logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Part 3. Anin lolos menjadi calon 'Menantu Kontrak' sang Nyonya. Reivan salah paham dengannya.

Nyonya tersebut berdiri tepat di hadapan Anin. Ia menggenggam erat kedua pundak Anin. Dan menatap Anin begitu lekat. "Saya memilihmu, karena saya percaya denganmu. Dan, Kamu bisa menyimpan rahasia ini. Tenang saja Reivan lelaki yang baik. Dia akan menuruti apa perkataan Saya. Dan selama pernikahan kontrak kalian Saya pastikan dia tidak akan menyentuhmu. Bagaimana, apa Kamu bersedia?"
"Saya bersedia Nyonya," sahut Anin mantap.
Nyonya mengulas senyum lebar. "Terimakasih, kamu telah mau menjadi menantu kontrak Saya. Saya berjanji selesai kontrak pernikahan kamu dan Reivan Saya akan memberikan imbalan setimpal atas bantuan yang kamu lakukan", ucapnya seraya menitikkan air mata.
Anin menatap sedih wanita paruh baya tersebut. Hatinya yang tulus, tak mengharap imbalan. Ia hanya ingin membantu keluarga tersebut atas dasar kemanusiaan. Walaupun ia tahu keluarga tersebut kaya raya.
Nyonya mengusap air matanya. Ia kembali mengulas senyumnya. "Sudahlah Saya terlalu terbawa suasana, sehingga Saya tidak bisa mengendalikan perasaan Saya."
Anin balas tersenyum. "tak apa Nyonya. Saya mengerti apa yang Nyonya rasakan."
"Sebaiknya kamu beristirahat. Kamu pasti sangat lelah. Saya akan suruh Lunar, untuk mengantar kamu ke kamar tamu."
"Ya," sahut Anin singkat.
Sang Nyonya memanggil Lunar menggunakan telepon rumah yang ada di kamarnya. Rumah tersebut sangatlah besar, bak istana. Sehingga di setiap sudut ruangan terpasang telepon yang di gunakan untuk memanggil semua para pelayan.
"Maaf Nyonya, kalau boleh Saya tahu Nyonya Lunar itu siapa?" tanya Anin yang masih penasaran.
"Dia adalah kepala pelayan di rumah ini. Dia yang paling di percaya. Karena sudah berpuluh - puluh tahun lebih ia mengabdi di rumah ini. Waktu dia pertama kali datang ke rumah ini, usianya lebih muda dari pada kamu."
"Oh begitu, maafkan saya yang terlalu banyak bertanya," ucap Anin tak nyaman.
"Tidak apa-apa. Itu hal wajar, karena kamu masih terlalu baru di sini," sahut Nyonya maklum.
Tak berapa lama Lunar pun datang. Ia mengetuk pintu pelan. "Permisi, ada apa Nyonya?" ucap Lunar yang sudah berdiri di depan pintu.
"Tolong kamu antar Anin ke kamarnya. Biarkan dia beristirahat ..." perintah Nyonya lembut.
"Baik Nyonya," ucap Lunar patuh.
"Mari Nona," ajak Lunar ramah. Mereka berdua pun keluar dari ruang kamar Nyonya tersebut. Selanjutnya berjalan melangkah menuju kamar tamu. Sesampainya di kamar tamu, Lunar mempersilahkan Anin untuk segera masuk.
"Sementara Nona di sini, Nona bisa tidur dan istirahat di sini. Kalau Nona butuh sesuatu silahkan hubungi saya", ucap Lunar membeberkan.
Anin mengangguk, "Ya terimakasih," sahut Anin senang. Setelah mengantar Anin Lunar segera pergi meninggalkan Anin sendiri di kamar tersebut. Namun tanpa di duga Anin mencegatnya.
"Tunggu!" ucap Anin mengejutkan.
Lunar pun berbalik menoleh ke arahnya. Ia terpaksa menghentikan langkahnya. "Iya, ada apa Nona. Kamu perlu sesuatu?" tanya Lunar dengan raut wajah khawatir.
Anin menggeleng. "tidak. Sebenarnya saya tidak butuh sesuatu. Tapi apakah Anda bersedia meluangkan waktu Anda sebentar?"
Lunar melepas senyumnya. "iya, boleh saja. Memangnya ada apa ..." tanyanya merasa heran.
Raut wajah Anin, menjadi berubah. Pipinya memerah, dan terlihat bersemu. Lunar yang melihat raut wajah Anin seperti itu menjadi penasaran. Ia menerka - nerka apa yang sedang ada di pikiran gadis manis tersebut.
"Emm ..." ucap Anin malu - malu seraya menunduk.
Lunar tertawa kecil, melihat tingkah Anin. Ia mengangkat dagu Anin lembut dan menatap Anin dengan penuh kasih sayang. "Ayo bicaralah, jangan sungkan," ucap Lunar meyakinkan.
"Saya dengar dari Nyonya kalau Ibu sudah puluhan tahun bekerja di rumah ini. Maaf boleh saya memanggil anda Ibu?" tanya Anin canggung.
"Tentu saja boleh," jawab Lunar senang.
"Kalau begitu Ibu pasti tahu, tentang Pak Reivan ..." ucap Anin terus terang.
Mendengar nama Reivan, Lunar menjadi merasa geli. Akhirnya ia paham apa yang ingin di tanyakan gadis tersebut. "Oh Nak Reivan," sahutnya sedikit tertawa.
Dan Anin pun semakin bertambah malu.
"Maaf kalau pertanyaan Saya mungkin sedikit aneh," ucap Anin salah tingkah.
Lunar membelai lembut rambut panjang Anin. Ia menatap Anin dengan penuh perhatian. Melihat Anin, yang kini ada di hadapannya. Ia jadi teringat, anak perempuannya dulu saat ia masih kecil. Lunar terpaksa meninggalkan anak gadisnya itu karena peristiwa yang begitu menyakitkan. Ia di fitnah dan ia di usir oleh Ibu mertuanya sendiri dari rumah. Kalau saja, saat ini ia masih bersama keluarganya. Mungkin anak perempuannya itu kini telah beranjak remaja seusia dengan Anin.
"Tak apa Nona menanyakan tentang Nak Reivan. Itu pertanyaan yang wajar. Nak Reivan, usianya mungkin lebih tua dari pada kamu. Dia pria yang baik, dan supel. Dia bertanggung jawab, dan bijak seperti Nyonya. Tetapi dalam hal apapun, Nak Reivan sangat selektif. Sedari kecil dia memang seperti itu cenderung pemilih," jelas Lunar detail.
Anin terdiam ia hanya manggut -manggut.
Lunar menatap Anin dengan keibaan. "Bagaimana, ada lagi yang ingin kamu tanyakan?" tawar Lunar lagi.
Anin menggeleng, "Tidak Bu! Saya rasa cukup," sahut Anin mengerti.
"Ya sudah, saya permisi dulu. Jangan sungkan untuk meminta bantuan kalau butuh sesuatu," pesan Lunar mengingatkan seraya menatap Anin tersenyum dan membelai lembut wajah Anin.
"Ya Bu," sahut Anin singkat. Lunar pun melangkah keluar dari ruang kamar tersebut meninggalkan Anin sendirian.
Sepeninggal Lunar, Anin mengedarkan pandangannya ke segala sudut ruang kamar tersebut. Anin mengamati satu-persatu benda-benda yang ada di ruangan itu. Entah mimpi apa ia semalam, semuanya nampak begitu indah dan tak nyata baginya. Kamar yang cukup luas, ranjang mewah, semua itu terasa mimpi baginya. Anin bahagia, ia merasa sangat bersyukur dengan takdir yang ia jalani kini. Dengan hati yang penuh bunga, Anin segera menikmati kemegahan dan kesenangan dalam hidupnya kini. Ia pun menghempaskan dirinya ke atas kasur yang begitu empuk. Rasa lelah yang menimpanya tadi seolah terbayarkan. Sembari menutup mata. Anin terlarut dalam kenyamanan. Belum lima menit ia menikmati waktu istirahatnya. Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar suara seseorang dari luar.
Suara itu, seperti suara seorang pria.
Anin yang penasaran, mengurungkan niatnya untuk berbaring. Ia beranjak dari kasur tersebut, dan melangkah menuju ke depan pintu. Sembari menempelkan telinganya, ke dinding. Karena memang jarak kamarnya begitu dekat dengan ruang tamu.
"Siang Bik," sapa pemuda itu hangat.
"Siang Nak Reivan. Tumben kok pulang lebih awal? Biasanya juga sore," sahut Lunar yang sedari tadi masih berada di sekitar ruang tamu.
"Tadi, Mamah telpon katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Jadi Aku pulang lebih awal Bik," jawab Reivan sang pemuda tersebut.
Lunar tersenyum, "Nyonya memang tak sabar."
"Maksud Bibi?" tanya Reivan heran.
"Sudah! Mending Kamu temui Nyonya sana ..." balas Lunar dengan senyum lebar.
Deg.
"Tuan Reivan? Dia sudah datang ..." batin Anin sedikit gugup. Setelah menguping percakapan dari balik dinding kamar tersebut.
"Dan Nyonya sekarang akan berbicara dengannya. Untuk pernikahan kami, secepat itu?" terka Anin dalam benaknya.
Di ruang kamar Nyonya.
"Siang Mah," sapa Reivan seraya membuka pintu kamar. Sang Nyonya pun menoleh. "Siang sayang," balas Ibunya menatap Reivan tersenyum. Seraya meletakkan buku yang baru saja ia baca ke atas meja. Serta melepaskan kacamatanya. Reivan menghampiri Ibunya dan duduk di sampingnya. "Ada apa Ma?" tanya Reivan dengan nada serius.
"Masih bersangkutan dengan Nenek kamu. Reivan, Mamah sudah menemukan seorang gadis yang tepat untuk kamu nikahi," jelas sang Nyonya.
"Dia persis seperti sosok gadis yang Nenek kamu inginkan," imbuh Nyonya lagi.
Mendengarnya Reivan sedikit terkejut. Ia tak menyangka Ibunya akan menemukan sosok gadis yang di inginkan Neneknya secepat itu.
"Mamah yakin dia gadis yang tepat?" ungkap Reivan ragu.
Nyonya mengangguk, "Iya sayang Mamah yakin. Dia sekarang sudah di rumah kita. Mamah akan kenalkan kalian saat makan malam nanti."
"Oke Mah, semuanya terserah sama Mamah. Apapun itu mungkin memang dia yang terbaik," ungkap Reivan pasrah.
Setelah percakapannya dengan sang Ibu. Reivan pun, keluar dari kamar Ibunya dengan perasaan sedikit tegang. Sebenarnya ia sangat - sangat tidak siap. Namun, ia tak punya pilihan lagi. "Entah gadis seperti apa yang di pilih Mamah," batin Reivan gusar seraya melangkah menuju kamarnya.
Sore hari...
Anin yang sedari tadi tidur nyenyak, akhirnya terbangun. Ia menggeliatkan tubuhnya dan mengangkat kedua tangannya. Perlahan, Anin mulai membuka matanya. Rasa curiganya, yang masih merasa asing dengan rumah tersebut. Membuatnya mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang kamar tidur tersebut. Kali saja ada orang yang datang benaknya. Tak terlihat siapa pun. Hanya ada dirinya sendiri. Anin pun memutuskan untuk beranjak dari tempat tidur tersebut dan memilih untuk mandi. Tetapi tiba-tiba pikirannya teralihkan saat pertama kali ia datang ke rumah itu. Ia melihat halaman samping, yang begitu luas. Yaitu sebuah kebun bunga yang di sulap menjadi sebuah taman. Sangat indah. Anin tergoda untuk berjalan-jalan ke tempat itu. Ia pun mengurungkan niatnya untuk mandi. Dan memutuskan keluar kamar, untuk menuju taman tersebut. Dengan niat merileksasi hati dan pikirannya. Memang perasaan Anin saat ini tengah resah dan cemas.
Ia pun berjalan melangkah, hingga menuju taman. Anin begitu takjub dengan kebun bunga yang kini ada di depan matanya. Wangi aroma bunga semerbak, menusuk indra penciumannya. Udaranya begitu segar, meski sore hari. Anin tertarik untuk menciumi bunga-bunga tersebut satu-persatu. Gadis lugu nan polos ini, begitu terbuai dengan keindahan dan kenyamanan taman itu. Ia sangat menikmatinya. Membuatnya merasa betah berlama - lama tempat tersebut.
Sementara Reivan yang sedari tadi juga berada di rumah. Meluangkan waktunya sejenak untuk melakukan olahraga nge-gym. Ia terbiasa melakukannya di sela-sela kesibukannya bekerja. Ia melakukan kegiatan tersebut di ruang kamarnya, yang memang sudah di fasilitasi berbagai macam benda-benda untuk kebutuhan pria dewasa sepertinya. Sama seperti Nyonya dan Tuan. Kamar Reivan terletak di lantai atas. Dengan jendela kaca yang cukup besar. Jendela tersebut sengaja dibuat agar mereka dapat menikmati pemandangan taman bunga yang memang di buat menghadap ke arah samping ruang kamar.
Puas berolahraga membuat Reivan cukup kelelahan. Dan menimbulkan rasa dahaga. Reivan pun berjalan menuju dekat jendela kaca di kamarnya, di mana di sudut samping jendela tersebut ada sebuah meja yang di gunakan untuk meletakkan botol air minum dan cemilan. Reivan mengambil botol air minum tersebut, untuk membasahi tenggorokannya.
Selagi ia minum, tanpa sengaja pandangannya mengarah ke kebun. Ia kaget ketika melihat seorang gadis yang berparas cantik, dengan rambut panjang, berkulit putih, dan bertubuh mungil. Berada di tengah - tengah area kebun bunga tersebut. Kejadian itu membuat Reivan tersedak dan bajunya menjadi basah terkena tumpahan air. "Siapa dia!?" teriak batin Reivan penasaran.
"Apa dia mau mencuri?" ucapnya emosi. Rasa geram dan penasaran pun, membuat Reivan memutuskan untuk segera keluar dari kamarnya. Dan memutuskan untuk turun menemui gadis yang tadi ia lihat.

Book Comment (138)

  • avatar
    LimHyeRie

    akhirnya happy ending setelah menanti kelanjutan ceritanya

    09/04/2022

      0
  • avatar
    AbidinZainal

    gratis

    18d

      0
  • avatar
    Grace Onthoni

    mantap

    22/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters