logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 7 seventeen

*-*-*-*
Perkataannya kali ini membungkam aku.
Setelah itu, keheningan menyelimuti kami. Makhluk dingin ini tidak
akan pernah mengajakku terlebih dahulu untuk berbicara berbeda
dengan saudara-saudaranya. Biasanya aku akan selalu tertawa jika
bersama saudaranya yang lain. Dasar makhluk es! Terkadang aku
ingin benar-benar memukul kepalanya. Tetapi tidak apa-apa, biar aku
mencoba untuk memahami bagaimana dirinya.
Aku memilih untuk menatap jalanan yang kian ramai ketika kami
mulai menjauhi hutan. Lalu suatu pemandangan menyita perhatianku.
Seorang ayah yang sedang mengantar putri kecilnya ke sebuah
sekolah. Mendadak aku ingat hari pertamaku di junior high school.
Daddy mengantarku ke sekolah. Lalu aku menangis, memohon agar
Daddy tidak meninggalkanku disana. Aku memeluk kakinya agar ia
tidak pergi. Tetapi Daddy tetap bersikeras, dia berkata padaku bahwa
aku akan baik-baik saja di tempat baru itu dan lekas memiliki teman.
Dia berjanji akan menjemputku.
Lalu aku ingat kecupan di dahi yang diberikan Mommy sebelum aku
berangkat dan juga sebuah bekal yang disodorkannya padaku.
Aku rindu mereka.
Sebelumnya aku tidak pernah berjarak sejauh ini dengan mereka. Aku
menyesal! Benar-benar menyesal dengan kata-kata terakhir yang
kuucapkan pada mereka. Bahkan aku rindu setiap omelan Mommy
yang selalu memarahiku. Aku rindu keromantisan Mommy dan Daddy.
Semua kenangan manis itu sangat menyakitkan bila yang sedang
dikenang tidak ada di sisi.
Aku mengigit bibir bawahku dengan kuat agar isakan itu tidak lolos.
Aku bahkan mengangkat kakiku ke jok kursi dan memeluk lutut serta
menenggelamkan wajahku disana. Aku tidak peduli jika Esteve marah
karena aku membuat mobilnya kotor.
Yang kuinginkan sekarang adalah orangtuaku. Kabar bagaimana
keadaan mereka saja, aku tidak tahu.
Aku benar-benar anak yang jahat.
Aku mulai memukul kepalaku sendiri karena kesal dengan diriku yang
bodoh ini.
Aku merindukan mereka.
Lalu aku merasakan kulit dingin itu menyentuh tanganku. Seolah
melarangku untuk menyakiti diriku sendiri. Tetapi aku tidak ingin
mengangkat kepalaku, karena aku sudah tahu siapa pelakunya.
Lalu lengannya terasa menyusup di lipatan kakiku dan satunya lagi
berada di punggungku. Dia mengangkatku. Tubuhku sedikit menegang
merasakan hawa dingin dari tubuhnya. Tetapi tidak bertahan lama,
ketika aku sudah berada di pangkuannya aku merasa nyaman.
Dia mengusap rambutku dengan lembut. Tidak melontarkan kata-kata
penenang. Aku pun tahu itu tidak berguna bagiku saat ini.
"Menangis tapi jangan sakiti dirimu,’ suaranya berbisik di telingaku.
Setelah itu aku menangis dengan keras dan menumpahkan seluruh
kesedihanku di dadanya.
‘Jangan!" aku berteriak menatap penyihir yang sedang menyerang
seorang lelaki yang sepertinya penyihir juga.
Mereka seperti sedang berbicara, tetapi aku tidak tahu apa yang
mereka bicarakan. Semuanya hening, seperti dalam mode silent.
Tetapi aku yakin ini masih ada hubungannya dengan mimpi buruk yang
selama ini aku alami. Tempat aku berdiri masih sama seperti di mimpi
sebelumnya, daratan penuh darah.
Aku tahu aku tidak mengenal kedua penyihir itu. Keduanya seperti
‘memiliki tingkat ilmu yang hampir sama dan sepertinya adalah lawan
yang cukup seimbang. Tetapi melihat laki-laki yang tertawa jahat itu,
aku tahu dia pengkhianat di bangsanya sendiri. Aku menatap pada
lawannya yang memiliki mata biru indah. Aku merasa begitu mengenal
mata itu.
Kedua penyihir itu sedang berbicara dari gerak bibirnya. Lelaki yang
kuanggap pengkhianat itu seperti berkata, kau akan mati.
Sesuatu di dalam diriku terusik tidak terima.
Lelaki jahat itu menggerakan bibirnya seperti mengucapkan sebuah
mantra, karena setelahnya ada sebuah cahaya yang keluar dari tongkat
sihirnya dan menghantam tubuh lelaki tua itu.
Buum!!
Lelaki itu berteriak kesakitan dan sialnya aku dapat mendengar
teriakan menyakitkan itu. Tubuhnya seolah dihujami tusukan yang
mengerikan. Dia memegangi dadanya, seperti sumber kesakitannya
berasal dari sana.
Aku bahkan tidak tahu jika air mataku sudah mulai menetes dengan
deras. Melihat mata biru itu yang meredup, membuat dadaku nyeri.
Ingin bergerak ke arahnya, namun kakiku seolah terpatri di tanah.
"Sudah!" teriakku.
"Hentikan! Jangan sakiti dia!" aku berteriak memegang dadaku, karena
aku seperti merasakan kesakitannya.
"Kau akan menjemput kematianmu dengan begitu mengenaskan
Saudaraku!" lalu pria tersebut tertawa jahat.
Lelaki tua yang kesakitan itu roboh di tanah. Matanya kian meredup
seolah kematian sudah ada di depannya. Darah sudah mengucur deras
dari mulut, telinga, dan hidungnya.
" Jangan! Jangan pergi! Kau harus hidup,” teriakku.
Aku tidak pernah bermimpi untuk melihat orang yang akan dijemput
kematiannya.
Kakiku menjadi lemas.
Tetapi di detik-detik terakhir hidupnya, dia mengucapkan sebuah
mantra yang awalnya kupikir untuk membalas lawannya namun
ternyata ia mengarahkannya ke sebuah pondok yang sepertinya
merupakan pusat dari tempat ini.
Dia bodoh sekali. Kenapa bukan melawan orang jahat itu?
Lalu sebuah lingkaran hitam mulai menarikku. Pemandangan terakhir
yagn kulihat adalah seorang wanita yang mendekati lelaki tua itu.
'Bertahanlah."
~~~
Aku tersentak bangun dari tidurku. Lalu mulai menyeka bulir-bulir
keringat yang ada di dahiku. Kepalaku kembali berdenyut perih karena
bangun dalam posisi terduduk di tempat tidur.
AAh, mimpi itu lagi. Kenapa bisa aku memimpikan hal yang sama? Apa
arti mimpi ini sebenarnya?
Aku mengambil air putih yang tersedia di nakas samping tempat
tidurku sambil menatap jam digital disana.
02.00 am
Sepertinya aku tidak akan tidur lagi. Aku cukup beruntung karena
besok adalah hari Minggu. Jika tidak, aku akan pusing menutupi mata
pandaku.
Aku memutuskan untuk keluar dari kamar. Aku tidak takut ada yang
mendengar langkah kakiku karena makhluk-makhluk immortal itu
tentu sedang ada di hutan malam ini dan Mama Lucy tidak mungkin
dapat mendengarnya.
Sekarang aku butuh coklat panas untuk menemaniku pagi buta ini.
Lampu yang hidup di lantai dasar hanya di ruang makan yang
berhubungan langsung dengan dapur. Cahayanya cukup minim
namun aku tidak mengetahui letak saklar di dapur. Jadi aku hanya
menggunakan cahaya dari lampu ruang makan yang dapat memancar
hingga ke dapur. Tentu saja membuat coklat panas tidak akan begitu
lama.
Dapur keluarga Walcott begitu lengkap. Hah tentu saja! Aku mengambil
semua bahan yang kubutuhkan dan terakhir menyeduhnya dengan air
yang cukup panas. Aku mengaduk-aduk dan mendiamkannya sebentar
hingga sedikit hangat sambil mencari roti yang dapat kugunakan untuk
menemani meminum coklat hangatku.
Aku mengambil coklat panas itu, menggerakkannya ke mulutku.
Aku ingin tahu, apakah sudah cukup hangat untuk kuminum atau
tidak. Aku memajukan sedikit bibirku, agar bibirku yang akan terlebih
dahulu merasakan suhu minuman ini. Biasanya itu yang kulakukan
agar mengetahui apakah makanan atau minuman itu sudah cocok di
mulutku.

Lalu,
Grep!
Terang!
"Aishh Shh.. Panas! Panas! Aw!" Aku mengaduh kesakitan sambil
mengipasi mulutku. Yep karena begitu terkejut dengan keadaan yang
tiba-tiba begitu terang, tanganku menuangkan coklat itu ke dalam
mulutku tanpa aba-aba. Dan sialnya, suhunya masih begitu panas.
Tiba-tiba dia ada di depanku. Sial! Bukankah ia sedang berburu
bersama saudaranya? Kemudian tangan dinginnya memegang
tanganku yang sibuk mengipasi mulut. Aku terdiam. Bahkan untuk
kembali mengaduh kesakitan, aku tidak sanggup. Seperti biasa, aku
sulit mengontrol tubuhku di hadapannya.
"Buka mulutmu!" Aku langsung mengikuti perintahnya.
Sial! Dia selalu bisa merusak refleks-ku.
Dia terlihat menatap mulutku dengan serius sambil telunjuk dan ibu
jarinya mengapit daguku.
"Lidah dan langit-langit mulutmu terbakar,' ujarnya.
"Tidak. Aku tidak apa—-apa,' bohongku. Padahal rongga mulutku
benar-benar sakit. Sepertinya aku akan mati rasa beberapa hari ke
depan.
Aku bergerak mengambil cangkir coklat panasku di samping pantry dan
ingin melangkah meninggalkan dapur.
"Kau harus diobati;' dia menahan lenganku.
"Tidak. Tidak perlu. Ini akan sembuh dengan sendirinya,' balasku sambil
membuang pandanganku kemana saja, asal tidak menatap matanya.
"Kau menghindariku?"
Boom. Thats the point!
"Menghindari apa? Untuk apa menghindarimu? Sudahlah! Aku ingin
tidur. Aku ini manusia bukan vampir sepertimu.' Aku menyentak
tangannya lalu segera berlari. Aku bisa merasakan tatapan geli yang
dia lemparkan kepadaku.
Sial!
AKU MALU!!!!
Flashback On.
Aku menggeliat sambil mengusap kepalaku di sebuah daerah yang
terasa bidang. Lama-kelamaan aku mengernyit heran.
Bantal tidak mungkin sekeras dan sedatar ini kan?
Cahaya matahari mulai menerobos mataku yang mulai membuka. Aku
mengedipkan mataku dan mengamati sekeliling.
Aku di sekolah? Ini parkiran khusus untuk makhluk-makhluk itu.
Bagaimana bisa aku sampai disini? Dan ini sekitar pukul? Aku melihat
jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku.
09.47
Lalu sebuah hembusan napas terasa di puncak kepalaku. Aku
mengangkat kepalaku dan mencari asal hawa panas itu.
Ugh! What the—-?!
Aku tergugu.
lya, aku ingat. Aku menangis kemudian Esteve mengangkatku untuk
duduk di pangkuannya. Lalu aku tertidur karena lelah menangis. Ugh,
kebiasaan bodohku! Dan jangan katakan bahwa dia menyetir sambil
memangku aku? Ketika aku menangis tadi, kami masih beberapa meter
jauhnya dari sekolah. Bagaimana bisa dia melakukannya?
Aku kembali mendongkak menatapnya. Mata hitamnya yang selalu
menatap tajam kini tertutup. Wajah datarnya masih saja dingin
seperti biasa namun sedikit lebih tenang dan polos. Sialnya dia tidak
kehilangan ketampanannya. Dia tertidur dengan kanan menjadi
bantalannya dan tangan kirinya mendekap erat tubuhku. Damn!
Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?!
Aku menelan ludah dengan gugup melihat dadanya yang bergerak naik
turun dengan teratur. Sungguh menggoda.
shit!
Hilangkan kemesuman dalam pikiranmu, Michel?!
Tetapi apakah seorang vampir memiliki detak jantung? Aku
mendekatkan telingaku pada dadanya dengan perlahan, mencoba agar
tidak mengusiknya. Terdengar dengan jelas detak jantungnya yang
memompa dengan cepat. Tetapi dia vampir bukan?
Aku melihat tangan kokohnya yang meliputi pinggang dan perutku,
seakan takut aku terjatuh.
Aishh! Lelaki dingin ini ternyata bisa begitu manis.
Lalu sebuah jaket tersampir di pahaku.
Jaket?
Seingatku aku tidak membawa benda itu dari mansion? Lalu
bagaimana bisa benda ini berada di pahaku sekarang? Aku berusaha
menggapainya untuk dilepaskan walau sedikit sulit karena dekapan
Esteve begitu erat.
"Jangan dilepas;' suara itu menghentikanku.
Dia terbangun. Tangan kanannya yang semula adalah bantalan kini
ia gunakan untuk mendekapku lebih erat. Sehingga aku benar-benar
menempel pada tubuhnya.
"Aku tidak dapat berjanji untuk dapat menahannya lebih lama lagi;'
suaranya begitu tersiksa. Lalu hembusan napasnya terasa di leherku
dan setelahnya ada kecupan singkat hinggap disana.
Tubuhku sedikit terlonjak kaget ketika merasakan sentuhan itu.
Otakku berusaha memanami maksud perkataannya.
Dan setelah aku paham, aku tidak memiliki muka untuk melihat lelaki
itu
Flashback Off
Jelas pada awalnya aku sulit untuk mengerti maksud dari kalimat
ambigu lelaki itu. Tetapi setelah aku benar-benar mencernanya baru
aku mengerti.
Rok dari SHS-ku memiliki panjang hanya beberapa centi di atas lutut
dan ketika aku menekuk kakiku, tentu saja roknya tersingkap.
Hal ini benar-benar membuatku begitu malu. Saat itu aku bersama
seorang laki-laki dan tentu saja dia memiliki nafsu. Untungnya dia
tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan. Meski aku tidak
begitu yakin setelah mendengar kalimat terakhirnya.
Dan ya, sekarang aku menghindarinya entah sampai kapan.
~~~
Aku menghirup udara segar dari tempat ini. Mungkin karena mansion
ini berada bersebelahan dengan hutan oleh karenanya udaranya begitu
asri. Aku duduk di gazebo baru yang dibuat Papa tepat di samping
kolam renang. Yap, menggantikan gazebo yang telah kubuat terbakar.
Semilir angin membelai wajahku lembut. Pendengaranku dapat
mendengar kicau-kicau burung yang merdu.
Mansion kembali sepi saat ini, bahkan ketika sarapan hanya ada aku
dan Mama Lucy di ruang makan. Kata Mama mungkin mereka masih
tertidur karena kelelahan, apalagi hari ini adalah hari libur. Aku sedikit
bersyukur karena hal itu. Setidaknya aku tidak perlu bertatap mata
dengan kornea hitam itu.
Aku tidak tahu mengapa, tetapi sekarang dia selalu ada di ritual
sarapan. Entah hanya untuk menungguku atau mengganggu
sarapanku. Kenapa kukatakan mengganggu? Karena ada saja
tingkahnya yang membuatku menjadi bahan tertawaan saudaranya.
Entah dia yang tiba-tiba mengusap puncak kepalaku atau mengusap
bibirku yang kotor dengan tisu. Padahal dia tidak pernah berbicara di
sana hanya melempar tatapan peringatan kepada saudara-saudaranya
ketika tiap kali aku ditertawakan. Sial! Tentu saja aku senang dan juga
malu.
Oke, jujur aku sebenarnya rindu dengan dirinya. Aku memang sedikit
melewati batas dalam menghindarinya. Aku selalu menolak setiap
pada saudara—saudaranya yang lain. Padahal dia sudah menungguku
menghabiskan sarapan. Begitu pula untuk pulang dari sekolah.
Aku juga selalu menghindari setiap kali harus bersinggungan
dengannya. Aku masih malu. Ego wanitaku memaksaku untuk
menghindarinya.
Tiba-tiba angin kencang terasa menerpaku hingga rambutku dengan
berantakan menerpa wajahku.
apa itu?
Aku membuka mata.
Damn!
Ah, tubuhku. Aku menundukkan sedikit wajahku dan melihat matanya
yang tertutup. Rambut hitamnya menari diterpa angin. Lalu menjadikan
pahaku menjadi bantalannya.
esteven
Bagaimana bisa dia ada disini?
"Ehm, a--apa yang--- yang kau lakukan?" tanyaku tergugu.
Dia diam.
"Bangun!" Aku menggoyang-goyangkan kakiku berusaha untuk
mengusiknya.
Dia membuka mata hitamnya. Menatap tepat di manik mataku.
Tubuhku meresponnya dengan menegang. Ingatan tentang aku yang
tertidur di pangkuannya justru kembali terbayang.
"Buka mulutmu,' jari telunjuk dan ibu jarinya kembali mengapit daguku.
‘Aku membuka mulutku dengan gugup.
"Seharusnya aku mengobatimu semalam,’ dia mendesis geram hingga
aku merinding. Dia marah.
Sebenarnya lidah dan rongga mulutku sedikit sakit. Ralat! Sangat sakit.
Aku bahkan tidak bisa merasakan sarapan tadi dengan baik. Lidahku
sedikit mati rasa. Aku menyesal tidak langsung mengompresnya
dengan air es semalam.
"Tidak. Aku tidak apa—apa,' ujarku berbohong lagi.
"Bohong;' tukasnya.
Aku menelan ludah gugup melihat tatapan tajamnya.
Sial! Keluarkan suaramu, Michel!
Tidak! Aku tidak akan pernah bisa bersuara jika tatapannya seperti itu.
Aku menggerakkan tanganku untuk menutupi matanya sehingga
menghalangi pandangannya yang tajam itu.
"Jangan pandang aku seperti itu!"
Fiuh, akhirnya suaraku kembali. Kakiku kugerakkan dengan kesal
tanpa mengubah posisi telapak tanganku. "Sudah sana pergi. Aku tidak
menyewakan jasa bantal disini! Jika ingin tidur, pergilah ke kamarmu;'
seruku kesal.
Dia mengambil telapak tanganku yang menutupi matanya lalu
meletakkannya di antara rambut hitam legamnya, mengarahkan
tanganku disana dengan gerakan mengusap.
"Aku pernah menyewakan jasa bantal gratis di dadaku untukmu,' aku
bersemu merah dengannya.
Damn! Kenapa Esteve bisa mengatakan hal seperti itu dengan tampang
datar
"Apa kau tidak bisa membalas kebaikanku?" lalu dia segera menutup
matanya.
Bahkan aku tidak tahu kalau tanganku sudah mengusap rambutnya
yang halus dengan sendirinya.
Waktu berjalan dan hanya keheningan yang mengisi kami. Aku
diam dan dia juga terdiam, mungkin pula tertidur. Tetapi aku begitu
mencintai keheningan ini. Aku merasa nyaman di saat seperti ini.
Seperti kami saling membutuhkan.
Aku menatapnya lekat. Setidaknya aku bisa mencuri pandang melihat
ukiran wajah yunani pada makhluk di depanku. Dia sungguh amat
tampan. Apalagi dengan tatapan tajam bola mata sehitam malam itu.
Yah, jika dikurangi sikap ketus dan dinginnya. Seandainya saja dia
bisa sedikit ramah dan terbuka padaku, bukan berubah-ubah seperti
bunglon. Terkadang manis lalu begitu mengesalkan.
"Jangan menatapku seperti itu!"

Ketahuan!
"Ti-~ tidak. Kau jangan terlalu percaya diri, vampir sialan!" seruku kesal
sekaligus gugup.
Matanya terbuka dan menampilkan bola mata hitam.
Dalam hitungan detik, kurasakan bibir kenyal itu menempel di bibirku,
memberikan sensasi dingin yang menggelikan. Dan ugh, manis.
Meskipun bibir itu hanya menempel tanpa ada pergerakan, tetapi
tetap saja bisa membuatku berdebar tidak karuan. Dan tatapan
tajamnya benar-benar membuatku tidak berkutik. Aku yakin
mataku sudah membesar karena tindakannya ini. Dia menyesap
bibir bawahku sebelum melepas kecupannya. Oh jangan! Aku masih
menginginkannya.
Dia menatap bibirku yang masih membuka. Lalu mengusapnya dengan
ibu jarinya.
“Ini bukan pertama kalinya. Tapi ekspresimu selalu begitu;' dia tertawa
pelan.
God! Dia tertawa! Benar-benar sebuah kemajuan.
Lalu dia kembali diam membuatku kehilangan pandangan yang
menakjubkan. Salah satu tangannya beralih pada rahangku, mengusap
dengan begitu perlahan. Lalu menyelipkan pada telingaku beberapa
anak rambut yang nakal.
"Aku tidak suka jika kau menghindariku."
Aku kembali kehilangan kata-kata.
~~~
"Kalian masih disini?" aku bertanya heran melihat tiga makhluk ini
masih duduk di ruang keluarga pada lantai dua mansion. Biasanya
pada jam segini mereka sudah bersiap akan ke hutan.
Mereka mengangguk.
"Kalian tidak akan ke hutan?" tanyaku. Mereka serentak menggeleng.
Aku mengambil bagian pada sofa sambil tertawa geli.
"Ada apa dengan kalian? Hanya mengangguk dan menggeleng? Kalian
kelaparan? Sudah pergilah ke hutan,' kataku.
"Mom dan Dad sedang pergi,’ balas Urien.
"Jadi kami di rumah saja saat ini"; tambah Ireneo.
"Yah untuk menjagamu;' timpal Obelix.
"Hah, padahal aku lebih takut jika kalian di rumah", gumamku membuat
mereka menatapku. "Well, mungkin tidak pada Kak Neo dan Kak len.
Tapi padamu Obelix astaga aku tidak bisa mengatakannya."
Obelix mendelik padaku. "Ya, sini kugigit kau. Aku benar-benar
kelaparan.
Mengenai kelaparan aku tidak bisa bercanda dengan Obelix. Apapun
mengenai makanannya, aku tidak memiliki ekspetasi dia hanya
bercanda denganku. Pengalaman kemarin masih menjadi momok yang
menakutkan.
Obelix mendekatkan dirinya padaku. Aku sontak berdiri dan bersiap
berlari.
"hentikan lix"
Alaric! My savior!
Alaric mendorong Obelix hingga terduduk di karpet. Ireneo dan Urien
tertawa melihat Obelix. Sedangkan Obelix mendelik kesal pada kakak
sulungnya.
"Aku bosan,' seruku ketika keheningan mengisi kami.
“Home theater? Kurasa aku sedang ingin menonton flim", saran Urien.
Aku berdiri dengan paling semangat, "ayo! Semuanya harus ikut'
Obelix terlihat bermalas-malasan sehingga aku harus menariknya
menuju home theater. Oh tentu keluarga Walcott memiliki home
theater. Jangan tanyakan seberapa kaya keluarga ini.
"Aku ingin film yang bergenre drama;' seruku.
"Oh tidak. Tidak;' balas Obelix. "Horor atau tidak sama sekali."
Aku mengerucutkan bibirku kesal. "Drama"
"horor"
"Drama,' balasku kekeuh.
"Horor;' dia lebih kekeuh membuatku semakin kesal.
"Oke keep calm guys. Ayo kita poling suara terbanyak;' usul Alaric.
"Drama?" Aku menunjuk tanganku.
Hanya aku! Sial!
Aku menggerutu kesal. "Kalian jahat." Ireneo dan Urien sudah tidak bisa
menahan tawanya. Aku semakin kesal. Alaric juga menatapku geli dan
jangan tanya Obelix karena dia sudah menatapku dengan senyuman
remeh sedari tadi.
"Aku tidak jadi ingin menonton;’ seruku. Aku berbalik ingin keluar dari
home theater
"Childish;' seru suara lainnya.
esteve!
Kenapa dia bisa ada disini juga?
"Hanya karena tidak sesuai dengan keinginanmu kau marah dan
merajuk?" tambahnya.
Aku mengigit pipi dalamku menahan kesal.
"Ayolah Michel. Jangan terlalu penakut,' tambah Urien.
"Aku tidak penakut."
“Lalu itu apa? Hanya tidak pemberani?" tanya Obelix dengan sarkas.
Aku menggembungkan pipiku dengan kesal. "Oke horor,' putusku.
"Semoga aku masih memiliki nyawa setelah menontonnya;' bisikku
pelan.
Home theaterkeluarga Walcott begitu megah. Bahkan kata Ireneo,
ini adalah design terbaru untuk home theaternya. Ayah mereka suka
sekali mengganti-ganti design ruangan di mansion ini, khususnya
hhome theater. Kali ini home theater memiliki tempat duduk dengan
tingkat yang berbeda-beda. Posisi paling depan ada Obelix dan Alaric
kemudian dibelakangnya menyusul Ireneo dan Urien.

Aku mencari posisi aman dengan mengambil tingkat paling belakang
yang mendekati pintu keluar. Jika saja nanti aku memiliki kesempatan,
aku akan keluar dari ruangan ini terutama jika film-nya benar-benar
menakutkan. Selain itu, sofa ini begitu luas hampir seperti double beds.
Tidak, bukan hampir namun memang sebuah double beds.
Sepertinya keadaan sedang tidak berpihak kepadaku. Esteve
memutuskan untuk ikut menonton.
sial!
Dari lima makhluk disini, kenapa harus dia yang duduk di sebelahku.
Tolong, aku tidak bisa menatapnya tanpa merona.
"Okay here we go!"seru Obelix senang.
Aku cukup bersyukur dengan lampu ruangan ini yang mulai meredup.
Aman, rona merahku tersembunyi.
Film mulai berjalan. Dan seperti yang sudah-sudah kubayangkan
aku pasti akan menciut ketakutan. Aku sudah menarik selimut untuk
menutupi tubuhku. Yang paling mengesalkan dari menonton horor
adalah ketika aku takut menonton kelanjutannya tetapi juga begitu
penasaran. Sehingga aku selalu menutupi wajahku menggunakan
tangan dengan jari-jari yang terbuka.
Blam!
"Aakkh!" sosok hantunya muncul. Aku tidak bisa menahan untuk tidak
berteriak terkejut. Sedangkan yang lainnya sepertinya hanya sedikit
terperangah. Lelaki di sampingku bahkan tidak terpengaruh.
"Michel;' peringat Obelix karena teriakanku.
Aku mencebikkan bibirku kesal. Aku selalu ingin menangis ketika
menonton horor tetapi tidak benar-benar ingin menyudahi
menontonnya sebelum selesai.
Tiba-tiba keadaan kembali hening. Semuanya fokus menonton, kecuali
aku yang tiba~tiba merasakan sesuatu menyentuh kakiku dengan
sentuhan ringan. Popcorn yang tadinya ingin kumakan mendadak
kubiarkan tergenggam pada tanganku.
Tidak itu pasti hanya halusinasi.
Sentuhan itu tiba-tiba menarik kakiku dan,
"hooh!"
"Argh. Pergi! Jangan ganggu aku." Aku merangkak dan memeluk
partner se-sofaku, menyembunyikan wajahku di dadanya dan kakiku
melilit perutnya.
Aku mendengar tawa itu, milik Obelix sialan!
Mereka tertawa. Mereka mengerjaiku.
"Itu tidak lucu;' suaranya. Esteve. Objek yang sedang kupeluk ini.
sial
"Kau mengambil kesempatan dalam kesempitan Michel;' seru Obelix.
Aku melempar remahan popcorn padanya. "Pergi kau! Pergi! Dasar
menyebalkan! Obelix sialan!"
Dia menjulurkan lidah padaku lalu kembali ke sofanya dan film kembali
dilanjutkan.
Mereka benar-benar mempersiapkan untuk menakutiku karena film
bahkan di-pause sebentar.
Lihat saja, aku akan membalasmu Lix.
Aku mendadak kaku setelah menyadari posisiku saat ini.
Michaela bodoh!
"Ma-maaf;' aku melepaskan lilitan kaki-ku dan segera menjauh.
greep!
Dia menarikku kembali hingga bersandar di dadanya.
Jantungku.
Aku mencoba fokus pada film dan tidak bertanya apa-apa atas
tindakannya. Selain karena aku juga senang, aku juga tidak ingin
menjadi olokan Walcott bersaudara jika melihat posisi aku dan dia lagi.
Yah, tetapi aku jadi gagal fokus pada film di depanku.
Dia berbisik pada telingaku, tepat pada telingaku dengan suara pelan.
Mungkin saudaranya tidak akan bisa mendengar bisikannya karena
ditutupi oleh suara dari film yang diputar dengan cukup keras.
"Apa yang kukatakan mengenai umpatan?"
Dengan gerakan refleks aku menggigit bibirku. Namun tangannya juga
dengan cepat menyapu bibirku dan melepas gigitanku.
"Bibir ini selalu ingin dihukum. Atau pemiliknya terlalu menyukai
hukumannya?"
Sial! Rona merahku menyebar begitu cepat.
Kali ini dia mulai dengan mengigit bibirku kemudian menyesapnya,
mengecupnya lembut dan menyesapnya kembali.
Sunguh hanya kecupan sederhana tetapi rasanya ada ribuan
kupu-kupu yang berterbangan di perutku.
‘Aku menyembunyikan wajahku ke dadanya ketika kecupan itu berakhir.
Argh, jantungku!
Kami kembali menonton. Kali ini benar-benar menonton dengan baik.
Meski setiap kali ia mengusap pelan punggungku dengan jemarinya
atau ketika dia memberikan kecupan ringan di rambutku, well aku
harap rambutku cukup harum. Aku selalu kehilangan fokus
Well, kami tidak berubah posisi sama sekali. Bisakah ini dinobatkan
sebagai minggu terbaikku?
~~~
Pagi beranjak datang dengan cepat. Aku sudah mulai bersiap-siap
ke sekolah di awal minggu ini. Mengenai kemarin malam, well
kami semua tertidur di ruang teater. Dan paginya Mama Lucy
membangunkan kami dengan ceramahannya ketika dia sudah lelah
mencari kami dimana-mana setelah tidak menemukan kami di kamar
masing-masing.
Cukup setimpal untuk hari kemarin yang sangat berharga.
Sebelumnya turun untuk sarapan, aku mematutkan diri untuk melihat
penampilanku pada cermin. Aku menatap terkejut pada bayanganku
yang ada di cermin. Sekali lagi aku mengerjapkan mataku, memeriksa
apakah yang kulihat itu salah. Tetapi tetap sama. Aku mulai
merasa takut. Kukedipkan lagi mataku untuk kesekian kalinya. Dan
bersyukurnya aku karena keadaan kembali normal.
Ah, mungkin mataku belum melihat dengan jelas sebelumnya. Mungkin
penglihatanku samar.
Bagaimana bisa aku berpikir bola mataku berubah menjadi biru?
Bola mataku berwarna hazel. Tidak akan bisa berubah menjadi biru.
handel dan biru?
~~~
Aku terdiam sambil menyusuri langkahku menuju meja untuk sarapan.
Kepalaku berdenyut perih, tetapi tetap tidak bisa menghentikan diriku
untuk memikirkan mimpi yang kualami semalam.
Ini bukan mimpi buruk seperti yang kualami beberapa hari belakangan
ini. Ini tentang aku yang memimpikan kedua orang tuaku. Aku bertemu
mereka semalam di sebuah tempat yang sungguh indah, bercanda
dan tertawa bersama mereka. Bahkan Daddy yang jarang tersenyum
dengan mudahnya mengeluarkan tawa.
Lalu tiba-tiba semuanya menjadi mimpi buruk yang menyeramkan.
Ketika mereka tiba-tiba menjauh dan menghilang dengan air mata di
pipi mereka. Beberapa makhluk aneh menarik mereka menjauh dariku.
Sialnya makhluk itu
vampir dan werewolf.
Aku bingung dengan arti semua ini.
"Kau baik-baik saja, Michel?" Mama mengusap kepalaku dengan
lembut.
Aku mencoba membalas senyumnya. Meski aku tahu wajahku terlihat
mengerikan saat ini.
"Aku baik-baik saja Ma;' kataku menenangkannya.
Mama mengusap lingkaran panda di sekitar mataku dengan perlahan.
Wanita itu berujar, "kau bermimpi buruk lagi?"
Yap, aku menceritakan padanya bahwa aku sering mengalami mimpi
buruk. Tetapi tidak memberitahukan isi mimpi itu padanya.
"Ya;' ujarku lemas.
Mama menggumam lirih.
"Apa ma?" tanyaku.
"Tidak. Bukan apa-apa."
~~~
Gerald merengut kertas di tanganku, "kau tidak harus melakukannya
michel?"
Aku segera menarik kertas itu kembali. "Aku sudah berjanji padamu;,’
tukasku sambil kembali menatap layar laptop di hadapanku.
"Aku tahu. Tetapi saat itu keadaanmu baik-baik saja."
Aku memijat pelan dahiku. Aku memang sudah berjanji pada Gerald
untuk membantunya mengerjakan sebuah proposal untuk event
sekolah. Aku tidak tega membiarkan dia mengerjakannya sendiri.
Apalagi pekerjaan dari perusahaannya juga sudah cukup banyak.
Hah, aku tidak mengerti kenapa mereka harus bersekolah jika sudah
memiliki pekerjaan?
“Istirahatlah."
"tidak"
Setiap kali aku menutup mata untuk tertidur, kejadian itu kembali
datang dan menjadi mimpi buruk. Bahkan dalam tidur pun aku tidak
mendapat ketenangan.
"Ya, kurasa kau butuh istirahat Michel. Matamu benar-benar
mengerikan,' timpal Ireneo tetapi tidak aku gubris.
Aku kembali menatap layar laptop.
"Tidak akan ada yang akan memarahimu hanya karena kau
meninggalkan kertas itu, bahkan Gerald pun tidak. Kau bahkan tidak
memiliki kepentingan disana;’ ujar Rai.
Yap, hanya ada kami berempat disini.
"Tidak. Aku sudah berjanji membantumu waktu itu Kak;' tegasku.
Lalu tiba-tiba layar di depanku menjadi gelap.
Astaga!
Aku belum menyimpan data-data itu!
Kemudian, sebuah tarikan terasa di pergelangan tanganku. Sosok itu
menatapku tajam penuh dengan kekesalan dan amarah. Aku menelan
saliva dengan gugup ketika melihat tatapan yang ia lemparkan padaku.
Tanpa aba-aba dia menarikku dengan langkah lebar. Aku tidak
memiliki niat untuk menyuarakan pemberontakan apapun padanya.
Yang dapat kudengar hanya teriakan Gerald.
"Michel! Kenapa kau tidak menyimpan datanya!" pekiknya frustasi yang
membuatku tersenyum geli membayangkan wajah kesalnya.
Esteve membawaku menuju sebuah ruangan dibalik pintu yang
bertuliskan namanya. Aku sedikit bergidik takut, mengingat kejadian
terakhir disana yang sungguh memalukan.
"Tidur!" dia menunjuk dengan dagunya tempat tidur di ruangan ini.
Aku menggeleng. "Tidak mau. Aku tidak mengantuk dan aku sudah
mengatakannya sedari tadi. Jangan pikir karena kau yang-- Akkh!"
ucapanku terputus ketika sekarang ia sudah membopongku ke atas
tempat tidur dan menempatkanku disana.
Aku berontak dan ingin segera berdiri. Namun aku kalah cepat, karena
ia sudah mengunci tubuhku di dekapannya.
"tidur"
Aku menggeleng pelan menatap matanya yang kini entah bagaimana
dapat memberi ketenangan di antara sejuta rasa takut yang kurasakan.
"Aku takut."
Dia menarik kepalaku menuju dadanya, menyembunyikan wajahku
disana. Dengan perlahan dikecupnya ubun-ubun kepalaku membuat
tubuhku menegang. Segera dia mengusap punggungku dengan
perlahan membuat ketakutanku memudar. Kemudian aku menggeliat
mencari posisi nyaman di dadanya. Secara kontinu dia tetap mengusap
punggung dan puncak kepalaku mengirimkan rasa kantuk pada diriku.
Dapat kurasakan sesekali dia memilin—-milin ujung rambutku. Sehingga
mataku semakin tertarik untuk menutup.
"Terimakasih, bisikku sebelum akhirnya memasuki alam mimpi."
‘Selamat tidur sweetheart. Jangan takut. Iidak akan aaa yang
menyakitmu. Aku disini;" itu suara lelaki yang selalu mengingatkanku
banyak hal.
"Pangeranmu disini."
~~~~
Siang itu aku sedang duduk di kantin sekolah. Awalnya kupikir aku
akan duduk sendiri disini, mengingat sahabatku Helena sedang tidak
masuk tanpa keterangan. Aku juga tidak tahu dia kemana, memberiku
kabar saja tidak. Pesan yang kukirim saja tidak dibalasnya. Dan baru
kusadari, aku tidak memiliki teman selama ini selain dirinya.
Tiba-tiba para lelaki tampan itu mendatangiku dan duduk di meja
yang sama denganku. Sial! Eldric, Rafael, dan Kelvin melakukan itu
semua dengan tampang tidak bersalah. Sedangkan sedari tadi tatapan
tajam senior sudah terlempar padaku. Gila, para lelaki ini sedang
mengumpankan aku.
"Makan saja Michel;' Eldric menyuapkan sebuah kentang goreng
ke mulutku. Aku menatapnya kesal. Tindakannya justru akan
memperkeruh keadaan.
"Tenang saja Michel. Tidak akan ada yang menyakitimu,' ujar Rafael
sambil memainkan bola basketnya di lantai kantin. Lalu dia pergi
memesan makanan.
Kelvin bahkan sudah menyesap jus pesananku.
“Itu milikku,' sergahku kesal dan langsung memukul pundaknya kesal.
Meski sama sekali tidak berpengaruh padanya.
"Aku haus,' dia menyengir padaku.
Aku semakin merengut kesal, "kau yang membayar makananku."
Senyum miring andalanku kulempar padanya.
"Yah up to you. Hartaku tidak akan habis untuk membayar makanan
ini"
Cih! Sombongnya!
"Sombong sekali! Kalau begitu pesan milikmu sendiri. Jangan ganggu
miikku;' balasku.
Aku memakan suapan kentang yang disodorkan Eldric padaku.
"Milikmu rasanya lain sayang", ujarnya dengan senyum menggoda dan
membuat beberapa wanita memekik gemas. Tetapi rasanya aku justru
ingin muntah mendengar rayuannya.
Habh, dia persis seperti Paman Azka.
Aku mulai kembali berkutat dengan ponsel sambil sesekali menerima
suapan kentang dari Eldric. Aku sudah melarang Eldric untuk
melakukannya. Namun dia menolaknya, dia berkata bahwa ia senang
melakukannya.
Lalu, sebuah kentang beroleskan saus hendak ia suapkan padaku.
Tetapi Eldric justru mengoleskannya pada hidung dan pipiku.
"Kak!" jeritku kesal.
Cekrek!
Suara kamera yang sedang menangkap gambar terdengar. Pelakunya
adalah Rafael yang memberiku tatapan geli. Kemudian, ketiga makhluk
itu sudah lari ke /ift terdekat.
"Fuck you!" teriakku.
Kuambil beberapa tisu lalu berlari menyusul mereka.
~~~
"Kak! Berikan ponselmu!" teriakku pada Rafael yang sedang berlari
menuju private room. Lorong di lantai ini memang sepi karena hanya
ada satu ruangan disini. Ketika aku sudah berada di dekat Eldric,
kusempatkan untuk menarik kesal rambut coklatnya hingga ia
memekik kesakitan.
"Berhenti tertawa Kak Kelvin atau kupastikan kau akan merasakan
hal yang sama!" peringatku yang membuat dia berhenti tertawa meski
matanya masih memancarkan kegelian.
Akhirnya aku bisa mencegat Rafael dan berusaha mengambil ponsel
di genggamannya. Dia segera melemparkan ponsel tersebut kepada
Kelvin dan ditangkap dengan baik.
"Kak, berhenti bermain—-main." Tetapi mereka justru menertawakanku
dan membuatku semakin kesal.
"Wajahmu cukup cantik disini Michel;' Kelvin memperhatikan fotoku
disana. "Apalagi dengan tambahan blush on dari Eldric."
Aku mendelik kesal pada Eldric.
"Kau benar-benar mengesalkan Kak EI"
Tunggu pembalasanku setelah aku mendapatkan ponsel itu.
Kelvin kembali melemparkan ponsel itu ke arah Eldric. Aku lekas
menatapnya dengan pandangan membunuh.
"Oh jangan menatapku dengan pandangan seperti itu sayang;' dia
mengedipkan sebelah matanya padaku.
Ugh!
Aku berusaha menggapai ponsel itu yang sudah diangkatnya dengan
tinggi
Aku benar-benar membenci tubuh pendekku saat ini.
Dia kembali menyembunyikan ponsel itu di belakang pinggangnya.
"Berikan ponselnya Kak!"
Terakhir dia menyembunyikan ponsel itu di belakang kepalanya dan
menatapku dengan pandangan menantang. Aku mengalungkan kedua
tanganku di belakang kepalanya sambil berusaha meraih ponsel itu
dengan sedikit berjinjit. Bahkan deru nafas Eldric dapat terasa di
sekitar telingaku.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" suara Alaric menyentak
kesadaranku. Dia baru saja keluar dari private room bersama, err
Esteve.
Aku menatap wajah Eldric yang terasa dekat.
mati.
Aku segera menjauh memberi jarak.
Tetapi terlambat! Dia sudah melihatnya.
Esteve menatapku dengan tatapan tidak terbacanya. Setelahnya dia
memutuskan kontak mata itu dan berlalu begitu saja dari hadapanku.
Aku tidak suka melihatmu bersama lelaki lain.
~~~
"Ugh ada yang sedang merana disini;' suara itu mengalihkan
perhatianku dari benda persegi panjang yang mengeluarkan gambar
dan suara itu.
Pemilik suara itu mengambil posisi duduk di sampingku. Aku tetap
diam dan mulai mengganti siaran dengan remote di tanganku.
"Tidak berburu?" tanyaku mengingat saudaranya yang lain sudah pergi
ke hutan.
Dia mencomot makanan ringan milikku dan menggeleng.
"Kenapa?"
"Sedang tidak berselera"
"Kau sedang bertengkar dengan Esteve?" tambah Ireneo lagi.
Seketika fokusku langsung tertuju padanya.
"Rafael berkata pose mu dan Eldric sangat mendukung untuk dijadikan
iklan tertentu untuk sepasang kekasih."
plakk!!
spontan aku memukul kepala ireneo dengan bantal sofa namun dia justru tertawa
"tidak, aku dan dia baik - baik saja" sergah ku.
bohong!
"sungguh?" tanyanya dengan nada mengejek " lalu kenapa aku tidak pernah melihat kalian bersama lagi akhir - akhir ini? aku juga tidak pernah melihat dia menemanimu tidur lagi "
aku merona, sial!
" apakah semua mengetahuinya?" tanyaku hati - hati.
"tentu saja, biasanya dia selalu terlambat datang ke hutan, ternyata dia harus menidurkan mu terlebih dahulu" ireneo tertawa
"astaga! kau tidak perlu mengatakan dengan kata 'menidurikan'. itu seolah- olah" aku bingung untuk melanjutkan kalimatku
"seolah -olah apa?" dia menatapku jahil.
aku mengeram kesal "ah sudahlah".
esteven memang selalu melakukan hal itu beberapa hari kebelakangan, dia akan menyempatkan diri kekamarku sebelum berburu kehutan, hanya untuk menidurkan aku dan membelaiku.
* ~~~~*

Book Comment (66)

  • avatar
    Sinta Queena Reborn

    aku suka alur ceritanya... bikin kesel, greget sekaligus gemes sm es batu nya esteve..

    04/07/2022

      2
  • avatar
    Rada Dan Yasir

    kenapa lama bnget ceritanya kk ... sya sudh chek setiap hri tapi masih lom dilanjut lanjut kak . ayo dong semngat kak .. lanjutin lagi kak .

    21/06/2022

      0
  • avatar
    Rey Mar

    so nice

    4d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters