukan level Darren. Dirinya hanya seorang yatim piatu yang kebetulan mengenal orang besar seperti Dirga.
Tiba-tiba saja Inggit merasakan mual, perutnya seperti diaduk-aduk tak karuan. Segera ia bangkit dan berlari menuju kamar mandi, dan memuntahkan air.
Hoek! Hoek!
Kembali Inggit merasa ingin muntah, tetapi tidak ada yang dimuntahkan. Tubuhnya lemas, ia terduduk di lantai kamar mandi. Untuk berdiri saja ia tidak mampu, sungguh tersiksa sekali rasanya.
Inggit menangis tergugu, ia tak menyangka keluar dari rumah Darren, justru membuat hidupnya semakin menderita.
Tak lama kemudian mata Inggit terpejam. Ia lelah.
---
Hidung Inggit mencium bau obat, perlahan ia membuka mata. Samar netra mata menangkap sosok Rey yang tertidur di ranjang sebelahnya.
Beberapa detik kemudian, barulah matanya terbuka sempurna. Ia menatap sekeliling, tidak ada siapa pun yang bisa ditanyai.
Ia mengernyit, pikirannya penuh tanya. Bagaimana bisa dirinya berada di rumah sakit? Inggit ingat terakhir kali ia berada di kamar mandi kamar kos.
Tak lama kemudian, seorang Perawat masuk ke kamar memeriksa keadaan Inggit.
“Sudah sadar, Nyonya?” tanya Perawat sambil memeriksa infus.
“Hmm... “ jawab Inggit singkat.
“Untung saja segera dibawa ke rumah sakit, kandungan Anda sangat lemah, tetapi masih bisa diselamatkan, Nyonya.”
Ucapan Perawat itu membuat Inggit mengernyit. “Lalu, siapa yang membawaku ke mari?” tanya Inggit.
“Suami Nyonya yang membawa ke mari. Apakah Anda lupa?”
“Suami?” tanya Inggit.
Perawat itu mengernyit, lalu berkata, “ Bukankah itu suami, Nyonya?”
“Bukan!” jawab Inggit spontan.
“Tadi dia yang membawa ke mari, bahkan menggendong Anda dengan wajah khawatir.”
Inggit diam, ia tidak bertanya lagi sampai perawat keluar.
Setengah jam kemudian, Rey terbangun. Ia mengucek mata, lalu beranjak mendekati Inggit.
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Rey, suaranya terlihat cemas.
“Seperti yang kau lihat.” Inggit membuang muka.
Rey menghela napas. “Maaf, aku lancang membawamu ke mari. Ini ponselmu, hubungi suamimu sekarang.”
Rey menyerahkan ponsel milik Inggit, lalu duduk di kursi sebelah ranjang.
“Hubungi suamimu, dia harus tahu keadaanmu!” ucap Rey.
“Tidak akan!” jawab Inggit cuek.
Rey mengernyit, lalu berkata, “Jangan bilang kamu kabur dari rumah karena berantem sama suamimu?”
“Bukan urusanmu!” jawab Inggit ketus.
“Sekarang jadi urusanku, Nona. Kamu merepotkanku. Tidak sadarkah kamu? Jika aku tidak ada, kamu bisa mati.”
“Kenapa kamu tidak membiarkan aku mati saja?”
“Susah ya ngomong sama orang gak jelas keg kamu,” ucap Rey, ia menggeleng-geleng, tidak habis pikir dengan cara berpikir Inggit.
“Aku tidak tahu apa masalah yang terjadi antara kalian, tetapi setidaknya jangan kabur dari rumah. Selesaikan masalah kalian dengan baik-baik. Apalagi kamu sebagai istri harus nurut sama suami.”
Inggit termenung mendengar nasehat Rey, ia tidak menyangka, jika laki-laki yang terlihat urakan bisa berkata seperti itu.
“Gak usah heran, aku juga bingung kenapa bisa lancar banget ngomong gitu,” ucap Rey terkekeh. “Cepat hubungi dia, berbaikan sana.”
“Tidak akan!” Inggit membuang muka.
Rey menghela napas. “Sini ponsel kamu, aku aja yang telepon!” Rey merebut ponsel dari genggaman Inggit.
Panggilan pertama langsung diangkat oleh Darren, sepertinya laki-laki itu memang menantikan telepon dari Inggit.
“Halo,” sapa Rey.
“Siapa ini? Mana Inggit?” cecar Darren.
“Tenang, Tuan. Wanita yang Anda cari sekarang di rumah sakit Bakti Mulia kamar Anggrek.” Dengan cepat Rey menjelaskan pada Darren sebelum laki-laki itu salah paham terhadapnya.
Rey terlihat kesal, telepon dimatikan sepihak oleh Darren.
“Apakah suamimu sangat mengerikan? Tidak ada sopan santunnya,” gerutu Rey. “Nih, tunggu suamimu datang, aku pulang dulu.”
“Terima kasih!” ucap Inggit sebelum Rey menggapai pintu.
Rey berbalik, ia menatap Inggit dalam. “Jika saja kamu bukan istri orang,” gumam Rey pelan.
“Kamu ngomong apa?” tanya Inggit penasaran.
“Ah, enggak. Sama-sama. Semoga kita bertemu lagi di lain waktu dan status yang berbeda.”
Tanpa menunggu jawaban Inggit, Rey segera keluar dari kamar.
Blam!
Pintu tertutup, menyisakan Inggit yang termenung memikirkan ucapan Rey.
“Terserah ajalah!” gerutu Inggit.
“Darren akan datang, apa yang akan kukatakan nanti? Bagaimana reaksinya? Apakah aku akan dihukum? Bagaimana ini? Aku takut,” ucap Inggit pada dirinya.
“Apa aku harus pergi? Tapi aku tidak kuat berjalan.”
“Tuhan, bagaimana ini?”
Bingung, takut, dan bimbang menjadi satu. Inggit tidak tahu harus berbuat apa. Tubuhnya masih lemas, untuk duduk saja rasanya ia tidak kuat.
Saat pikirannya kalut, pintu terbuka dengan keras.
“Inggit!” pekik Darren terlihat khawatir. Begitu melihat keadaan Inggit, ia segera memeluk Inggit berat seolah takut kehilangan.
“Kamu gapapa? Mana yang sakit?” tanya Darren melepas pelukan, lalu memeriksa keadaan Inggit.
Inggit menggeleng, tiba-tiba saja air mata membanjiri pipi, ia terharu dengan perhatian Darren. Bayangannya, suaminya akan marah karena ia telah kabur dari rumah, ternyata tidak, Darren tetap perhatian seperti biasa.
“Kamu tidak apa-apa? Bagaimana bisa berada di sini?” tanya Darren tidak sabar.
“Jangan menangis, Sayang. Maaf membuatmu takut. Tak apa, aku tidak akan marah.” Darren segera memeluk Inggit, ia berharap istrinya berhenti menangis.
“Jangan menangis, Sayang. Aku sedih melihatku mengeluarkan air mata.”
Inggit mengangguk, tetapi air mata justru semakin deras mengaliri pipinya. Ia terharu dengan perhatian Darren.
---
“Bagaimana Aluna?” tanya Dirga pada Satya.
“Beres, Om! Dia sudah di penjara. Tuntutan dadi Darren sudah memberatkan, bahkan jika ditambah dengan bukti masalah perusahaan, aku yakin hukuman dia semakin berat.”
Dirga terkekeh, lalu berkata, “ Bagus! Kerja bagus, Satya. Dengan begini, sementara Om akan aman. Bahkan dia akan dituntut oleh pihak WO. Ah, akan semakin berat hidupnya.”
“Benar, Om!”
“Pastikan tidak akan ada yang membantu Aluna, mengerti?” tanya Dirga.
“Baik, Om. Akan Satya usahakan.”

Book Comment (136)

  • avatar
    CakrawatiResi

    mesekipun saling mebguntungkan tapi kita jangan llupa akan menghargai dan jangan menyakiti hati orang lain

    10/01/2022

      4
  • avatar
    Urie Djhrt

    penasaran banget, ceritanya susah di tebak , i like it 🤭. semoga cepat terbit bab selanjutnya.... semangat

    05/01/2022

      1
  • avatar
    RahmadaniReva

    semagat

    3d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters