*-*-*-* Perkataannya kali ini membungkam aku. Setelah itu, keheningan menyelimuti kami. Makhluk dingin ini tidak akan pernah mengajakku terlebih dahulu untuk berbicara berbeda dengan saudara-saudaranya. Biasanya aku akan selalu tertawa jika bersama saudaranya yang lain. Dasar makhluk es! Terkadang aku ingin benar-benar memukul kepalanya. Tetapi tidak apa-apa, biar aku mencoba untuk memahami bagaimana dirinya. Aku memilih untuk menatap jalanan yang kian ramai ketika kami mulai menjauhi hutan. Lalu suatu pemandangan menyita perhatianku. Seorang ayah yang sedang mengantar putri kecilnya ke sebuah sekolah. Mendadak aku ingat hari pertamaku di junior high school. Daddy mengantarku ke sekolah. Lalu aku menangis, memohon agar Daddy tidak meninggalkanku disana. Aku memeluk kakinya agar ia tidak pergi. Tetapi Daddy tetap bersikeras, dia berkata padaku bahwa aku akan baik-baik saja di tempat baru itu dan lekas memiliki teman. Dia berjanji akan menjemputku. Lalu aku ingat kecupan di dahi yang diberikan Mommy sebelum aku berangkat dan juga sebuah bekal yang disodorkannya padaku. Aku rindu mereka. Sebelumnya aku tidak pernah berjarak sejauh ini dengan mereka. Aku menyesal! Benar-benar menyesal dengan kata-kata terakhir yang kuucapkan pada mereka. Bahkan aku rindu setiap omelan Mommy yang selalu memarahiku. Aku rindu keromantisan Mommy dan Daddy. Semua kenangan manis itu sangat menyakitkan bila yang sedang dikenang tidak ada di sisi. Aku mengigit bibir bawahku dengan kuat agar isakan itu tidak lolos. Aku bahkan mengangkat kakiku ke jok kursi dan memeluk lutut serta menenggelamkan wajahku disana. Aku tidak peduli jika Esteve marah karena aku membuat mobilnya kotor. Yang kuinginkan sekarang adalah orangtuaku. Kabar bagaimana keadaan mereka saja, aku tidak tahu. Aku benar-benar anak yang jahat. Aku mulai memukul kepalaku sendiri karena kesal dengan diriku yang bodoh ini. Aku merindukan mereka. Lalu aku merasakan kulit dingin itu menyentuh tanganku. Seolah melarangku untuk menyakiti diriku sendiri. Tetapi aku tidak ingin mengangkat kepalaku, karena aku sudah tahu siapa pelakunya. Lalu lengannya terasa menyusup di lipatan kakiku dan satunya lagi berada di punggungku. Dia mengangkatku. Tubuhku sedikit menegang merasakan hawa dingin dari tubuhnya. Tetapi tidak bertahan lama, ketika aku sudah berada di pangkuannya aku merasa nyaman. Dia mengusap rambutku dengan lembut. Tidak melontarkan kata-kata penenang. Aku pun tahu itu tidak berguna bagiku saat ini. "Menangis tapi jangan sakiti dirimu,’ suaranya berbisik di telingaku. Setelah itu aku menangis dengan keras dan menumpahkan seluruh kesedihanku di dadanya. ‘Jangan!" aku berteriak menatap penyihir yang sedang menyerang seorang lelaki yang sepertinya penyihir juga. Mereka seperti sedang berbicara, tetapi aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Semuanya hening, seperti dalam mode silent. Tetapi aku yakin ini masih ada hubungannya dengan mimpi buruk yang selama ini aku alami. Tempat aku berdiri masih sama seperti di mimpi sebelumnya, daratan penuh darah. Aku tahu aku tidak mengenal kedua penyihir itu. Keduanya seperti ‘memiliki tingkat ilmu yang hampir sama dan sepertinya adalah lawan yang cukup seimbang. Tetapi melihat laki-laki yang tertawa jahat itu, aku tahu dia pengkhianat di bangsanya sendiri. Aku menatap pada lawannya yang memiliki mata biru indah. Aku merasa begitu mengenal mata itu. Kedua penyihir itu sedang berbicara dari gerak bibirnya. Lelaki yang kuanggap pengkhianat itu seperti berkata, kau akan mati. Sesuatu di dalam diriku terusik tidak terima. Lelaki jahat itu menggerakan bibirnya seperti mengucapkan sebuah mantra, karena setelahnya ada sebuah cahaya yang keluar dari tongkat sihirnya dan menghantam tubuh lelaki tua itu. Buum!! Lelaki itu berteriak kesakitan dan sialnya aku dapat mendengar teriakan menyakitkan itu. Tubuhnya seolah dihujami tusukan yang mengerikan. Dia memegangi dadanya, seperti sumber kesakitannya berasal dari sana. Aku bahkan tidak tahu jika air mataku sudah mulai menetes dengan deras. Melihat mata biru itu yang meredup, membuat dadaku nyeri. Ingin bergerak ke arahnya, namun kakiku seolah terpatri di tanah. "Sudah!" teriakku. "Hentikan! Jangan sakiti dia!" aku berteriak memegang dadaku, karena aku seperti merasakan kesakitannya. "Kau akan menjemput kematianmu dengan begitu mengenaskan Saudaraku!" lalu pria tersebut tertawa jahat. Lelaki tua yang kesakitan itu roboh di tanah. Matanya kian meredup seolah kematian sudah ada di depannya. Darah sudah mengucur deras dari mulut, telinga, dan hidungnya. " Jangan! Jangan pergi! Kau harus hidup,” teriakku. Aku tidak pernah bermimpi untuk melihat orang yang akan dijemput kematiannya. Kakiku menjadi lemas. Tetapi di detik-detik terakhir hidupnya, dia mengucapkan sebuah mantra yang awalnya kupikir untuk membalas lawannya namun ternyata ia mengarahkannya ke sebuah pondok yang sepertinya merupakan pusat dari tempat ini. Dia bodoh sekali. Kenapa bukan melawan orang jahat itu? Lalu sebuah lingkaran hitam mulai menarikku. Pemandangan terakhir yagn kulihat adalah seorang wanita yang mendekati lelaki tua itu. 'Bertahanlah." ~~~ Aku tersentak bangun dari tidurku. Lalu mulai menyeka bulir-bulir keringat yang ada di dahiku. Kepalaku kembali berdenyut perih karena bangun dalam posisi terduduk di tempat tidur. AAh, mimpi itu lagi. Kenapa bisa aku memimpikan hal yang sama? Apa arti mimpi ini sebenarnya? Aku mengambil air putih yang tersedia di nakas samping tempat tidurku sambil menatap jam digital disana. 02.00 am Sepertinya aku tidak akan tidur lagi. Aku cukup beruntung karena besok adalah hari Minggu. Jika tidak, aku akan pusing menutupi mata pandaku. Aku memutuskan untuk keluar dari kamar. Aku tidak takut ada yang mendengar langkah kakiku karena makhluk-makhluk immortal itu tentu sedang ada di hutan malam ini dan Mama Lucy tidak mungkin dapat mendengarnya. Sekarang aku butuh coklat panas untuk menemaniku pagi buta ini. Lampu yang hidup di lantai dasar hanya di ruang makan yang berhubungan langsung dengan dapur. Cahayanya cukup minim namun aku tidak mengetahui letak saklar di dapur. Jadi aku hanya menggunakan cahaya dari lampu ruang makan yang dapat memancar hingga ke dapur. Tentu saja membuat coklat panas tidak akan begitu lama. Dapur keluarga Walcott begitu lengkap. Hah tentu saja! Aku mengambil semua bahan yang kubutuhkan dan terakhir menyeduhnya dengan air yang cukup panas. Aku mengaduk-aduk dan mendiamkannya sebentar hingga sedikit hangat sambil mencari roti yang dapat kugunakan untuk menemani meminum coklat hangatku. Aku mengambil coklat panas itu, menggerakkannya ke mulutku. Aku ingin tahu, apakah sudah cukup hangat untuk kuminum atau tidak. Aku memajukan sedikit bibirku, agar bibirku yang akan terlebih dahulu merasakan suhu minuman ini. Biasanya itu yang kulakukan agar mengetahui apakah makanan atau minuman itu sudah cocok di mulutku.
Lalu, Grep! Terang! "Aishh Shh.. Panas! Panas! Aw!" Aku mengaduh kesakitan sambil mengipasi mulutku. Yep karena begitu terkejut dengan keadaan yang tiba-tiba begitu terang, tanganku menuangkan coklat itu ke dalam mulutku tanpa aba-aba. Dan sialnya, suhunya masih begitu panas. Tiba-tiba dia ada di depanku. Sial! Bukankah ia sedang berburu bersama saudaranya? Kemudian tangan dinginnya memegang tanganku yang sibuk mengipasi mulut. Aku terdiam. Bahkan untuk kembali mengaduh kesakitan, aku tidak sanggup. Seperti biasa, aku sulit mengontrol tubuhku di hadapannya. "Buka mulutmu!" Aku langsung mengikuti perintahnya. Sial! Dia selalu bisa merusak refleks-ku. Dia terlihat menatap mulutku dengan serius sambil telunjuk dan ibu jarinya mengapit daguku. "Lidah dan langit-langit mulutmu terbakar,' ujarnya. "Tidak. Aku tidak apa—-apa,' bohongku. Padahal rongga mulutku benar-benar sakit. Sepertinya aku akan mati rasa beberapa hari ke depan. Aku bergerak mengambil cangkir coklat panasku di samping pantry dan ingin melangkah meninggalkan dapur. "Kau harus diobati;' dia menahan lenganku. "Tidak. Tidak perlu. Ini akan sembuh dengan sendirinya,' balasku sambil membuang pandanganku kemana saja, asal tidak menatap matanya. "Kau menghindariku?" Boom. Thats the point! "Menghindari apa? Untuk apa menghindarimu? Sudahlah! Aku ingin tidur. Aku ini manusia bukan vampir sepertimu.' Aku menyentak tangannya lalu segera berlari. Aku bisa merasakan tatapan geli yang dia lemparkan kepadaku. Sial! AKU MALU!!!! Flashback On. Aku menggeliat sambil mengusap kepalaku di sebuah daerah yang terasa bidang. Lama-kelamaan aku mengernyit heran. Bantal tidak mungkin sekeras dan sedatar ini kan? Cahaya matahari mulai menerobos mataku yang mulai membuka. Aku mengedipkan mataku dan mengamati sekeliling. Aku di sekolah? Ini parkiran khusus untuk makhluk-makhluk itu. Bagaimana bisa aku sampai disini? Dan ini sekitar pukul? Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. 09.47 Lalu sebuah hembusan napas terasa di puncak kepalaku. Aku mengangkat kepalaku dan mencari asal hawa panas itu. Ugh! What the—-?! Aku tergugu. lya, aku ingat. Aku menangis kemudian Esteve mengangkatku untuk duduk di pangkuannya. Lalu aku tertidur karena lelah menangis. Ugh, kebiasaan bodohku! Dan jangan katakan bahwa dia menyetir sambil memangku aku? Ketika aku menangis tadi, kami masih beberapa meter jauhnya dari sekolah. Bagaimana bisa dia melakukannya? Aku kembali mendongkak menatapnya. Mata hitamnya yang selalu menatap tajam kini tertutup. Wajah datarnya masih saja dingin seperti biasa namun sedikit lebih tenang dan polos. Sialnya dia tidak kehilangan ketampanannya. Dia tertidur dengan kanan menjadi bantalannya dan tangan kirinya mendekap erat tubuhku. Damn! Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya?! Aku menelan ludah dengan gugup melihat dadanya yang bergerak naik turun dengan teratur. Sungguh menggoda. shit! Hilangkan kemesuman dalam pikiranmu, Michel?! Tetapi apakah seorang vampir memiliki detak jantung? Aku mendekatkan telingaku pada dadanya dengan perlahan, mencoba agar tidak mengusiknya. Terdengar dengan jelas detak jantungnya yang memompa dengan cepat. Tetapi dia vampir bukan? Aku melihat tangan kokohnya yang meliputi pinggang dan perutku, seakan takut aku terjatuh. Aishh! Lelaki dingin ini ternyata bisa begitu manis. Lalu sebuah jaket tersampir di pahaku. Jaket? Seingatku aku tidak membawa benda itu dari mansion? Lalu bagaimana bisa benda ini berada di pahaku sekarang? Aku berusaha menggapainya untuk dilepaskan walau sedikit sulit karena dekapan Esteve begitu erat. "Jangan dilepas;' suara itu menghentikanku. Dia terbangun. Tangan kanannya yang semula adalah bantalan kini ia gunakan untuk mendekapku lebih erat. Sehingga aku benar-benar menempel pada tubuhnya. "Aku tidak dapat berjanji untuk dapat menahannya lebih lama lagi;' suaranya begitu tersiksa. Lalu hembusan napasnya terasa di leherku dan setelahnya ada kecupan singkat hinggap disana. Tubuhku sedikit terlonjak kaget ketika merasakan sentuhan itu. Otakku berusaha memanami maksud perkataannya. Dan setelah aku paham, aku tidak memiliki muka untuk melihat lelaki itu Flashback Off Jelas pada awalnya aku sulit untuk mengerti maksud dari kalimat ambigu lelaki itu. Tetapi setelah aku benar-benar mencernanya baru aku mengerti. Rok dari SHS-ku memiliki panjang hanya beberapa centi di atas lutut dan ketika aku menekuk kakiku, tentu saja roknya tersingkap. Hal ini benar-benar membuatku begitu malu. Saat itu aku bersama seorang laki-laki dan tentu saja dia memiliki nafsu. Untungnya dia tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan. Meski aku tidak begitu yakin setelah mendengar kalimat terakhirnya. Dan ya, sekarang aku menghindarinya entah sampai kapan. ~~~ Aku menghirup udara segar dari tempat ini. Mungkin karena mansion ini berada bersebelahan dengan hutan oleh karenanya udaranya begitu asri. Aku duduk di gazebo baru yang dibuat Papa tepat di samping kolam renang. Yap, menggantikan gazebo yang telah kubuat terbakar. Semilir angin membelai wajahku lembut. Pendengaranku dapat mendengar kicau-kicau burung yang merdu. Mansion kembali sepi saat ini, bahkan ketika sarapan hanya ada aku dan Mama Lucy di ruang makan. Kata Mama mungkin mereka masih tertidur karena kelelahan, apalagi hari ini adalah hari libur. Aku sedikit bersyukur karena hal itu. Setidaknya aku tidak perlu bertatap mata dengan kornea hitam itu. Aku tidak tahu mengapa, tetapi sekarang dia selalu ada di ritual sarapan. Entah hanya untuk menungguku atau mengganggu sarapanku. Kenapa kukatakan mengganggu? Karena ada saja tingkahnya yang membuatku menjadi bahan tertawaan saudaranya. Entah dia yang tiba-tiba mengusap puncak kepalaku atau mengusap bibirku yang kotor dengan tisu. Padahal dia tidak pernah berbicara di sana hanya melempar tatapan peringatan kepada saudara-saudaranya ketika tiap kali aku ditertawakan. Sial! Tentu saja aku senang dan juga malu. Oke, jujur aku sebenarnya rindu dengan dirinya. Aku memang sedikit melewati batas dalam menghindarinya. Aku selalu menolak setiap pada saudara—saudaranya yang lain. Padahal dia sudah menungguku menghabiskan sarapan. Begitu pula untuk pulang dari sekolah. Aku juga selalu menghindari setiap kali harus bersinggungan dengannya. Aku masih malu. Ego wanitaku memaksaku untuk menghindarinya. Tiba-tiba angin kencang terasa menerpaku hingga rambutku dengan berantakan menerpa wajahku. apa itu? Aku membuka mata. Damn! Ah, tubuhku. Aku menundukkan sedikit wajahku dan melihat matanya yang tertutup. Rambut hitamnya menari diterpa angin. Lalu menjadikan pahaku menjadi bantalannya. esteven Bagaimana bisa dia ada disini? "Ehm, a--apa yang--- yang kau lakukan?" tanyaku tergugu. Dia diam. "Bangun!" Aku menggoyang-goyangkan kakiku berusaha untuk mengusiknya. Dia membuka mata hitamnya. Menatap tepat di manik mataku. Tubuhku meresponnya dengan menegang. Ingatan tentang aku yang tertidur di pangkuannya justru kembali terbayang. "Buka mulutmu,' jari telunjuk dan ibu jarinya kembali mengapit daguku. ‘Aku membuka mulutku dengan gugup. "Seharusnya aku mengobatimu semalam,’ dia mendesis geram hingga aku merinding. Dia marah. Sebenarnya lidah dan rongga mulutku sedikit sakit. Ralat! Sangat sakit. Aku bahkan tidak bisa merasakan sarapan tadi dengan baik. Lidahku sedikit mati rasa. Aku menyesal tidak langsung mengompresnya dengan air es semalam. "Tidak. Aku tidak apa—apa,' ujarku berbohong lagi. "Bohong;' tukasnya. Aku menelan ludah gugup melihat tatapan tajamnya. Sial! Keluarkan suaramu, Michel! Tidak! Aku tidak akan pernah bisa bersuara jika tatapannya seperti itu. Aku menggerakkan tanganku untuk menutupi matanya sehingga menghalangi pandangannya yang tajam itu. "Jangan pandang aku seperti itu!" Fiuh, akhirnya suaraku kembali. Kakiku kugerakkan dengan kesal tanpa mengubah posisi telapak tanganku. "Sudah sana pergi. Aku tidak menyewakan jasa bantal disini! Jika ingin tidur, pergilah ke kamarmu;' seruku kesal. Dia mengambil telapak tanganku yang menutupi matanya lalu meletakkannya di antara rambut hitam legamnya, mengarahkan tanganku disana dengan gerakan mengusap. "Aku pernah menyewakan jasa bantal gratis di dadaku untukmu,' aku bersemu merah dengannya. Damn! Kenapa Esteve bisa mengatakan hal seperti itu dengan tampang datar "Apa kau tidak bisa membalas kebaikanku?" lalu dia segera menutup matanya. Bahkan aku tidak tahu kalau tanganku sudah mengusap rambutnya yang halus dengan sendirinya. Waktu berjalan dan hanya keheningan yang mengisi kami. Aku diam dan dia juga terdiam, mungkin pula tertidur. Tetapi aku begitu mencintai keheningan ini. Aku merasa nyaman di saat seperti ini. Seperti kami saling membutuhkan. Aku menatapnya lekat. Setidaknya aku bisa mencuri pandang melihat ukiran wajah yunani pada makhluk di depanku. Dia sungguh amat tampan. Apalagi dengan tatapan tajam bola mata sehitam malam itu. Yah, jika dikurangi sikap ketus dan dinginnya. Seandainya saja dia bisa sedikit ramah dan terbuka padaku, bukan berubah-ubah seperti bunglon. Terkadang manis lalu begitu mengesalkan. "Jangan menatapku seperti itu!"
Ketahuan! "Ti-~ tidak. Kau jangan terlalu percaya diri, vampir sialan!" seruku kesal sekaligus gugup. Matanya terbuka dan menampilkan bola mata hitam. Dalam hitungan detik, kurasakan bibir kenyal itu menempel di bibirku, memberikan sensasi dingin yang menggelikan. Dan ugh, manis. Meskipun bibir itu hanya menempel tanpa ada pergerakan, tetapi tetap saja bisa membuatku berdebar tidak karuan. Dan tatapan tajamnya benar-benar membuatku tidak berkutik. Aku yakin mataku sudah membesar karena tindakannya ini. Dia menyesap bibir bawahku sebelum melepas kecupannya. Oh jangan! Aku masih menginginkannya. Dia menatap bibirku yang masih membuka. Lalu mengusapnya dengan ibu jarinya. “Ini bukan pertama kalinya. Tapi ekspresimu selalu begitu;' dia tertawa pelan. God! Dia tertawa! Benar-benar sebuah kemajuan. Lalu dia kembali diam membuatku kehilangan pandangan yang menakjubkan. Salah satu tangannya beralih pada rahangku, mengusap dengan begitu perlahan. Lalu menyelipkan pada telingaku beberapa anak rambut yang nakal. "Aku tidak suka jika kau menghindariku." Aku kembali kehilangan kata-kata. ~~~ "Kalian masih disini?" aku bertanya heran melihat tiga makhluk ini masih duduk di ruang keluarga pada lantai dua mansion. Biasanya pada jam segini mereka sudah bersiap akan ke hutan. Mereka mengangguk. "Kalian tidak akan ke hutan?" tanyaku. Mereka serentak menggeleng. Aku mengambil bagian pada sofa sambil tertawa geli. "Ada apa dengan kalian? Hanya mengangguk dan menggeleng? Kalian kelaparan? Sudah pergilah ke hutan,' kataku. "Mom dan Dad sedang pergi,’ balas Urien. "Jadi kami di rumah saja saat ini"; tambah Ireneo. "Yah untuk menjagamu;' timpal Obelix. "Hah, padahal aku lebih takut jika kalian di rumah", gumamku membuat mereka menatapku. "Well, mungkin tidak pada Kak Neo dan Kak len. Tapi padamu Obelix astaga aku tidak bisa mengatakannya." Obelix mendelik padaku. "Ya, sini kugigit kau. Aku benar-benar kelaparan. Mengenai kelaparan aku tidak bisa bercanda dengan Obelix. Apapun mengenai makanannya, aku tidak memiliki ekspetasi dia hanya bercanda denganku. Pengalaman kemarin masih menjadi momok yang menakutkan. Obelix mendekatkan dirinya padaku. Aku sontak berdiri dan bersiap berlari. "hentikan lix" Alaric! My savior! Alaric mendorong Obelix hingga terduduk di karpet. Ireneo dan Urien tertawa melihat Obelix. Sedangkan Obelix mendelik kesal pada kakak sulungnya. "Aku bosan,' seruku ketika keheningan mengisi kami. “Home theater? Kurasa aku sedang ingin menonton flim", saran Urien. Aku berdiri dengan paling semangat, "ayo! Semuanya harus ikut' Obelix terlihat bermalas-malasan sehingga aku harus menariknya menuju home theater. Oh tentu keluarga Walcott memiliki home theater. Jangan tanyakan seberapa kaya keluarga ini. "Aku ingin film yang bergenre drama;' seruku. "Oh tidak. Tidak;' balas Obelix. "Horor atau tidak sama sekali." Aku mengerucutkan bibirku kesal. "Drama" "horor" "Drama,' balasku kekeuh. "Horor;' dia lebih kekeuh membuatku semakin kesal. "Oke keep calm guys. Ayo kita poling suara terbanyak;' usul Alaric. "Drama?" Aku menunjuk tanganku. Hanya aku! Sial! Aku menggerutu kesal. "Kalian jahat." Ireneo dan Urien sudah tidak bisa menahan tawanya. Aku semakin kesal. Alaric juga menatapku geli dan jangan tanya Obelix karena dia sudah menatapku dengan senyuman remeh sedari tadi. "Aku tidak jadi ingin menonton;’ seruku. Aku berbalik ingin keluar dari home theater "Childish;' seru suara lainnya. esteve! Kenapa dia bisa ada disini juga? "Hanya karena tidak sesuai dengan keinginanmu kau marah dan merajuk?" tambahnya. Aku mengigit pipi dalamku menahan kesal. "Ayolah Michel. Jangan terlalu penakut,' tambah Urien. "Aku tidak penakut." “Lalu itu apa? Hanya tidak pemberani?" tanya Obelix dengan sarkas. Aku menggembungkan pipiku dengan kesal. "Oke horor,' putusku. "Semoga aku masih memiliki nyawa setelah menontonnya;' bisikku pelan. Home theaterkeluarga Walcott begitu megah. Bahkan kata Ireneo, ini adalah design terbaru untuk home theaternya. Ayah mereka suka sekali mengganti-ganti design ruangan di mansion ini, khususnya hhome theater. Kali ini home theater memiliki tempat duduk dengan tingkat yang berbeda-beda. Posisi paling depan ada Obelix dan Alaric kemudian dibelakangnya menyusul Ireneo dan Urien.
Aku mencari posisi aman dengan mengambil tingkat paling belakang yang mendekati pintu keluar. Jika saja nanti aku memiliki kesempatan, aku akan keluar dari ruangan ini terutama jika film-nya benar-benar menakutkan. Selain itu, sofa ini begitu luas hampir seperti double beds. Tidak, bukan hampir namun memang sebuah double beds. Sepertinya keadaan sedang tidak berpihak kepadaku. Esteve memutuskan untuk ikut menonton. sial! Dari lima makhluk disini, kenapa harus dia yang duduk di sebelahku. Tolong, aku tidak bisa menatapnya tanpa merona. "Okay here we go!"seru Obelix senang. Aku cukup bersyukur dengan lampu ruangan ini yang mulai meredup. Aman, rona merahku tersembunyi. Film mulai berjalan. Dan seperti yang sudah-sudah kubayangkan aku pasti akan menciut ketakutan. Aku sudah menarik selimut untuk menutupi tubuhku. Yang paling mengesalkan dari menonton horor adalah ketika aku takut menonton kelanjutannya tetapi juga begitu penasaran. Sehingga aku selalu menutupi wajahku menggunakan tangan dengan jari-jari yang terbuka. Blam! "Aakkh!" sosok hantunya muncul. Aku tidak bisa menahan untuk tidak berteriak terkejut. Sedangkan yang lainnya sepertinya hanya sedikit terperangah. Lelaki di sampingku bahkan tidak terpengaruh. "Michel;' peringat Obelix karena teriakanku. Aku mencebikkan bibirku kesal. Aku selalu ingin menangis ketika menonton horor tetapi tidak benar-benar ingin menyudahi menontonnya sebelum selesai. Tiba-tiba keadaan kembali hening. Semuanya fokus menonton, kecuali aku yang tiba~tiba merasakan sesuatu menyentuh kakiku dengan sentuhan ringan. Popcorn yang tadinya ingin kumakan mendadak kubiarkan tergenggam pada tanganku. Tidak itu pasti hanya halusinasi. Sentuhan itu tiba-tiba menarik kakiku dan, "hooh!" "Argh. Pergi! Jangan ganggu aku." Aku merangkak dan memeluk partner se-sofaku, menyembunyikan wajahku di dadanya dan kakiku melilit perutnya. Aku mendengar tawa itu, milik Obelix sialan! Mereka tertawa. Mereka mengerjaiku. "Itu tidak lucu;' suaranya. Esteve. Objek yang sedang kupeluk ini. sial "Kau mengambil kesempatan dalam kesempitan Michel;' seru Obelix. Aku melempar remahan popcorn padanya. "Pergi kau! Pergi! Dasar menyebalkan! Obelix sialan!" Dia menjulurkan lidah padaku lalu kembali ke sofanya dan film kembali dilanjutkan. Mereka benar-benar mempersiapkan untuk menakutiku karena film bahkan di-pause sebentar. Lihat saja, aku akan membalasmu Lix. Aku mendadak kaku setelah menyadari posisiku saat ini. Michaela bodoh! "Ma-maaf;' aku melepaskan lilitan kaki-ku dan segera menjauh. greep! Dia menarikku kembali hingga bersandar di dadanya. Jantungku. Aku mencoba fokus pada film dan tidak bertanya apa-apa atas tindakannya. Selain karena aku juga senang, aku juga tidak ingin menjadi olokan Walcott bersaudara jika melihat posisi aku dan dia lagi. Yah, tetapi aku jadi gagal fokus pada film di depanku. Dia berbisik pada telingaku, tepat pada telingaku dengan suara pelan. Mungkin saudaranya tidak akan bisa mendengar bisikannya karena ditutupi oleh suara dari film yang diputar dengan cukup keras. "Apa yang kukatakan mengenai umpatan?" Dengan gerakan refleks aku menggigit bibirku. Namun tangannya juga dengan cepat menyapu bibirku dan melepas gigitanku. "Bibir ini selalu ingin dihukum. Atau pemiliknya terlalu menyukai hukumannya?" Sial! Rona merahku menyebar begitu cepat. Kali ini dia mulai dengan mengigit bibirku kemudian menyesapnya, mengecupnya lembut dan menyesapnya kembali. Sunguh hanya kecupan sederhana tetapi rasanya ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di perutku. ‘Aku menyembunyikan wajahku ke dadanya ketika kecupan itu berakhir. Argh, jantungku! Kami kembali menonton. Kali ini benar-benar menonton dengan baik. Meski setiap kali ia mengusap pelan punggungku dengan jemarinya atau ketika dia memberikan kecupan ringan di rambutku, well aku harap rambutku cukup harum. Aku selalu kehilangan fokus Well, kami tidak berubah posisi sama sekali. Bisakah ini dinobatkan sebagai minggu terbaikku? ~~~ Pagi beranjak datang dengan cepat. Aku sudah mulai bersiap-siap ke sekolah di awal minggu ini. Mengenai kemarin malam, well kami semua tertidur di ruang teater. Dan paginya Mama Lucy membangunkan kami dengan ceramahannya ketika dia sudah lelah mencari kami dimana-mana setelah tidak menemukan kami di kamar masing-masing. Cukup setimpal untuk hari kemarin yang sangat berharga. Sebelumnya turun untuk sarapan, aku mematutkan diri untuk melihat penampilanku pada cermin. Aku menatap terkejut pada bayanganku yang ada di cermin. Sekali lagi aku mengerjapkan mataku, memeriksa apakah yang kulihat itu salah. Tetapi tetap sama. Aku mulai merasa takut. Kukedipkan lagi mataku untuk kesekian kalinya. Dan bersyukurnya aku karena keadaan kembali normal. Ah, mungkin mataku belum melihat dengan jelas sebelumnya. Mungkin penglihatanku samar. Bagaimana bisa aku berpikir bola mataku berubah menjadi biru? Bola mataku berwarna hazel. Tidak akan bisa berubah menjadi biru. handel dan biru? ~~~ Aku terdiam sambil menyusuri langkahku menuju meja untuk sarapan. Kepalaku berdenyut perih, tetapi tetap tidak bisa menghentikan diriku untuk memikirkan mimpi yang kualami semalam. Ini bukan mimpi buruk seperti yang kualami beberapa hari belakangan ini. Ini tentang aku yang memimpikan kedua orang tuaku. Aku bertemu mereka semalam di sebuah tempat yang sungguh indah, bercanda dan tertawa bersama mereka. Bahkan Daddy yang jarang tersenyum dengan mudahnya mengeluarkan tawa. Lalu tiba-tiba semuanya menjadi mimpi buruk yang menyeramkan. Ketika mereka tiba-tiba menjauh dan menghilang dengan air mata di pipi mereka. Beberapa makhluk aneh menarik mereka menjauh dariku. Sialnya makhluk itu vampir dan werewolf. Aku bingung dengan arti semua ini. "Kau baik-baik saja, Michel?" Mama mengusap kepalaku dengan lembut. Aku mencoba membalas senyumnya. Meski aku tahu wajahku terlihat mengerikan saat ini. "Aku baik-baik saja Ma;' kataku menenangkannya. Mama mengusap lingkaran panda di sekitar mataku dengan perlahan. Wanita itu berujar, "kau bermimpi buruk lagi?" Yap, aku menceritakan padanya bahwa aku sering mengalami mimpi buruk. Tetapi tidak memberitahukan isi mimpi itu padanya. "Ya;' ujarku lemas. Mama menggumam lirih. "Apa ma?" tanyaku. "Tidak. Bukan apa-apa." ~~~ Gerald merengut kertas di tanganku, "kau tidak harus melakukannya michel?" Aku segera menarik kertas itu kembali. "Aku sudah berjanji padamu;,’ tukasku sambil kembali menatap layar laptop di hadapanku. "Aku tahu. Tetapi saat itu keadaanmu baik-baik saja." Aku memijat pelan dahiku. Aku memang sudah berjanji pada Gerald untuk membantunya mengerjakan sebuah proposal untuk event sekolah. Aku tidak tega membiarkan dia mengerjakannya sendiri. Apalagi pekerjaan dari perusahaannya juga sudah cukup banyak. Hah, aku tidak mengerti kenapa mereka harus bersekolah jika sudah memiliki pekerjaan? “Istirahatlah." "tidak" Setiap kali aku menutup mata untuk tertidur, kejadian itu kembali datang dan menjadi mimpi buruk. Bahkan dalam tidur pun aku tidak mendapat ketenangan. "Ya, kurasa kau butuh istirahat Michel. Matamu benar-benar mengerikan,' timpal Ireneo tetapi tidak aku gubris. Aku kembali menatap layar laptop. "Tidak akan ada yang akan memarahimu hanya karena kau meninggalkan kertas itu, bahkan Gerald pun tidak. Kau bahkan tidak memiliki kepentingan disana;’ ujar Rai. Yap, hanya ada kami berempat disini. "Tidak. Aku sudah berjanji membantumu waktu itu Kak;' tegasku. Lalu tiba-tiba layar di depanku menjadi gelap. Astaga! Aku belum menyimpan data-data itu! Kemudian, sebuah tarikan terasa di pergelangan tanganku. Sosok itu menatapku tajam penuh dengan kekesalan dan amarah. Aku menelan saliva dengan gugup ketika melihat tatapan yang ia lemparkan padaku. Tanpa aba-aba dia menarikku dengan langkah lebar. Aku tidak memiliki niat untuk menyuarakan pemberontakan apapun padanya. Yang dapat kudengar hanya teriakan Gerald. "Michel! Kenapa kau tidak menyimpan datanya!" pekiknya frustasi yang membuatku tersenyum geli membayangkan wajah kesalnya. Esteve membawaku menuju sebuah ruangan dibalik pintu yang bertuliskan namanya. Aku sedikit bergidik takut, mengingat kejadian terakhir disana yang sungguh memalukan. "Tidur!" dia menunjuk dengan dagunya tempat tidur di ruangan ini. Aku menggeleng. "Tidak mau. Aku tidak mengantuk dan aku sudah mengatakannya sedari tadi. Jangan pikir karena kau yang-- Akkh!" ucapanku terputus ketika sekarang ia sudah membopongku ke atas tempat tidur dan menempatkanku disana. Aku berontak dan ingin segera berdiri. Namun aku kalah cepat, karena ia sudah mengunci tubuhku di dekapannya. "tidur" Aku menggeleng pelan menatap matanya yang kini entah bagaimana dapat memberi ketenangan di antara sejuta rasa takut yang kurasakan. "Aku takut." Dia menarik kepalaku menuju dadanya, menyembunyikan wajahku disana. Dengan perlahan dikecupnya ubun-ubun kepalaku membuat tubuhku menegang. Segera dia mengusap punggungku dengan perlahan membuat ketakutanku memudar. Kemudian aku menggeliat mencari posisi nyaman di dadanya. Secara kontinu dia tetap mengusap punggung dan puncak kepalaku mengirimkan rasa kantuk pada diriku. Dapat kurasakan sesekali dia memilin—-milin ujung rambutku. Sehingga mataku semakin tertarik untuk menutup. "Terimakasih, bisikku sebelum akhirnya memasuki alam mimpi." ‘Selamat tidur sweetheart. Jangan takut. Iidak akan aaa yang menyakitmu. Aku disini;" itu suara lelaki yang selalu mengingatkanku banyak hal. "Pangeranmu disini." ~~~~ Siang itu aku sedang duduk di kantin sekolah. Awalnya kupikir aku akan duduk sendiri disini, mengingat sahabatku Helena sedang tidak masuk tanpa keterangan. Aku juga tidak tahu dia kemana, memberiku kabar saja tidak. Pesan yang kukirim saja tidak dibalasnya. Dan baru kusadari, aku tidak memiliki teman selama ini selain dirinya. Tiba-tiba para lelaki tampan itu mendatangiku dan duduk di meja yang sama denganku. Sial! Eldric, Rafael, dan Kelvin melakukan itu semua dengan tampang tidak bersalah. Sedangkan sedari tadi tatapan tajam senior sudah terlempar padaku. Gila, para lelaki ini sedang mengumpankan aku. "Makan saja Michel;' Eldric menyuapkan sebuah kentang goreng ke mulutku. Aku menatapnya kesal. Tindakannya justru akan memperkeruh keadaan. "Tenang saja Michel. Tidak akan ada yang menyakitimu,' ujar Rafael sambil memainkan bola basketnya di lantai kantin. Lalu dia pergi memesan makanan. Kelvin bahkan sudah menyesap jus pesananku. “Itu milikku,' sergahku kesal dan langsung memukul pundaknya kesal. Meski sama sekali tidak berpengaruh padanya. "Aku haus,' dia menyengir padaku. Aku semakin merengut kesal, "kau yang membayar makananku." Senyum miring andalanku kulempar padanya. "Yah up to you. Hartaku tidak akan habis untuk membayar makanan ini" Cih! Sombongnya! "Sombong sekali! Kalau begitu pesan milikmu sendiri. Jangan ganggu miikku;' balasku. Aku memakan suapan kentang yang disodorkan Eldric padaku. "Milikmu rasanya lain sayang", ujarnya dengan senyum menggoda dan membuat beberapa wanita memekik gemas. Tetapi rasanya aku justru ingin muntah mendengar rayuannya. Habh, dia persis seperti Paman Azka. Aku mulai kembali berkutat dengan ponsel sambil sesekali menerima suapan kentang dari Eldric. Aku sudah melarang Eldric untuk melakukannya. Namun dia menolaknya, dia berkata bahwa ia senang melakukannya. Lalu, sebuah kentang beroleskan saus hendak ia suapkan padaku. Tetapi Eldric justru mengoleskannya pada hidung dan pipiku. "Kak!" jeritku kesal. Cekrek! Suara kamera yang sedang menangkap gambar terdengar. Pelakunya adalah Rafael yang memberiku tatapan geli. Kemudian, ketiga makhluk itu sudah lari ke /ift terdekat. "Fuck you!" teriakku. Kuambil beberapa tisu lalu berlari menyusul mereka. ~~~ "Kak! Berikan ponselmu!" teriakku pada Rafael yang sedang berlari menuju private room. Lorong di lantai ini memang sepi karena hanya ada satu ruangan disini. Ketika aku sudah berada di dekat Eldric, kusempatkan untuk menarik kesal rambut coklatnya hingga ia memekik kesakitan. "Berhenti tertawa Kak Kelvin atau kupastikan kau akan merasakan hal yang sama!" peringatku yang membuat dia berhenti tertawa meski matanya masih memancarkan kegelian. Akhirnya aku bisa mencegat Rafael dan berusaha mengambil ponsel di genggamannya. Dia segera melemparkan ponsel tersebut kepada Kelvin dan ditangkap dengan baik. "Kak, berhenti bermain—-main." Tetapi mereka justru menertawakanku dan membuatku semakin kesal. "Wajahmu cukup cantik disini Michel;' Kelvin memperhatikan fotoku disana. "Apalagi dengan tambahan blush on dari Eldric." Aku mendelik kesal pada Eldric. "Kau benar-benar mengesalkan Kak EI" Tunggu pembalasanku setelah aku mendapatkan ponsel itu. Kelvin kembali melemparkan ponsel itu ke arah Eldric. Aku lekas menatapnya dengan pandangan membunuh. "Oh jangan menatapku dengan pandangan seperti itu sayang;' dia mengedipkan sebelah matanya padaku. Ugh! Aku berusaha menggapai ponsel itu yang sudah diangkatnya dengan tinggi Aku benar-benar membenci tubuh pendekku saat ini. Dia kembali menyembunyikan ponsel itu di belakang pinggangnya. "Berikan ponselnya Kak!" Terakhir dia menyembunyikan ponsel itu di belakang kepalanya dan menatapku dengan pandangan menantang. Aku mengalungkan kedua tanganku di belakang kepalanya sambil berusaha meraih ponsel itu dengan sedikit berjinjit. Bahkan deru nafas Eldric dapat terasa di sekitar telingaku. "Apa yang sedang kalian lakukan?" suara Alaric menyentak kesadaranku. Dia baru saja keluar dari private room bersama, err Esteve. Aku menatap wajah Eldric yang terasa dekat. mati. Aku segera menjauh memberi jarak. Tetapi terlambat! Dia sudah melihatnya. Esteve menatapku dengan tatapan tidak terbacanya. Setelahnya dia memutuskan kontak mata itu dan berlalu begitu saja dari hadapanku. Aku tidak suka melihatmu bersama lelaki lain. ~~~ "Ugh ada yang sedang merana disini;' suara itu mengalihkan perhatianku dari benda persegi panjang yang mengeluarkan gambar dan suara itu. Pemilik suara itu mengambil posisi duduk di sampingku. Aku tetap diam dan mulai mengganti siaran dengan remote di tanganku. "Tidak berburu?" tanyaku mengingat saudaranya yang lain sudah pergi ke hutan. Dia mencomot makanan ringan milikku dan menggeleng. "Kenapa?" "Sedang tidak berselera" "Kau sedang bertengkar dengan Esteve?" tambah Ireneo lagi. Seketika fokusku langsung tertuju padanya. "Rafael berkata pose mu dan Eldric sangat mendukung untuk dijadikan iklan tertentu untuk sepasang kekasih." plakk!! spontan aku memukul kepala ireneo dengan bantal sofa namun dia justru tertawa "tidak, aku dan dia baik - baik saja" sergah ku. bohong! "sungguh?" tanyanya dengan nada mengejek " lalu kenapa aku tidak pernah melihat kalian bersama lagi akhir - akhir ini? aku juga tidak pernah melihat dia menemanimu tidur lagi " aku merona, sial! " apakah semua mengetahuinya?" tanyaku hati - hati. "tentu saja, biasanya dia selalu terlambat datang ke hutan, ternyata dia harus menidurkan mu terlebih dahulu" ireneo tertawa "astaga! kau tidak perlu mengatakan dengan kata 'menidurikan'. itu seolah- olah" aku bingung untuk melanjutkan kalimatku "seolah -olah apa?" dia menatapku jahil. aku mengeram kesal "ah sudahlah". esteven memang selalu melakukan hal itu beberapa hari kebelakangan, dia akan menyempatkan diri kekamarku sebelum berburu kehutan, hanya untuk menidurkan aku dan membelaiku. * ~~~~*
Thank you
Support the author to bring you wonderful stories
Cost 112 diamonds
Balance: 0 Diamond ∣ 0 Points
Book Comment (66)
Sinta Queena Reborn
aku suka alur ceritanya... bikin kesel, greget sekaligus gemes sm es batu nya esteve..
04/07/2022
2
Rada Dan Yasir
kenapa lama bnget ceritanya kk ... sya sudh chek setiap hri tapi masih lom dilanjut lanjut kak . ayo dong semngat kak .. lanjutin lagi kak .
aku suka alur ceritanya... bikin kesel, greget sekaligus gemes sm es batu nya esteve..
04/07/2022
2kenapa lama bnget ceritanya kk ... sya sudh chek setiap hri tapi masih lom dilanjut lanjut kak . ayo dong semngat kak .. lanjutin lagi kak .
21/06/2022
0so nice
4d
0View All