logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

MENANTU KONTRAK

MENANTU KONTRAK

Aulia Nur


Part 1. Anindya di usir dari rumah. Oleh Ibu tirinya. Tanpa sengaja, saat ia tengah berjalan ia menemukan selebaran.

"Pergi Kamu!" bentak wanita yang berdandan cukup menor tersebut. Alisnya yang cekung, serta warna lipstik semerah darah. Semakin membuat kesan gahar dan kejam dari raut wajahnya yang sudah tak muda lagi. Ia terlihat berdiri, di depan sebuah pintu rumah yang memang nampak tidak terlalu besar. Satu tangannya melemparkan sebuah tas keluar  dari halaman rumah. Sedangkan tangan yang lainnya menyeret paksa dengan kasar. Tangan seorang gadis manis yang terlihat lebih muda darinya. 
Gadis itu, menangis sembari terisak -isak. Tubuhnya terseok - seok, karena perlakuan wanita itu. Ia jatuh tersungkur di kaki wanita jahat, yang di kenal dengan sebutan Ibu tirinya.
"Cepat, pergi dari sini!" teriaknya kembali.
Dengan mata melotot dan berkacak pinggang.
Gadis malang itu menangis semakin keras. Dan berlutut memohon kepada Ibu tirinya itu, agar ia tidak di usir dari rumah. Dengan mengatupkan kedua tangannya, dan menundukkan wajahnya ia memelas. 
"Hikss ... hiks … Ibu! Jangan u_sir Anin dari si_ni," rintihnya lirih sembari tergagap.
"Kalau Anin tidak tinggal di sini, Anin harus kemana Bu? Anin sudah tidak punya tempat tinggal …" ucapnya sedih dengan air mata yang terus mengalir deras.
Ibu tiri yang angkuh ini, seolah tak menggubris perkataan Anin. Ia malah semakin menjadi - jadi untuk segera menyingkirkan Anin dari rumah.
Dengan mata yang berapi - api, ia kembali berteriak keras dengan nada marah.
"Terserah! Kamu mau tinggal dimana. Itu bukan urusan Saya, Saya tidak peduli denganmu! Karena rumah ini sekarang milik saya, dan kamu tidak berhak untuk terus menetap di sini …"
Dengan segala harapan dan kekuatan yang tersisa. Anin pasrah meratapi nasibnya. Mau tak mau ia harus pergi meninggalkan rumah peninggalan Ayahnya tersebut. Dengan perasaan tegar ia meraih tas besar yang sedari tadi terletak di samping, tubuhnya yang mungil. Ia mencoba berdiri dan berusaha untuk tetap kuat. Sambil menyapu air mata yang ada di pipinya. Ia ingat pesan dari Ayahnya, apapun yang terjadi nanti ketika Ayah telah tiada Anin harus tetap semangat untuk melanjutkan hidup.
Dengan mata yang berkaca - kaca, ia menatap Ibu tirinya. Dan berdiri di hadapannya.
"Baiklah Bu, Anin akan pergi dari sini. Anin yakin Tuhan tidak tidur dan Tuhan pasti akan menolong Anin."
Ia berhenti menangis. Anin mencoba mengumpulkan semangatnya kembali. Ia berusaha membuktikan kepada Ibu tirinya itu, kalau ia bukanlah gadis yang lemah.
Melihat tingkah Anin tersebut, Ibu tirinya menjadi semakin geram. Ia memajukan kedua bibirnya.
"Ah sudahlah! Kamu tidak usah sok tegar begitu. Saya tahu kamu hanya pura -pura, sudah pergi sana saya muak melihat mukamu …" celotehnya bengis.
Tanpa satu  patah kata pun, akhirnya Anin pergi meninggalkan rumahnya tersebut. Meski dengan langkah berat, karena terlalu banyak kenangan yang ia miliki. Saat ia masih bersama Ayahnya dulu.
Ia pun melangkah dengan gontai. Entah kemana ia akan menuju, semuanya hanya bisa ia pasrahkan kepada Tuhan. Jauh dalam lubuk hatinya seberkas cahaya itu akan muncul meski saat ini hidupnya terasa gelap gulita.
Tanpa terasa ia telah jauh meninggalkan rumah. Anin kini berada di pinggir jalan raya besar meniti langkah demi langkah seraya melawan teriknya matahari. Lelah dan letih sudah pasti ia rasakan.
Bunyi hiruk pikuk dan suara bising mesin kendaraan di jalan raya. Menemani langkah demi langkah kaki Anin, yang beralaskan sepatu sendal tipis berwarna coklat muda. Dengan penuh asa, sembari menenteng tas besar ia terus berjalan di pinggiran trotoar jalan tersebut.
Terik matahari menerpa kulitnya yang putih ranum. Membuat tetesan peluh mengucur dari kening hingga lehernya. Sesekali ia kembali meneteskan air mata. Dengan wajah lesu, ia terus berjalan.
"Oh Tuhan, kemana aku harus pergi? Aku sudah tidak punya siapa - siapa lagi di dunia ini selain Ayah, yang sudah meninggalkanku," keluh batinnya pilu.
Rasa putus asa dan kebingungan, kini menyergap dirinya. Anin tak tahu harus apa. Hanya do'a yang bisa terus ia panjatkan di dalam hatinya. Sudah hampir satu jam ia berjalan. Di tengah kegundahan hatinya, hanya ada satu nama yang kini terbesit dalam benaknya. Yaitu Laras, teman waktu ia SMP dahulu. Anin pun mencoba menghubunginya melalui handphone jadulnya. Yang ia beli dari uang yang  selalu ia kumpulkan, dari hasil berjualan kue untuk membantu penghasilan almarhum Ayahnya dulu. Semenjak lulus SMP, Anin memang tidak melanjutkan sekolahnya lagi. Karena ia tidak mau membebani almarhum Ayahnya. Yang hanya bekerja sebagai montir di sebuah bengkel motor kecil.
Anin pun memutuskan untuk menghentikan perjalanannya sejenak. Ia merehatkan dirinya di sebuah kursi halte bus yang terletak di pinggir jalan tersebut. Sambil mengusap keringat yang ada di dahinya, ia mencoba menelpon sahabat lamanya itu. Beruntung ia masih menyimpan nomornya. 
Nihil, sekali lagi ia harus menelan kenyataan pahit. Nomor yang ia tuju sudah tidak aktif. Karena sudah terlalu lama. Terakhir ia bertemu Laras dua tahun yang lalu, itu pun hanya sebentar saat Anin akan mengantar kue - kuenya kepada para pedagang di pasar. Laras mengaku kalau ia akan pindah keluar kota untuk mengikuti kedua orang tuanya. Yang berpindah tugas dalam bekerja.
"Huuff …" hembusnya kecil sembari mendongakkan wajahnya ke atas langit -langit bangunan itu. 
Keputusan asaan kembali menghantui pikirannya. Sembari mengigit bibir bawahnya, Anin berusaha untuk tetap berpikiran jernih. Ia yakin akan ada solusi dan jalan keluar dari masalah yang tengah ia hadapi saat ini. Dan Anin pun memutuskan untuk kembali melanjutkan perjalanannya. Di tengah - tengah perjalanan, dan dalam keadaan pikirannya yang kacau.
Tiba-tiba, kakinya tak sengaja menginjak sebuah kertas berupa selebaran. Selebaran tersebut berisi kalimat dengan semua huruf kapital. 
Yang bertuliskan, LOWONGAN PEKERJAAN. DI CARI WANITA USIA SEKITAR 21 TAHUN. DI UTAMAKAN PINTAR MASAK, MEMBERESKAN RUMAH, DAN MENGERJAKAN PEKERJAAN RUMAH TANGGA LAINNYA. MINAT HUBUNGI NOMOR YANG TERTERA. ATAU BISA LANGSUNG BERKUNJUNG KE ALAMAT YANG TERSEDIA. Bak pucuk di nanti ulam pun tiba. Anin langsung meraih kertas tersebut.
Wajahnya berbinar, setelah ia membaca selebaran tersebut. Dengan percaya diri, ia yakin kalau ia memenuhi syarat - syarat yang di ajukan. 
Karena selama ini, memang dirinyalah yang mengerjakan semua tugas rumah. Atas perintah Ibu tirinya yang kejam. Anin berpikir kalau orang yang menyebarkan selebaran tersebut, kini tengah mencari seorang asisten rumah tangga. Tanpa pikir panjang dan dengan tekad yang bulat, Anin pun segera menuju ke alamat tersebut.
"Aku yakin, aku pasti bisa …" ucapnya sumringah dengan senyum yang mengembang di bibirnya sembari menggenggam erat selebaran tersebut.
 Susah payah Anin berjalan, karena tas besar yang sedari tadi ia tenteng. Akhirnya, ia sampai pada alamat yang ingin ia tuju.Terlihat, ada kemungkinan 15 orang gadis yang seusia dengannya.
Mereka nampak berdiri di depan pintu gerbang, berupa pagar besi besar menjulang tinggi ke atas. Yang di dalamnya terdapat sebuah rumah, bak istana di film kerajaan. Anin terkesima melihat rumah tersebut. Harapannya begitu menggebu agar bisa di terima bekerja di dalam rumah semegah itu.
Nampak dua orang penjaga atau satpam yang sedang membukakan pintu pagar, untuk menyuruh para gadis - gadis itu segera masuk. Karena hari itu juga seleksi akan di adakan. Tak mau ketinggalan, Anin pun juga bergegas ikut masuk. Meski dengan jalan yang sedikit lambat karena sesuatu yang membebani lengannya. Anin berusaha berjuang, karena menurutnya ini salah satu kesempatan yang harus ia dapatkan demi menyambung hidupnya.
Di dalam rumah.
Belasan para gadis itu dipanggil satu per satu, oleh seorang perempuan yang berusia sekitar 45 tahun. Tampilan perempuan itu menyatakan kalau ia adalah salah satu asisten rumah mewah itu. Pakaiannya rapi, dan ia mengenakan seragam khusus untuk pelayan. Perempuan itu nampak sangat berwibawa.
Dengan santun, ia menuntun para gadis - gadis itu, untuk satu persatu  di wawancara. Ke satu ruang yang telah di ditentukan oleh sang majikan.
Pemandangan tersebut membuat Anin, menjadi sedikit khawatir dan curiga. Dalam hati ia bertanya - tanya. Siapakah perempuan itu? Apakah dia pelayan di rumah semegah itu? Kalau ia, kenapa sang majikan ingin mencari seorang gadis yang harus pandai memasak dan telaten mengerjakan pekerjaan tugas rumah tangga lainnya.
Pertanyaan beruntun itu, kini tengah merasuk di pikiran Anin. Hingga membuatnya tak sadar kalau ia kini tengah di panggil. Dan sekarang adalah gilirannya.
"Nona!" sapa perempuan itu ramah.
Anin masih diam mematung. Raut wajahnya terlihat cemas. Anin jadi berpikir yang bukan - bukan.
"Nona, Non …" panggil perempuan itu lagi sembari mendekat ke samping Anin hingga menepuk pundaknya.
Merasa ada yang menepuk bahunya. Seketika Anin kaget dan dia menjadi tersadar. 
"I_iya saya, ada apa? Kenapa?" sahut Anin tergagap.
Perempuan itu tertawa kecil melihat tingkah Anin. Wajah Anin yang polos membuat perempuan itu memaklumi apa yang sedang Anin pikirkan. Karena dirinya memang cukup berpengalaman. 
"Sekarang giliran kamu," jelas perempuan itu kembali mengulas senyum.
Anin nampak menjadi canggung. Hatinya terasa gugup dan dag dig dug. Aneh memang mencari seorang pembantu saja harus di adakan wawancara. Perempuan itu pun meraih tangan Anin dan menuntunnya lembut, untuk segera berjalan ke ruangan yang akan di tuju. Anin kembali menenteng tas besarnya.
Perempuan itu melirik ke arah tas besar yang di bawa Anin. Raut wajahnya berubah, matanya menyipit dan ia terlihat berpikir.
"Sudah, tinggal saja tas Nona di sini! Nanti kita juga akan kembali ke ruang ini kok, kalau Nona sudah selesai diwawancara," tegas perempuan itu.
Anin hanya mengangguk. Ia menurut, dan mereka berdua pun segera berjalan ke arah ruangan yang dimaksud.
Sesampainya di depan pintu ruangan itu.
Tok ...tok …
Perempuan itu mengetuk pelan pintu tersebut. "Nyonya, ini saya bawa gadis yang terakhir."
Panggilnya dengan nada sopan.
"Bawa dia kesini!" sahut suara dari dalam.
"Ayo," ajak perempuan itu pada Anin.
Dan mereka berdua pun masuk, kedalam sebuah kamar yang lumayan besar. Dengan desain interior khas dari luar negeri. Bernuansa estetik, lengkap dengan perabotan mewah yang pastinya bernilai fantastis. Anin mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan itu. Ia begitu takjub. Belum pernah ia lihat kamar semewah, dan semegah itu. 
Nampak dari salah satu sudut ruangan tersebut, ada seorang wanita yang berpenampilan cukup anggun. Dari gurat di wajahnya ia terlihat seusia dengan Ibu tirinya Anin. Rambutnya yang di sanggul begitu rapi, serta berpakaian mewah dengan gaya elegan. Ia duduk di samping pinggiran ranjang di atas kursi yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran yang memukau.
 

Book Comment (138)

  • avatar
    LimHyeRie

    akhirnya happy ending setelah menanti kelanjutan ceritanya

    09/04/2022

      0
  • avatar
    AbidinZainal

    gratis

    19d

      0
  • avatar
    Grace Onthoni

    mantap

    22/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters