logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Part 6. Nenek Zyl memiliki sikap kekanak - kanakan. Anin dengan sigap melayaninya. Sandiwara suami istri Anin dan Reivan dimulai

Nampak mobil sedan mewah bewarna putih. Memasuki area pintu gerbang pagar yang di jaga ketat oleh dua orang satpam. Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang. Dan, tepat berhenti di depan teras rumah yang megah bak istana. 
Terlihat dua orang wanita lanjut usia serta satu orang pemuda dewasa. Turun dari mobil tersebut. Mereka adalah, Nyonya, Nenek Zylvana, serta Reivan.
Lunar berlari kecil untuk segera menuju ke depan pintu. Tak ketinggalan Anin yang mengekor dari belakang. Lunar dan Anin kini telah berada di ambang pintu rumah. Keduanya nampak berdiri, untuk menyambut Nenek.
Raut wajah Nenek begitu senang tak kala memandang Anin dari kejauhan. Karena usianya yang sudah menua. Membuat langkah kakinya begitu lambat. Perasaannya begitu menggebu, untuk segera menghampiri Anin. Dan bercakap dengan menantu putrinya itu. 
"Ayo Nadia!" ajak Nenek bersemangat.
Nyonya hanya bisa tersenyum melihat tingkah Ibunya. Seraya terus menuntun tangan sang Ibu.
"Iya. Sabar Bu! Menantu Ibu takkan kemana - mana," sahut Nadia merasa lucu.
Sementara Reivan yang menunjukkan ekspresi biasa. Lebih banyak memilih diam. Ia merasa tidak tertarik, untuk terlalu banyak bersandiwara.
Begitu sampai di dekat Anin, yang menyambut dirinya dengan tersenyum. Nenek Zylvana langsung mencubit pipi gadis polos tersebut.
"Cucu Nenek cantik sekali ..." pujinya seraya menggoyang - goyangkan tangannya yang masih menempel di wajah Anin.
Anin menarik bibirnya, meringis kesakitan.
"Ibu, jangan seperti itu!" tegur Nyonya sungkan.
Nenek tertawa jahil. "sudahlah Nadia, jangan di ambil hati. Aku kan cuma bercanda," seru Nenek masih dengan gelak tawa. Sifatnya memang terkadang usil dan pecicilan seperti anak kecil. Dulu, Nenek tidak seperti itu. Namun setelah penyakit yang menggerogoti tubuhnya semakin meningkat. Ia menjadi rewel dan sangat manja.
"Iya, iya. Ibu …" sahut Nyonya pasrah seraya menggelengkan kepala.
"Ya sudah, ayo kita masuk! Tidak mungkin kita akan terus berdiri di sini," Nenek mengajak semuanya.
Sementara Lunar bergegas mengambil tas dan koper yang Nenek bawa. Untuk di masukan ke dalam rumah. Saat Nyonya, dan Nenek, serta Anin yang ingin melangkah masuk ke dalam. Reivan mendekati mereka. Mendadak Reivan mengulurkan tangannya ke arah Nenek. Ia ingin pamit untuk kembali bekerja ke kantor. Ia merasa hari itu tugasnya sudah selesai untuk menjemput Neneknya secara langsung.
"Nek, Reivan pergi dulu ya. Reivan sibuk. Banyak sekali pekerjaan yang harus segera Reivan selesaikan di kantor," ucapnya seraya membungkukkan badandi hadapan Neneknya.
Nenek mengernyit. "apa yang kamu bilang Reivan. Nenekmu baru saja datang. Kamu langsung ingin pergi. Lagi pula kamu itu masih pengantin baru," sahut Nenek keberatan.
"Bukan begitu Nek, tapi Reivan benar -benar sibuk," jelas Reivan beralasan. Ia mencium punggung tangan Neneknya dan bergegas pergi. Ia tak mau mendengar ocehan Neneknya lagi.
Melihat perilaku Reivan yang pergi seenaknya, tanpa pamit pada Anin yang kini menjadi istrinya. Membuat Nenek geram. "Reivan!" panggil Nenek berteriak.
Hal itu membuat Nyonya dan Anin menjadi cemas. Beruntung Reivan mau menghentikan langkahnya. Ia pun menoleh ke belakang.
"Ada apa lagi Nek?" sahut Reivan ketus.
"Kamu melupakan sesuatu," jawab Nenek sedikit emosi.
"Apa? Bukankah tadi Reivan sudah meminta izin pada Nenek," protes Reivan gusar.
"Benar. Tapi kamu hanya pamit sama Nenek. Kamu tidak berpamitan dengan istrimu. Kalian itu pengantin baru. Jangan sungkan untuk bertingkah romantis di hadapan Nenek," jelas Nenek menggoda.
Nyonya yang sangat mengerti dengan situasi tersebut, segera bertindak. Ia melirikan matanya kepada Anin dan Reivan. Untuk bertingkah layaknya pasangan yang sesungguhnya. Agar Nenek tidak curiga.
Dengan langkah berat, akhirnya Reivan pun menghampiri Anin. Dengan senyum yang di paksakan. "sayang, aku pamit kerja dulu ya, kamu baik - baik di rumah. Jangan lupa jaga Nenek …" ucap Reivan seraya membelai rambut Anin.
Anin membalasnya dengan tersenyum kaku. Ia benar - benar tak percaya kalau Reivan tadi memanggilnya dengan sebutan sayang. Nenek yang mengamati mereka tersenyum bahagia. "nah begitu dong!" serunya sumringah.
Untuk menghindari kerewelan Ibunya itu, Nyonya pun segera mengajak Nenek untuk segera beristirahat. Kalau tidak ia akan terus mengeluh. Dan membuat Reivan merasa bosan dan terbebani. Karena Nyonya tahu betul, semua yang Reivan lakukan hanya sebatas baktinya pada orang tua. Masa lalu Reivan yang kelam. Membuat Reivan tak terlalu ingin mengenal sosok wanita lebih dalam. Siapa pun itu. Hal itulah yang menjadikan dirinya terlalu sensitif dan selektif untuk urusan percintaan.
Selepas Reivan pergi Nyonya memberikan kode ke Lunar, untuk segera mengantarkan Ibunya itu ke ruang kamar. Ia ingin Ibunya beristirahat usai melakukan perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan.
Lunar yang paham langsung mengambil tas dan koper Nenek. Melihat Lunar yang terlalu buru - buru mengantar barang - barangnya ke kamar. Membuat Nenek kembali mengeluarkan celotehannya. "hei Lunar! Apa yang kamu lakukan. Aku tidak ingin cepat-cepat beristirahat. Aku belum berbincang dengan Cucuku yang manis ini," hela Nenek mencegat.
"Ibu … Ibu harus istirahat. Kesehatan Ibu itu lebih penting dari apa pun," nasihat Nyonya cemas.
"Ya, aku akan istirahat ke kamarku. Tapi aku tidak ingin Lunar yang mengantarku, aku ingin Cucuku yang mengantar," rengek Nenek meminta.
Seperti yang telah di arahkan Nyonya, sebelum kedatangan Nenek. Anin harus benar - benar melayani Nenek Zyl dengan baik. Dengan sigap, Anin pun menuntun sang Nenek untuk di antar ke kamarnya.
"Ayo, Nek. Sini Anin antar," ucap Anin dengan senang hati seraya meraih tangan Nenek lembut.
Nenek tersenyum hangat dan menurut.
Sementara Lunar menyusul Anin dan Nenek, untuk membawakan tas dan koper yang berisi baju - baju Nenek.
Sebelum Lunar menyusul mereka, sang Nyonya dengan cepat mencegatnya.
"Lunar," panggil Nyonya dengan wajah panik.
"Ada apa Nyonya?" sahut Lunar patuh.
"Saya minta, sebelum kamu mengantar barang milik Ibu saya. Cepat! Kamu ke kamar Reivan terlebih dahulu. Benahi kamar itu. Buat seolah kamar tersebut terlihat seperti kamar suami dan istri. Jangan lupa, pindahkan juga semua baju milik Anin ke kamar Reivan. Saya yakin setelah ini Ibu akan memeriksa kamar Reivan," jelas Nyonya dengan wajah gelisah.
"Baik Nyonya," jawab Lunar cepat.
Ia pun segera menuruti perintah Nyonya, untuk membenahi kamar Anin dan Reivan terlebih dahulu.
Anin sudah sampai mengantar Nenek Zyl ke kamarnya. Anin menuntun sang Nenek hingga masuk ke dalam kamar. 
Ia membantu Nenek untuk duduk bersandar di atas ranjang. Dan menyelipkan bantal di belakang punggung Nenek Zyl. Nenek sangat gembira atas perhatian yang Anin berikan.
"Istri Reivan, kamu sangat baik dan manis," puji Nenek seraya memegang lembut dagu Anin.
Anin tersenyum malu. Pipinya terlihat merona merah jambu. "terimakasih Nek, sudah kewajiban saya untuk selalu menjaga dan melayani Nenek," jawab Anin terenyuh.
"Apa kamu sibuk?" tanya Nenek ingin tahu.
Anin menggeleng. "tidak Nek, apa Nenek perlu sesuatu?" tawar Anin heran.
Nenek tersenyum tipis. "tidak, Nenek tidak butuh sesuatu. Duduklah di sampingku sebentar …" pinta Nenek pada Anin yang sedari tadi berdiri.
Anin pun menuruti apa yang dikatakan Nenek Zyl. Nenek menatap Anin dalam. Ia sangat penasaran dengan sosok Anin.
"Maaf Nenek mengganggu waktumu. Kita belum berkenalan," ungkap Nenek datar.
"Tak apa Nek," sahut Anin menunduk. Anin memang begitu pemalu.
"Siapa nama kamu?" tanya Nenek penasaran.
"Anin Nek. Anindya Putri," ucap Anin polos.
"Nama yang bagus," Nenek memuji lagi.
"Boleh Nenek tahu sesuatu?" tanya Nenek dengan nada serius.
"Boleh. Apa itu Nek?" tanya Anin kembali heran.
"Sejak kapan Kamu mengenal Reivan, kenapa Kamu mau menikah dengannya?" tanya Nenek beruntun. Ia menatap Anin selidik.
Deg. Jantung Anin berdebar hebat, dan tubuhnya merasa lemas. Setelah, pertanyaan itu keluar dari mulut Nenek. Ia bingung bagaimana harus menjawab.
"Apa yang harus ku katakan," batinnya gelisah. Ia masih terdiam, dan tertunduk lesu. 
Melihat Anin yang  hanya termangu. Membuat Nenek menganggap kalau Anin malu atas pertanyaan yang di lontarkannya.
"Maaf kalau pertanyaan Nenek terlalu pribadi dan mengganggu perasaanmu," ucap Nenek merasa bersalah.
Anin menggeleng. "tidak, Nek! Pertanyaan Nenek sama sekali tak mengganggu," sahut Anin berkilah.
"Ya sudah tak apa kalau Kamu tak mau menjawab," balas Nenek paham.
Tak berapa lama kemudian datanglah sang Nyonya, yang menguntit percakapan mereka dari luar kamar. 
Di susul Lunar, dengan koper dan tas yang memenuhi kedua tangannya. 
"Ibuu," panggil Nyonya tiba - tiba. Yang nampak berdiri di depan pintu kamar. Ia pun melangkah masuk, mendekati Anin dan Ibunya serta ikut duduk di antara mereka.
"Kalian terlalu asik mengobrol. Sampai - sampai Ibu lupa kalau sudah waktunya Ibu harus beristirahat," ucap Nyonya prihatin.
Nenek terkekeh menyadari sikapnya yang kekanak - kanakan.
"Aku hanya ingin mengenal Anindya lebih jauh Nadia. Apa itu salah?" ucap Nenek seraya memajukan bibirnya. Ia terlihat merajuk.
"Bukan begitu Ibu. Kan, bisa mengobrolnya nanti. Sekarang Ibu benar -benar harus istirahat!" mohon Nadia yang begitu mengkhawatirkan kesehatan Ibunya.
"Baiklah! Kalau Kamu memaksa, Ibu akan istirahat," sahut Nenek Zyl. Seraya membaringkan tubuhnya ke atas kasur dan menarik selimut hingga dada.
Nyonya hanya tersenyum datar melihat tingkah Ibunya. Ketiganya pun, bergegas  pergi meninggalkan kamar Nenek. Dan, Nyonya mengajak Anin, untuk segera menuju ke kamar Reivan.
Perasaan Anin campur aduk, saat tiba di kamar tersebut. Benar saja, Lunar telah menyulap kamar itu menjadi kamar sepasang pengantin dengan nuansa yang cukup romantis. Nyonya yang berdiri di samping Anin, juga terlihat sibuk mengamati kamar itu.
"Bagus! Lunar telah mengerjakan tugasnya dengan baik," ungkap Nyonya bangga.
Berbeda dengan Anin, yang merasa pikirannya kacau. Hatinya begitu resah,  membayangkan jikalau malam tiba.
"Bagaimana, apa kamu suka?" Nyonya melemparkan pertanyaan.
Anin tak bisa membohongi dirinya. Kalau ia saat ini benar - benar merasa gundah. Karena harus tidur satu kamar dengan Reivan. 
Anin menggigit bibir bawahnya, ia berusaha untuk bisa menjawab pertanyaan Nyonya.
"Bagus Mah," sahut Anin singkat.
"Ingat! Karena Nenek sudah ada di sini. Mulai hari ini kamulah yang menjadi Ratu di kamar ini," tegas Nyonya seraya berlalu meninggalkan Anin.
Sementara Anin hanya diam mematung.
 

Book Comment (138)

  • avatar
    LimHyeRie

    akhirnya happy ending setelah menanti kelanjutan ceritanya

    09/04/2022

      0
  • avatar
    AbidinZainal

    gratis

    18d

      0
  • avatar
    Grace Onthoni

    mantap

    22/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters