logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Part. 43 Penyesalan

Saat Lunar terus berusaha megingat. Tenaga medis yang bertugas menangani Anin datang menghampiri keduanya. Karena transfusi darah telah selesai di lakukan. Lunar tercegat dari lamunan dan ingatannya.
"Transfusinya sudah selesai Bu, Ibu bisa kembali keluar," jelas Perawat yang menanganinya.
Lunar pun keluar dari ruang ICU, karena Anin harus kembali menjalani perawatan intensif.
Saat ia keluar dari ruangan tersebut. Ia kembali tercenung. Wajahnya tampak menunduk, dan pikirannya hanya tertuju pada tanda lahir yang ada di lengan Anin. Hatinya bertanya - tanya, dan menduga - duga.
"Mungkinkah Anin adalah putriku, yang dulu ku tinggalkan?" jerit batinnya bergejolak.
"Ah tak mungkin!" pekik Lunar lagi dalam hati.
Yang lainnya menyambut Lunar, dengan raut wajah penuh suka cita. Mereka bangga pada Lunar. Yang mau berbesar hati, mendonorkan darahnya untuk Anin.
"Lunar terimakasih, atas pertolongan yang Kamu berikan," ungkap Nenek kagum.
"Iya, kami tak kan pernah melupakan apa yang telah Kamu lakukan hari ini," sambung Nyonya haru.
Lunar yang terlihat pucat, hanya bisa tersenyum simpul. Hatinya merasa galau, dan pikirannya saat ini tengah berkecamuk. Harapannya begitu besar, kalau Anin adalah memang benar putrinya.
Di sebuah rumah kosong, pria misterius yang menabrak lari Anin. Mengamuk histeris. Ia meporak - porandakan, dan melemparkan benda apa saja yang ada di dalam rumah tersebut. Hatinya kesal bukan kepalang. Karena, ia telah gagal mencelakai Reivan. Berulang kali, ia memukul meja, menjatuhkan beberapa barang hingga pecah, serta menampari dinding dengan tangannya.
"Sial! Kenapa harus wanita itu? Kenapa bukan Reivan, yang sangat ku benci …" ungkapnya dengan tangan mengepal.
"Harusnya Aku bisa! Harusnya malam ini Aku berhasil melenyapkannya!" jeritnya dengan wajah penuh amarah yang bertubi.
Ia lalu tertawa terbahak - bahak. Namun terdengar getir. Karena hatinya di penuhi dengan rasa dendam dan kepedihan.
"Jangan menyerah Damar! Kamu pasti bisa! Ya, Aku bisa …" ungkapnya kembali meyakinkan diri. Dengan gelak tawa yang menggelegar.
Seminggu kemudian. Anin masih di rawat di rumah sakit. Tetapi, kondisinya sudah mulai membaik. Anin sudah sadar. Ia terlihat sehat, namun belum sembuh total.
Ia terlihat, tengah menyandarkan punggungnya di tepian ranjang yang dilapisi dengan bantal. Kepalanya masih terikat kain perban.
Senyum manis dan wajah ceria terpampang jelas di wajahnya. Saat ini, ia tengah bersama dengan Lunar. Lunar yang selalu setia, menjaga dan menemaninya di rumah sakit. Sesekali Reivan, yang menjaganya kala malam tiba. Sedangkan Nyonya harus, merawat Nenek di rumah. Karena pasca kecelakaan yang menimpa Anin, kondisi kesehatan Nenek Zyl menurun kembali.
Pagi itu, Lunar terlihat menyuapi Anin sarapan bubur.
"Makan yang banyak, biar cepat sembuh …" tukas Lunar seraya menyuapi Anin dengan penuh kasih sayang. Wajahnya tampak begitu sumringah. Ikatan batin di antara keduanya, semakin kuat terjalin.
Anin yang merasa diperhatikan, begitu bahagia. Ia seolah menemukan kasih sayang seorang Ibu, yang tidak pernah ia dapatkan.
Anin meraih tangan Lunar, ia menggenggamnya lembut. "Ibu, terimakasih atas segala perlakuan yang Ibu berikan. Anin janji, Anin tidak akan pernah melupakan kebaikan Ibu," tukasnya dengan penuh hayat.
Lunar tersenyum lebar, sembari terus menyuapi Anin. "tak apa Nak, ini sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab Ibu. Ibu sudah menanggap Kamu sebagai putri Ibu sendiri."
Anin tersentuh mendengarnya. Dengan senyum bahagia, Anin memeluk Lunar erat. Lunar membalas pelukan gadis itu. Dadanya bergetar hebat. Hatinya
merasa ada magnet yang selalu ingin menariknya, dekat dengan gadis tersebut. Ia merasa nyaman dipelukan Anin.
Suasana hangat tersebut, mendadak terganggu karena terdengar suara seseorang. Dari ambang pintu.
"Ergh … erghheem …"
Keduanya berhenti berpelukan. Dan bersamaan menoleh ke arah depan pintu. Untuk melihat siapa yang berkunjung.
Betapa bahagianya, hati Anin. Melihat sosok tampan Reivan. Ia terlihat menggunakan jas, atau setelan kerjanya.
"Reivan!" panggil Lunar kaget.
Reivan terlihat melangkah menghampiri keduanya.
"Tuan, kenapa Tuan kesini? Apa Tuan tidak bekerja?" tanya Anin dengan raut wajah gembira.
"Tadinya Aku pikir, Aku ingin langsung pergi ke kantor. Tapi di tengah jalan, mendadak Aku ingin ke sini. Aku ingin mengajakmu jalan - jalan di sekitar taman di sini. Apa Kamu tidak keberatan?" tanya Reivan dengan wajah tulus.
Pipi Anin, tampak merah merona. Ia sangat tersipu malu.
Lunar ikut tersenyum, menampaki wajah gadis itu.
Anin dan Reivan, tampak berjalan - jalan di taman. Menggunakan kursi roda, yang di dorong oleh Reivan. Mereka berdua melihat - lihat, pekarangan taman bunga rumah sakit tersebut.
"Tuan," panggil Anin lembut.
"Ya," sahut Reivan hangat. Seraya terus melangkah pelan, sambil mendorong Anin yang duduk di kursi roda.
"Maaf …" ungkap Anin dengan nada memelas.
"Maaf, maaf untuk apa?" tanya Reivan heran.
"Maaf kalau Saya merepotkan Tuan," jawab Anin polos.
Reivan tertawa geli. Mereka lalu berhenti di bawah pohon yang rindang. Yang menaungi mereka dari terik mentari pagi.
Reivan melangkah ke depan, ia berlutut di hadapan Anin agar posisi mereka sejajar. Reivan menatap Anin lekat, sejak beberapa hari yang lalu. Ia memang sudah mulai jatuh dengan gadis tersebut. Namun, Reivan belum bisa mengatakan itu adalah cinta. Karena separuh hatinya yang masih retak.
Anin menunduk, menutupi wajah malunya. Ia tak sanggup, balas menatap pria yang sudah lama menjadi idaman hatinya itu.

Book Comment (138)

  • avatar
    LimHyeRie

    akhirnya happy ending setelah menanti kelanjutan ceritanya

    09/04/2022

      0
  • avatar
    AbidinZainal

    gratis

    15d

      0
  • avatar
    Grace Onthoni

    mantap

    22/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters