logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Apakah Dia Orangnya?

"Hei, Kak Clair! Apa kau terkena sindrom love first sigh huh!" seru Andrew sembari menepuk keras pundak wanita bermarga Kim tersebut.
Clair yang masih tak mampu mengalihkan pandangannya dari karyawan baru tersebut, tersentak saat tangan besar Andrew menepuk pundaknya dengan cengiran di bibirnya yang sarat akan godaan.
"Aku tidak," ucapnya gugup walau mata bulatnya tak mampu berpaling dari sosok yang kini telah menghilang di balik tembok ruangan penyimpanan alat-alat kebersihan.
"Jangan berbohong, lihat saja kau terus menatapnya sampai bayangannya menghilang."
"Bodoh, aku hanya kaget saja, aku seperti tidak asing dengan wajahnya," ujarnya mencoba mengelak. Tetapi, ucapannya tak sepenuhnya berbohong, karena ia memang shock akan wajah pemuda yang baru saja melintas karena serupa dengan wajah kekasihnya dulu.
"Eh, benarkah." Alisnya terangkat saat mendengar ucapan Clair yang membuatnya penasaran sekaligus rasa sakit, bagaimana jika dugaannya itu benar.  "Apa yang kau maksud itu ayahnya, Sean."
Bibir pink itu bungkam, tidak menggiyakan atau membantahnya. Hanya tatapan sendu yang kini dapat Andrew lihat. "Aku tidak mau berharap banyak, mungkin hanya mirip saja. Dia sudah lama menghilang dari kehidupanku,  mungkin saja sekarang pria itu sudah memiliki keluarganya sendiri. Kau tahu, aku tidak memiliki keinginan kembali bersamanya, untuk saat ini aku hanya ingin mempertemukan Sean dengan ayah kandungnya itu sudah cukup. Aku tidak ingin mengobrak-abrik kehidupan orang yang mungkin sudah bahagia."
Walau terdengar sudah iklas dan pasrah, namun Andrew masih menangkap sorot penuh cinta dari kedua bola mata milik wanita yang dia cintai diam-diam tersebut. Bibir boleh berkata tidak, namun hati tidak mampu berbohong. Lima tahun ini Andrew menggenal Clair dengan baik, bahkan wanita itu tak ingin membuka hatinya untuk pria lain. Bukankah cinta wanita itu masih begitu besar untuk laki-laki di masa lalunya hingga Sean hadir di dunia ini.
"Sudahlah, maaf telah membuatmu mengingat masalalu. Ayo segera bersihkan ruangan meeting atau Nona Kim akan marah-marah lagi."
Clair mengangguk, lalu melanjutkan jalannya mengikuti langkah Andrew yang tergesa-gesa.
****
Sean menatap tumpukan buku di depannya. Anak itu menghela napas berat karena harus membawa buku-buku tersebut seorang diri ke dalam gudang yang terletak di belakang sekolah. Tempatnya sangat sepi, dan jarang ada siswa yang ke sana karena cerita-cerita hantu yang bertebaran tentang gudang belakang sekolah yang angker. 
"Seonsaengnim, apakah aku harus membawanya sendirian. "
"Tentu saja, kau sedang dihukum karena tidak membuat PR hari ini," ujar sang guru.
Bocah 10 tahun itu mencebik kesal. Padahal dia sudah mengerjakan tugas dari guru di depannya ini sejak semalam, namun bagaimana bisa bukunya sekarang telah raib dari dalam tas miliknya. Padahal dia sudah ingat betul menaruh buku tugas tersebut ke dalam tas, bahkan setelah sampai di tempat duduk tadi pagi dia mengecek bukunya kembali, dan itu masih ada.
"Baiklah, akan segera kubawa ke gudang, Seonsengnim," ucapnya lesu sembari membawa tumpukan buku-buku lama hingga menutupi wajahnya. Kakinya melangkah ke luar dari ruang guru dengan susah payah.
"Perlu bantuan, bocah miskin." Suara gelak tawa memenuhi indera pendengarnya. Segera dia melihat gerombolan teman-teman sekelasnya yang tertawa mengejek tepat di hadapannya, saat dirinya berjalan menuju gudang belakang.
"Apa ini ulahmu, Lucas!" Sean menjatuhkan bukunya, hingga bunyi gedebuk yang cukup nyaring. Untung saja mereka sudah jauh dari ruangan guru.
"Melakukan apa? Kau jangan menuduh sembarangan, berani sekali kau menuduhku. Kau pikir kau itu siapa, dasar miskin!" ucap bocah bernama Lucas yang selalu melontarkan kata-kata pedas pada murid-murid kurang mampu di sini, terutama Sean yang selalu menjadi incaran pembullyan bocah tersebut. Apalagi Sean tak memiliki seorang ayah, tentu ia sasaran yang tepat untuk dibully.
"Kau pikir aku bodoh, bukuku hilang begitu saja. Aku masih melihatnya di dalam tas saat aku tiba di kelas," sungutnya.
Lucas bersama ketiga temannya tertawa remeh. Bocah jaman sekarang memang berbeda sekali dengan bocah di tahun awal 90an yang masih lugu. Mereka semua sudah berubah seiring berkembangnya tehnologi namun terlalu banyak sisi negatif yang muncul.
"Kalau iya, kau mau apa, huh." Bocah yang sepertinya adalah ketua dari 4 anak tersebut segera beranjak menghadang Sean. Tanpa ragu-ragu dia mencengkeram kerah seragam milik bocah bermarga Kim tersebut.
"Kau berani padaku? Dasar bocah miskin!" Dia berseru.
"Aku tidak takut padamu, pengecut yang hanya berani main keroyokan." Sean tertawa remeh.
"Berani sekali kau." Lucas mendorong tubuh Sean hingga terhempas ke tembok. Anak itu lalu maju melangkah ke depan, tangannya sudah terkepal siap menghajar wajah tampan milik Sean, namun tiba-tiba lengannya dicengkeram kuat oleh seorang bocah yang lebih tinggi darinya hingga kepalan tangannya menggantung di udara.
"Hentikan." Suara datar dengan nada menusuk mampir di telinga kedua bocah tersebut. Lucas lebih dulu mendecih emosi.
"Jangan ikut campur urusanku, Han Jimmy."
Krakk
"Arghhh!!! Sakit bodoh, lepaskan tanganku." Lucas menjerit saat tangan milik bocah bermarga Han tersebut memelintir lengannya.
"Pergi!"
Mendengar nada dingin dari mulut Jimmy, Lucas segera melepas cengkeramannya dari kerah seragam milik Sean dan pergi begitu saja diikuti ketiga temannya dengan wajah penuh emosi.
"Terima kasih," ucap Sean namun bocah itu hanya menatapnya datar dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Kenapa dia dingin sekali," gumam Sean sembari menggelengkan kepalanya. Padahal ia hanya ingin berterima kasih, tetapi bocah yang tak pernah bicara itu malah pergi begitu saja dengan wajahnya yang datar tanpa ekspresi.
****
Clarissa baru saja akan berjalan ke luar gedung tempatnya bekerja saat dia mendapati sosok office boy baru yang membuat dadanya berdebar hebat tengah berjongkok sembari mengotak-atik sepeda miliknya. Ingin dia menyapa, namun dia sendiri masih merasa takut, terlebih laki-laki itu tak banyak bicara. Apalagi, melihat wajah itu rasa rindu akan pria di masa lalunya semakin menjadi. Akan tetapi, dia tahu bahwa pria itu bukanlah seseorang di uang menjadi cinta pertamanya. Meskipun wajah itu serupa, tapi pria itu masihbsangatlah muda, lebih muda daripada dirinya.
Langkah Clair terlihat ragu-ragu, namun dia tetap saja berjalan ke arah laki-laki muda tersebut, bukan apa-apa dia hanya ingin menyapa.
"Kau sedang apa?" tanyanya ragu.
Pria itu segera menoleh dengan wajah datar khasnya. Sejenak, dia menatap Clair tajam, sebelum dia beralih fokus pada sepedanya kembali. "Rantainya lepas," ucapnya begitu singkat.
"Oh, mau aku panggilkan Pak Song, beliau bisa membantumu," tawar Clair.
"Tidak, ini sudah selesai," ucapnya sembari beranjak dan mencari tissu di dalam tas ranselnya.
"Baiklah, oh ya kenalkan namaku Clarissa Kim, kau sendiri."
Laki-laki itu tak segera menjawab. Dia lebih fokus membersihkan tangannya dengan tissu lalu menaiki sepedanya. Akan tetapi, dia kemudian menoleh. "Daniel." Hanya itu yang dia ucapkan sebelum kemudian menggoes sepedanya meninggalkan Clair dengan debaran di dadanya.
"Siapa kau, kenapa kau mirip sekali dengannya," desahnya.
Sementara itu tak jauh dari tempat Clair berdiri. Tepatnya di depan lobi, Andrew tengah memperhatikan wanita itu. Awalnya dia ingin mengajak perempuan bermarga Kim itu pulang bersama, namun dia urung karena melihat Clair tengah berbicara dengan Daniel, dan sesekali dia melirik ke arah lobi di mana presdir mereka berdiri di depan pintu masuk dengan mata fokus ke arah Clair

Book Comment (9)

  • avatar
    Simpati Telkomsel

    bagus

    14/07/2023

      0
  • avatar
    tedjo pramonofanny

    apa ada kelanjutannya nggak guys

    05/09/2022

      0
  • avatar
    VictoryFery

    bgs

    10/06/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters