logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 Luka Tak Berdarah

"Nak,"
Jingga berjengit terkejut mendengar suara lembut ibunya yang entah sejak kapan berada di situ. Di pojokan ruang tamu.
"I-Ibu ... bikin kaget aja, deh," ujar Jingga terbata, mengira-ngira apakah ibunya telah mencuri dengar pembicaraannya dengan Miko barusan atau tidak.
"Kamu nggak apa-apa, Nak?" si ibu yang biasanya cerewet itu menanyainya lembut, seakan tahu putrinya tengah sekuat tenaga menahan gejolak dalam hati.
Jingga menghela napas lemah. Ibunya pasti telah mendengar ihwalnya dengan Miko barusan. Tak ada gunanya lagi menyangkal, begitu pikirnya.
Tanpa kata, Jingga menubruk ibunya dan menangis tersedu-sedu di dalam pelukan hangat wanita separuh baya tersebut. Ditumpahkannya airmata yang semenjak melihat raut wajah cemas sang ibu tadi telah menggenangi pelupuknya.
Bu Setyowati mengelus-elus punggung juga membelai-belai rambut hitam panjangnya, berusaha memberikan ketenangan. Dibiarkannya Jingga menangis puas-puas agar ia bisa lega dan hilang beban dalam hatinya.
"Nggak apa-apa, nangis terus aja, sampai puas," tuturnya bijak. Biasanya beliau amat cerewet dan mengomentari ini itu tentang apapun yang Jingga perbuat yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Tapi, saat putri sulungnya menderita luka hati akibat telah dikhianati kekasihnya sendiri, seketika jiwa ibu peri yang bersemayam dalam diri setiap ibu muncul juga ke permukaan.
"Tapi janji sama Ibu, ya, Kalau sudah puas, nggak akan pernah menangisi hal yang sama lagi." Bu Setyowati mulai menasihati putrinya.
"Lelaki seperti itu nggak pantas untuk ditangisi terus-menerus, iya, kan?"
"Ibu yakin kamu akan dapat penggantin yang jauh lebih baik dari si Miko itu."
"Nggak mau, Bu. Jingga kapok jatuh cinta. Jingga mau sendiri aja." Akhirnya dengan masih terisak, Jingga menjawab mantap.
Si anak sulung yang biasanya tampak selalu mandiri dan tegar itu, menampakkan sisi kolokan dan melankolisnya hanya di hadapan sang ibu. Itupun hanya pada posisi hati yang tengah hancur. Luka hati memang tak dapat diremehkan. Ia memang tak berdarah, juga tak tampak. Namun, justru bekasnya paling dalam dan paling susah untuk disembuhkan.
Hanya karena tak ingin membantah anak gadisnya, Bu Setyowati pun mengiyakan saja. Ah, pasti ungkapan itu hanya karena sedang sakit hati, pikirnya. Bu Setyowati tak menyadari, bahwa kekerasan hati anak sulungnya itu sangat susah untuk dibelokkan bila ia telah berprinsip. Hal yang di kemudian hari akan ia sesali.
Sang ibu membimbing putrinya untuk duduk di kursi ruang tamu mereka yang terdiri dari satu set kursi berkerangka kayu dengan bantalan empuk bercover kain beludru warna marun full motif model 3-2-1 dan meja kayu ukir persegi berpelitur coklat.
Ibu dan anak itu duduk bersisian dengan tangan sang ibu masih memeluk putrinya yang belum juga habis tangisnya.
Bu Setyowati mengulurkan tempat tissue yang ada di atas meja kepada Jingga. Berharap anaknya segera berhenti menangis.
"Jingga kan kuat, kalau cuma putus cinta saja masa' sampai lama gini, sih, nangisnya?"
"Jingga sedih, Bu. Jingga keingetan yang dulu-dulu. Berkali-kali Jingga jatuh cinta, kenapa gak pernah ada yang bertahan lama?"
"Semuanya seperti hanya mampir di kehidupan Jingga untuk kemudian melukai Jingga saja."
"Memangnya Jingga salah apa? Sejelek itu kah Jingga, sampai tidak pantas untuk bahagia?"
Jingga menceracau kepada ibunya mumpung sedang bisa lepas curhat tanpa ada Nila yang masih belum pulang dari kegiatan di kampusnya. Bila ada Nila, ia tak akan sebebas itu, karena sikap adiknya yang suka membully dan merecoki kakaknya dalam segala kesempatan.
Bu Setyowati menghela napas panjang, bingung menghadapi anak gadis dewasanya yang tengah merajuk akibat patah hati itu.
"Jingga, masalahnya itu bukan ada di diri kamu. Miko aja, tuh, yang aneh. Nggak bersyukur udah punya pacar cantik, manis, pinter dan sayang keluarga gini kok disia-siakan ...,"
Jingga menyela ibunya, "Tapi bukan hanya Miko, Bu. Yang dulu-dulu juga, kan?"
"Mereka cuma belum yang terbaik saja buat kamu, Nak. Allah pasti kasih kamu yang terbaik nanti pada saat sudah tiba masanya."
"Kamu lihat sendiri, kan, tadi Miko aja udah nyesel kamu putusin, langsung minta maaf mau balikan. Berarti dia sadar bahwa kehilangan kamu itu adalah kerugian besar."
Mendengar wejangan ibunya, Jingga tetap masih merasa bahwa ada yang salah dalam dirinya sebagai wanita. Disadarinya memang ia tidaklah secantik teman-temannya yang telah menikah, atau tengah bertunangan dan menanti tanggal pernikahan. Malah, banyak juga yang telah memiliki anak.
Mereka tampaknya memang memiliki kelebihan masing-masing sebagai wanita. Ada yang memang cantik, ada yang pandai berdandan, ada yang pandai memasak. Sementara dirinya? Tidak ada satupun dari hal di atas yang dikuasainya.
"Sudahlah, daripada menyesali yang sudah terjadi, kalau memang kamu merasa ada yang kurang dalam diri, ya mari kita perbaiki," Seperti dapat membaca pikiran Jingga, Bu Setyowati berkata menasihati.
"Kamu harus bangkit dari keterpurukan. Melupakan yang telah lewat lukanya, tapi mengambil pelajaran dari pengalamannya. Bisa untuk bekal memperbaiki diri, bukan?"
"Ingat, Nak. Jodoh itu cerminan diri. Kalau kamu mau jodoh yang terbaik. Kamu dulu yang harus berusaha menjadi terbaik juga, oke?" Diteruskannya memberikan petuah-petuah kepada si anak gadisnya.
"Udah Jingga bilang, Jingga nggak mau. Jingga mau single aja pokoknya!" tukas Jingga penuh tekad. Ia pun segera beranjak dari ruang tamu menuju ke kamar. Meninggalkan sang ibu yang hanya dapat menggeleng-geleng melihat tingkahnya.
* * *
Saat tiba waktunya makan malam adalah waktu berkumpul yang wajib di keluarga Jingga. Alasannya adalah saat itu empat orang anggota keluarga sudah dapat berkumpul semua demi menghabiskan waktu bersama, saling bersenda gurau maupun bertukar cerita mengenai aktivitas masing-masing.
Malam itu Bu Setyowati memasak sayur lodeh dengan perkedel jagung serta udang tepung, menu kesukaan Pak Suhariadi. Bu Setyowati memang sering menanyai anggota keluarganya saat makan malam, besok mau dimasakin apa, sehingga pagi harinya dia bisa berbelanja sesuai pesanan dari anggota keluarga.
"Hmmm ..., lodeh Ibu emang paling lezat ini." Pak Suhariadi berdecak memuji setelah ia menelan suapan pertamanya.
Nila yang memang dasarnya suka jahil memprotes sengit, "Ya iyalah, lodeh mana lagi memangnya yang pernah Bapak rasain? Nggak pernah makan di luar, gitu, kok!"
"Ish, ngapain Bapak makan di luar kalau di rumah udah bisa pesan menu spektakuler koki handal, ya, kan, Bu?" Ayahnya menimpali sembari mengerling pada istrinya.
"Halah, bilang aja Bapak ngirit, wkwkwk," tukas Nila berseloroh lagi.
"Wo ya iya dong, demi kemaslahatan dompet juga ini, Nila. Kamu sama Mbakmu juga harus belajar masak dari Ibumu itu. Biar suami kalian nanti betah di rumah, nggak suka makan di luar, dan gantengnya maksimal seperti bapak gini," ujar Pak Suhariadi ikut berseloroh dan terbahak sendiri.
"Hihihi, ya ampuuun Bapak tuh maksimal banget emang narsisnya," Nila terkikik geli.
"Nila! Gadis kok makan sambil terbahak, gitu. Sudah, makan dulu dihabisin." Bu Setyowati menegur sambil berusaha mengalihkan perbincangan mereka ke zona aman. Ia khawatir dengan Jingga yang sedari tadi makan dalam diam.
"Oh, ya, besok mau dimasakin apa, Jingga?" tanya sang Ibu kemudian.
Jingga sedikit tersentak karena ia sebetulnya kurang mengikuti perbincangan mereka. Pikirannya sedang berkelana entah kemana. Dari tadi dia setengah melamun sambil menyuap sendok demi sendok makanannya hanya agar cepat selesai dan kembali menyendiri di kamar.
"Kok Mbak Jingga, sih, yang ditanya? Aku dong, Bu." Nila memonyongkan bibir memprotes.
"Eh, Jingga terserah aja, Nila yang pesen aja gak apa," jawab Jingga pasrah.
Pak Suhariadi menatap putri sulungnya yang tampak berbeda malam itu. Dahinya berkerut heran mendapati Jingga mengalah saja pada adiknya tanpa adegan adu mulut berkepanjangan seperti biasanya.
"Kamu kenapa, Jingga? Nggak biasanya ngalah sama Nila tanpa debat dulu?" tanyanya.
"Eh, anu, nggak apa-apa, Pak. Jingga cuma agak capek, kerjaan lagi banyak." Jingga cepat-cepat menjawab sebiasa mungkin agar sang ayah tak semakin curiga.
"Iya, nih, Mbak Jingga hari ini aneh. Terlalu pendiam, kayak lagi patah hati aja." Nila ikut mengomentari sikap kakaknya. Dan parahnya, komentar itu begitu telak terdengar di telinga Jingga sampai ia tak sengaja tersedak dan terbatuk-batuk.
* * *

Book Comment (43)

  • avatar
    MardianaRina

    Ketika kita mengalami trauma yang sangat terpenting adalah menyendiri untuk memberikan waktu dan mengendalikan diri, juga ketenangan dan kepercayaan dalam dirinya untuk bangkit.

    04/02/2022

      10
  • avatar
    Qurratuainy

    sangat bagus

    24d

      0
  • avatar
    NazaMohd

    Naise

    28/05/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters