logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 46 Putus

Waktu menunjukkan pukul 03.00 ketika Jingga terbangun dari tidurnya. Dia tiba-tiba teringat tentang keinginannya untuk memutuskan hubungan dengan Angkasa. Jingga tidak tahu mengapa jantungnya berdebar-debar ketika memikirkan itu. Hatinya gundah gulana.
Di satu sisi, dia masih sangat mencintai Angkasa. Namun, di sisi yang lain, dia tidak dapat memaafkan perbuatan Angkasa yang begitu menyakitkan untuknya. Jingga diliputi kebimbangan. Apakah memang harus berpisah ataukah tetap bertahan dengan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja?
Jingga mengambil sajadah dan mukenanya. Dia memutuskan untuk salat tahajud demi meminta petunjuk. Dia tak bisa berkata apa pun, tetapi dia yakin bahwa Allah mendengar doa-doanya.
Sampai matahari terbit, jawaban itu tak kunjung tiba. Jingga tetap saja galau memikirkan keputusannya. Dia tak benar-benar yakin bahwa keputusannya memutuskan Angkasa adalah keputusan yang tepat. Namun, lagi-lagi dia teringat kejadian menyakitkan yang diperbuat Angkasa kepadanya, yaitu saat Miko mendatangi rumahnya hingga pertemuan Angkasa dengan Melia.
Pagi itu, setelah bersiap, Jingga duduk sebentar di kasur. Dia menimbang kembali keputusannya. Gadis itu berusaha memantapkan hatinya meski tak juga merasa mantap. Untuk kesekian kalinya, dia diselimuti keraguan. Hingga suara Angkasa memecah lamunannya.
Dengan wajah murung, Jingga membuka pintu kamar, lalu menatap wajah Angkasa. Angkasa salah tingkah, seolah tahu bahwa ada yang tidak beres dengan Jingga.
"Are you okey?" tanya Angkasa.
Jingga mengangguk. Tentu dia tak akan mengatakan hal yang sebenarnya bahwa dia ingin memutuskan hubungan dengan Angkasa. Jingga masih ingin manata hatinya dan memilih waktu yang tepat untuk mengatakan itu.
Sepanjang waktu, Jingga tak banyak bicara seperti biasanya. Jika biasanya ibu Angkasa bisa mengobrol berlama-lama dengan Jingga, kali ini tidak. Ibu Jingga menangkap keanehan dalam tingkah laku Jingga.
"Jingga, kamu sakit, Nak? Kok, tumben nggak semangat?" tanya beliau dengan raut wajah cemas.
"Nggak apa-apa, Ma. Jingga agak capek aja," jawab Jingga berbohong. Dia tidak mungkin jujur pada orangtua Angkasa bahwa dia ingin memutuskan hubungan dengan anaknya.
"Oh, ya udah. Setelah sarapan, kamu segera pulang, ya. Biar cepet istirahat."
"Ya, Ma."
Jingga segera menghabiskan sarapannya lalu membereskan semuanya. Akan tetapi, alih-alih membiarkan Jingga membereskan peralatan makan, ibu Angkasa justru menyuruh Jingga untuk segera pulang.
Sesudah berpamitan, Jingga masuk ke mobil biru metalik itu. Tak seperti biasanya, Jingga lebih banyak diam. Sesekali, dia menjawab pertanyaan Angkasa.
"Kamu hari ini, kok, aneh? Apa ada masalah?" tanya Angkasa kemudian.
Dia tak tahan dengan sikap Jingga.
"Angkasa, ada yang perlu aku bicarakan."
"Bicara saja," ucap Angkasa.
"Bagaimana kalau kita putus?"
"Hah?! Apa? Putus?" Angkasa langsung menepikan dan menghentikan mobilnya.
"Apa alasanmu, Jingga?" lanjut Angkasa.
"Aku sendiri tidak tahu," jawab Jingga.
"Kalau begitu tidak ada alasan untuk putus."
"Bagaimana dengan Melia atau Firlia?"
"Oh my ghost, Jingga ... kamu masih cemburu sama mereka?"
Angkasa menatap wajah Jingga dengan serius. Sejurus kemudian, dia tertawa. Dia tidak percaya bahwa Jingga secemburu itu pada dua wanita yang pernah singgah di hatinya.
"Jingga, bagaimana lagi aku harus meyakinkanmu? Aku tidak ada hubungan apa pun dengan Melia! Apalagi Firlia. No, Jingga. Bahkan, kalau kamu memintaku untuk menjauhi mereka saat mereka ada, aku tidak apa-apa."
Jingga tertawa kecil. "Aku memang cemburu, Angkasa. Tapi bukan itu maksudku."
"Lalu, apa maksudmu?"
"Bagaimana rasanya, jika kekasihmu tak percaya padamu sekuat apa pun kamu berusaha menjelaskan?"
Angkasa diam sesaat. Pria itu kemudian berkata, "Jadi, kamu mau balas dendam?"
Lagi-lagi Jingga tertawa kecil. "Aku sedang tidak ingin balas dendam, Sa. Aku hanya ingin tahu seberapa kuat kamu merasakan apa yang aku rasakan kemarin? Sejujurnya, sejak kamu tak lagi menghubungiku, aku bahkan jauh lebih kuat dari yang kamu bayangkan."
"Jingga, tapi ...."
"Jadi, bagaimana? Siapkah kamu jika aku memutuskanmu?"
"Tapi, Ngga ...."
"Kamu bahkan tidak meminta maaf atas kesalahanmu mengabaikan aku."
"Oke ... oke ... maaf, Jingga ... maafkan aku karena menghilang saat kamu begitu membutuhkanku. Tapi, bolehkah aku tanya sesuatu?"
Jingga mengangguk.
"Apakah saat aku menghilang, Miko terus mendekatimu?"
Jingga tertawa. Kali ini tertawanya nyaring dan terdengar mengerikan di telinga Angkasa. Angkasa tak menduga bahwa kekasihnya itu menjadi sangat menakutkan ketika marah dan kecewa.
"Kamu pikir aku semurah itu? Jauh dari kamu, lalu aku mencari pelarian dan pelarianku itu mantanku? Kamu kira aku cewek bodoh?"
"Tidak ... tidak begitu maksudku ...."
"Ya begitulah maksudmu. Kamu pasti mengira aku berubah karena Miko mendekatiku saat kamu menghilang, kan?"
"Bagaimana kamu tahu?"
"Tentu saja. Pria sepertimu itu egois. Mau menang sendiri. Nggak mau disalahkan. Kamu selalu tidak mau menerima kenyataan bahwa kamu telah menyakiti orang yang kamu sayangi. Padahal, kenyataannya begitu. Apa sampai mati kamu akan tetap seperti itu? Hah?"
"Aku tidak bermaksud begitu, Jingga. Aku sungguh minta maaf karena saat itu menghilang terlepas dari Miko mendekatimu lagi atau tidak."
"Hei, kamu tuli? Miko sama sekali tidak mendekatiku saat kamu menghilang, Angkasa. Dia bahkan aku tolak saat kamu melihatnya ke rumahku. Tapi, apa yang kamu lakukan? Kamu bahkan tidak mau mendengar penjelasanku dan malah menghilang. Pria macam apa yang menghilang tanpa kabar saat wanitanya sedang dalam perasaan bersalah dan tidak baik-baik saja, hah?"
"Jingga, aku berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan itu. Aku sungguh minta maaf."
"Aku sudah memaafkanmu sejak dulu, makanya aku ke Malang. Tapi, melihatmu dengan Melia, aku jadi berpikir, apakah yang kamu tuduhkan ke aku itu justru kamu sendiri yang melakukannya?"
Angkasa berdiam diri. Dia mencoba mencerna kata-kata wanita yang duduk di sebelahnya itu. Jingga benar. Angkasa memang mudah sekali dekat dengan orang lain, terutama wanita. Angkasa ingin sekali menjelaskan pada Jingga bahwa sebenarnya dia hanya memiliki rasa iba pada mantannya itu. Tidak lebih. Namun, itu bukanlah waktu yang tepat untuk menjelaskan. Jadi, Angkasa lebih baik berjanji untuk tidak bertemu lagi dengan Melia.
"Sa, kita sampai di sini saja. Aku tidak ingin kita menjalani hubungan yang beracun. Maaf, turunkan saja aku di sini. Biar aku naik ojol dan pulang naik angkot. Terima kasih atas beberapa bulan yang sangat indah."
"Jingga ...."
Angkasa kalah cepat dari Jingga. Gadis itu bahkan sudah berjalan agak jauh dari mobil biru metalik itu.
Angkasa hanya terdiam di belakang setir sambil memandang punggung Jingga. Sekarang, dia tak tahu lagi harus bagaimana. Angkasa menyesal karena pernah menghilang dari kehidupan Jingga meskipun tak lama. Dia berharap agar Jingga mau memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri. Pria itu berjanji dalam hatinya untuk tak lagi mencurigai Jingga secara berlebihan dan berjanji untuk tak lagi menghilang di saat-saat yang rawan.
***

Book Comment (43)

  • avatar
    MardianaRina

    Ketika kita mengalami trauma yang sangat terpenting adalah menyendiri untuk memberikan waktu dan mengendalikan diri, juga ketenangan dan kepercayaan dalam dirinya untuk bangkit.

    04/02/2022

      10
  • avatar
    Qurratuainy

    sangat bagus

    20d

      0
  • avatar
    NazaMohd

    Naise

    28/05/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters