logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Ketakutan Luar Biasa

Napas Chili semakin sesak ketika keraguan melanda lagi. Mata hitam bulat itu terpejam erat ketika masih berpikir, sementara tangannya sudah memegang gagang pisau berukuran besar tersebut.
Cabut aja, Chil. Lebih baik lo masuk penjara daripada ditangkap rentenir, batinnya sendiri.
“Kamu mau dibunuh?” ancam pria tadi menyentakkan Chili.
Mata hitam lebarnya terbuka lebar, kembali menatap takut perut yang masih mengeluarkan darah. Tangan Chili semakin gemetar. Keringat keluar lagi dari pori-pori kening.
“Ma-maaf, Om. A-aku takut,” risiknya seraya memperlihatkan manik hitam yang mengkilat, bersiap meluncurkan bulir bening.
“Cepat!!” geram pria bermata sipit itu menatap tajam.
Chili menarik udara yang terasa berkurang banyak di sekitar, sehingga membuat dadanya sesak. Seperti terimpit beban puluhan kilogram. Dia kembali memejamkan mata dan mengeratkan pegangan di gagang pisau.
“Woi, tunggu! Ngapain lo masuk ke area Scorpion?” Suara yang cukup familiar di telinga Chili membuat niat mencabut pisau tadi urung.
“Kenapa ka—”
Chili membekap mulut pria yang masih terbaring di atas rumput yang ditutupi seng itu dengan erat. Jari telunjuknya bergerak ke depan bibir, meminta pria itu diam. Gadis itu beringsut masuk ke dalam tumpukan ban, sehingga berada di posisi sangat berdekatan dengannya.
“Orang tadi gue lihat dia lari ke sini,” sahut laki-laki satunya lagi.
Napas Chili semakin tersendat saat ketakutannya menjadi berlipat. Andai kedua rentenir tadi ke bawah tumpukan ban, tamat sudah riwayatnya.
“Udah balik lagi sekarang. Area ini nggak boleh kita masuki,” sahut suara pria pertama.
Pria asing yang bersama dengan Chili juga ikutan diam. Dia menurunkan tangan gadis itu perlahan tanpa bersuara, kemudian memusatkan pendengaran dengan percakapan kedua orang yang baru saja masuk ke dalam wilayah kekuasaan geng Scorpion.
Salah satu dari rentenir tadi tertawa. “Kenapa? Lo takut sama si Rainer?”
Tawa itu terdengar semakin keras.
“Gue yakin sekarang si Rainer udah mati di tangan bos, jadi wilayah ini udah jadi milik kita,” balas orang tadi.
Chili masih menguping pembicaraan kedua orang itu dengan was-was. Suara mereka semakin mendekat membuat jantung semakin terpacu. Tilikan netra hitam lebar itu melihat tidak tenang ke sisi luar tumpukan ban, khawatir orang tadi tahu di mana keberadaannya.
Gadis itu melihat tetesan darah di atas rumput yang tidak tertutup atap. Dia langsung mengulurkan kaki ke luar, lalu mengusapnya dengan telapak sepatu kets, agar tetesan darah itu tidak terlihat. Setelah bekas darah memudar, ia menarik lagi kaki dan menekuknya.
Laki-laki yang nyaris sekarat ini, hanya melirik Chili dalam hening. Dia sedang memikirkan kenapa gadis itu semakin ketakutan, setelah mendengar kehadiran dua orang rentenir tersebut.
“Udah ah, cabut yuk. Iya kalau dia mati, kalau nggak bisa runyam masalahnya. Bos marah besar kalau tahu kita masuk wilayah mereka,” tutur pria pertama tadi.
Chili memasang radar tinggi untuk menangkap sinyal yang diberikan oleh telapak sepatu kedua pria tersebut. Dia memejamkan mata agar bisa fokus mendengar langkah kaki mereka. Embusan napas lega meluncur dari sela bibir yang berukuran ideal, tidak tebal dan tidak tipis juga.
“Mereka sudah pergi. Sekarang cabut pisaunya,” bisik pria yang ada di pangkuan Chili sekarang.
Gadis itu mengalihkan paras melihat laki-laki yang hampir sekarat tersebut. Tanpa sadar, sebagian tubuh orang asing itu sudah bersandar di atas kedua pahanya.
“Om ngapain deket-deket aku?” Chili langsung mendorong tubuh besar itu ke samping, sehingga terjatuh ke atas rumput.
Pria tersebut meringis kesakitan membuat bibir yang tampak pucat itu mengeluarkan erangan. “AARRGGH!!”
“Lo denger nggak suara tadi?” samar terdengar suara berat dari kejauhan. Ternyata kedua rentenir tadi masih berada di sekitar sana.
Chili mendelikkan mata nyalang ke arah si pria berdarah itu, pertanda protes karena telah menjerit.
“Kamu yang dorong aku sampai jatuh,” ujar pria bermata sipit itu menahan volume suara.
“Nggak denger. Emang ada suara apa?” Kali ini pria kedua kembali bersuara.
“Makanya gue suruh korek kuping biar nggak budeg juga. Tadi kayak suara orang teriak kesakitan gitu.”
“Masa sih?” tanya orang itu dengan nada tidak percaya.
Wajah Chili yang tadinya lega, kini kembali tegang. Dia berusaha mencari cara agar kedua pria tadi segera pergi dari sini.
“Miaaw.” Gadis itu menirukan suara kucing.
“Ah, lo buang-buang waktu gue aja. Cuma kucing kok,” tanggap salah satu rentenir itu.
Kali ini Chili nyaris tertawa, karena berhasil mengerjai kedua rentenir barusan. Dia tidak menyangka ternyata orang-orang yang penampilannya menyeramkan begitu gampang dibodohi. Pegangan tangan lemah seseorang kembali menyentakkan gadis itu.
Sorot mata sipit tampak begitu menakutkan di antara raut wajah yang pucat. Napas pria yang bersama dengan Chili sekarang terengah, menahan sakit pisau yang tertancap di perut kanan.
Bibir tipis yang memiliki lengkung sempurna menyerupai M di bagian atas itu berusaha terbuka, seperti ingin mengucapkan sesuatu. Tenaga yang terkuras saat menahan rasa sakit, membuat ia tidak mampu mengucapkan sepatah kata lagi. Hanya tilikan mata hitam sipit itu yang bergerak ke arah perut.
“Om janji jangan teriak kalau aku cabut ya? Nanti mereka datang lagi,” pinta Chili dengan tatapan memohon.
Mata pria itu berkedip pelan pertanda setuju.
“Sebentar,” tahan Chili beringsut ke luar dari sela susunan ban, kemudian mengawasi suasana sekitar.
Setelah memastikan tidak ada orang lagi di sana, gadis itu kembali dan mengambil tas yang bersandar di tumpukan ban. Dia mengeluarkan sesuatu yang bisa digigit oleh pria itu dari dalam tas, agar tidak berteriak saat pisau itu keluar dari tubuhnya. Chili melihat jaket kesayangannya dengan tampang menyedihkan.
“Maaf yaa. Kamu kotor-kotor dulu sekarang. Aku janji bakalan cuci kamu,” ucapnya kepada jaket kesayangan.
“Nih, gigit, Om. Aku lihat di film-film sih biar nggak teriak kalau lagi kesakitan,” suruhnya seraya menggulung sebagian lengan jaket hoodie berwarna merah, lalu menyerahkannya kepada pria itu.
Tanpa berkomentar lagi, pria itu langsung menyumpal mulutnya dengan lengan jaket. Dia menarik napas terlebih dahulu, sebelum tangan Chili kembali memegang gagang pisau tersebut.
“Tahan ya. Janji jangan teriak.” Chili melirik pria itu lagi ketika tangannya sudah berada di gagang pisau.
Mata sipit itu kembali berkedip pelan. Pria itu semakin mengeratkan gigitan di lengan hoodie milik Chili.
Lo bisa, Chil. Harus berani, kalau nggak orang ini bisa mati beneran, batinnya lagi.
Gadis itu mulai menghitung mundur di dalam hati
Tiga,
Dua,
Satu,
Tarik!!
Chili mengerahkan sisa tenaga yang ada untuk mencabut pisau yang diduga panjang tersebut.
“Ehmmmm ….”
Suara teriakan pria itu tertahan oleh hoodie yang menyumpal mulutnya. Dada bidang yang terbungkus kemeja hitam itu naik turun tidak teratur, tampak begitu cepat. Urat kening menyembul di balik kulit berwarna sawo matang ketika pisau dengan panjang tiga puluh centimeter itu keluar dari tubuhnya.
“Om, darah. Darah,” desis Chili melihat darah memenuhi tangannya. Tak hanya itu aliran cairan berwarna merah itu tampak membasahi area bekas luka tusukan tersebut.
“Aahh ….” Desah pria tersebut setelah melepaskan sumpalan lengan hoodie milik Chili. Dia memberikan kode agar gadis itu melingkarkan jaket kaus tersebut ke pinggang, guna menahan keluarnya darah.
Kepala gadis itu mengangguk paham maksud yang dikatakan oleh orang asing ini. Dengan tangan gemetar, ia memegang kedua lengan hoodie, lalu melingkarkannya di balik pinggang pria tersebut. Setelahnya ia mengencangkan ikatan.
Tilikan mata Chili beralih ke wajah orang itu. Dia menatap prihatin pria yang semakin lemah. Napas yang tadi tampak sesak, kini berangsur pelan.
“Om, jangan mati,” katanya mengguncang tubuh besar itu.
Kepala yang dihiasi rambut dengan potongan model scissor cut itu menggeleng. “Aku nggak mati,” gumamnya lemah.
“Kita ke rumah sakit ya? Luka ini harus dijahit,” tutur gadis itu mengerling ke arah pisau dengan ketebalan satu milimeter tersebut. Dia yakin sekali tubuh bagian dalam pria itu butuh penanganan medis.
“Tidak perlu. Biarkan saja,” balas pria itu dengan suara melemah.
“Tapi, Om harus ke rumah sakit. Tuh lihat muka Om pucat banget, pasti kehabisan banyak darah.” Chili khawatir luar biasa, sehingga matanya melebar.
“Rain.” Pria itu kembali berbicara.
“Nggak, di luar nggak hujan tuh. Lihat aja.”
“Rainer. Namaku Rainer,” ulang pria itu memperkenalkan diri.
Kedua alis tipis memanjang milik Chili terangkat mendengar perkataan pria bernama Rainer tersebut. Bibirnya membulat saat kepala mengangguk pelan.
“Kayak pernah dengar nama itu. Di mana ya?” Gadis itu mencoba mengingat lagi, lantas menggelengkan kepala.
“Nggak penting. Sekarang Om ke rumah sakit ya. Aku nggak mau Om kenapa-napa loh. Kalau mati kehabisan darah gimana? Nanti aku yang masuk penjara, ‘kan serem,” cecar Chili lagi dengan mata membulat.
Rainer menggeleng enggan. “Jangan.”
“Yah nggak bisa gitu dong, Om. Aku jadi kebawa-bawa nih sekarang.” Kening Chili mengernyit saat bola matanya tampak menegang. Dia tidak bisa membayangkan akan berakhir di penjara jika pria ini benar-benar mati.
Sorot mata sipit itu menajam seakan mampu membunuh Chili dalam satu kali tusukan.
“Udah sekarat masih aja keras kepala,” gerutu gadis itu menundukkan kepala dengan wajah mengerucut, “terserah deh. Toh lebih baik aku masuk penjara daripada ditangkap rentenir tadi.”
Chili menyandarkan punggung di tumpukan ban seraya melipat tangan. Jangan ditanya lagi bagaimana kondisi seragam putih abu-abu miliknya. Sudah jelas berlumuran darah di mana-mana, terutama di bagian depan. Bibir mungil itu bergerak tidak jelas, seperti mengeluarkan kalimat umpatan.
Mata hitam bulat Chili kembali bergerak melihat kondisi Rain yang semakin melemah. Dia jadi panik melihat darah yang sempat berhenti, kini kembali mengalir menembus ikatan jaket kaus miliknya. Gadis itu mendekati Rain dan menepuk pipinya.
“Om,” panggilnya was-was.
Tangan yang tadi sudah normal, kini kembali gemetar. Chili menggerakkan kedua daun tangan ke wajah Rain dan memberi tepukan pelan.
“Om, bangun.” Chili mengeraskan sedikit suaranya.
Pria itu bergeming.
Napas gadis itu mendadak sesak. Terlihat jelas dari dada yang naik turun dengan cepat. Dagu Chili bergetar saat tidak mendapat jawaban dari Rain.
“Jangan mati, Om. Aku bisa masuk penjara beneran ini,” rengeknya di sela panik yang melanda. Tangan gadis itu masih menepuk pipi Rain, berusaha membangunkan. Namun sayang, pria itu tidak bergerak sama sekali.
Netra gadis itu terpejam erat saat bulir bening turun di kedua pipi chubby-nya. Mungkin inilah jalan hidup yang harus ditempuh gadis berusia tujuh belas tahun tersebut. Menjadi yatim piatu di usia belia dan sekarang akan mendekam di balik jeruji besi. Cita-cita yang sempat terbesit di pikirannya kini pupus sudah. Menjadi seorang penata rias, hanya sebatas angan-angan.
“Chili harus gimana, Ma, Pa?” lirihnya terdengar pilu di sela isak tangis yang semakin menjadi.
Bersambung....

Book Comment (1533)

  • avatar
    Pzln25

    Good novels..the story so fresh and diferent from other ...keep it up!!!

    24/08/2022

      0
  • avatar
    Ieka Syafikaa

    Cerita nya bagus bangett .. I love it . 5 stars for you ..

    05/06/2022

      0
  • avatar
    rhmassn

    sumpah aku suka bgt sama ceritanya😭😭 semoga ada season 2 nya yaaa aku tunggu!!😍❤️‍🔥

    11/05/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters