logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 next story 2

^_^*^_^
sebuah usapan dari benda yang begitu lembut.
itu bibir esteve.
Astaga, dia menempelkan bibirnya di leherku! Aku kaku, namun
semakin terbuai ketika dia mulai menghisap dan menjilat. Hisapannya
begitu kuat, tetapi tidak membuatku kesakitan justru jantungku mulai
menggila disana. Deru napasku mulai terasa memburu. Dia kembali
menjilat leherku, seperti menghilangkan bekas jilatan Obelix disana.
Terakhir, dia mengecup leherku sebelum benar-benar menjauhkan
dirinya. Aku yang tersadar, perlahan membuka mataku yang beru
kusadari telah terpejam sedari tadi.
Aku mencoba menatap mata Esteve agar kutahu bagaimana reaksinya
setelah ini. Namun dia justru mengalihkan pandangannya dariku.
Membuatku yang tadinya terbang ke langit yang sangat tinggi, kini
telah jatuh sejatuh-jatuhnya ke dasar bumi.
Apa maksud lelaki ini denngan semuanya?
"Keluarlah!" perintahnya tanpa menatapku.
"Apa maksudmu? Tapi kita-— Sebelumnya kau-- Kau baru saja-—
Sial!" aku tergagap menyusun kalimat untuknya. Terlalu kacau dengan
semua perasaan ini.
"Kau tahu pintu keluar, titahnya sedingin es.
"Tapi kita kan--?" protesku.
NAmun kali ini dia menatapku dengan begitu menusuk.
"KELUAR SEKARANG!" teriaknya padaku membuat air mataku luruh
lagi
"Brengsek!" desisku pelan.
Aku beranjak meningggalkan ruangan menyakitkan ini.
Rasanya aku seperti jalang yang ditolak. Atau jalang yang diusir
setelah dipakai. Keduanya sama-sama menyakitkan. Sakit dan penuh
sesak.
Ada apa dengan hatiku?
*-*-*
Berbagai kendaraan terus berlalu-lalang di sepanjang jalan. Dan
aku berjalan gontai di pinggir trotoar. Tidak kupedulikan lagi tatapan
mereka yang menilaiku rendah. Aku bisa apa? Menentang dan protes
terhadap tatapan mereka juga tidak bisa. Aku sendiri juga akan
berpikiran sama ketika melihat seorang wanita dengan wajah sembab,
pakaian kusut, dan tanda merah di lehernya. Aku benar-benar seperti
jalang yang tidak mendapat upah.
Hahaha.
Poor you, Michel.
Kakiku membawaku ke tempat ini, rumahku yang penuh kenangan.
Beruntungnya aku selalu membawa kunci duplikat rumah yang
kugantung bersama dengan resleting tasku.
Rumah ini masih sama. Letak setiap perabotannya juga masih sama.
Sepertinya hanya debu yang mulai menebal, karena biasanya daddy
akan rajin membersihkannya. Tidak pernah membiarkan debu menebal
karena mommy alergi terhadap debu. Mereka manis.
Aku berjalan semakin dalam, tetapi kali ini ke kamar orangtuaku. Hari
ini atau bahkan sampai di waktu yang belum kutetapkan, aku akan
tinggal di rumah ini. Tentu saja pengecualian jika keluarga Walcott
kembali memaksaku tinggal di kediaman mereka. Aku tidak ingin
orangtuaku kembali sedih karena aku kembali menentang mereka.
Namun hari ini aku benar-benar butuh kehidupan normal seperti saat
aku belum mengenal mereka.
Aku menukar seragamku hanya dengan tank top dan hotpants. Lalu
melemparkan tubuhku di atas ranjang. Beberapa menit kemudian
mataku mulai sayu dan terpejam. Aku lelah dengan dunia yang mulai
kejam sejak aku mengenal si dingin, Esteve.
"Sleep tight sweetheart. Jangan menangis,” suara pangeranku mulai
terdengar, membuatku menggeliat mencari kenyamanan pada sebuah
daerah bidang dan hangat.
Dia terkekeh begitu pelan dan halus membuatku tenang.
"Sssh, bermimpilah dengan indah. Mimpikan aku bersamamu,”
pintanya.
Tetapi bukankah ini sudah mimpi?
Aku menggeliat pelan ketika merasa tidurku sudah cukup. Walaupun
dalam hatiku sebenarnya aku ingin mendapat pagi-pagi yang selalu
kulewati selama ini. Mommy yang akan berteriak membangunkanku
lalu mengingatkanku akan segala hal dan daddy-ku yang akan
selalu mengingatkannya untuk mengecilkan volume suaranya.
Namun semuanya begitu berbeda saat ini. Suasana yang dulu begitu
menyebalkan, kini aku justru merindukannya.
Oke, aku mulai tidak tahan. Lebih baik aku segera berangkat ke
sekolah sebelum aku terbawa suasana dan menangis disini. Perut
kesayanganku juga sudah mulai minta diisi mengingat semalam sama
sekali tidak terisi. Aku akan memakai uang tabunganku untuk makan di
cafetaria sekolah.
"Permisi Ms;' sebuah suara mengalihkan fokus kami dari pelajaran Ms.
Eva. Teman sekelasku yang berjenis kelamin perempuan langsung
menjerit tertahan.
"Ya? Ada apa Rafael?" jawab Ms. Eva sambil memberi tatapan
perigatan pada kami.
"Saya ingin memanggil Michaela, Ms." Semua tatapan teman sekelas
langsung menoleh padaku, ada yang menatapku penuh selidi
maupun sinis. Sialan! Ada apa dengan Rafael? Apa dia ingin aku
dibumihanguskan oleh fans gilanya?

"Ada urusan apa kalau saya boleh tahu?" tanya Ms. Eva lagi.
"Urusan langsung dengan Kepala Sekolah, Ms."
"Silahkan Michaela;' Ms. Eva tidak lagi bertanya.
aku merengut kesal.
"Ada apa?" tanyaku setelah keluar dari kelas.
Tetapi ia hanya menarik tanganku untuk pergi. Saat aku ingin berteriak
dan memaki, aku sadar bahwa aku sedang di koridor sekolah dan tidak
ingin menjadi pusat perhatian.
Dan ya, aku tepat sasaran. Dia membawaku ke privat room. Ugh, aku
akan berjumpa dengan mereka dan harus menyiapkan alasan mengapa
aku tidak pulang semalam. Syukurnya, dia tidak ada disana.
Para lelaki tampan itu duduk di kursinya masing-masing dan mulai
mengalihkan pandangannya padaku.
"Kemana saja kau semalam Michel?" tanya Ireneo.
"Aku tidak yakin kalau kakak-kakak tidak tahu,' jawabku sarkas.
Perasaanku memang tidak baik hari ini. Setiap aku mengingat
perbuatan musuh sialanku itu, rasanya aku seperti dilecehkan dan
mengingat apa yang berhubungan dengannya selalu membuat
mood-ku rusak.
"Michel, kami hanya mengkhawatirkan keadaanmu,’ seru Gerald
dengan suara yang begitu dalam sarat akan perhatian. Tetapi sama
sekali tidak meruntuhkan sesuatu yang terasa mendesak keluar dari
diriku yang tidak dapat disentuh.
"Aku tidak butuh nada khawatir itu Kak. Aku bukan anak kecil yang
harus melapor pada orangtuanya apa yang harus aku lakukan."
Aku kembali berkata sinis dan membuat sebagian dari diriku tidak
mengerti. Dimana semua pengendalian diriku?
"Kau memang anak kecil. Bukan umurmu yang menentukannya, tapi
sikapmu yang sama sekali tidak dewasa dengan tidak pulang ke
rumah tanpa memberitahu kami. Kau membuat kami kesusahan!"
Obelix menjawabku dengan nada sinis yang membuat sesuatu kembali
menguar dari diriku.
Aku benci Obelix! Dia mengingatkanku akan kejadian semalam. Karena
dia, aku harus bersinggungan dengan bajingan itu.
"Kau! Aku tak menyuruhmu mencariku. Ini hidupku, hanya aku dan
Tuhan yang berhak mengaturnya. Dan oh, jangan nilai aku sebagai
anak kecil. Jika aku anak kecil, lalu kau apa?! Kau balita yang jelas lebih
childish dariku!" seruku dengan menatapnya tajam. Aku merasakan
perlahan-lahan ada energi yang keluar dari tubuhku.
"Kau! Beraninya kau!" seru Obelix emosi. Dia sudah bergerak seperti
akan memukulku, jika saja tangan Alaric tidak kembali menariknya
untuk duduk di kursi.
"Ada apa denganmu, Michel?" tanya Eldric yang berdiri dan mulai
merangkulku. Ambigu. Ada apa denganku? Apakah ia bertanya tentang
sikapku? Apa haknya untuk marah akan setiap kelakuanku?
Aku menghempaskan tangannya dari bahuku. Eldric sedikit terkejut.
Bukan hanya dia, tetapi semua orang di ruangan ini. Bahkan diriku
sendiri.
"Berhenti bersikap seperti kita sangat dekat,' ujarku ketus padanya.
Aku tidak tahu kenapa aku berkata kasar seperti itu. AKu tidak bisa
mengendalikan diriku sendiri.
Aku bisa melihat mereka semua tercengang melihatku. Dan aku juga
bisa merasakan ada kabut gelap yang menyelimutiku. Aku marah. Aku
kesal. Benar-benar kesal.
"Michel! Tenangkan dirimu;" seru Urien dengan panik. Tetapi aku tidak
bisa. Aku tidak tahu cara menenangkan diriku sendiri saat ini. Sesuatu
yang seperti keluar dari tubuhku itu tidak bisa terkontrol bahkan
sesuatu itu yang mengontrol tubuhku. Aku seperti kehilangan kendali.
Dan hawa ruangan ini menjadi begitu panas.
"Tenang sweetheart,"sebuah suara tertangkap indraku. Satu-satunya
suara yang dapat kudengar. Suara yang berasal bukan dari mereka
yang berada di ruangan ini. Suara itu berasal seperti dari diriku sendiri.
Suara itu menenangkan.
"Aku disini. Aku bersama denganmu."
Perlahan kontrol diriku kembali padaku.
"Tenangkan dirimu, Chel. Aku disini, selalu disini untuk menjagamu,”
dan itu suara terakhir yang kudengar. Suara yang sama yang sering
menemaniku dalam setiap mimpiku
Aku melemah dan energi terkuras habis. Sebenarnya kenapa
denganku?
Dan pemandangan terakhir yang kullihat adalah mata hitam yang sama
yang beberapa hari terakhir selalu menjadi pemandangan terakhir
sebelum kegelapan menelanku.
seorang wanita bertanya terdengar di telingaku.
‘Kau tahu ini sangat penting, Son. Lalu kenapa kau
menyembunyikannya?" tanya seorang pria lagi.
"Baiklah. Aku tidak peduli dengan jawabanmu. Intinya sekarang aku
tahu bahwa kaulah pasangannya. Aku ingin kau dan Michel segera
bertunangan atau bahkan menikah."
a-apa?!
apaa?!!
menikah?!!
Dengan siapa?!!!
Oh my God?! Aku masih sekolah.
Mata sialan ini juga kenapa tidak bisa terbuka! Aku ingin meminta
penjelasan.
"Jangan protes. Kau tahu dia sangat membutuhkan pasangannya
untuk melawan kesakitannya saat kekuatan itu datang dan juga untuk
mengontrol kekuatannya,’ jelas lelaki itu lagi.
Kekuatan? Kekuatan apa?!
Apa maksud ini semua?
Lalu yang terakhir kudengar adalah pintu kamar yang tertutup.
aku harap ini hanya mimpi.
*-*-*
Sinar matahari menusuk mataku yang baru saja mencoba terbuka.
Dan bertepatan dengan itu, aku mendengar suara pintu kamar yang
terbuka dan sosok disana terlihat membawa nampan berisi makanan
yang sepertinya untukku. Benar-benar pemandangan pagi yang tidak
diharapkan.
"Hai!" Wow! Ada apa dengan senyumnya hari ini?
"Kenapa kau tidak membalas sapaanku? Kau belum sepenuhnya
sadar?"
Aku mengerutkan dahi menatapnya.
"Kenapa menatapku begitu? Aku tahu aku memang tampan;’ ujarnya
percaya diri.
"Gila!" desisku.
"Astaga. Jangan tampilkan wajah ingin muntah seperti itu. Dan apakah
kata gila termasuk sapaan?"
"Apa kau salah minum obat?" tanyaku heran dan dia terlihat senang.
Dia mendekat dan meletakkan nampan itu di meja kecil sebelah tempat
tidurku.
"Aku hanya ingin mengantar sarapan untukmu yang sudah sangat
terlambat. Dan mungkin ingin sedikit mengobrol,’ ujarnya ragu di akhir
kalimat.
Aku duduk bersandar pada kepala tempat tidurku dan memangku
nampan itu pada pahaku yang berselonjor. "Kau yakin? Kau bukan ingin
menggigit leherku lagi, Obelix?" tanyaku sambil menyuapkan makanan.
"Oh tidak, Michel. Aku sungguh hanya ingin berhubungan baik
denganmu. Sepertinya satu rumah dengan musuhmu itu tidak akan
menyenangkan."
"Baiklah, kalau begitu aku akan keluar dari rumah ini agar kau tidak
perlu serumah dengan musuhmu,"ujarku cepat setelah menelan
makananku.
"Bukan seperti itu,' katanya setengah berteriak. "Astaga, kenapa sulit
sekali mengatakannya,' dia menggeram nyaris menampilkan taringnya.
Hal ini membuatku harus menahan tawa karena melihat kekesalannya.
“Intinya aku ingin mulai berteman denganmu. Kenapa kau tidak
mengerti
"Kenapa kau tidak mengatakannya secara jelas? Ambigu sekali;'
balasku tak mau kalah.
Obelix menghembuskan napasnya dengan lelah, "oke aku minta maaf.
Jadi kita berteman?”
Aku bertingkah seperti orang yang sedang berpikir dan lelaki di
depanku tidak dapat menahan untuk memutar bola matanya. "Baiklah,
dengan satu syarat."
"apa?"
"Tidak ada permainan yang berhubungan dengan taring;" aku
menatapnya kesal dan dia terkekeh. Lalu kami mengobrol dengan baik,
walaupun seringkali terjadi perdebatan kecil yang terjadi.
Setelah makan dan mandi, aku memutuskan untuk berjalan-jalan
mengelilingi mansion ini. Saat ini mansion sedang dalam keadaan
kosong. Lucy dan Edmund sedang pergi mengurus bisnis mereka
dan kelima saudara itu juga sedang pergi dengan urusannya
masing-masing. Aku benar-benar sendiri di mansion sebesar ini.
Menyebalkan!
Aku memilih duduk di pinggir kolam renang mansion yang berbatasan
langsung dengan hutan. Kugantungkan kakiku agar terkena air pada
kolam. Ini adalah tempat yang tepat untuk menjernihkan pikiran
yang kalut. Setidaknya kicauan burung dan suara jernih air pasti
menenangkan.
Hah, ini semua karena mimpi sialan itu. Aku yakin suara yang berbicara
dalam mimpiku itu adalah suara Mama Lucy dan Papa Edmund. Tetapi
apa benar itu hanya mimpi? Atau sebenarnya itu adalah kenyataan?
Bagaimana jika memang kenyataan?
Aku? Menikah? Dengan siapa?
Astaga, aku masih sekolah dan yang pasti calon pasanganku bukan
manusia sepertiku!
That's really a ridiculous thing!
Aku mengusap wajahku kasar. Teringat olehku akan perbincangan
mereka tentang kekuatan. Kekuatan apalagi maksudnya? Apa aku juga
bukan manusia?
Tidak! Tidak mungkin! Tolong katakan aku manusia normal!
"Aaarghhh!!" aku berteriak keras sembari menutup mataku dan
memukul dinding pinggir kolam. Lalu ketika mataku terbuka,
Apalagi ini?!
ini gila!
Burung-burung beterbangan keluar dari hutan dengan tergesa di langit
yang mulai terlihat kelabu. Lalu air kolam renang beriak tak tenang
dan sisanya menggantung di udara? Air itu.... Saat aku mengangkat
tanganku, dinding kolam renang itu telah hancur. Sedangkan tangan
berada dalam keadaan yang baik-baik saja.
Ada apa dengan diriku sebenarnya? Kenapa hidupku jadi segila ini?
Kenapa aku jadi aneh?
Aku meremas rambutku hingga memukuli kepalaku sendiri untuk
menyadarkanku bahwa semua ini hanya mimpi. Tetapi aku sama sekali
tidak terbangun. Rasa sakit ketika aku memukuli diriku justru terasa
sangat nyata seolah menyadarkanku bahwa ini semua bukan mimpi.
Aku menghempaskan tanganku dari kepala dengan marah. Tetapi
kemudian ada api yang keluar dari sana. Api itu mengenai gazebo kayu
yang terletak tidak jauh dariku sehingga api itu melahap cepat gazebo
tersebut.
Crazy!
Api?! Darimana lagi?
Aku gila. Benar-benar tidak waras. Tuhan, bagaimana ini?
Aku kalut. Pandanganku mulai mengabur dan aku kesulitan bernapas.
Aku mulai merasa udara di sekelilingku menipis dan menyesakkan.
Tubuhku tidak dapat kukendalikan. Hanya rasa takut satu-satunya
mendominasi saat ini. Belum lagi barang-barang seperti pot bunga
dan daun-daunan yang mulai bergerak naik menggantung di udara. Api
pada gazebo juga semakin terlihat membara.
Aku panik!
Aku takut!
Kumohon seseorang tolong aku! Aku kesulitan bernapas.
Kemudian sosok itu tertangkap samar di mataku. la memegang
bahuku dan memaksaku untuk fokus menatapnya.
"Dengarkan aku Chel;' pintanya padaku.
Aku mencoba memfokuskan pendengaranku pada suaranya.
Lalu ia menangkup wajahku, kembali memaksaku untuk menatap
hanya padanya. Perlahan pandanganku mulai terlihat jernih. Aku bisa
melihat matanya yang memandangku penuh kekhawatiran yang tidak
dapat tertutupi.
"Look at me, Chel. Look at my eyes", suaranya perlahan
menyadarkanku dan membuatku menurutinya. Aku menatap
matanya yang hitam itu. Matanya yang selalu aku suka namun terlalu
penuh misteri. Matanya yang dapat mengembalikan pengendalian
diriku, seolah sebagian jiwaku dapat kutemukan disana. Aku mulai
dapat bernapas dengan teratur sekaligus mendapatkan udara yang
kubutuhkan. Ketika ketenangan menghampiriku, benda-benda yang
tadinya terangkat naik kini kembali pada posisi seharusnya.
"Esteve." Dia menegang ketika aku menyebut namanya dan kekalutan
yang tadinya terbaca jelas dari matanya kini terganti dengan kelegaan.
sungguh?
Ada kilatan tidak terbaca pada matanya dan tanpa aba-aba ia
memelukku begitu erat seolah aku bisa kapan saja hilang dari
hadapannya. Dan untuk sesaat aku benar-benar menikmatinya.
Bisakah waktu berhenti untuk sebentar saja?
Setelahnya aku mulai sadar akan api pada gazebo.
"Esteve, apinya." Dan hal yang kusesali adalah ketika momen itu harus
berakhir. Dia melonggarkan pelukannya dan berlari tak kasat mata
hingga kembali di hadapanku dengan sebuah selang di tangannya.
Esteve menyiramkan air dan menghentikan kerja api tersebut.

Aku menatapnya dan dia balas menatapku tajam. Setelahnya dia
melemparkan selang itu di hadapanku dan membentakku, "lain kali
berpikirlah sebelum bertindak."
Kemudian dia pergi meninggalkanku dan sesuatu yang basah mengairi
pipiku.
Dia penuh dengan teka-teki yang menggoda untuk dipecahkan. Tetapi
di saat yang bersamaan pula ia menolak untuk terpecahkan. Lelaki itu
mendorongku untuk mendekat padanya dan juga mendorongku untuk
keluar dari hidupnya.
Aku merasa aku dekat dengannya. Aku merasa ada sebuah
ketertarikan antara aku dengan dia, bahkan hanya dari tatapan dan
suara. Tetapi kenapa ia tidak bereaksi sama sepertiku? Atau perasaan
ini sama dengan perasaan penggemarnya yang lain. Atau bahkan
semua wanita yang melihatnya memang akan merasakan hal yang
sama?
Tetapi tatapan khawatir tadi? Apa aku tidak salah melihat? Atau itu
hanya karena pandanganku yang mengabur? Lalu bagaimana dengan
pelukannya?
"Michel,' suara itu disertai dengan tepukan pelan di bahuku.
"Ah ya? Ada apa?" ujarku kaget.
"Kau sedang sakit?"
"Tidak Ma, aku baik-baik saja."
"Baiklah. Habiskan makan malammu, Michel. Setelah itu temui Papa
Edmund di ruang kerjanya. Ada yang ingin ia bicarakan denganmu."
Kemudian Mama Lucy meninggalkanku.
Sesuai dengan perintah Mama Lucy, setelah makan dan membersihkan
tempat bekas makananku, aku menuju ruang kerja Papa Edmund. Aku
sedikit tegang saat ini. Aku harap dia tidak memarahiku karena gazebo
cantiknya yang terbakar.
"Pa," panggilku dan membuat dia yang sedang membaca sebuah
berkas di atas meja kerjanya kini mengalihkan pandangannya padaku.
"Oh, hai Michel. Duduklah dulu
Aku duduk di kursi tepat di depannya. Sebenarnya ada sebuah sofa
disana tetapi entahlah aku tidak ingin duduk disana. Belum lagi
pencahayaan yang cukup minim di sekitar sofa. Hanya pada bagian
meja kerja yang memakai pencahayaan yang layak. Benar-benar
meninggalkan kesan menyeramkan.
"Kenapa wajahmu tegang sekali? Aku tidak akan memarahimu
mengenai gazebo;' dia tertawa mencoba mencairkan suasana dan aku
meringis merasa bersalah.
"Tidak. Tidak apa-apa. Aku ingin membicarakan sesuatu yang lebih
penting denganmu.”
Sesuatu seperti apa?
"Apa?" tanyaku hati-hati.
"Sebelum ayah dan ibumu pergi, kami sudah berencana untuk
menjodohkan kedua anak kami. Sebenarnya kami tidak berniat
memberitahumu sekarang. Tetapi aku rasa lebih cepat lebih baik.
Lagipula kalian dapat saling lebih mengenal terlebih dahulu. Jadi

Aku sedikit menegang, tetapi hanya sedikit. Tidak terlalu mengejutkan
sebenarnya. Bukankah berita ini sudah pernah kudengar?
"Jadi aku akan menikah dengan salah satu anak papa?" tanyaku.
"Jadi kau ingin menikah?" tanyanya balik.
"Tidak. Aku tidak akan menolak jika dijodohkan. Tetapi aku akan
menolak untuk menikah terutama saat ini"' tegasku.
Aku tidak akan menolak untuk dijodohkan. Tidak akan aku
mengecewakan kedua orangtuaku lagi. Lagipula Walcott bersaudara
tidak terlalu mengecewakan. Satu-satunya yang kuharapkan, bukan
sosok itu yang akan dijodohkan denganku. Meski entah bagaimana,
setitik kecil bagian di hatiku mengharapkannya.
"Hmm, oleh karena itu kau akan bertunangan lebih dulu dengannya,
jelas Papa Edmund.
"Lalu siapa dia yang Papa maksud?" tanyaku.
"Itu aku"
Suara itu terdengar dari sofa dan sosoknya terlihat disana. Suara
dinginnya dan tatapannya yang terasa menusuk padaku. Tidak perlu
melihatnya secara langsung, bahkan dalam pencahayaan minim pun
aku tahu dia siapa.
Shit?! Fucking Shit?!
*-*-*
Duk
Duk
Duk
Suara bola jingga yagn menghantam lantai itu terdengar jelas di
keheningan malam. Aku mendribelnya hingga berhenti beberapa
langkah dari ring. Kemudian aku mengambil ancang-ancang untuk
melemparkan bola jingga ini agar masuk tepat di ring.
Shoot!
And great! Bola itu masuk di ring. Aku kembali mengejar bola yang
terpantul-pantul itu dan mendribelnya ke sisi lapangan yang lain.
Lapangan kecil ini kuitari sambil memantul-mantulkan bola. By the
way, aku baru mengetahui bahwa di mansion ini memiliki lapangan bola
basket. Ugh, i love basketball.
Baju yang kukenakan juga sudah benar-benar basah karena keringat,
padahal angin malam yang bertiup sebenarnya cukup dingin.
Sepertinya aku harus segera mandi setelah ini. Menyebalkan memang,
tetapi terbalaskan dengan rasa senangku yang bisa bermain basket.
Tiap kali aku merasa pikiranku sedang kalut, aku selalu membutuhkan
pelarian dari masalahku seperti berolahraga ataupun berjalan-jalan.
Basket adalah salah satu pelarian terbaik yang selalu bisa
mengembalikan moodku.
Aku duduk di tengah lapangan untuk beristirahat sejenak. Tanganku
tetap memantulkan bola tersebut dengan pelan.
Kembali terpikir olehku masalah antara aku dan dia. Sekarang mungkin
sudah terhitung seminggu sejak pembicaraan antara aku, dia, dan
Papa Edmund dan semuanya masih sama saja. Tidak ada perubahan
di antara kami berdua. Dia tetap dingin dan aku juga tidak memiliki
keberanian untuk mengajaknya bicara.
Hah!
Lalu kenapa dia menerima perjodohan itu?! Menyebalkan!
Aku kembali melempar bola tersebut ke arah ring. Namun bukannya
masuk ke dalam ring, bola tersebut justru memantul pada pinggiran
ring dan memantul kembali tepat di kepalaku.
"Ishh sial!" umpatku. Lalu aku meleparkan bola tersebut dengan kesal
ke belakang tubuhku.
Ugh sakit.
Aku kembali mengusap-usap dahiku.
"Bodoh."
Aku berbalik ketika mendengar seseorang memakiku dari arah
belakang. And exactly, itu sosok yang menjadi sumber masalah
hidupku sekarang. Dia menatapku atau mungkin menatap dahiku?
"Aku tidak bodoh;" ujarku tidak terima.
Dia membuang pandangannya pada ring dan melemparkan bola
jingga yang dipegangnya ke sana. Yeah, bola itu masuk tepat sasaran.
Setelah itu, dia berbalik meninggalkanku.
oh no!
Aku lekas berdiri dan memegang tangannya agar ia berhenti
melangkah. Rasanya ada sengatan listrik yang merayap di tubuhku
ketika bersentuhan dengannya.
Lelaki itu menatapku tajam kemudian berpaling pada tanganku yang
memegang tangannya.
"Maaf. Maaf;"ujarku salah tingkah.
Tetapi dia hanya menatapku datar.
Kenapa sulit sekali menjangkaumu? Kenapa sulit sekali membaca
dirimu?
"Kenapa kau tidak menolak perjodohan itu?" tembakku langsung
padanya.
"Kenapa kau tidak menolaknya?" tanyanya balik padaku.
Kegugupan menderaku ketika berhadapan dengannya. Ini untuk
pertama kalinya kami dapat berkomunikasi dengan benar.
"Kenapa kau bertanya balik? Lagipula aku hanya tidak ingin kembali
menentang kedua orangtuaku. Jika kau menolaknya terlebih
dahulu, setidaknya aku tidak akan terlalu sulit menjelaskan alasan
penolakanku nanti kepada orangtuaku. Lagi pula ini perjodohan yang
aneh, paparku. Tetapi dia justru menatapku tajam seperti tidak senang
dengan perkataanku.
"Sama sepertimu, aku juga tidak ingin mengecewakan orangtuaku.' Dia
menampilkan senyum iblisnya.
sial!
Ini sebenarnya sama saja dengan ia hanya membalikkan kata-kataku.
"Kenapa kau kelihatan begitu membenciku?" tanyaku yang
menghentikan langkahnya. la berbalik dan kini benar-benar ada
di hadapanku. la melipat kedua tangannya di dada lalu menatapku
dengan pandangan,
Ah, aku harap jantungku masih ada pada tempatnya.
"Apa aku pernah mengatakan aku membencimu?" tanyanya sambil
mengangkat alis.
Sialan! Makhluk tampan ini!
"Tidak ada orang yang membenci orang yang lainnya dan mengatakan
secara jujur bahwa dia membenci orang itu. Tetapi sikapmu yang
menunjukkan seperti kau membenciku, kataku padanya.
"Jadi kau berpikir aku membencimu?"
"iya"
"Terserah,' tandasnya.
Sial! Kenapa makhluk ini tidak berperasaan sekali?
"Kenapa kau begitu padaku? Kenapa kau dingin dan menutup diri
dariku? Bagaimana perjodohan ini bisa berjalan lancar, jika kau tidak
membiarkanku masuk ke dalam hidupmu? Kenapa kau bersikap seolah
peduli lalu kembali lagi menjadi tidak peduli? Apa maumu sebenarnya?"
tanyaku frustasi.
Aku melihat raut wajah datarnya. Tetapi matanya tidak bisa berbohong
ada rasa bersalah, sedih, dan amarah disana? Lalu dengan cepat
berganti kembali menjadi tidak terbaca. Namun, dia sama sekali tidak
mengucapkan satu kata pun. Dan yang membuat amarahku memuncak
adalah ketika ia berbalik dan meninggalkanku tanpa penjelasan.
"Baiklah. Kita batalkan saja perjodohan konyol ini. Aku tidak bisa
hidup dengan orang yang bahkan tidak mengharapkan kehadiranku
di hidupnya! Lalu aku mendesah kuat'Hah, kenapa pula papa harus
menjodohkanku denganmu bukan dengan anaknya yang lain, yang jelas
lebih menerimaku di kehidupan mereka,' ujarku dengan nada lantang
lalu aku juga berbalik.
Sekarang terserah padanya. Aku tidak peduli lagi.
Sial! Air mataku justru meluncur dengan deras di pipi. Kenapa aku
cengeng sekali akhir-akhir ini?!
Tiba-tiba sepasang tangan menarikku dari belakang. Sepasang lengan
mengitari pinggangku dan mendekapku pada kehangatan. Punggungku
dapat merasakan dadanya yang masih sama-sama berlapis pakaian.
Deru napasnya menerpa telinga kananku. Menggelitik memang, tetapi
adanya kenyamanan pada posisi ini.
"Maaf" lirihnya pelan sekali. Kata itu terdengar juga karena bibirnya
tepat di sebelah telingaku. "Jangan menangis karena aku,’ pintanya
lembut.
Aku berbalik. Tidak kupedulikan lagi harga diriku. Aku melingkarkan
tanganku di sekitaran pinggangnya kemudian mendekapnya erat. Aku
bersandar pada dada bidangnya dan menangis disana.
"Kau jahat sekali! Makhluk menyebalkan! Aku benci padamu." Aku
memukul-mukul dadanya. Dia tidak menjawab dan hanya memeluk
dan mengelus punggungku.
Keheningan menyelimuti kami. Tetapi aku nyaman dengan posisi
ini. Aku merasa dibutuhkan olehnya. Setelah isakkanku berhenti, dia
mulai melonggarkan dekapannya dan menangkup wajahku agar fokus
dengannya.
"Jangan paksaku aku untuk berubah. Dan ada atau tidaknya
perjodohan ini, kau tetap milikku. You're mine. Mengerti?"
Mine? Seperti kata yang tidak asing.
Tolong jangan bangunkan aku jika ingin semua mimpi.
"lya;' aku menganggukkan kepalaku.
"Sekarang pergilah mandi! Keringatmu bau sekali;' ujarnya ketus.
Bastard! Belum ada semenit dia berkata begitu manis dan sekarang
begitu ketus padaku. Dan apa katanya? Aku bau?

"Kau!" Aku menggeram kesal padanya dan dia menampilkan smirknya
padaku. Aku sudah bersiap untuk memukulnya namun si sialan itu
justru sudah menghilang dengan kekuatan vampirnya.
"sial--"
Umpatanku terhenti ketika benda kenyal itu menutup mulutku dengan
lancangnya. Bibir lelaki itu menempel tepat di bibirku. Dia menciumku.
Mata hitamnya menatap mataku dengan smirk yang terbaca jelas.
Lengannya berada di pinggangku untuk mengangkat tubuhku agar
sejajar dengan tingginya. Aku menahan nafas melihat mata itu yang
berkilat penuh kemenangan.
Apa-apaan dia?!
Lelaki itu melepas kecupannya dan dekapannya di pinggangku. Aku
sama sekali belum sadar, semuanya terlalu mengejutkan dan tiba-tiba.
Kemudian ia sedikit menunduk dan berbisik tepat di depan
bibirku,'selalu emosional. Aku akan memberi hukuman yang sama
setiap kali aku mendengarmu mengumpat. Bibir manismu ini perlu
mendapat hukuman!' la pergi setelah kembali mengecup singkat
bibirku

Ugh!
"Breng--,' spontan aku menutup mulutku.
esteve brengsek!
"Hatcii.. Ish." Aku kembali menggosok hidungku.
"Kau tidak apa Michel?" tanya Mama Lucy.
"Maaf, aku merusak suasana sarapan kita,' ujarku merasa bersalah.
"Hatchi!" Aku kembali bersin.
"Bagaimana kau tidak sakit, jika hampir tengah malam kau masih
bermain basket di lapangan. Aku yakin kau juga tetap mandi
setelahnya dengan air dingin,' ujar Urien dan aku menyengir
membalasnya.
"Astaga Michel, itu bukan kebiasaan yang baik;' nasehat Papa Edmund.
"Hatchi!

aiklah Papa. Hari ini tidak akan lagi;' jawabku.
"Besok-besok juga tidak,' sambung Obelix.
"Aku tidak janji; gumamku nyaris tidak terdengar.
"Michel!" tetapi sepertinya yang lainnya mendengar kecuali Mama Lucy.
"Bagaimana jika kau tidak perlu ke sekolah hari ini?"
"Bolehkah?" seruku dengan senang hati.
"Tidak;' suara itu datang dari seseorang di belakangku. "Seharusnya
kau sudah tahu resiko dari apa yang kau lakukan."
Esteve tiba di meja makan dan aku merengut cemberut.
Menyebalkan!
Tarikan kursi terdengar, tepat di sebelahku.
"Tumben sekali kau duduk di sini? Biasanya kau akan langsung
berangkat?" heran Ireneo.
"Astaga Ireneo kau mengajukan pertanyaan yang tidak perlu dijawab.
Tentu saja ia menunggu tunangannya. Oh ralat, calon tunangannya;'
seru Urien yang sialnya membuat pipiku bersemu.
"Diamlah,’ balas laki-laki itu dingin. Urien dan Ireneo justru semakin
menertawakannya.
"Urien. Irene. Jangan memancing pertengkaran;’ peringat Alaric.

"Aku hanya mengatakan hal yang sejujurnya Al. Untuk apa dia duduk di
sini? Dia juga tidak akan makan kan?" terang Urien.
Oh tolong jangan memancing kemarahannya!
Tetapi, benarkah ia menungguku?
Suara kursi yang beradu dengan lantai kembali terdengar. Aku
merasakan makhluk di sampingku beranjak meninggalkan kursinya.
"Kemana kau akan pergi Esteve?" tanya Alaric.
"Kau akan meninggalkan Michel sendiri?" tanya Ireneo yang sukses
menghentikan langkahnya.
"Dia punya kaki untuk berangkat sendiri;' ujarnya dingin.
Sial! Dia memang bisa sekali mencabik-cabik hatiku.
Aku masih berpura-pura fokus dengan makananku.
"Ugh,' seru Urien sambil memegang hatiku seolah berada di posisi
diriku.
"Aku juga tidak berniat berangkat dengannya. Aku ingin berangkat
dengan Obelix saja. Aku bersamamu ya,' harapku pada Obelix.
Tolong aku Obelix! Agar dia tahu, aku juga tidak bergantung padanya.
"Terserah padamu,' balasnya.
Yeay!

"Terimakasih. Aku sayang padamu Lix;' ujarku spontan. Ups!
"Uhh kuharap seseorang tidak segera meledak,’ ejek Urien dan kulihat
dia segera melangkah keluar.
"Cepat habiskan makanan kalian dan segeralah berangkat, perintah
Mama Lucy.
Ketika aku berpamitan dengan Mama Lucy dan Papa Edmund, Mama
sempat berbisiK agar aku segera meminta maar pada esteve.
Ugh, bagaimana aku harus mengatakan maaf pada makhluk dingin itu?
Sinar matahari tidak terlalu terik siang ini, awan kelabu justru
menutupinya dengan berani. Sehingga aku memutuskan untuk duduk
di salah satu bangku taman sekolah. Sebenarnya aku juga sedang
menghindari Helena dan beberapa siswa lain yang memberiku tatapan
bertanya. Mereka yang ingin tahu sekali hubunganku dengan Obelix,
karena keberangkatan kami yang berada pada satu kendaraan yang
sama. Ini juga karena si jahil Obelix yang tidak mau berhenti beberapa
meter dari gerbang sekolah. Biasanya ketika saudaranya yang lain
mengantarku ke sekolah akan melewati tempat parkir khusus mereka
yang cukup rahasia.
Bayangkan jika yang mengantarku tadi adalah Esteve. Oh! Aku pasti
sudah tidak akan ada di tempat ini dalam keadaan bernapas. Dengan
Obelix yang terkenal playboy saja, aku masih dicerca berbagai
pertanyaan.
Belum lagi masalahku dengan Esteve yang membuatku semakin
pusing. Memangnya apa kesalahan yang kulakukan sehingga aku
harus meminta maaf?
"Hatchi!" aku kembali bersin. Flu ini benar-benar menyusahkan.
"Elaa!" panggil Helena yang berdiri tergesa-gesa di hadapanku.
"Oke Helena, jika kau ingin menanyakan hubunganku dengan Obelix
maka aku tidak punya waktu untuk menjawabnya,' tandasku sebelum
beranjak.
Helena memberikan cengiran permintaan maaf. "Baiklah-baiklah. Aku
tidak akan menanyakannya lagi."
Aku menatapnya kesal.
"Aku hanya ingin menyampaikan kalau kita sekelompok dalam tugas
sejarah. Jadi bangunan apa yang harus kita kunjungi?" tanya Helena
padaku.
"Terserah; ujarku tidak tertarik.
"Ini menyebalkan ketika berbicara denganmu;' dia berdecak kesal" Lusa
kau harus menginap di rumahku, lalu besoknya adalah hari libur.
Nah, pada hari itu kita akan mengunjungi bangunan bersejarahnya,' usul
Helena.
Menginap?
"Aku tidak janji;' kataku ragu.
"Ayolah Ela, kita sudah lama sekali tidak menghabiskan waktu
bersama;' dia merayu sambil menggoyang-goyangkan lenganku.
"Aku akan usahakan. Kau tahu kan, aku harus meminta izin pada
orangtua angkatku. Itu tidak mudah."
"Oke. Baiklah"
Lalu setelahnya keheningan menyelimuti kami. Aku sibuk dengan
pikiranku tentang cara meminta maaf pada Esteve, tentang kesalahan
yang sama sekali tidak kumengerti. Sementara Helena masih sibuk
mencomoti kentang goreng miliknya.
"Lena,’ panggilku.
"apa?"
"Seandainya kau bertengkar dengan pacarmu dan posisinya kaulah
yang salah. Bagaimana caramu meminta maaf?" tanyaku berharap dia
dapat memberi usul yang baik.
Tetapi apa Esteve dapat dikategorikan pacar?
"Kau sedang bertengkar dengan pacarmu?! Siapa?! Obelix?! Oh My
God!Kenapa kau tidak memberitahukanku sejak dulu. Selama ini kau
terlihat tidak peduli dengan most wanted sekolah. Tetapi ternyata kau,"
dia memutusnya dengan memberikan tatapan menggoda.
This is Helena dan segala kesimpulannya.
"Aku hanya bertanya dan kenapa kau jadi mengaitkannya dengan
Obelix? Aku menyesal meminta saran padamu.’ Aku sudah akan
beranjak namun tangan Helena kembali menarikku untuk duduk.
"Baiklah-baiklah aku tidak akan menggodamu lagi. Walaupun kegiatan
itu terasa menyenangkan;' cengirnya di akhir kalimat.
Aku merengut kesal.
"Kau tahu kan jika lelaki meminta maaf pada kekasihnya biasanya
mereka akan memberikan coklat ataupun bunga. Tetapi jika wanita
yang meminta maaf mungkin kau harus menciumnya."
Helena tertawa dan aku berdecak kesal.
YYang benar saja, aku mencium Esteve?!
"Beri aku saran yang baik, Helena?!" geramku.
"Ugh kau sensitif sekali. Baiklah. Mungkin kau harus menyiapkan
makanan spesial untuknya atau makan malam berdua,' saran Helena.
makan?
"Dia saja tidak pernah makan,' lirihku.
"Apa yang kau katakan Ela?"
Aku terperanjat, "oh tidak-tidak. Bukan apa-apa Lena."
"Nah, berhubung kau tidak bisa memasak jadi aku benar-benar tidak
menyarankan hal itu. Daripada nanti objek yang memakannya akan
keracunan aww;' dia berhenti berbicara karena aku langsung memukul
pundaknya. "Menurutku kalau untuk meminta maaf seperti ini, kau ajak
saja dia jalan berdua, lalu menciptakan guality time di antara kalian dan
ucapkan permintaan maafmu;’ sarannya lagi.
Mengajaknya jalan? Kencan?
Mungkinkah?

Seperti biasa pintu privat room selalu dijaga oleh dua pengawal di
depannya. Masih orang yang sama seperti pertama kali aku datang.
Salah satunya ber-nametag Tom R.
"Permisi Mr. Tom. Aku ingin bertanya, saat ini siapa saja yang sedang
berada di dalam?"
"Di dalam hanya ada Mr. Esteve, Nona!"
Oh waktu yang tepat sekali.
"Terimakasih
Privat room tampak sepi. Ruang tengah yang biasanya menjadi
tempat para makhluk itu bekerja, sekarang terlihat kosong. Begitu
juga beberapa ruangan utama lainnya. Salah satu ruangan yang belum
kuperiksa adalah ruangan khusus Esteve. Mungkin lebih pantas disebut
kamar.
"Hatcil" aku bersin lagi. Entah sudah keberapa kalinya aku bersin
setelah memasuki privat room. Tampaknya flu-ku benar-benar buruk.
Kuberanikan diriku untuk mengetuk pintu bertuliskan Esteve G.
Walcott, tetapi sama sekali tidak ada respon. Aku kembali mencobanya
dengan lebih keras hingga sang penghuni tergerak untuk membukakan
pintunya untukku. Sayangnya semua tidak sesuai ekspetasi.
"Ada apa?" tanyanya dengan wajah kesal.
Aku menggumam ragu. Entahlah, aku ragu melihat air mukanya yang
seperti memiliki banyak masalah.
"Aku tidak memiliki banyak waktu Chel;' geramnya. Kan, aku jadi takut!
"Tidak jadi."
Aku bergegas ingin pergi tetapi Esteve lekas menahanku.
"Katakan saja;' titahnya.
"Hatchi!" Sial! Aku kembali bersin di hadapannya. "Maaf,' ujarku sambil
mengusap hidungku dengan tissue. "Emm, aku ingin mengajakmu pergi
bersama malam ini,' ujarku memberanikan diri.
Esteve kali ini mengubah posisi berdirinya dengan menumpukan
tubuhnya pada salah satu tangan yang bersandar pada tiang pintu. Sial!
Dengan rambut acak-acakkan itu dia terlihat berkali—kali lipat lebih
tampan. Meski tetap saja, tatapan dinginnya menusuk tepat tepat di
mataku.
"kau mengajaku berkencan?" tanya nya padaku
aku begitu malu hingga menunduk untuk menyembunyikan kedua pipiku yang merona.
^_^*^_^

Book Comment (66)

  • avatar
    Sinta Queena Reborn

    aku suka alur ceritanya... bikin kesel, greget sekaligus gemes sm es batu nya esteve..

    04/07/2022

      2
  • avatar
    Rada Dan Yasir

    kenapa lama bnget ceritanya kk ... sya sudh chek setiap hri tapi masih lom dilanjut lanjut kak . ayo dong semngat kak .. lanjutin lagi kak .

    21/06/2022

      0
  • avatar
    Rey Mar

    so nice

    4d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters