lanjutt!! pemandangan di belakangku. "Cool, right?' "WHAT THE HELL MICHEL ?"'seru mereka panik. "Kau sedang ada dimana Michel?!" teriak Obelix. "Itu seperti rumah pohon kita," cetus Urien. "Bagaimana kau bisa sampai disana Michel?" tanya Alaric panik. Alaric yang penuh ketenangan saja bisa sepanik itu melihatku disini. "Ini benar-benar bahaya. Apa kita tidak bisa segera pulang saja?" seru Ireneo. Sekarang justru aku yang panik. Hell! Mereka akan pulang hanya karena aku. "No. Tidak perlu. Aku disini tidak sendirian. Aku bersama Kak Eldric" lalu aku menggeser smartphone-ku agar bisa menampilkan wajah Eldric. "Hai kembar!" sapa Eldric dan mereka terperangah. "Kenapa kalian bisa bersama?" tanya Urien. "Aku akan membunuhmu kalau terjadi apa-apa dengan Michel" ancam obelix "Jangan pulang terlalu larut El" pesan Alaric. "Bagaimana kalian bisa bersama?" tanya Ireneo. "Well, aku hanya menemaninya selama kalian tidak ada" jelas Eldric. "Ya, setidaknya aku terhibur meski kalian tidak ada. Kak Eldric mengajakku bermain bersamanya" ujarku senang. "Bermain?" "Bola basket" jelasku. "Dia cukup baik ternyata,"kata Eldric. Aku sedikit malu. "Aku juga baru tahu ternyata werewolf sekuat itu. Kak Eldric menggendongku hingga kami sampai di rumah pohon" ceritaku pada mereka. Lalu terdengar suara gaduh dari ujung sana dan suara pintu yang terbanting kuat. "Ada apa?" tanyaku pada keempat pria di layar yang wajahnya sedikit menunjukkan kekhawatiran. "Tidak ada apa—apa Michel. Lekaslah kembali. Disana sedikit berbahaya ketika malam. El, jaga dan antar Michel" pesan Alaric. Eldric mengangguk. "Oke. Bye Michel" seru mereka dengan senyum sedikit terpaksa. Kenapa? ~~ author pov Kenyataannya selama panggilan video itu berlangsung, Esteve ada disana. Mendengar semuanya meski tidak terlihat kamera. Keempat saudaranya menggunakan laptop untuk menghubungi Michel dan Esteve duduk di kursi di belakang meja dimana laptop itu diletakkan. Esteve sedang membaca sebuah buku, meski sebenarnya ia tidak mengerti isi buku tersebut karena telinganya hanya fokus mendengar suara gadis yang ia rindukan itu. Mendengar pernyataan sang kakak yang ingin memeluk mate-nya saja sudah membuat hatinya kesal. Tetapi dia tetap sukses dengan menampilkan wajah datarnya. Michaela tidak menyebut namanya ketika saudaranya bertanya tentang siapa saja yang gadis itu rindukan. Esteve tetap berusaha terlihat baik-baik saja. Walau buku yang ia pegang sudah cukup kusut karena cengkramannya yang begitu kuat pada buku tersebut. Padahal dia setengah mati merindukan gadis itu. Tetapi gadis itu bahkan tidak mengingatnya. Lalu ketika Esteve tahu bahwa gadisnya berada di hutan, dia benar-benar merasakan oksigen hilang di sekitarnya. Kepanikan mulai mencekik dirinya dengan kuat. Banyak makhiuk yang menginginkan gadis itu dan bagaimana bisa gadis itu sekarang mengumpankan dirinya sendiri ke hutan? Dia hampir saja loncat dari tempat duduknya dan kembali ke kota itu jika tidak mendengar nama Eldric yang disebut. Gadisnya asekarang bersama Eldric. Esteve sekarang merasakan hal yang lainnya. Dia bahkan sulit mendeskripsikannya. Ada sesuatu yang menyentil hatinya. Dan dia tidak suka itu. Bahkan lebih tidak suka daripada saat Obelix memapah Michel ke kamarnya. Kejadian itu yang membuat dia tidak mendatangi tempat kencannya dengan Michel kemarin. Itu semua karena perasaannya yang menjadi jengkel ketika melihat kebersamaan adik dan mate-nya itu. Dan sekarang saat bersama Eldric, dia jauh lebih tidak suka. Apalagi mendengar bibir gadisnya yang memuji temannya itu. Esteve rasanya ingin meledak. Bermain basket bersama? Sebenarnya sudah sejauh apa kedekatan mereka? Esteve sudah tidak ingin mendengarnya. la ingin pergi. Dia melemparkan asal bukunya. Lalu membanting pintu dengan kuat untuk menunjukkan emosinya. Chel-nya benar-benar bisa mengendalikan emosinya. Esteve masuk ke ruangan lain di rumahnya. Ruangan manapun yang tidak bisa menangkap suara Michel. la dibuat bingung dengan perasaannya sendiri. "Apa lagi Esteve?" tanya suara itu. Suara ayahnya. "tidak." "Dad tahu Esteve. Aku juga pernah muda sepertimu"' terangnya. Esteve mendengus. "Wanita itu tidak akan mengerti jika kita tidak menunjukkan apa yang kita rasakan. Mungkin akan mudah bagimu untuk membaca ekspresi Michel. Tapi apa dia mudah untuk mengerti dirimu yang tidak terbaca ini?" tanya Edmund sambil menyesap kopinya. "Aku tidak meminta dia untuk mengerti aku. Kedekatan kami adalah paksaanmu. Kau yang meminta kami bertunangan" seru Esteve. "Oke. Jadi kau tidak ingin aku mengatakan kalau kau dan dia dijodohkan. Kau ingin aku mengatakan bahwa kau dan dia adalah mate?" tanyanya. "Tidak. Aku tidak ingin terikat dengan siapapun"' tegas Esteve. "Kalau begitu kau siap untuk melihatnya terikat dengan yang lain?" desak Edmund lagi. Esteve membayangkannya. Michel tertawa dan bersanding dengan yang lain, saling memeluk, saling memiliki, saling men-- Tidak. Tidak! Esteve tidak bisa membayangkannya. Esteve sudah akan beranjak pergi lagi dari ruangan itu. "Nah untuk membayangkannya saja kau tidak sanggup" Edmund terlihat senang karena berhasil membungkam anaknya itu. Edmund kembali berujar, "Kau harus bangkit Son. Percayalah dia memang takdirmu dan jangan biarkan masa lalumu menghalanginya." Esteve berdiri kaku di tempatnya. "Kau tidak bisa memukul rata semua wanita sama sepertinya. Dia sudah pergi dan jangan menyamakannya dengan wanita iblis itu" kata Edmund lagi. Edmund menghela napas lelah. "Aku tidak mau merasakan sakit yang sama lagi" cetus Esteve. "Michel takdirmu. Percaya saja" saran ayahnya. Kali ini Esteve yang menghela napas lelah, "akan kucoba." ~~~~ Dering terdengar dari ponsel canggih milik Michaela di antara malam yang sunyi. Dia baru saja pulang dari hutan bersama Eldric. Dan sudah bersiap-siap untuk menyusul Helena ke alam mimpi, jika saja dering itu tidak terdengar. Id caller-nya menunjukkan kata orang aneh. Dia sudah berniat untuk tidak menggubris panggilan itu. Namun sesuatu di hatinya berdesir penasaran. Jika orang kemarin hanya-lah salah sambung, dia tidak mungkin akan menelpon Michel lagi di jam yang hampir sama seperti malam kemarin. Michaela menggeser tombol answer. "Halo, sapanya. Sama seperti kemarin malam, yang terdengar hanyalah deru napas teratur. "Sebenarnya aku tahu kau mendengarku. Tapi aku masih tidak mengerti kenapa kau tetap tidak membalas sapaanku. Jika memang hanya salah sambung, kupikir kau tidak harus kembali menelponku bahkan di jam yang hampir sama seperti kemarin malam. "Kau siapa?” desak Michel. Tetapi yang ia dengar hanya dengusan geli. "Ah seharusnya aku sudah tahu sedari awal. Kau tidak akan pernah berbicara sedikitpun. Baiklah. Terserah padamu. Selamat malam" kesal Michel. Dia sudah akan menekan tombol untuk mengakhiri panggilan. Jika saja ia tidak mendengar sebuah suara dari ponselnya. "Selamat malam. Mimpi indah." Michel menegang. Bahkan ketika suara sambungan itu terputus, Michaela masih tetap setia menatap layar hitam di ponselnya. Rasa keterkejutan itu masih mendominasi dirinya. "Tidak. Tidak mungkin" Michel menepuk kepalanya dengan keras. "Aku benar-benar berhalusinasi" pipinya kembali ia pukul dengan sedikit lebih keras. "Tapi hanya dia yang memiliki suara sedingin itu" pikir Michaela lagi. "Benar-benar mustahil kalau itu adalah Esteve Graffielo Walcott." Selamat malam. Mimpi indah. ~~~~ Michaela POV “AKu lelah, Lena!” sungutku padanya. "Dan aku rasa semua toto dan materi yang kita catat sudah lebih dari cukup." Lena terlihat cemberut, "tapi aku masih ingin jalan-jalan dan mengelilingi tempat ini. Hanya jalan-jalan. Janji. Tidak ada lagi materi dan foto!" Helena memberikan tanda peace-nya padaku. Aku mendengus. Muka lugu dan puppy eyes andalannya hanyalah kedok yang ia pasang. Lihat saja, sebentar lagi ia akan menyiksaku dengan menyuruhku memotretnya dengan beberapa gaya narsisnya. Kami kembali lagi menyusuri museum. Lelah? Tentu saja. Tetapi tidak dengan manusia di sebelahku yang tetap menarik tanganku menyusuri tempat ini dengan semangat. Beberapa menit setelahnya, telepon genggamku bergetar di saku. Aku membaca id caller yang tertera dan betapa terkejutnya aku ketika melihat nama penelpon yang sama seperti malam kemarin. Orang aneh. terima? Tolak? terima? Tolak? Aku menimang-nimang. "Ada apa Ela?" tanya Lena. "Tidak ada apa-apa" aku kembali memasukkan teleponku ke saku dan berjalan bersama Helena. Aku kembali mendesah lelah. "Aku lelah dan lapar Lena." Helena hanya memberi cengirannya padaku. "Oke kita akan makan." Aku mengangguk. "Aku ke toilet sebentar. Kau yang cari tempat makan untuk kita dan segera share location padaku." "Oke." Aku melangkah masuk ke toilet dan keadaan toilet benar-benar kosong. Aku sedikit membasuh wajahku agar terlihat lebih segar. "Apa benar nomor tadi milik Esteve?" tanyaku pada bayangan di cermin. "Sepertinya tidak. Hah, dia menelponku adalah kemustahilan" balasku lagi "Tetapi kenapa suaranya benar-benar seperti suara miliknya?" tanyaku gila. "Ah aku benar-benar gila dengan berbicara sendiri" aku mendengus dengan menyiramkan air keran kembali ke wajahku lalu membasuhnya dengan tisu. Setelah kembali bercermin dan merapikan bajuku, aku melangkah keluar dari toilet. "Apa sesulit itu menekan tombol answer pada telfonmu?" suara itu sukses menghentikan langkahku. Blank! Itu yang aku rasakan. Aku berdiri mematung dengan kaki yang terpatri di lantai. Bibirku pun menjadi kelu. Aku hanya bisa menatap tidak percaya pada sosoknya yang bersedekap sambil menyandarkan diri pada dinding pembatas toilet wanita. Matanya memberi tatapan intens padaku. Tanpa aba-aba dia menarik tanganku dan ragaku kembali dapat kukuasai setelahnya. "Hah, kau akan membawaku kemana?" tanyaku panik. Tetapi seperti tidak mengenal Tuan Dingin ini saja. Baginya setiap kata yang ia keluarkan tentu berbayar. "Hei, kau ingin membawaku kemana? Bagaimana dengan temanku?" Tiba-tiba ia berhenti dan membuatku terbentur punggung kekarnya. akh!.
"Ish sia--"cepat-cepat aku menutup mulutku ketika ia memberikan smirk evilkebanggaannya. Sialan! Kalau saja aku tidak ingat akan peringatannya kemarin. Kemudian dia menyodorkan tangannya padaku. apa? "ponsel?" "Milikku? Untuk apa? Kau memiliki punyamu sendiri)’ balasku. Dia terlihat menggeram, lalu mengambil tasku dan mencari sesuatu yang diinginkannya. Ponselku? Dia terlihat mengetik sesuatu dan mengembalikannya lagi padaku. Belum sempat aku memeriksa apa yang telah dilakukannya, dia sudah kembali menarik tanganku. Lelaki ini menyeretku mendekati mobil yang terparkir di luar museum. "Masuk"dia membuka pintu mobil untukku. "Kau akan membawaku kemana? Bagaimana dengan te--"sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, dia sudah lebih dahulu mendorongku kasar agar masuk ke mobil. Lalu dia berjalan menuju kursi supir. Ugh, ada apa dengannya? Setelah mengingkari janjinya kemarin, sekarang dia bisa datang tanpa rasa bersalah. Aku benar-benar ingin menampar wajah datarnya. “Esteve" aku memanggilnya dengan nada menuntut penjelasan. Kali ini dia melihatku. Aku tetap berusaha pada pendirianku untuk balik menatapnya dengan tajam, berusaha untuk tidak terintimidasi dengan tatapannya. eugh!! Tidak. Aku tidak bisa. Sialan! Pipiku justru berkedut tidak wajar hanya karena sebuah tatapan intensnya. Aish! Pipi sialan! Dia mendekatkan tubuhnya padaku. Cobaan apa lagi ini ya Tuhan? Seharusnya aku sedang marah dengannya saat ini! Dia semakin mempersempit jarak di antara kami. "Kau mau apa?" Aku berusaha menjauhkan tubuhku darinya dan menjaga nada suaraku agar tetap tenang. Tetapi yang terdengar justru seperti tikus yang terjepit pemangsanya. Damn it! "Esteve" peringatku lagi. Tetapi dia kembali tidak terpengaruh. Sial! Aku sudah dapat merasakan hembusan napasnya di sekitaran wajahku. Pipiku kembali berkedut. Apa dia akan menciumku? Aku menutup mata. Bibir lembutnya ingin menciumku? Lalu suara tarikan seatbelt dan bunyi 'klik' tertangkap telingaku. Lantas aku membuka mata dan melihat leher jenjangnya terpampang di depanku. Brengsek! Dia hanya memasang sabuk pengaman. "Aku senang kau menyebut namaku" bisiknya persis di telingaku dengan lembut. Dan setelahnya kecupan singkat itu terasa di pelipis wajahku. Damn it! Aku memerah! ~~~ Aku kesal. Benar-benar kesal. Tetapi dia yang berada di depanku justru hanya menunjukkan wajah datar tanpa ekspresi. Lalu untuk apa kami melakukan ini semua? "Michel, pasang cincinnya pada jari Esteve" ujar seseorang. Yah, engagement! Fucking engagement! Setelah dia menarikku dari museum dan meninggalkan sahabatku disana. Lelaki ini membawaku ke sebuah salon kecantikan, mengatakan sesuatu pada seseorang disana kemudian pergi meninggalkanku. Rambutku hanya ditata dengan natural, begitupun dengan make-up yang digunakan. Tetapi seperti yang kita ketahui tentang kekuatan magis dari make-up, aku benar-benar merasa cermin tidak benar-benar menampilkan diriku. Kemudian aku diberikan sebuah gaun pesta indah yang berwarna merah darah yang harus kukenakan. Keempat pria tampan lainnya kembali menjemputku. Mereka juga mengenakan setelan jas mahal. Hampir saja mereka bertiga memelukkuy, jika Alaric tidak mengingatkan sesuatu kepada mereka "Jangan membuat dia marah karena aroma tubuh kalian yang melekat di tubuh Michel"' begitu kira-kira yang Alaric katakan. Aku tidak mengerti. Aku pikir akan ada suatu pesta yang harus kami hadiri. Tetapi tidak terbesit di pikiranku bahwa pesta itu adalah pertunanganku sendiri. Aku muak! Aku benar-benar tidak mengerti kenapa ia tetap menginginkan pertunangan ini berjalan jika tampang yang ia berikan saat ini sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan. Dan aku masih tidak memaafkan tentang janji yang ia ingkari terakhir kali. Bagaimana aku bisa mengharapkan hal positif dari hubungan ini? Satu-satunya hal yang ingin kulakukan saat ini adalah menangis dan memukulinya. Lalu berteriak mengatakan betapa aku membencinya. Tetapi aku tidak ingin membuat Papa dan Mama-nya malu. Deru tepuk tangan terdengar ketika cincin itu terpasang di jarinya. Cincin yang sama yang juga sudah terpasang di jariku. Acara utamanya telah selesai. Semuanya mulai berbaur, begitupun aku dan lelaki ini. Tidak banyak tamu yang diundang, sepertinya hanya 20 keluarga saja. Benar-benar sedikit untuk orang sekaya Mr. Walcott. Tetapi yang sedikit aneh adalah tatapan mata para tamu yang terus mencuri pandang ke arahku. Aku bingung. Aku tahu party ini tentang aku. Tetapi jenis pandangan yang mereka lemparkan cukup misterius dan sedikit menyesakkanku sebenarnya. Aku tidak nyaman. Belum lagi tangan Esteve yang melingkari pinggangku meski aku sudah menunjukkan penolakan. Aku menyukainya tetapi untuk saat ini aku ingin dia tahu bahwa aku memiliki harga diri dan aku tidak lemah. Lagi pula, aku tidak ingin dia melakukan semua ini hanya untuk sebatas sandiwara. Sepasang suami istri menyapa kami, "Hai Michaela." Sang suami mengulurkan tangannya padaku. Aku membalasnya. "Michel saja, Mr?" "Brian Walker. Panggil saja Brian tanpa kata Tuan," balasnya dengan senyum yang tulus. Aku juga menjabat tangan istrinya. "Nyonya Walker;' ujarku. "Tante Bella. Itu terdengar lebih akrab Michel,' jawabnya. "Kami orangtua dari Gerald, kau kenal bukan?" tanya Tante Bella bersemangat. "Ha, ketua yang menyebalkan itu. Dimana dia?" tanyaku. "Ketua yang menyebalkan?" seru Tante Bella tidak percaya yang membuat pasangan itu tertawa dan aku meringis malu. "Dia sedang bersama dengan teman-temannya;' balas Tante Bella. "Selamat untuk pertunangan kalian. Semoga kalian menjadi pasangan yang manis;' pesan Paman Brian sebelum dia melangkah pergi. Manis? Sepertinya hal itu akan jauh dari hubungan kami. "Tersenyumlah Chel;’ bisiknya begitu intim di telingaku. "Hei pasangan muda!" sapa seseorang. "Ugh tidak sabaran sekali;' ejek lelaki itu pada Esteve, mungkin? "Hai Michel,' wanita itu mencium pipi kanan dan kiriku bergantian. Lalu lelaki di sampingnya mencium telapak tanganku dengan lembut. aku malu. Dan aku bisa merasakan seseorang mencengkram pinggangku dengan begitu erat. "Aish! Azka jangan begitu. Kau sudah tua dan masih saja senang menggoda,’ kata wanita tadi kepada suaminya. "Maafkan aku Esteve. Itu hanya bentuk naluriku melihat wanita cantik. Tetapi aku tetap hanya tertarik pada wanita di sampingku;' ujarnya lalu mengecup dahi istrinya. Wanita itu tersenyum. how sweet!! "Jadi jangan pasang wajah seakan ingin membunuhku" aku lekas melihat ke arahnya tetapi ia segera membuang pandangannya. "Ah sudahlah. Selamat atas pertunangan kalian,' wanita itu segera menarik suaminya untuk pergi. "Esteve lepas;' aku berusaha menyingkirkan tangannya dari pinggangku tetapi ia semakin mempereratnya. "Kau menyuruhku tersenyum tetapi lihatlah wajahmu yang selalu kaku,' bisikku di telinganya. Terimakasih untuk high heels yang kugunakan sehingga tinggiku dapat sejajar dengan telinganya. Dia sama sekali tidak meresponku. Dengan geram aku mengigit daun telinganya. "Wohoo, apa itu Michel?" Sial! The most wanted, mereka sekarang mengelilingku dan lelaki ini. Semuanya! Damn it! "Oh adik ipar kau tidak boleh terlalu agresif. Esteve tidak suka itu;' ejek Ireneo. michel bodoh!! "Tidak apa-apa jika Esteve tidak suka. Kami bisa bertukar posisi, aku suka wanita agresif; balas Rafael. Aku bisa merasakan aura kemarahan dari laki-laki di sampingku. "Diamlah;’ ujarnya dingin. Tetapi mereka justru tertawa. Poor you, Esteve. "Berhenti menggoda Esteve,' putus Alaric. Hah, hanya dia yang cukup berwibawa di antara makhluk-makhluk ini. "By the way Michel kau cantik sekali hari ini;' seru Kelvin. Aku merona malu Jangankan Kelvin. Aku saja tidak menyangka bahwa saat ini, aku adalah aku? Apalagi dress indah yang sedang kugunakan, aku benar-benar menyukainya. Dress ini mengekspos leher dan tulang selangka-ku dengan baik. "Well, aku tidak salah memilih dress. Kalian harus berterima kasih padaku; balas Urien. Tiba-tiba aku dapat mendengar geraman pelan dari sosok di sampingku. Ada apa dengannya? Bisakah dia berhenti menampilkan tampang seakan ingin membunuh orang lain? "Bagaimana jika berdansa? Aku bisa memutar satu lagu yang tepat;' cetus Rai. Kemudian Rafael menggenggam tanganku dan menciumnya. "Bagaimana jika berdansa denganku?" "Enyahlah!" Jelas itu bukan jawabanku. Tetapi jawaban lelaki di sampingku. Dengan refleks aku memukul lengannya. "Mengapa kau terus memasang wajah seperti itu?" gerutuku. Dia membalasku dengan tatapan tajam. Wajahnya benar-benar menunjukkan kekesalan. Salahku apa? Tiba-tiba Mama Lucy menarik kami dan sepertinya cukup membuat para most wanted kecewa. Kami diajak menemui sepasang suami istri lainnya. Aku sedikit heran, bagaimana bisa tamu-tamu ini mengenalku dengan baik. Padahal aku belum pernah melihat mereka sebelumnya. "Ini orang tua Rai, Michel. Kau mengenal Rai kan?" tanya Mama Lucy dan aku mengangguk. Entahlah. Tiba-tiba aku merasakan aura yang aneh sekali. Wanita itu menatapku sambil tersenyum, senyum yang menyiratkan sesuatu. Bukan. Bukan sesuatu yang jahat, hanya saja cukup misterius. Ada sisi dalam diriku yang terusik melihatnya, seperti aku menemukan sesuatu yang telah hilang. "Hai Michel;' dia menyapaku dengan mata yang berkaca-kaca. Kenapa ia seperti akan menangis? Tangannya terulur kepadaku. Meskipun sedikit ragu, tetapi aku tetap meyakinkan diriku bahwa tidak akan ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi. Ketika tangan kami bersentuhan, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari mata abu-abunya yang menatapku penuh harap. Yang kurakan selanjutnya adalah jiwaku yang seolah tertarik dari ragaku. Proses ini menyakitkan. Lalu mimpi buruk itu terulang dan terpampang seolah nyata di hadapanku. Cahaya obor. Vampir. Werewolf. Penyihir. Darah. Teriakan seorang anak. Teriakanku yang memohon untuk berhenti. Mayat-mayat itu. Lalu ketika mata berpigmen abu-abu itu berkedip, semuanya hilang. Aku kembali ke ragaku disertai ketakutan. Jangan mimpi itu lagi, kumohon. Aku benci darah. Berhenti membunuh mereka. Mataku mulai berembun. Tubuhku lemas dan hampir luruh jika tangannya tidak menopangku. "Chel,’ suaranya terdengar. Aku bisa merasakan punggungku berinteraksi langsung dengan dadanya. Bawa aku pergi. Aku ingin meneriakkan itu padanya. Tetapi aku benar-benar kelu. "Ada apa Michel?" suara Mama Lucy juga terdengar dengan tatapan khawatir. Aku kembali tidak bisa merespon. "She's okay Mom. Hanya butuh sedikit istirahat. Aku akan membawanya" suara Esteve. Untuk kali ini, aku bersyukur dia ada di sampingku. Dia mendekapku menaiki tangga dan menjauh dari pesta itu. Langkahnya menuju kamar tidurku. Tetapi aku tidak ingin. Aku tidak ingin menyendiri atau bahkan tertidur, karena aku yakin mimpi itu pasti akan menghantuiku.
"Jangan kamar. Aku mohon"' pintaku padanya. Dia bersikeras, "tetapi kau harus--" Aku memegang jasnya dengan erat, menatapnya dengan pandangan yang menyiratkan betapa takutnya aku. Berharap ia benar-benar mengerti. "Kumohon Esteve. Jangan tinggalkan aku sendiri "Calm down Chel. No one can hurt you." Aku bernapas lega ketika ia mengucapkan kalimat itu. ~~~ Gelapnya malam begitu indah ditemani bintang yang bertabur. Hawa dingin angin malam yang bertiup terasa menusuk kulitku. Aku berusaha terlihat kuat, walaupun aku gagal menyembunyikan getaran tubuhku. Tetapi aku senang, karena setiap sakit yang kurasa mengingatkanku bahwa saat ini aku sedang tidak bermimpi. Tanpa aba-aba sebuah jas terlampir di bahuku disertai tangannya yang menarikku mendekat ke arahnya. Aku mendengarnya bergumam tidak jelas seperti berkata, "aku benci gaun itu?" Entahlah. Kami berdiam dalam keheningan dengan dia yang memelukku. Rasanya ini seperti mimpi. Jantungku seperti akan meledak. Help me God. Aku menyandarkan kepalaku pada dadanya yang bidang. Jariku bermain-main pada lipatan kemejanya dan membuat pola-pola tidak menentu. "Kenapa kau melakukan pertunangan ini?" tanyaku memecah keheningan. Dia hanya bergumam tidak jelas sambil memainkan ujung rambutku. Aku mencebik kesal. "Kau sungguh menyebalkan! Kau sudah berjanji akan datang malam itu. Tetapi kau sama sekali tidak menepati janjimu. Untuk memberiku kabar saja, tidak. Padahal aku sudah benar-benar menunggumu hingga kehujanan. Aku menanyakanmu pada Kak Al dan dia berkata kau bahkan masih berada di kota ini. Aku tahu jika semua ini hanya formalitas untukmu. Tetapi bukankah itu bagus? Agar kita lebih saling mengenal? Jika memang kau tidak serius dengan semua ini, kau bisa memutuskannya. Bukan justru melaksanakan pertunangan ini, bahkan tanpa senyum sama sekali,' ucapanku terputus.
"Sudah?" tanya Esteve enteng. aku memukul dadanya dan melepaskan pelukannya. Dia memang selalu menyebalkan. Dia kembali menarikku untuk mendekat padanya lalu memelukku. "Jangan bergerak" Kemudian dia menjatuhkan kepalanya di bahuku sambil mengendus leherku. Kesedihan menyerangku begitu cepat. Rasanya seperti sesaat aku dibutuhkan dan di menit selanjutnya kembali dicampakkan. Dia benar-benar memiliki efek besar terhadap suasana hatiku. Air mataku terjatuh. Lekas aku menyembunyikan wajahku di dadanya. Aku tidak ingin dia mengetahui aku sedang menangis. Aku tidak mau terlihat lemah. Lagipula dia tidak akan tersentuh sekalipun melihat air mataku. Dia benar-benar Si Dingin yang brengsek. "Dont cry. Kau lebih dari sekedar berharga untukku." Lelaki ini mencium lembut rambutku. "Biar kita tata ulang hubungan ini dengan lebih baik;' aku bisa merasakan dia tersenyum ketika mengucapkan hal itu. Aku melonggarkan pelukan ini, dia terlihat keberatan. Tetapi aku tetap memaksa. "Jangan hanya kata-kata, kau tahu? Aku butuh tindakanmu. Bicarakan denganku jika kau tidak suka sesuatu. Perlihatkan jika kau suka sesuatu. Ekspresikan jika kau kesal. Agar aku lebih mengerti dirimu,’ cerocosku sambil mengusap rahangnya yang kokoh. Dia menutup matanya menikmati apa yang kulakukan. Jangan memerabh, pipi sialan! "Aku tidak suka;,' tiba-tiba dia membuka matanya dan menatap tepat di manik mataku. Aku terkejut. "Jika kau menciptakan jarak di antara kita;' lalu dia memelukku kembali. ~~~ Malam ini, aku sepertinya benar-benar tidak membutuhkan blush-on. Pipiku sudah memerah alami karena perlakuan anehnya. Dia memintaku untuk segera makan dan kebetulan sekali, perutku memang sudah meminta untuk segera diisi. Seorang maid akhirnya datang membawakan makanan kepada kami.
"Kau sakit? Pipimu memerah;' dia menyentuh pipiku dengan lembut. Sial! Pipiku akan semakin merah. "Tidak. Aku baik-baik saja,' ucapku dengan gugup. "Esteve,' panggilku. "Wanita yang dibawah tadi;' aku menggantung kalimatku karena sebenarnya aku juga bingung untuk merangkai kalimat yang tepat untuk menyuarakan kebingunganku. Wanita itu dan matanya benar-benar mengusikku. "Dia apa?" Esteve hanya mengangkat alisnya mendengar pertanyaanku. Lalu tangannya mengambil sendok yang penuh makanan dan mengarahkannya padaku. Apa? "buka" "A--p;" dia sudah menyuapkan makanan ini ke mulutku. Aish! Laki-laki ini benar-benar menyebalkan. Dia terus menerus menyuapi aku dengan makanan tersebut hingga kandas. Setelah itu, tangannya bergerak membersihkan bibirku dengan tisu. Bisakah terus begini? Aish, aku terlalu banyak meminta. Kami masih setia duduk pada sebuah sofa yang ada di rooftop. Aku duduk dan menyandarkan kepalaku pada dada bidangnya. Tangannya tidak berhenti memainkan rambutku dan dapat kurasakan sesekali bibirnya hinggap disana. "Tutup matamu dan tidurlah;' seperti mantra aku segera melakukan perintahnya. Sesuatu mengusikku, dengan mata tertutup aku berbicara memecahkan keheningan padanya, "kenapa kau tidak datang kemarin?" Hening. la diam. "Apa yang kulakukan ketika aku tidak ada?" la membalasku dengan pertanyaan. Aku diam. Aku menggumam ragu, "aku hanya bermain dan sedikit berjalan-jalan." Kenapa aku harus takut mengatakannya? "Dengan?" "Kak Eldric;’ cicitku. "Kau ingin tahu apalagi yang tidak aku suka?" tanya Esteve dengan suara dalam yang membuatku kesulitan menelan saliva. Aku mengangguk. "Melihatmu bersama lelaki lain" "Tidurlah;' dia menunjuk pintu kamarku dengan dagunya. Aku menatapnya ragu. "Apa jika hari ini berakhir, semua sikap manismu juga akan berakhir? Apa kau akan kembali ketus dan kasar padaku?" tanyaku padanya. Dia menatapku dalam lagi. Aish! Aku selalu lemah dengan tatapannya. "Tidur,' dia menunjuk kamarku lagi. Aku merengut. "Promise me. Jika besok aku bangun kau akan tetap seperti ini. Tidak berubah menjadi cuek dan ketus padaku;' aku mengacungkan jari kelingkingku. Dia mendengus. "Tidur!" kali ini benar-benar dengan nada memerintah. "Promise; rengekku padanya. Dia memegang pergelangan tanganku dan menurunkannya ke sisi tubuhku. Mataku terasa berkaca-kaca. Sial! Kenapa dia takut untuk sekedar berjanji. Apa dia tidak serius dengan ini semua? cup aku mengedipkan mataku dengan bingung ketika bibir tipis itu menyentuh bibirku . "sekarang tidur" dan sialnya aku langsung berbalik masuk kedalam kamarku. ~~~ Aku bergerak gelisah sambil menarik salah satu kursi di meja makan dengan sedikit menunduk. Aku akan membayar apapun jika bisa lari dari situasi ini sekarang. Sebaik mungkin aku berusaha agar tidak terlalu gugup dan menarik perhatian mereka. Hah bagaimana mungkin, aku yakin mereka sudah terus memperhatikanku sejak aku turun dari lantai atas. Urien berdehem. Ok, here we go! "Aura yang sedang berbahagia memang berbeda”" Mereka semua tertawa. Aku mengumpat di dalam hati, mencoba tidak peduli dan tetap fokus pada sarapanku. "Pakai jasku agar kau tidak kedinginan,' seru Urien tiba—-tiba sambil bergaya seolah-olah sedang memakaikan sebuah jas kepada Obelix. Damn! Itu artinya mereka melihat yang terjadi kemarin malam. "Aku butuh pelukan,’ Obelix merentangkan tangan seperti ingin memeluk Ah benar-benar! Aku menatap penuh harap pada Papa Edmund yang berpura—pura tidak mendengar dengan mengalibikan dirinya sedang membaca koran. Padahal dengan jelas aku melihatnya melirikku sedari tadi. "Oh Papa tidak bisa membantumu sayang. Mereka semua melihat yang kalian lakukan", jawab Papa Edmund yang membuatku mencebik kesal. "Lihat gadis kecil ini sedang mencari bala bantuan,’ Alaric bahkan ikut menggodaku. sial! Aku menatap ke arah Mama Lucy yang sibuk mengambil makanan. "Sudahlah Michel. Wajar jika berpelukan untuk sepasang tunangan. Asal jangan sampai melakukan hal itu sebelum menikah, oke?" terang Mama Lucy.
Apa lagi ini? Kenapa hingga membahas masalah seperti itu? Astaga seseorang tolong keluarkan aku dari situasi ini! “Jangan ganggu dia!” suaranya teraengar dingin. Hah, bukan pertolongan yang kuharapkan. "Ah, pangerannya sudah datang." Aku merasakan dia berada di sebelahku. "Bergeserlah Obelix. Esteve ingin duduk di samping tunangannya,' Irene memerintah dengan suara yang agak ditegaskan. "Oh oke-oke. Aku akan melakukannya." Awalnya aku pikir dia tidak mungkin ingin duduk di sampingku. Lagipula dia tidak butuh untuk sarapan. Baru saja aku ingin melarang Obelix untuk pindah. "Kau tida--," kata-kataku terpotong ketika aku melihat ia menempati kursi di sebelahku. What? "Makan Chel;' dia mulai mengeluarkan sikap bossy-nya. Aku lekas mengalihkan pandanganku dari dirinya. Setiap melihatnya, sesuatu di pipiku berkedut. Damn! Kenapa setiap melihat wajahnya mengingatkanku akan sikap manisnya semalam? Senyum di bibirku sulit untuk ditutupi. Aku mengambil secangkir susu untuk mengalihkannya. Namun yang terjadi aku justru tersedak. Sial! "Uhuk! Uhuk!" Aku bisa merasakan seseorang dengan cepat menepuk lembut punggungku dan membersihkan mulutku dengan tisu. "Tidak bisakah kau melakukannya dengan baik." Dia memarahiku. Aku meringis malu. "Ugh manisnya,' seru Urien. Bagian mana yang manis jika dia justru memarahiku. Menyebalkan. "Ehmm Pa;’ aku kembali memecah keheningan. "Ya dear?" “Apa orang tuaku tidak datang semalam?” Mendadak semuanya berhenti beraktivitas, ketegangan menguar dan mendominasi dengan cepat. Ada apa? Papa Edmund terlihat ragu ingin mengatakan sesuatu. "Emmm, mereka memang tidak datang. Tetapi mereka menelponku dan mengatakan selamat atas pertunangannya;' dia tersenyum mencoba memberi pengertian padaku. Aku kembali menelan kekecewaan. Bahkan ini sudah lama sekali sejak aku tinggal di rumah ini. Tetapi untuk mengabariku sejak hari itu saja, mereka tidak pernah. Aku pernah kembali mencoba untuk menghubungi mereka, tetapi nomor mereka tidak pernah aktif. "Tetapi kenapa mereka tidak menghubungiku saja?" tanyaku sedih. "Mereka sibuk Michel. Sepertinya pekerjaan mereka cukup banyak." Kemarahan menguasai dengan begitu cepat. Aku membanting sendok yang kugunakan pada kaca meja makan. "Sampai untuk mengabariku saja tidak sempat? Bahkan tidak hadir di acara pentingku?" tanyaku tidak percaya dan menaikkan satu oktaf nada suaraku. "Apa aku setidak penting itu?" geramku. Semua yang berada di meja makan menjadi bungkam. Sial! Nafasku memburu dengan begitu cepat. Tanpa bisa kucegah kemarahan yang melingkupi hati dan pikiranku terus meningkat. Layaknya ada awan abu-abu yang menyelimuti mataku hingga rasanya aku ingin melemparkan semua barang di hadapanku. "Tenanglah sweetheart. Aku disini. Selalu bersamamu. Kuasai dirimu sweethert Suara itu terdengar. Meski aku tidak tahu siapa pemiliknya, namun selalu berhasil menenangkan emosiku. Aku mengambil napas dalam. Awan abu-abu di mataku mulai menghilang dan aku kembali dapat melihat dengan jelas. Bahkan udara yang begitu sesak kudapatkan tadi kini dapat kembali normal. Mereka yang ada di ruangan ini menatapku dengan tegang dan khawatir. Astaga! Apa yang telah kulakukan? Marah-marah di rumah orang tua tunanganmu? Bahkan tingkahku sungguh memalukan. Mengatur emosiku saja, aku tidak mampu. Poor you, Michel! "Maaf;' ucapku pelan. Lalu aku mengambil ranselku dan beranjak pergi. "Aku akan berangkat dengan Mr. Robert." Aku segera pergi meninggalkan ruang makan. Aku tidak ingin teledor dan menumpahkan emosiku pada mereka lagi. Author POV Semuanya kembali bernapas lega. Ireneo yang pertama kali bersuara. "Ugh. Tadi benar-benar menyeramkan." "Yah. Tapi itu bahkan belum seperempat daari kekuatannya,' balas Urien sedikit bergidik ngeri. "Dia tidak menyadari telah mengeluarkan kekuatannya. Mengangkat semua benda di meja ini dan mengambil oksigen di udara hingga kita semua kesulitan bernapas;' balas Alaric. "Tetapi bagaimana bisa ia tetap mengeluarkan aura mempesona saat marah begitu?" perkataan Obelix dihadiahi tatapan tajam setiap makhluk disana, tetapi tidak setajam makhluk di sampingnya. Obelix hanya menampilkan senyum meminta maaf pada semua orang. "Tidak salah. Perkataan Obelix benar. Dia sangat memukau bahkan saat marah sekali pun;' Ireneo kembali menimpali. "Kau harus bisa menjaganya dari laki-laki lain, adik kecil." Urien mengatakannya sambil menatap Esteve. Namun lelaki itu justru membuang pandangannya. "Mungkin kami tidak akan menikung saudara kami sendiri. Tetapi dengan Eldric misalnya?" Urien kembali menggoda Esteve. Esteve membalas dengan tatapan tidak suka. "Diamlah." Keempat saudaranya menertawakan laki-laki itu. "I got you!" jawab Urien. "Kejar dia Esteve. Dia sedang butuh dirimu sekarang" nasihat Edmund. "Ya kejar dia. Dia membutuhkanmu;,' timpal Lucy. Esteve segera beranjak. Dia sudah akan beranjak sedari tadi jika celotehan saudara-saudaranya itu tidak mengusiknya. "Ah kita harus membeli meja makan baru Edmund;' itu suara ibunya. Hal terakhir yang ia dengar sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu Michaela POV Syukur saja Mr. Robert sudah siap tepat di depan pintu rumah Mr. Walcott dengan mobil di sampingnya sehingga aku tidak perlu bersusah payah mencarinya lagi. "Tolong antarkan aku ke sekolah Mr. Robert,' pintaku lalu segera berlari ke kursi penumpang. "Tapi Nona,' dia hendak protes. "Kumohon Mr. Robert," aku memaksanya. Aku segera duduk di kursi penumpang. Namun setelah menunggu cukup lama Mr. Robert tidak lekas menempati kursi kemudi. Aku sudah akan keluar dari mobil. Tetapi pintu di sebelahku sudah lebih dahulu terbuka dan sosok itu yang menjadi tersangkanya. Tangan dinginnya menarik tanganku. Aku memberontak. Tetapi dia tetap menarikku, kali ini tidak dengan kasar. Namun tetap mampu membuatku beranjak dari mobil itu. "Esteve,' panggilku padanya yang menampilkan raut wajah datar. "Esteve, aku ingin berangkat ke sekolah,' tetapi dia justru semakin menarikku pada salah satu mobil yang terparkir tidak jauh dari sana. Itu mobilnya. Aku bergidik ngeri. Aku ingat kenangan terakhir saat aku berangkat bersama dengannya. Dia meninggalkanku di pinggiran hutan yang menyeramkan. Aku takut. Esteve dan segala kemisteriusannya belum benar-benar kuketahui. Dia masih Esteve yang sulit terbaca untukku. Aku didorong masuk ke dalam mobil, lalu dia mengambil posisi di kursi kemudi. Setelahnya ia mencampakkan tasnya ke kursi belakang. "Aku ingin berangkat dengan Mr. Robert saja;' tukasku dengan cemberut padanya. "Kenapa tidak denganku?" "Aku tidak ingin kau tinggalkan di hutan lagi,' ujarku kesal padanya. Dia menoleh padaku dengan sangat tidak percaya. "biarkan aku berangkat dengan mr. robert" kekeh ku "aku sudah menunggumu sedari tadi, kau tidak kasihan?" tanya nya serius dan aku merona karnanya. "aku tetap ingin berangkat dengan mr. robert" kataku dengan keras kepala "mr. robert akan mengantar daddy" "papa tidak akan marah jika aku meminjam supirnya sebentar" jelasku cemberut "mungkin, kalau sebelumnya kau tidak merusak meja makan dan suasana sarapan"
Thank you
Support the author to bring you wonderful stories
Cost 112 diamonds
Balance: 0 Diamond ∣ 0 Points
Book Comment (66)
Sinta Queena Reborn
aku suka alur ceritanya... bikin kesel, greget sekaligus gemes sm es batu nya esteve..
04/07/2022
2
Rada Dan Yasir
kenapa lama bnget ceritanya kk ... sya sudh chek setiap hri tapi masih lom dilanjut lanjut kak . ayo dong semngat kak .. lanjutin lagi kak .
aku suka alur ceritanya... bikin kesel, greget sekaligus gemes sm es batu nya esteve..
04/07/2022
2kenapa lama bnget ceritanya kk ... sya sudh chek setiap hri tapi masih lom dilanjut lanjut kak . ayo dong semngat kak .. lanjutin lagi kak .
21/06/2022
0so nice
4d
0View All