logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Pergi Sejauh-jauhnya

Kedua alis Chili terangkat ke atas, sehingga mata bulat itu melebar. Dia jadi penasaran kenapa pria itu ingin pergi jauh sama seperti dirinya. Gadis itu melipat tangan dengan tatapan penuh selidik.
“Emang kenapa Om mau kabur kayak aku?” Netra bulat itu menyipit.
“Kamu jangan banyak tanya.” Rain meringis saat perutnya terasa nyeri lagi.
“Trus kita ke mana dong?”
Rain menggelengkan kepala, lantas menyeret lagi langkah kaki menuju jalan raya. Sementara Chili masih berdiri di tempat tadi memikirkan ke mana mereka harus pergi. Dia menurunkan tas dari pundak dan mengeluarkan dompet. Tangannya bergerak membuka resleting bagian tengah dompet dan melihat sebuah kunci berwarna silver di sana.
Kepalanya mengangguk mantap sebelum memasukkan lagi dompet tersebut ke dalam tas. Dia melangkah cepat menyusul Rain yang semakin menjauh. Ternyata pria itu terus memaksakan diri, meski kondisinya masih belum pulih.
“Aku tahu ke mana kita pergi sekarang, Om.”
Perkataan Chili membuat langkah Rain berhenti.
“Om punya duit nggak?”
Mata hitam sipit Rain mengerling ke jaket kulit yang dikenakan Chili. “Ada beberapa di sana.”
“Berapa juta?”
“Cukup buat biaya hidup berbulan-bulan,” sahut Rain dengan raut lelah.
Netra Chili melebar begitu saja seraya meraba saku jaket kulit. Di bagian dalam, dia merasakan gulungan uang yang terasa tebal. Senyum lebar tergambar di paras cantiknya. Andai membawa kabur uang itu, ia tidak akan dipusingkan lagi dengan biaya hidup.
Sesaat kemudian niat itu diurungkan, karena selain membutuhkan uang, ia juga butuh seseorang yang akan melindunginya. Melihat bagaimana caranya bertahan hingga sekarang, menandakan Rain bukanlah orang sembarangan. Chili berpikir, pria itu mampu menjadi perisai baginya.
“Jangan coba-coba kabur dengan uang itu, jika kamu tidak mau mati di tanganku,” ancam Rainer seakan tahu isi kepala Chili.
Kepala gadis itu menggeleng cepat, sehingga rambut pendeknya bergoyang. “Siapa yang mau kabur? Aku harus pergi sama Om, biar ada yang jagain dari orang-orang tadi,” celetuk Chili.
Dia kembali merogoh saku mengeluarkan ponsel dan memesan taksi online ke suatu tempat. Chili harus membawa Rain pergi ke tempat yang jauh dari kota Jekarda. Ke tempat ia menghabiskan masa kecil dengan kedua orang tuanya, sebelum dibawa Kania ke kota besar ini.
“Yuk, Om!” Chili kembali memapah Rain setelah memasukkan lagi ponsel. Sekarang tinggal menunggu taksi online yang dipesan tiba.
Mereka berdua berjalan menyusuri semak-semak, agar bisa tiba di jalan raya. Keduanya sama-sama menahan dahaga dan lapar, setelah apa yang terjadi.
Chili mengedarkan pandangan ke sisi kiri dan kanan, setelah tiba di pinggir jalan raya mencari keberadaan pedagang asongan atau warung kecil. Namun sayang tidak ada satu pun yang terlihat. Tenggorokannya kering kerontang, butuh cairan untuk membasahi. Dia yakin Rain juga merasakan hal yang sama sekarang. Apalagi waktu siuman tadi, pria itu menanyakan air.
“Om kuat juga ya. Orang biasa nggak akan bisa bertahan dengan luka kayak gini,” komentar Chili memecah keheningan di antara mereka. Mata hitamnya masih mengawasi daerah sekitar.
Rain tidak merespons perkataan Chili barusan. Dia melempar pandangan ke sisi jalan raya dengan sesekali meringis.
Gadis itu berdecak kesal melihat sikap dingin Rain. “Orang kalau ngomong gitu ya ditanggapi, bukannya diam,” gerutunya.
Tiba-tiba kening berukuran sedikit lebar itu berkerut saat melihat jenis dan plat nomor mobil yang baru saja mendekat.
“Itu taksinya, Om,” tunjuk Chili dengan tangan kanan yang bebas.
“Kita jadi ke mana?”
“Satu-satunya tempat kenangan indah masa kecil pernah terukir,” sahut Chili dengan senyum merekah, sehingga memperlihatkan lubang kecil di bawah sudut bibirnya.
***
Chili mengembuskan napas lega saat mobil melewati perbatasan kota Jekarda menuju Baban, tempat yang akan mereka kunjungi bersama dengan Rain. Meski saat ini masih penasaran kenapa pria itu bisa terluka, tapi ia belum mengajukan pertanyaan apapun mengenai hal ini. Apalagi mereka berada di dalam taksi online sekarang.
Beruntung driver taksi menyediakan air mineral gelas yang bisa mereka minum, hanya sekedar membasahi tenggorokan yang mengering.
“Papanya lagi sakit ya, Neng?” komentar driver taksi menyela hening selama satu jam perjalanan.
“Papa?” Chili melihat ke arah Rain yang tertidur pulas sekarang. Dia mematut lama pria itu yang mungkin cocok menjadi ayahnya, meski tidak tahu persis berapa usianya.
“Iya, itu wajahnya pucat sekali.” Supir melirik ke kaca spion tengah.
“Oh iya, Pak. Ini tadi … sakit perut, maag Papa saya kambuh,” balas Chili asal. Tidak mungkin ia mengatakan kalau baru saja kenal dengan pria ini beberapa jam yang lalu.
Beruntung lagi supir tidak curiga dengan kondisi Rain yang sebenarnya. Paling tidak, Chili bisa bernapas lega karena tidak banyak darah yang keluar dari perut kanan yang sobek itu.
“Saya boleh minta minumnya satu lagi ya, Pak,” izin gadis itu merasa sungkan, karena sudah menghabiskan tiga gelas air mineral.
“Ambil aja, Neng. Itu bagian dari pelayanan,” ujar supir taksi online ramah.
Dia mengambil satu gelas air mineral, lalu menusukkan sedotan. Chili menepuk pundak Rain, berusaha membangunkannya.
“Bangun, Pa. Minum dulu,” panggilnya pura-pura seperti anak kepada sang Ayah.
Kelopak mata sipit Rain perlahan terangkat, kemudian melirik ke arah Chili.
“Minum dulu, pasti Papa haus,” kata gadis itu lagi.
“Papa?” gumam Rain dengan kening berkerut.
Chili mendelik nyalang memberi kode agar Rain ikut dengan sandiwaranya. Jangan sampai driver curiga kalau mereka bukan ayah dan anak. Dia langsung menyodorkan sedotan ke bibir yang mengering itu.
“Bapak beruntung sekali punya anak perhatian kayak si Neng,” cetus si Driver kembali melirik kaca spion, “jarang loh ada anak yang begini sama orang tua.”
“Anak? Dia bu—”
Kalimat yang diucapkan Rain terpaksa berhenti saat merasa cubitan di pinggang kiri. Chili memberi kode agar mengiyakan apa yang dikatakan oleh supir taksi.
“Anak zaman sekarang banyak yang suka asyik sama hidup mereka sendiri, Pak.” Supir taksi online menatap prihatin ke arah jalan raya. “Sibuk main game kalau di rumah, suka melawan sama orang tua dan tidak jarang keluyuran juga.”
Chili menoleh ke arah supir taksi yang tampak menyeka sudut mata. Sepertinya pria paruh baya itu menangis. Mungkin memiliki anak seperti yang ia katakan barusan.
“Mama saya udah nggak ada lagi, Pak. Siapa yang mau urus Papa kalau bukan saya,” tanggap Chili mencibir ke arah Rain.
Pria itu mengalihkan tilikan mata sipitnya ke sisi kanan jendela. Baru saja berinteraksi beberapa jam dengan Chili, ia merasa jengah dengan sifat pecicilan dan cerewet gadis itu. Andai tidak membutuhkan bantuan Chili, sudah pasti ia meninggalkannya sejak tadi.
Suasana kembali hening saat mobil memasuki sebuah desa bernama Baban. Desa yang memiliki sejuta kenangan yang pernah diukir Chili semasa kecil. Di sanalah ia dilahirkan dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang, sebelum kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan.
Tak lama kemudian, taksi online berhenti di depan rumah sederhana dengan pekarangan yang kecil. Tampak tidak terawat, karena bunga bonsai sudah tumbuh tinggi dan lebat.
“Kasih ongkosnya,” suruh Rain setelah mobil berhenti sempurna.
Chili merogoh saku bagian dalam jaket kulit yang tertutup resleting, lalu mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu.
“Tambah dua lembar lagi,” titah Yang Mulia Rain membuat mata gadis itu melotot.
“Kasihan, Bapaknya harus kembali lagi ke Jekarda malam-malam. Kalau tidak ada yang order gimana?”
Mata hitam lebar Chili berkedip pelan mendengar perkataan pria itu. Ternyata di balik sifat dingin dan galak, Rain memiliki sifat sosial yang patut diacungi jempol. Alhasil, gadis itu mengeluarkan lagi dua lembar uang seratus ribu.
“Ini ongkosnya ya, Pak. Makasih.”
“Banyak sekali ini, Neng,” ujar supir dengan raut sungkan.
“Nggak apa-apa, Pak. Papa saya yang suruh. Katanya kasihan Bapak kalau nggak ada orderan lagi ke Jekarda,” balas Chili melirik ke tempat duduk Rain yang sudah kosong. Pria itu ternyata sudah keluar dari mobil terlebih dahulu.
Bibir mungil itu ternganga melihat darah di jok mobil yang berbahan kulit tersebut. Dia panik mencari keberadaan tisu.
“Boleh tolong ambilkan tisu itu, Pak?” pinta Chili menunjuk kotak tisu yang ada di atas dashboard mobil.
“Sebentar, Pak. Ini ada bekas lumpur di jok mobil.” Chili langsung meraih kotak tisu yang diberikan driver taksi.
“Bapak jangan lihat ke belakang!” cegah Chili cemas sebelum supir menoleh ke belakang. Dengan sigap, ia membersihkan tetesan darah di bekas Rain duduk.
Setelah memastikan tidak ada lagi bekas darah, gadis itu bersiap turun dari mobil. “Makasih ya, Pak. Hati-hati di jalan. Kalau ngantuk istirahat dulu.”
Supir tertawa renyah mendengar perkataan Chili. “Makasih ya, Neng.”
Gadis itu langsung turun menyusul Rain yang sudah berdiri mengamati rumah sederhana yang ada di depan mereka.
“Rumah siapa?” tanya pria itu setelah mobil pergi dari sana.
“Rumah orang tuaku.” Chili menurunkan lagi tas ransel dan mencari dompet untuk mengambil kunci.
“Ada orang di dalam?”
Kepala yang dihiasi rambut pendek sebahu itu menggeleng. “Udah lama nggak dihuni. Tapi aku masih sering ke sini kok untuk bersih-bersih.”
Kening Rain berkerut sebelum kembali meringis. “Cepat buka. Aku belum kuat berdiri lama-lama,” suruhnya lagi.
Chili membuang napas kesal dengan sifat suka memerintah yang dimiliki Rain. Andai tidak butuh seseorang untuk melindungi, ia pasti sudah meninggalkan pria itu terlunta-lunta di jalanan tadi. Gadis itu langsung membuka kunci pintu. Dalam hitungan detik aroma debu bercampur sedikit apak dari dalam rumah langsung menyeruak ke rongga hidung.
Rain mengibaskan tangan di depan hidung seraya melempar tatapan dingin ke arah Chili. Gadis itu hanya nyengir kuda menanggapi arti sorot mata Rain.
“Udah tiga bulan nggak ke sini, karena sibuk persiapan ujian, Om. Jadi agak bau.”
Chili kembali mengedarkan pandangan melihat ke dalam rumah. Satu-satunya peninggalan dari almarhum sang Ayah yang tidak bisa dijual oleh Kania, karena hak kepemilikan berada di atas nama Chili.
“Masuk dulu, Om. Aku mau beresin kamar biar Om bisa istirahat,” anjur gadis itu menunjuk ke dalam rumah dengan ujung dagu.
“Nanti saja. Ada yang harus kamu lakukan, sebelum istirahat,” decit Rain seraya melangkah ke dalam rumah. Dia melihat-lihat isinya. Ternyata tidak ada apa-apa di sana.
“Barang-barangnya udah dijual semua sama Tanteku,” ungkap Chili sebelum Rain mengajukan pertanyaan. “Tapi tenang, masih ada tempat tidur kok di kamar. Trus isi dapur juga lengkap, kecuali kulkas. Meja makan juga masih lengkap.”
Kania menjual hampir seluruh isi rumah itu, termasuk sofa, alat-alat elektronik dan lemari kayu berukuran besar. Hanya tersisa dua tempat tidur dan satu set meja makan model lama, karena tidak mendapatkan banyak uang jika dijual.
Chili memutar balik tubuh, sebelum menutup pintu rumah.
“Om butuh bantuan apa emangnya?” Chili mengajukan pertanyaan kembali menghadap Rain.
“Aaaaa!!” pekiknya menutup wajah saat melihat Rain tidak mengenakan kemeja yang tadi membungkus tubuh.
“Kamu berlebihan. Aku masih pakai celana panjang ini.” Rain perlahan duduk di lantai sembari menyandarkan punggung ke dinding. Dia menunjuk bagian perut yang sobek, bekas tusukan pisau. “Ambil sendok dan lilin. Bantu aku tutup luka ini.”
“Hah?” Chili mengembangkan sedikit jari dan melihat Rain di selanya. Pria itu tampak lemas sekarang membuat rasa panik kembali melanda.
“Buruan ambil!!” sergah Rain garang menahan rasa sakit yang kembali menjalar di sekujur tubuh.
Bersambung....

Book Comment (1533)

  • avatar
    Pzln25

    Good novels..the story so fresh and diferent from other ...keep it up!!!

    24/08/2022

      0
  • avatar
    Ieka Syafikaa

    Cerita nya bagus bangett .. I love it . 5 stars for you ..

    05/06/2022

      0
  • avatar
    rhmassn

    sumpah aku suka bgt sama ceritanya😭😭 semoga ada season 2 nya yaaa aku tunggu!!😍❤️‍🔥

    11/05/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters