logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 10. Pilihan yang Tepat

Segera kuketik dua belas digit nomor di ponsel milik Sesil. Aku tersenyum samar. Kali ini pembalasan pertama dipastikan akan berhasil, pastinya tanpa bersusah payah.
Kuberikan kembali ponsel itu.
"Sudah kukirim, siapkan hatimu, dan bersiap-siap lah untuk segera pergi meninggalkan rumah ini!" ucapnya penuh percaya diri. Padahal akulah yang seharusnya berucap seperti itu.
"Siap, Sayang," ucapku dengan santai yang membuat Sesil mengerutkan keningnya.
Aku berlalu meninggalkan Sesil, baru beberapa langkah, tiba-tiba kedua netraku melihat seseorang yang sedang berdiri mengawasi kami.
"Mau kamu apain calon menantuku?" taya Ibu Mertua dengan penuh penekanan di kalimat calon menantu. Kuputar bola mataku dengan malas.
Ibu mertua menghampiri Sesil yang sedang berdiri. "Kamu nggak diapa-apain sama dia, kan?" tanya Ibu mertua dengan melirik sinis ke arahku. Sesil menggeleng.
"Kalau dia menyakitimu, bilang sama Tante!"
"Iya, Tante," jawabnya dengan nada dibuat semanja mungkin.
"Bagaimana, Bu? Apa ada yang terluka dengan calon menantu kesayangannya?" ucapku dengan nada mengejek.
Ibu mertua mencebikkan mulutnya. "Pergi kamu!" Segera kuputar tubuhku.
"Hey, tunggu!"
"Ada apa lagi, Bu?"
"Besok pagi ada acara kumpul-kumpul di rumah. Jangan lupa, jam sembilan harus sudah siap makanannya!"
Aku mencebikkan mulut.
"Kan bisa pesan saja, Bu! Ngapain repot-repot segala, sih! Kalau Ibu inginnya masakan sendiri, yaudah, Ibu masak aja sendiri!" ucapku dengan enteng.
"Kamu sekarang sudah berani nglawan, ya!" hardik Ibu dengan geram. Kucebikkan mulutku.
"Minta calon menantu kesayangan Ibu itu membantu. Jangan sok-sokan ingin mengusirku, tapi kalian masih butuh tenagaku!" sengitku yang membuat wajah Ibu merah padam. Kedua tangan Ibu berkacak pinggang dengan mata melotot.
"Sesil ini calon menantuku, bukan pembantu!" ucap Ibu yang membuat Sesil tersenyum dan terbang tinggi.
"Lah, memang aku pembantu? Bahkan aku itu sudah menjadi MENANTU, lah, dia? Baru juga calon menantu!" ucapku enteng. Senyum Sesil seketika hilang dari bibir berlipstik merah merona itu. Wajah yang sebelumnya terlihat cerah, kini berubah mendung.
"Dasar menantu nggak punya sopan-santun! Ibu nggak mau tahu, pokoknya jam sembilan harus sudah siap semuanya. Awas jika tak sesuai keinginan Ibu!"
"Pantas saja Tante ingin menghempasmu dari rumah ini, lah kamunya aja nyolot begitu," cecar Sesil menatapku dengan sinis.
Sesil berganti menatap ibu dan berkata, "Tante tenang saja! Kalau Sesil jadi menantu Tante, kebahagiaan Tante akan Sesil nomor satukan," ucap Sesil yang dibalas anggukan dan senyuman oleh Ibu.
"Betapa beruntung Tante jika memiliki menantu yang menghormati mertuanya. Tidak seperti dia." Ibu mertua melirikku dengan sinis. Aku hanya tersenyum simpul.
Tanpa basa-basi maupun pamit, aku melenggang pergi, meninggalkan dua perempuan beda generasi tersebut.
Saat aku melewati ruang keluarga, kedua netraku melihat ponsel milik Ibu mertua tergeletak di samping televisi.
Kulihat kanan kiri dan belakang.
Aman, tak ada orang.
Segera kuambil dan kubawa ponsel itu ke dalam kamar. Aku ingin melihat, apa ada sesuatu yang direncanakan oleh mereka.
Dengan menyandarkan tubuhku di kepala ranjang, aku segera mengutak-atik ponsel milik Ibu mertua.
Kubuka aplikasi bergambar telepon berwarna hijau. Ternyata nama Sesil terpampang di urutan teratas, itu artinya, dengan Sesil lah Ibu terakhir saling berbalas pesan.
Kubuka pesan tersebut. Kuscroll keatas.
Jemariku berhenti pada pesan yang telah dikirim oleh Ibu mertua saat pukul jam dua siang tadi.
[Jangan lupa bawa obatnya. Nanti biar kusuruh Syifa untuk pergi berbelanja, dan Mayang biar Tante ajak pergi untuk memesan kue. Lakukan bagaimana pun caranya, yang terpenting Prabu bisa berpaling dari istrinya yang memalukan itu!] begitulah bunyi pesan yang dikirim oleh Ibu yang mempu membuat darahku berdesir.
[Siap, Tante. Nanti kalau para tetangga curiga bagaimana? Kan kalau semua orang pergi, pasti tetangga pada curiga.]
[Kamu tenang saja! Biar nanti kuminta Mayang untuk menggunakan mobilmu. Jadi para tetangga tahunya kalau kamu lah yang pergi."
Deg.
Irama jantungku berdetak dengan begitu cepatnya. Sekarang aku tahu, ternyata peristiwa menjijikkan itu memang sudah direncanakan oleh mereka dengan begitu mulus.
Mereka memberikan obat per*ngs*ng ke dalam minuman Mas Prabu, setelah Mayang dan Ibu pergi. Ibu memberikan waktu untuk mereka berdua. Didukung aku tak ada di rumah juga. Setelah itu Sesil hamil, lalu, mau tak mau Mas Prabu harus menikahi perempuan itu. Maka, lancarlah rencana mereka. Sungguh, rencana yang begitu bagus.
Kuelus dadaku. Ternyata Ibu memang sudah benar-benar tak berakal. Hanya karena ingin membuat Mas Prabu bersedia untuk menikahi perempuan pilihannya, Ibu menghalalkan segala cara. Bahkan meskipun dengan menjebak putranya sendiri lalu merelakan putranya berzina.
Kuhela napas panjang, kukeluarkan dengan perlahan. Dada ini sungguh terasa sesak. Bukan karena cemburu atau apa. Aku hanya tak menyangka, ternyata ibu memang benar-benar terobsesi. Bahkan, obsesinya mampu menghilangkan akal sehatnya.
Astagfirullah, sepertinya pilihanku untuk berpisah dengan Mas Prabu dan keluar dari rumah ini memang benar-benar sudah tepat.
Bagaimana jadinya, jika buah hatiku tumbuh besar di keluarga yang seperti ini?
Kututup aplikasi tersebut, karena setelah kubaca, sudah tak ada informasi yang penting.
Kalian tahu apa yang meraka bicarakan? Yang pasti tentang aku!
Padahal, jika Ibu memang benar-benar menginginkan Sesil sebagai menantunya, lalu membuangku dari rumah ini, Ibu tinggal Memaksa Mas Prabu untuk menalakku. Toh, Mas Prabu juga sudah berada dipelukan Sesil.
Bahkan, dengan ikhlas pula aku akan memberikannya.
Siapa juga yang mau berbagi suami? Ogah banget! Apa lagi bekas pakai perempuan lain, jijik rasanya!
Entah kenapa, Mas Prabu tak kunjung menceraikan aku. Akupun juga belum pernah mencoba meminta cerai. Meskipun saat tak dianggap olehnya dada terasa begitu sesak, itu tak mengapa. Yang terpenting ia bermain perempuan.
Tapi sekarang berbeda. Ia bahkan berani berzina di rumah yang sama, yang aku tempati.
Apa sebenarnya ia masih menyimpan rasa cinta denganku? Oh, kurasa itu tidak mungkin. Jika ia mencintaiku, ia tak akan sanggup mendiamkanku berminggu-minggu lamanya. Apalagi berani menyatukan tubuhnya dengan wanita lain.
Lalu apa tujuannya tak mau menalakku, tapi enggan memperbaiki rumah tangga ini? Apalagi sampai detik ini pun, ia masih seratus persen yakin dengan pendiriannya, kalau janin yang aku kandung bukan darah dagingnya.
Dengan santai, kukembalikan ponsel tersebut. Saat aku ingin kembali ke kamarku, kulihat Mas Prabu keluar dari kamarnya.
Lelaki itu menggunakan celana boxer dan bertelanjang dada, hingga memperlihatkan tubuhnya yang begitu sempurna. Butiran air terjun dari rambut basahnya, berselancar di dada bidangnya.
Seketika otak ini berkelana kesana-kemari. Membayangkan kembali saat aku berada di rengkuhan suamiku, dan kusandarkan kepalaku di dada bidangnya.
Tiba-tiba bayangan saat melihat suamiku yang sedang bercumbu dengan wanita lain melintasi otakku, hingga membuatku mengerjapkan mata.
Kuusap wajahku dengan kedua telapak tanganku secara kasar. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan dengan kasar. Berharap kewarasan otakku segera datang. Aku mendengkus kesal.
"Kamu udah mandi, udah keramas?"
Bersambung ya.

Book Comment (137)

  • avatar
    saputraIndri

    asli ceritanya baguusss bgt Thor 👍👍, real story aku bgt deh...😭😭 mudah²an hukum tabur tuai itu berlaku juga dikehidupan aku 😊 semangat terus yaa Thor untuk cerita² lainnya 💪💪💪

    31/07/2022

      0
  • avatar
    NiaGhofur

    wooowww amazing sekali cerita y,aku terharu BCA cerita ini bnyk pelajaran hidup,terima kasih author 🙏🙏🙏

    19/01/2022

      0
  • avatar
    InDrya ByYou

    kren novelnya author.makasih sama storynya.banyak banget pengajaran didalamnya,crdas banget authornya.bisa mengaduk2 emosi pembaca.sekali lagi terimakasih sudah menyajikan bacaan yg indah.sehat terus authornya..🤩🤩🤩

    11/01/2022

      1
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters