logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 First Kiss

Chili menatap nanar tumpukan ban yang ada di depannya. Punggung bersandar lesu di bagian tumpukan satu lagi. Sudah lima menit, Rain tidak bergerak sedikitpun. Kini ia hanya bisa pasrah dengan takdir yang akan berlaku atas dirinya.
“Uhuk! Uhuk!”
Suara batuk diiringi dengan decitan napas menyentakkan lamunan gadis itu. Sontak kepalanya menoleh ke tempat tubuh Rain tergeletak. Tampak sedikit binar di wajah Chili yang tadi murung, begitu melihat pria itu bergerak.
“Om, masih hidup?”
“Air,” desis Rain lemah tidak menanggapi perkataan gadis itu.
“Air?” Chili langsung meraih tas ransel mencari keberadaan botol minum. Desahan pelan keluar dari sela bibir saat ingat botol tersebut tertinggal di tempat pemberhentian sebelumnya.
“Aku nggak punya air minum, Om.” Chili melempar pandangan ke luar tumpukan ban. Matanya menyipit ke arah aliran sungai tak jauh dari sana. “Aku ambil air kali aja ya? Om mau ‘kan?”
Rain menggeleng lesu. Air sungai terlalu kotor untuk dijadikan minum. Pria itu mengangkat sedikit kepala, agar bisa melihat suasana di luar. Ternyata langit sudah berangsur gelap.
“Kamu cari taksi sekarang,” ujar Rain memberi arahan, “kita harus pergi dari sini.”
“Mau pergi ke mana, Om?” tanggap gadis itu bingung.
“Cari saja taksi, jangan banyak tanya,” titah pria itu tegas membuat Chili langsung diam.
Gadis itu beringsut mundur ke belakang seraya memandang Rain pasrah. Tidak ada pilihan lagi selain mengikuti perintah pria ini. Dia bisa ikut pergi dengan orang yang baru dikenalnya, agar bisa kabur dari kejaran rentenir tadi.
Kepala Chili kembali terkulai lesu melihat seragam sekolah yang dilumuri darah. Mana mungkin ia pergi mencari taksi dengan pakaian seperti itu?
“Pakai ini,” kata Rain meraih jaket kulit hitam yang ada di balik punggung dengan sisa kekuatan yang ada.
Chili menerima jaket kulit tersebut, lalu memasangkannya. Jaket kulit dengan kualitas terbaik itu melekat di tubuh mungilnya. Tampak longgar dan besar, sehingga menutupi darah di seragam yang dikenakan.
Gadis itu langsung keluar dari tumpukan ban dan berdiri. Pandangannya menyapu daerah sekitar yang tampak lengang, karena malam menjelang. Dia mencari keberadaan jalan yang mungkin dilalui oleh taksi. Chili kembali memasuki tumpukan ban, tempat Rain terbaring.
“Om, kayaknya kita keluar barengan deh. Jalannya jauh banget di sana. Nggak mungkin taksi bisa masuk ke sini,” usul Chili hati-hati.
Rain mendesah menatap sayu gadis yang berdiri tak jauh darinya. Rasa sakit yang mendera membuat pria itu lupa dengan daerah yang telah dikuasai selama sepuluh tahun belakangan.
“Om kuat ‘kan?” tanya gadis itu lagi.
Rain mengangguk pelan. Dia tidak memiliki pilihan lagi selain pergi dari sana, sebelum geng Kobra benar-benar menduduki wilayah tersebut. Semua anggotanya telah babak belur dalam pertempuran dini hari tadi.
Ya, Rainer adalah seorang gangster, kepala geng Scorpion yang menaungi wilayah Kalijengger, tempatnya berada sekarang. Dia ditusuk oleh Samuel, ketua geng Kobra yang merupakan musuh bebuyutan mereka sejak lama. Dini hari ini, terjadi baku hantam kedua geng besar di kota Jekarda, berujung dengan ditikamnya Rain oleh pria itu.
“Ayo sini, Om.” Chili mengulurkan tangan kepada pria itu dengan seulas senyum manis. Dia tidak boleh membuat Rain marah, jika masih ingin pergi dengannya.
Tak lama kemudian Rain sudah meraih tangan gadis itu, berusaha berdiri dengan tegak. Dia melihat Chili yang sedang mengambil tas ransel, sebelum mencantolkannya di pundak mungilnya. Gadis bertubuh kecil itu meraih tangan Rain dan melingkarkannya di balik pundak, agar bisa memapah pria tersebut.
Mereka berdua langsung meninggalkan tempat tadi dengan melangkah pelan. Chili mengedarkan lagi pandangan khawatir jika kedua rentenir tadi masih berkeliaran di daerah sana. Rain yang tahu kegelisahan gadis itu memilih diam tanpa mengajukan pertanyaan. Dia harus menyimpan sisa tenaga agar bisa tiba di jalan raya.
“Bisa cepetan nggak, Om? Aku takut mereka masih di sini,” pinta Chili dengan napas mulai tidak teratur, karena sebagian berat badan Rain tertopang di tubuhnya.
Rain tidak merespons perkataan Chili yang menurutnya menganggu. Dia sendiri sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mempercepat langkah, tapi rasa sakit bekas tusukan masih terasa nyeri di bagian terdalam tubuhnya.
“Ssttt ….” Langkah Rain berhenti ketika mendengar suara dari balik semak-semak tak jauh dari sana.
“Kenapa, Om?”
“Ada orang,” bisiknya.
Dia menurunkan tangan yang ada di balik pundak Chili, lalu meraih tangan mungil itu. Rain menariknya menuju pohon kayu tak jauh dari sana.
“Ngapain sih si Bos suruh kita ke sini? Bikin repot aja. Udah jelas sejak tadi tempat ini sepi.” Terdengar suara bas dari kejauhan.
“Itu rentenir tadi,” gumam Chili mulai panik.
Tangan Rain langsung menutup bibir mungil gadis itu seraya menggelengkan kepala. Dia menarik Chili ke depan, sehingga tubuh keduanya merapat. Sontak kepala yang dihiasi rambut dengan panjang sedikit di bawah bahu itu mendongak ke atas. Pandangan mereka bertemu beberapa saat.
Dari jarak dekat, Chili bisa menyaksikan paras Rain dengan jelas. Sepasang alis dengan ukuran sedang membingkai bagian atas mata sipit berwarna hitam. Pandangannya turun sedikit ke bawah, melihat hidung berukuran besar nan mancung. Netra gadis itu berkedip pelan saat tilikannya berpindah ke arah bibir dengan lengkung sempurna milik Rain.
“Kayaknya ada orang deh di sana. Lihat yuk!”
Perkataan barusan membuat Chili terkesiap kembali was-was. Terasa tangan Rain melingkar di balik pundak, lalu menariknya sehingga tubuh mereka benar-benar rapat. Jantung gadis itu bertalu-talu entah karena menempel dengan Rain atau ketakutan jika kedua orang itu bisa menemukan mereka.
“Tangan kamu,” desis Rain.
“Eh? Kenapa?” Kening Chili mengernyit.
“Lingkarkan di balik pundakku. Cepat!” suruhnya.
Meski kebingungan, gadis itu tetap melakukan sesuai dengan perintah Rain.
“Maaf, aku tidak punya pilihan lain,” ujar Rain di saat tangan kirinya bergerak masuk ke balik tengkuk Chili.
Belum sempat Chili merespons perkataan pria itu, bibirnya langsung dibungkam oleh bibir Rain. Otomatis dia meronta ingin melepaskan tautan bibir, tapi tidak bisa. Pegangan tangan kokoh itu mengerat di balik pundak dan pinggang, membuat pergerakan menjadi terbatas.
“Astaga!!” seru salah satu anggota gangster yang juga rentenir itu saat melihat sepasang manusia sedang berciuman.
“Kenapa?” Gangster satunya lagi mendekat dan melihat aksi panas siswa SMA dan seorang pria dewasa. Dia memukul kepala temannya dengan telapak tangan. “Mesum lo! Orang lagi cipokan lo ganggu.”
“Heran gue sama anak SMA zaman sekarang, bukannya sekolah malah keluyuran malam-malam. Pacaran di tempat sepi. Kalau hamil nangis-nangis minta tanggung jawab, trus aborsi. Mau jadi apa negara kita sepuluh tahun lagi?!” decak pria itu geleng-geleng kepala melirik rok abu-abu yang tidak tertutup jaket kulit. Beruntung rok bagian belakang Chili tidak terkena bercak darah.
Rain semakin merapatkan wajah mereka berdua, sehingga kedua orang tadi tidak bisa mengenalinya. Agar lebih meyakinkan lagi, dia mengisap bibir Chili sehingga menimbulkan bunyi khas orang berciuman. Mata sipit itu terpejam seakan menikmati setiap lumatan yang diberikan di bibir mungil gadis itu.
Sementara Chili hanya bisa pasrah membiarkan Rain mengeksplor bibirnya meski ingin sekali memberontak. Air mata berlinang di sudut netra hitam lebar itu, karena kesal ciuman pertamanya harus dirampas secara paksa dalam keadaan darurat seperti ini.
“Udah ah, cabut. Nggak ada yang aneh di sini,” ajak pria bertubuh gempal itu kepada temannya.
Kedua anggota gangster tadi langsung pergi dari sana.
Setelah memastikan kedua orang itu menjauh, Rain melepaskan pagutan bibir mereka. Kepalanya mundur ke belakang, begitu juga dengan Chili yang mundur satu langkah.
Pria itu membungkukkan tubuh agar bisa melihat wajah Chili yang memerah dan mengerucut. Gadis bertubuh mungil itu merengek seperti anak kecil seraya menghapus bekas ciuman Rain.
“First kiss gue,” isaknya kesal mengusap kasar bibir sendiri, “ciuman pertama gue.”
Rain langsung menangkap kedua tangan Chili, khawatir gadis itu akan melukai bibirnya. “Tadi itu … terpaksa. Jangan diusap lagi, nanti bibir kamu luka.” Tampak sorot bersalah di mata sipit itu.
“Paling nggak ‘kan bisa pura-pura, Om. Itu ciuman pertamaku,” rengek Chili lagi.
Desahan pelan keluar dari sela bibir Rain. Dia menegakkan lagi tubuh sembari mengamati keadaan sekitar. Pria itu melangkahkan kaki pergi menjauh dari pohon kayu.
“Sampai kapan kamu mau berdiri di sana?” Rain memutar tubuh pelan, melihat Chili yang masih meraung di tempat berdiri tadi. “Sini bantu aku jalan.”
Gadis itu menaikkan pandangan melihat Rain. Wajahnya masih menampakkan kesedihan yang luar biasa. Dia mengentakkan kaki ke tanah, karena mau tidak mau harus ikut dengan pria ini. Tidak ada lagi tempat untuk pergi sekarang. Minimal ia bisa mendapat perlindungan dari Rain.
“Kali ini aku maafin. Awas aja kalau diulangi lagi,” sungutnya kesal dengan mata mendelik nyalang. Chili menarik tangan Rain dan melingkarkannya di balik pundak.
Mereka berdua kembali mengayunkan langkah menuju jalan, agar bisa mendapatkan taksi segera.
“Kenapa nggak pesen taksi online aja sih, Om?” Chili mengajukan pertanyaan setelah rasa kesal lenyap.
“Tidak bawa handphone.”
“Astaga! Bilang dong dari tadi. Bisa pake handphone­-ku.” Gadis itu merogoh saku rok abu-abunya. “Nih.”
“Kamu yang pesan,” suruh Rain.
Chili menarik napas singkat sebelum mengajukan protes. “Kenapa sih dari tadi perintah-perintah terus? Kayak bos aja. Aku ini bukan bawahan Om loh yang bisa disuruh-suruh,” cecarnya.
“Sekarang mau pesen taksi online atau nggak? Lagian aku nggak tahu Om mau ke mana. Diajak ke rumah sakit nggak mau,” sambung gadis itu lagi.
Jika saat ini tidak sedang terluka, Rain sudah pasti pergi dari hadapan gadis cerewet seperti Chili. Menurut pria itu, kepribadiannya sangat mengganggu.
“Kok diam aja? Minimal Om kasih tahu mau ke mana dong.” Chili menurunkan tangan Rain, kemudian berkacak pinggang.
“Terserah,” sahut pria itu singkat.
“Lho kok terserah aku sih? ‘Kan Om nggak mau ke rumah sakit. Kalau tanya aku ya jawabannya rumah sakit.”
“Terserah ke mana saja, selain rumah sakit.” Rain mulai lelah dengan sikap Chili.
“Om?” Chili sama lelahnya berdebat seperti ini. Belum lagi perut yang mulai keroncongan ditambah haus yang sudah tak tertahankan.
Rain hening ketika memikirkan ke mana dirinya akan pergi. Semakin lama berada di sini, kemungkinan akan tertangkap semakin besar.
“Pikirkan tempat yang jauh dari sini,” ujar Rain serius menatap datar Chili, “tempat di mana tak ada satu pun orang yang kenal denganku.”
Bersambung....

Book Comment (1533)

  • avatar
    Pzln25

    Good novels..the story so fresh and diferent from other ...keep it up!!!

    24/08/2022

      0
  • avatar
    Ieka Syafikaa

    Cerita nya bagus bangett .. I love it . 5 stars for you ..

    05/06/2022

      0
  • avatar
    rhmassn

    sumpah aku suka bgt sama ceritanya😭😭 semoga ada season 2 nya yaaa aku tunggu!!😍❤️‍🔥

    11/05/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters