logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Tato Scorpion

Chili mematut lama tubuh berotot milik Rain yang tidak mengenakan pakaian di bagian atas. Topless, begitulah orang menyebutnya. Gadis itu melongo melihat lima luka bekas sayatan benda tajam menghiasi area dada, lengan hingga perut. Sekarang bertambah satu lagi dengan ukuran lebih besar.
Tak hanya luka-luka itu saja, sebuah tato bergambar kalajengking yang berada bahu depan Rain mampu menyita perhatian gadis itu. Chili teringat dengan percakapan kedua orang rentenir tadi siang yang menyebut nama Scorpion. Nyalinya langsung ciut saat menduga Rain adalah salah satu anggota gangster terbesar di kota Jekarda.
“Bakar bawah sendok itu di atas lilin,” titah Rain membuat Chili tersentak.
“Hah?”
“Kamu belum pernah lihat orang topless?” desis Rain dengan raut wajah datar.
Chili baru sadar pria ini memiliki aura dingin. Pada awalnya ia berpikir Rain sedang terluka sehingga tidak pernah melihat senyuman menghias wajahnya. Namun semakin lama berinteraksi, gadis itu sadar kalau memang beginilah pembawaan pria itu. Kaku dan dingin.
Gadis itu menggeleng cepat. “Udah pernah, tapi nggak ada yang banyak bekas luka kayak gitu,” sahutnya mengambil sendok. Yang ia maksudkan adalah teman-teman sekolah yang sering ganti pakaian seenak jidat mereka sebelum mata pelajaran olahraga dimulai.
Chili meletakkan bagian bawah sendok yang melengkung di atas api lilin.
“Pakai tisu dulu biar tangan kamu tidak kepanasan,” ujar Rain ketika melihat gadis itu langsung memegang sendok tanpa dilapisi kain atau tisu.
Tanpa banyak komentar lagi, Chili langsung mengambil tisu yang ada tak jauh dari sana. Beruntung ia masih menyisakan satu bundel tisu toilet untuk rumah ini.
Setelah menggulung tisu di ujung sendok, ia kembali memanggang. Chili kembali mengawasi Rain dengan sudut mata. Sebaiknya gadis itu tidak lagi berbicara banyak, jika masih ingin hidup. Dia harus membuat perhitungan dengan Kania setelah ini, karena menjadikannya sebagai jaminan atas hutang-hutang.
“Ini diapain lagi, Om?” tanya Chili ketika sendok sudah memunculkan warna merah.
“Tempel di bekas luka ini,” jawab Rain mengerling ke bagian perutnya yang terluka.
“Hah?” Gadis itu memperlihatkan ekspresi terkejut lagi untuk yang ke sekian kali hari ini.
“Cepat!!”
“Kenapa nggak dijahit aja, Om?”
Rain menggeleng tegas. “Tidak ada waktu.”
“Kalau gitu aku panggil Pak Dadang dulu. Dia mantri di desa ini, jadi bisa bantu obati luka Om. Mau ya?” bujuk Chili memelas. Dia tidak tega lagi melihat Rain menjerit kesakitan seperti tadi siang.
“Lama.”
“Rumahnya deket sini kok. Nggak sampai sepuluh menit.” Chili meniup lilin yang masih menyala, lantas meletakkan sendok yang tadi dibakar dengan menelungkupkannya.
“Tunggu sebentar. Aku panggil Pak Dadang dulu.” Gadis itu langsung berdiri tanpa menunggu jawaban dari Rain. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk berdebat dengannya.
Langkah kaki Chili bergerak cepat menuju luar rumah meninggalkan Rain seorang diri di sana. Dia harus mencari bantuan untuk menolong pria itu dan Pak Dadang satu-satunya orang yang bisa diandalkan di saat seperti ini. Khawatir juga jika organ bagian dalam Rain rusak akibat tusukan pisau yang panjangnya tidak tanggung-tanggung.
“Assalamualaikum, Pak Dadang,” panggil Chili ketika tiba di depan pintu rumah mantri tak jauh dari tempat tinggalnya.
“Waalaikumsalam,” sahut suara serak dari dalam rumah semi permanen yang cukup besar.
Tak lama seorang pria paruh baya muncul di sela pintu. “Lho, Nak Chili. Ada apa malam-malam ke sini?”
“Eng, itu, Pak.” Chili menunjuk ke arah rumahnya yang berseberangan dengan kediaman Pak Dadang. “Ada yang butuh bantuan segera. Orangnya udah nggak kuat lagi.”
Pak Dadang mengangguk dengan wajah bingung. Pria itu kembali masuk ke rumah mengambil peralatan medisnya.
“Bawa peralatan jahit juga, Pak. Eh, maksudnya buat jahit luka gitu,” teriak Chili dari depan pintu.
Pria paruh baya itu menenteng tas berisikan peralatan yang sering digunakan saat mengobati warga. Dia sudah melakoni profesi ini sejak puluhan tahun silam. Saat Chili sakit waktu kecil, Pak Dadang yang mengobati. Beliau juga berteman dengan almarhum ayah gadis itu.
Tidak sampai sepuluh menit, mereka telah tiba di rumah keluarga Chili. Rainer tampak melemah saat kedua orang itu muncul di sela pintu.
“Astaghfirullah. Ada apa ini, Nak Chili?” Pak Dadang langsung duduk lesehan seraya memeriksa bekas luka Rain.
“Ceritanya panjang, Pak. Nanti aja aku jelasin ya,” tanggap gadis itu dengan wajah mengernyit ngeri.
Tanpa menjawab lagi, pria paruh baya itu langsung mengeluarkan peralatan untuk mengobati luka di perut Rain. Dia mulai membersihkan luka tersebut dengan cairan khusus, setelah itu mengeluarkan peralatan jahit menjahit. Bukan jahit baju loh ya. Haha!
Chili langsung memutar balik tubuh, tidak kuat melihat semua proses yang menurutnya sangat mengerikan. Dia memilih pergi ke dapur membuatkan minum untuk Pak Dadang dan Rain.
Tiba di dapur, kepalanya miring lesu ke kanan. Tidak ada gas yang bisa digunakan untuk memasak air, sehingga menyurutkan niat untuk menyajikan minuman.
“Nanti Ibu ke sini bawakan makanan untuk kalian,” kata Pak Dadang mengalihkan pandangan sekilas ke arah Chili.
Senyum merekah di paras cantik gadis itu. “Makasih ya, Pak. Terbaik emang Pak Dadang,” ucapnya kembali lagi ke ruang tamu.
Dia mengerling ke arah kamar. “Aku tinggal ya, Pak. Mau bersihkan kamar dulu,” tuturnya kemudian.
Chili langsung membersihkan debu dengan memukul sapu lidi berukuran kecil ke permukaan kasur. Setelahnya ia mengambil seprai dari lemari tua dan memasangkannya di sana. Terakhir gadis itu menata bantal di ujung bagian atas dan selimut di ujung bagian bawah. Kamar ini akan ditempati Rain nanti.
Selesai membersihkan kamar yang satu, ia berpindah ke kamar lainnya. Chili melakukan hal yang sama membersihkan kamar yang akan ia tempati. Beruntung rumah ini memiliki dua kamar, sehingga tidak perlu berbagi kamar dengan pria asing itu.
“Beres,” serunya lega seraya menepuk kedua tangan.
“Assalamualaikum.” Terdengar suara ibu-ibu dari arah ruang tamu.
Chili langsung menghambur ke luar kamar. Senyum lebar kembali terurai di wajah chubby-nya.
“Ibu,” sapanya.
“Anak gadis ibu kapan datang? Kenapa tidak kasih kabar dulu?” Wanita paruh baya itu meletakkan satu set rantang dan satu kantong hitam berisi dua botol besar air mineral di atas lantai.
“Dadakan, Bu. Makanya nggak kabari mau ke sini.” Chili memberi pelukan singkat kepada wanita yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Beliaulah yang sempat menjaga gadis itu dulu, sebelum Kania membawanya ke Jekarda.
Bu Wati, istri Pak Dadang, melihat ke arah Rain yang masih ditangani suaminya. Dia memberi kode seperti bertanya kepada Chili.
“Nanti aku ceritakan ya, Bu. Sekalian sama Bapak juga,” bisik Chili memberi pengertian.
Wanita paruh baya itu mengangguk. Bu Wati duduk menjauh dari tempat Rain dan suaminya, agar tidak mengganggu konsentrasi mantri itu. Chili juga beranjak ke sampingnya.
Perempuan berkerudung itu mengamati raut lelah wajah Chili beberapa saat. Sebuah usapan diberikan di puncak kepalanya dengan penuh kelembutan.
“Sekolah kamu bagaimana? Lancar?”
“Sampai tadi siang sih lancar aja, Bu.”
“Maksudnya?” Kening yang mulai keriput itu berkerut bingung.
Chili melirik ke arah Pak Dadang yang hampir selesai menjahit luka Rain. Dia belum menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Bu Wati.
“Alhamdulillah selesai,” ucap Pak Dadang setelah menutup luka pria itu dengan kain kasa.
“Chili sini,” panggil pria paruh baya itu seraya mengeluarkan obat-obatan dari dalam tas.
Gadis itu langsung beringsut mendekati Pak Dadang dan melirik ngeri bekas luka Rain yang telah diperban.
“Ini ada obat yang harus diminum rutin.” Pak Dadang menyerahkan tiga jenis obat.
“Yang ini harus dihabiskan. Sedangkan obat ini untuk pereda nyeri, kalau sudah tidak nyeri tidak usah diminum. Dan ini untuk penurun panas, jika demam,” papar pria paruh baya itu menyerahkan obat yang harus diminum Rain.
Chili mengangguk paham saat menerima ketiga jenis obat tersebut.
“Bapak mau antar kenalan kamu dulu ke dalam kamar,” sambung Pak Dadang berdiri.
Rain berusaha berdiri setelah dibantu oleh Pak Dadang. Tanpa mengucapkan apa-apa, pria itu berlalu menuju kamar.
“Kamar yang kanan ya, Pak,” info Chili sebelum mereka mencapai pintu kamar.
Tak lama kemudian pria paruh baya itu kembali lagi menemui Chili dan istrinya di ruang tamu. Dia duduk dengan jarak dua meter dari kedua perempuan tersebut.
“Sekarang ceritakan sama Bapak dan Ibu. Siapa pria tadi dan kenapa kamu datang ke sini larut malam. Tidak biasanya kamu seperti ini.” Pak Dadang mulai menginterogasi Chili, layaknya seorang ayah kepada anak.
Chili melepaskan jaket kulit yang membungkus tubuhnya, sehingga pasangan paruh baya itu bisa melihat seragam putih abu-abu itu berlumuran darah.
“Ini semua karena Tante Kania, Pak, Bu.” Chili menggelengkan kepala. “Maksudnya bukan luka Om Rain ya, tapi kenapa aku bisa bertemu sama Om Rain.”
Bu Wati mengusap lembut punggung Chili, berusaha menenangkannya. “Pelan-pelan, Nak. Ibu tidak mengerti maksud kamu.”
Gadis itu menarik napas panjang sebelum menceritakan semua yang terjadi tadi siang. Dia menjelaskannya sesuai dengan kenyataan, tanpa melebihkan dan mengurangi bumbu. Semua pas, sehingga membuat pasangan paruh baya itu menatap iba nasib gadis yatim piatu itu.
“Tega sekali tante kamu seperti itu? Wanita macam apa dia?” geram Bu Wati dengan wajah menahan marah.
Pak Dadang geleng-geleng kepala seraya memejamkan mata erat. Andai tahu nasib Chili akan seperti ini, lebih baik ia tidak menyerahkan anak itu kepada Kania.
“Bapak minta maaf karena tidak bisa mencegah waktu dia datang mengambil kamu, Nak,” gumam Pak Dadang merasa bersalah.
Chili tersenyum lembut melihat pasangan paruh baya itu bergantian. “Nggak ada yang perlu dimaafkan, Pak. Justru aku berterimakasih banget sama Bapak dan Ibu, karena udah baik sama aku sampai sekarang.”
“Kamu itu sudah kami anggap sebagai anak sendiri, Chili. Apalagi kami banyak hutang budi kepada almarhum kedua orang tua kamu,” tanggap Bu Wati kembali membelai lembut samping kepala gadis itu.
“Ya sudah, sekarang bersihkan diri kamu, setelah itu makan malam. Jangan lupa minumkan obat tadi kepada siapa namanya?” Pak Dadang mencondongkan sedikit tubuh ke depan saat kalimat terakhir.
“Rainer, Pak.”
Pria itu mengangguk dengan menegakkan lagi tubuh. “Besok Bapak datang lagi ke sini cek kondisinya. Kamu juga istirahat. Kalau ada apa-apa telepon Bapak atau Ibu.”
“Aman, Pak.” Chili meraih jaket kulit yang ada di sampingnya, kemudian mengeluarkan sejumlah uang. “Ini untuk pengobatan Om Rain, Pak.”
Decakan pelan keluar dari sela bibir Pak Dadang. “Tidak usah, Nak. Tadi itu bukan apa-apa.”
“Pak?”
“Sudah simpan saja untuk nanti,” imbuh Bu Wati, “besok ibu ke sini lagi sama Bapak. Jangan lupa kunci pintu kamar kamu, karena tidak tidak tahu apakah dia orang baik atau bukan.”
Bu Wati mendekatkan kepala ke telinga Chili. “Tato dan bekas luka di badannya. Ibu jadi khawatir sama kamu, Nak. Kamu harus waspada. Teriak saja kalau ada apa-apa ya,” bisiknya dengan raut wajah khawatir.
Perkataan Bu Wati barusan membuat gadis itu menelan ludah seketika. Bagaimana jika nanti malam Rain masuk ke kamar dan memperkosa dirinya? Tadi saja pria itu berani mencium bibirnya. Tiba-tiba ketakutan datang menyergap Chili.
Bersambung....

Book Comment (1533)

  • avatar
    Pzln25

    Good novels..the story so fresh and diferent from other ...keep it up!!!

    24/08/2022

      0
  • avatar
    Ieka Syafikaa

    Cerita nya bagus bangett .. I love it . 5 stars for you ..

    05/06/2022

      0
  • avatar
    rhmassn

    sumpah aku suka bgt sama ceritanya😭😭 semoga ada season 2 nya yaaa aku tunggu!!😍❤️‍🔥

    11/05/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters