^_^*^_^ sebuah usapan dari benda yang begitu lembut. itu bibir esteve. Astaga, dia menempelkan bibirnya di leherku! Aku kaku, namun semakin terbuai ketika dia mulai menghisap dan menjilat. Hisapannya begitu kuat, tetapi tidak membuatku kesakitan justru jantungku mulai menggila disana. Deru napasku mulai terasa memburu. Dia kembali menjilat leherku, seperti menghilangkan bekas jilatan Obelix disana. Terakhir, dia mengecup leherku sebelum benar-benar menjauhkan dirinya. Aku yang tersadar, perlahan membuka mataku yang beru kusadari telah terpejam sedari tadi. Aku mencoba menatap mata Esteve agar kutahu bagaimana reaksinya setelah ini. Namun dia justru mengalihkan pandangannya dariku. Membuatku yang tadinya terbang ke langit yang sangat tinggi, kini telah jatuh sejatuh-jatuhnya ke dasar bumi. Apa maksud lelaki ini denngan semuanya? "Keluarlah!" perintahnya tanpa menatapku. "Apa maksudmu? Tapi kita-— Sebelumnya kau-- Kau baru saja-— Sial!" aku tergagap menyusun kalimat untuknya. Terlalu kacau dengan semua perasaan ini. "Kau tahu pintu keluar, titahnya sedingin es. "Tapi kita kan--?" protesku. NAmun kali ini dia menatapku dengan begitu menusuk. "KELUAR SEKARANG!" teriaknya padaku membuat air mataku luruh lagi "Brengsek!" desisku pelan. Aku beranjak meningggalkan ruangan menyakitkan ini. Rasanya aku seperti jalang yang ditolak. Atau jalang yang diusir setelah dipakai. Keduanya sama-sama menyakitkan. Sakit dan penuh sesak. Ada apa dengan hatiku? *-*-* Berbagai kendaraan terus berlalu-lalang di sepanjang jalan. Dan aku berjalan gontai di pinggir trotoar. Tidak kupedulikan lagi tatapan mereka yang menilaiku rendah. Aku bisa apa? Menentang dan protes terhadap tatapan mereka juga tidak bisa. Aku sendiri juga akan berpikiran sama ketika melihat seorang wanita dengan wajah sembab, pakaian kusut, dan tanda merah di lehernya. Aku benar-benar seperti jalang yang tidak mendapat upah. Hahaha. Poor you, Michel. Kakiku membawaku ke tempat ini, rumahku yang penuh kenangan. Beruntungnya aku selalu membawa kunci duplikat rumah yang kugantung bersama dengan resleting tasku. Rumah ini masih sama. Letak setiap perabotannya juga masih sama. Sepertinya hanya debu yang mulai menebal, karena biasanya daddy akan rajin membersihkannya. Tidak pernah membiarkan debu menebal karena mommy alergi terhadap debu. Mereka manis. Aku berjalan semakin dalam, tetapi kali ini ke kamar orangtuaku. Hari ini atau bahkan sampai di waktu yang belum kutetapkan, aku akan tinggal di rumah ini. Tentu saja pengecualian jika keluarga Walcott kembali memaksaku tinggal di kediaman mereka. Aku tidak ingin orangtuaku kembali sedih karena aku kembali menentang mereka. Namun hari ini aku benar-benar butuh kehidupan normal seperti saat aku belum mengenal mereka. Aku menukar seragamku hanya dengan tank top dan hotpants. Lalu melemparkan tubuhku di atas ranjang. Beberapa menit kemudian mataku mulai sayu dan terpejam. Aku lelah dengan dunia yang mulai kejam sejak aku mengenal si dingin, Esteve. "Sleep tight sweetheart. Jangan menangis,” suara pangeranku mulai terdengar, membuatku menggeliat mencari kenyamanan pada sebuah daerah bidang dan hangat. Dia terkekeh begitu pelan dan halus membuatku tenang. "Sssh, bermimpilah dengan indah. Mimpikan aku bersamamu,” pintanya. Tetapi bukankah ini sudah mimpi? Aku menggeliat pelan ketika merasa tidurku sudah cukup. Walaupun dalam hatiku sebenarnya aku ingin mendapat pagi-pagi yang selalu kulewati selama ini. Mommy yang akan berteriak membangunkanku lalu mengingatkanku akan segala hal dan daddy-ku yang akan selalu mengingatkannya untuk mengecilkan volume suaranya. Namun semuanya begitu berbeda saat ini. Suasana yang dulu begitu menyebalkan, kini aku justru merindukannya. Oke, aku mulai tidak tahan. Lebih baik aku segera berangkat ke sekolah sebelum aku terbawa suasana dan menangis disini. Perut kesayanganku juga sudah mulai minta diisi mengingat semalam sama sekali tidak terisi. Aku akan memakai uang tabunganku untuk makan di cafetaria sekolah. "Permisi Ms;' sebuah suara mengalihkan fokus kami dari pelajaran Ms. Eva. Teman sekelasku yang berjenis kelamin perempuan langsung menjerit tertahan. "Ya? Ada apa Rafael?" jawab Ms. Eva sambil memberi tatapan perigatan pada kami. "Saya ingin memanggil Michaela, Ms." Semua tatapan teman sekelas langsung menoleh padaku, ada yang menatapku penuh selidi maupun sinis. Sialan! Ada apa dengan Rafael? Apa dia ingin aku dibumihanguskan oleh fans gilanya?
"Ada urusan apa kalau saya boleh tahu?" tanya Ms. Eva lagi. "Urusan langsung dengan Kepala Sekolah, Ms." "Silahkan Michaela;' Ms. Eva tidak lagi bertanya. aku merengut kesal. "Ada apa?" tanyaku setelah keluar dari kelas. Tetapi ia hanya menarik tanganku untuk pergi. Saat aku ingin berteriak dan memaki, aku sadar bahwa aku sedang di koridor sekolah dan tidak ingin menjadi pusat perhatian. Dan ya, aku tepat sasaran. Dia membawaku ke privat room. Ugh, aku akan berjumpa dengan mereka dan harus menyiapkan alasan mengapa aku tidak pulang semalam. Syukurnya, dia tidak ada disana. Para lelaki tampan itu duduk di kursinya masing-masing dan mulai mengalihkan pandangannya padaku. "Kemana saja kau semalam Michel?" tanya Ireneo. "Aku tidak yakin kalau kakak-kakak tidak tahu,' jawabku sarkas. Perasaanku memang tidak baik hari ini. Setiap aku mengingat perbuatan musuh sialanku itu, rasanya aku seperti dilecehkan dan mengingat apa yang berhubungan dengannya selalu membuat mood-ku rusak. "Michel, kami hanya mengkhawatirkan keadaanmu,’ seru Gerald dengan suara yang begitu dalam sarat akan perhatian. Tetapi sama sekali tidak meruntuhkan sesuatu yang terasa mendesak keluar dari diriku yang tidak dapat disentuh. "Aku tidak butuh nada khawatir itu Kak. Aku bukan anak kecil yang harus melapor pada orangtuanya apa yang harus aku lakukan." Aku kembali berkata sinis dan membuat sebagian dari diriku tidak mengerti. Dimana semua pengendalian diriku? "Kau memang anak kecil. Bukan umurmu yang menentukannya, tapi sikapmu yang sama sekali tidak dewasa dengan tidak pulang ke rumah tanpa memberitahu kami. Kau membuat kami kesusahan!" Obelix menjawabku dengan nada sinis yang membuat sesuatu kembali menguar dari diriku. Aku benci Obelix! Dia mengingatkanku akan kejadian semalam. Karena dia, aku harus bersinggungan dengan bajingan itu. "Kau! Aku tak menyuruhmu mencariku. Ini hidupku, hanya aku dan Tuhan yang berhak mengaturnya. Dan oh, jangan nilai aku sebagai anak kecil. Jika aku anak kecil, lalu kau apa?! Kau balita yang jelas lebih childish dariku!" seruku dengan menatapnya tajam. Aku merasakan perlahan-lahan ada energi yang keluar dari tubuhku. "Kau! Beraninya kau!" seru Obelix emosi. Dia sudah bergerak seperti akan memukulku, jika saja tangan Alaric tidak kembali menariknya untuk duduk di kursi. "Ada apa denganmu, Michel?" tanya Eldric yang berdiri dan mulai merangkulku. Ambigu. Ada apa denganku? Apakah ia bertanya tentang sikapku? Apa haknya untuk marah akan setiap kelakuanku? Aku menghempaskan tangannya dari bahuku. Eldric sedikit terkejut. Bukan hanya dia, tetapi semua orang di ruangan ini. Bahkan diriku sendiri. "Berhenti bersikap seperti kita sangat dekat,' ujarku ketus padanya. Aku tidak tahu kenapa aku berkata kasar seperti itu. AKu tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku bisa melihat mereka semua tercengang melihatku. Dan aku juga bisa merasakan ada kabut gelap yang menyelimutiku. Aku marah. Aku kesal. Benar-benar kesal. "Michel! Tenangkan dirimu;" seru Urien dengan panik. Tetapi aku tidak bisa. Aku tidak tahu cara menenangkan diriku sendiri saat ini. Sesuatu yang seperti keluar dari tubuhku itu tidak bisa terkontrol bahkan sesuatu itu yang mengontrol tubuhku. Aku seperti kehilangan kendali. Dan hawa ruangan ini menjadi begitu panas. "Tenang sweetheart,"sebuah suara tertangkap indraku. Satu-satunya suara yang dapat kudengar. Suara yang berasal bukan dari mereka yang berada di ruangan ini. Suara itu berasal seperti dari diriku sendiri. Suara itu menenangkan. "Aku disini. Aku bersama denganmu." Perlahan kontrol diriku kembali padaku. "Tenangkan dirimu, Chel. Aku disini, selalu disini untuk menjagamu,” dan itu suara terakhir yang kudengar. Suara yang sama yang sering menemaniku dalam setiap mimpiku Aku melemah dan energi terkuras habis. Sebenarnya kenapa denganku? Dan pemandangan terakhir yang kullihat adalah mata hitam yang sama yang beberapa hari terakhir selalu menjadi pemandangan terakhir sebelum kegelapan menelanku. seorang wanita bertanya terdengar di telingaku. ‘Kau tahu ini sangat penting, Son. Lalu kenapa kau menyembunyikannya?" tanya seorang pria lagi. "Baiklah. Aku tidak peduli dengan jawabanmu. Intinya sekarang aku tahu bahwa kaulah pasangannya. Aku ingin kau dan Michel segera bertunangan atau bahkan menikah." a-apa?! apaa?!! menikah?!! Dengan siapa?!!! Oh my God?! Aku masih sekolah. Mata sialan ini juga kenapa tidak bisa terbuka! Aku ingin meminta penjelasan. "Jangan protes. Kau tahu dia sangat membutuhkan pasangannya untuk melawan kesakitannya saat kekuatan itu datang dan juga untuk mengontrol kekuatannya,’ jelas lelaki itu lagi. Kekuatan? Kekuatan apa?! Apa maksud ini semua? Lalu yang terakhir kudengar adalah pintu kamar yang tertutup. aku harap ini hanya mimpi. *-*-* Sinar matahari menusuk mataku yang baru saja mencoba terbuka. Dan bertepatan dengan itu, aku mendengar suara pintu kamar yang terbuka dan sosok disana terlihat membawa nampan berisi makanan yang sepertinya untukku. Benar-benar pemandangan pagi yang tidak diharapkan. "Hai!" Wow! Ada apa dengan senyumnya hari ini? "Kenapa kau tidak membalas sapaanku? Kau belum sepenuhnya sadar?" Aku mengerutkan dahi menatapnya. "Kenapa menatapku begitu? Aku tahu aku memang tampan;’ ujarnya percaya diri. "Gila!" desisku. "Astaga. Jangan tampilkan wajah ingin muntah seperti itu. Dan apakah kata gila termasuk sapaan?" "Apa kau salah minum obat?" tanyaku heran dan dia terlihat senang. Dia mendekat dan meletakkan nampan itu di meja kecil sebelah tempat tidurku. "Aku hanya ingin mengantar sarapan untukmu yang sudah sangat terlambat. Dan mungkin ingin sedikit mengobrol,’ ujarnya ragu di akhir kalimat. Aku duduk bersandar pada kepala tempat tidurku dan memangku nampan itu pada pahaku yang berselonjor. "Kau yakin? Kau bukan ingin menggigit leherku lagi, Obelix?" tanyaku sambil menyuapkan makanan. "Oh tidak, Michel. Aku sungguh hanya ingin berhubungan baik denganmu. Sepertinya satu rumah dengan musuhmu itu tidak akan menyenangkan." "Baiklah, kalau begitu aku akan keluar dari rumah ini agar kau tidak perlu serumah dengan musuhmu,"ujarku cepat setelah menelan makananku. "Bukan seperti itu,' katanya setengah berteriak. "Astaga, kenapa sulit sekali mengatakannya,' dia menggeram nyaris menampilkan taringnya. Hal ini membuatku harus menahan tawa karena melihat kekesalannya. “Intinya aku ingin mulai berteman denganmu. Kenapa kau tidak mengerti "Kenapa kau tidak mengatakannya secara jelas? Ambigu sekali;' balasku tak mau kalah. Obelix menghembuskan napasnya dengan lelah, "oke aku minta maaf. Jadi kita berteman?” Aku bertingkah seperti orang yang sedang berpikir dan lelaki di depanku tidak dapat menahan untuk memutar bola matanya. "Baiklah, dengan satu syarat." "apa?" "Tidak ada permainan yang berhubungan dengan taring;" aku menatapnya kesal dan dia terkekeh. Lalu kami mengobrol dengan baik, walaupun seringkali terjadi perdebatan kecil yang terjadi. Setelah makan dan mandi, aku memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi mansion ini. Saat ini mansion sedang dalam keadaan kosong. Lucy dan Edmund sedang pergi mengurus bisnis mereka dan kelima saudara itu juga sedang pergi dengan urusannya masing-masing. Aku benar-benar sendiri di mansion sebesar ini. Menyebalkan! Aku memilih duduk di pinggir kolam renang mansion yang berbatasan langsung dengan hutan. Kugantungkan kakiku agar terkena air pada kolam. Ini adalah tempat yang tepat untuk menjernihkan pikiran yang kalut. Setidaknya kicauan burung dan suara jernih air pasti menenangkan. Hah, ini semua karena mimpi sialan itu. Aku yakin suara yang berbicara dalam mimpiku itu adalah suara Mama Lucy dan Papa Edmund. Tetapi apa benar itu hanya mimpi? Atau sebenarnya itu adalah kenyataan? Bagaimana jika memang kenyataan? Aku? Menikah? Dengan siapa? Astaga, aku masih sekolah dan yang pasti calon pasanganku bukan manusia sepertiku! That's really a ridiculous thing! Aku mengusap wajahku kasar. Teringat olehku akan perbincangan mereka tentang kekuatan. Kekuatan apalagi maksudnya? Apa aku juga bukan manusia? Tidak! Tidak mungkin! Tolong katakan aku manusia normal! "Aaarghhh!!" aku berteriak keras sembari menutup mataku dan memukul dinding pinggir kolam. Lalu ketika mataku terbuka, Apalagi ini?! ini gila! Burung-burung beterbangan keluar dari hutan dengan tergesa di langit yang mulai terlihat kelabu. Lalu air kolam renang beriak tak tenang dan sisanya menggantung di udara? Air itu.... Saat aku mengangkat tanganku, dinding kolam renang itu telah hancur. Sedangkan tangan berada dalam keadaan yang baik-baik saja. Ada apa dengan diriku sebenarnya? Kenapa hidupku jadi segila ini? Kenapa aku jadi aneh? Aku meremas rambutku hingga memukuli kepalaku sendiri untuk menyadarkanku bahwa semua ini hanya mimpi. Tetapi aku sama sekali tidak terbangun. Rasa sakit ketika aku memukuli diriku justru terasa sangat nyata seolah menyadarkanku bahwa ini semua bukan mimpi. Aku menghempaskan tanganku dari kepala dengan marah. Tetapi kemudian ada api yang keluar dari sana. Api itu mengenai gazebo kayu yang terletak tidak jauh dariku sehingga api itu melahap cepat gazebo tersebut. Crazy! Api?! Darimana lagi? Aku gila. Benar-benar tidak waras. Tuhan, bagaimana ini? Aku kalut. Pandanganku mulai mengabur dan aku kesulitan bernapas. Aku mulai merasa udara di sekelilingku menipis dan menyesakkan. Tubuhku tidak dapat kukendalikan. Hanya rasa takut satu-satunya mendominasi saat ini. Belum lagi barang-barang seperti pot bunga dan daun-daunan yang mulai bergerak naik menggantung di udara. Api pada gazebo juga semakin terlihat membara. Aku panik! Aku takut! Kumohon seseorang tolong aku! Aku kesulitan bernapas. Kemudian sosok itu tertangkap samar di mataku. la memegang bahuku dan memaksaku untuk fokus menatapnya. "Dengarkan aku Chel;' pintanya padaku. Aku mencoba memfokuskan pendengaranku pada suaranya. Lalu ia menangkup wajahku, kembali memaksaku untuk menatap hanya padanya. Perlahan pandanganku mulai terlihat jernih. Aku bisa melihat matanya yang memandangku penuh kekhawatiran yang tidak dapat tertutupi. "Look at me, Chel. Look at my eyes", suaranya perlahan menyadarkanku dan membuatku menurutinya. Aku menatap matanya yang hitam itu. Matanya yang selalu aku suka namun terlalu penuh misteri. Matanya yang dapat mengembalikan pengendalian diriku, seolah sebagian jiwaku dapat kutemukan disana. Aku mulai dapat bernapas dengan teratur sekaligus mendapatkan udara yang kubutuhkan. Ketika ketenangan menghampiriku, benda-benda yang tadinya terangkat naik kini kembali pada posisi seharusnya. "Esteve." Dia menegang ketika aku menyebut namanya dan kekalutan yang tadinya terbaca jelas dari matanya kini terganti dengan kelegaan. sungguh? Ada kilatan tidak terbaca pada matanya dan tanpa aba-aba ia memelukku begitu erat seolah aku bisa kapan saja hilang dari hadapannya. Dan untuk sesaat aku benar-benar menikmatinya. Bisakah waktu berhenti untuk sebentar saja? Setelahnya aku mulai sadar akan api pada gazebo. "Esteve, apinya." Dan hal yang kusesali adalah ketika momen itu harus berakhir. Dia melonggarkan pelukannya dan berlari tak kasat mata hingga kembali di hadapanku dengan sebuah selang di tangannya. Esteve menyiramkan air dan menghentikan kerja api tersebut.
Aku menatapnya dan dia balas menatapku tajam. Setelahnya dia melemparkan selang itu di hadapanku dan membentakku, "lain kali berpikirlah sebelum bertindak." Kemudian dia pergi meninggalkanku dan sesuatu yang basah mengairi pipiku. Dia penuh dengan teka-teki yang menggoda untuk dipecahkan. Tetapi di saat yang bersamaan pula ia menolak untuk terpecahkan. Lelaki itu mendorongku untuk mendekat padanya dan juga mendorongku untuk keluar dari hidupnya. Aku merasa aku dekat dengannya. Aku merasa ada sebuah ketertarikan antara aku dengan dia, bahkan hanya dari tatapan dan suara. Tetapi kenapa ia tidak bereaksi sama sepertiku? Atau perasaan ini sama dengan perasaan penggemarnya yang lain. Atau bahkan semua wanita yang melihatnya memang akan merasakan hal yang sama? Tetapi tatapan khawatir tadi? Apa aku tidak salah melihat? Atau itu hanya karena pandanganku yang mengabur? Lalu bagaimana dengan pelukannya? "Michel,' suara itu disertai dengan tepukan pelan di bahuku. "Ah ya? Ada apa?" ujarku kaget. "Kau sedang sakit?" "Tidak Ma, aku baik-baik saja." "Baiklah. Habiskan makan malammu, Michel. Setelah itu temui Papa Edmund di ruang kerjanya. Ada yang ingin ia bicarakan denganmu." Kemudian Mama Lucy meninggalkanku. Sesuai dengan perintah Mama Lucy, setelah makan dan membersihkan tempat bekas makananku, aku menuju ruang kerja Papa Edmund. Aku sedikit tegang saat ini. Aku harap dia tidak memarahiku karena gazebo cantiknya yang terbakar. "Pa," panggilku dan membuat dia yang sedang membaca sebuah berkas di atas meja kerjanya kini mengalihkan pandangannya padaku. "Oh, hai Michel. Duduklah dulu Aku duduk di kursi tepat di depannya. Sebenarnya ada sebuah sofa disana tetapi entahlah aku tidak ingin duduk disana. Belum lagi pencahayaan yang cukup minim di sekitar sofa. Hanya pada bagian meja kerja yang memakai pencahayaan yang layak. Benar-benar meninggalkan kesan menyeramkan. "Kenapa wajahmu tegang sekali? Aku tidak akan memarahimu mengenai gazebo;' dia tertawa mencoba mencairkan suasana dan aku meringis merasa bersalah. "Tidak. Tidak apa-apa. Aku ingin membicarakan sesuatu yang lebih penting denganmu.” Sesuatu seperti apa? "Apa?" tanyaku hati-hati. "Sebelum ayah dan ibumu pergi, kami sudah berencana untuk menjodohkan kedua anak kami. Sebenarnya kami tidak berniat memberitahumu sekarang. Tetapi aku rasa lebih cepat lebih baik. Lagipula kalian dapat saling lebih mengenal terlebih dahulu. Jadi
Aku sedikit menegang, tetapi hanya sedikit. Tidak terlalu mengejutkan sebenarnya. Bukankah berita ini sudah pernah kudengar? "Jadi aku akan menikah dengan salah satu anak papa?" tanyaku. "Jadi kau ingin menikah?" tanyanya balik. "Tidak. Aku tidak akan menolak jika dijodohkan. Tetapi aku akan menolak untuk menikah terutama saat ini"' tegasku. Aku tidak akan menolak untuk dijodohkan. Tidak akan aku mengecewakan kedua orangtuaku lagi. Lagipula Walcott bersaudara tidak terlalu mengecewakan. Satu-satunya yang kuharapkan, bukan sosok itu yang akan dijodohkan denganku. Meski entah bagaimana, setitik kecil bagian di hatiku mengharapkannya. "Hmm, oleh karena itu kau akan bertunangan lebih dulu dengannya, jelas Papa Edmund. "Lalu siapa dia yang Papa maksud?" tanyaku. "Itu aku" Suara itu terdengar dari sofa dan sosoknya terlihat disana. Suara dinginnya dan tatapannya yang terasa menusuk padaku. Tidak perlu melihatnya secara langsung, bahkan dalam pencahayaan minim pun aku tahu dia siapa. Shit?! Fucking Shit?! *-*-* Duk Duk Duk Suara bola jingga yagn menghantam lantai itu terdengar jelas di keheningan malam. Aku mendribelnya hingga berhenti beberapa langkah dari ring. Kemudian aku mengambil ancang-ancang untuk melemparkan bola jingga ini agar masuk tepat di ring. Shoot! And great! Bola itu masuk di ring. Aku kembali mengejar bola yang terpantul-pantul itu dan mendribelnya ke sisi lapangan yang lain. Lapangan kecil ini kuitari sambil memantul-mantulkan bola. By the way, aku baru mengetahui bahwa di mansion ini memiliki lapangan bola basket. Ugh, i love basketball. Baju yang kukenakan juga sudah benar-benar basah karena keringat, padahal angin malam yang bertiup sebenarnya cukup dingin. Sepertinya aku harus segera mandi setelah ini. Menyebalkan memang, tetapi terbalaskan dengan rasa senangku yang bisa bermain basket. Tiap kali aku merasa pikiranku sedang kalut, aku selalu membutuhkan pelarian dari masalahku seperti berolahraga ataupun berjalan-jalan. Basket adalah salah satu pelarian terbaik yang selalu bisa mengembalikan moodku. Aku duduk di tengah lapangan untuk beristirahat sejenak. Tanganku tetap memantulkan bola tersebut dengan pelan. Kembali terpikir olehku masalah antara aku dan dia. Sekarang mungkin sudah terhitung seminggu sejak pembicaraan antara aku, dia, dan Papa Edmund dan semuanya masih sama saja. Tidak ada perubahan di antara kami berdua. Dia tetap dingin dan aku juga tidak memiliki keberanian untuk mengajaknya bicara. Hah! Lalu kenapa dia menerima perjodohan itu?! Menyebalkan! Aku kembali melempar bola tersebut ke arah ring. Namun bukannya masuk ke dalam ring, bola tersebut justru memantul pada pinggiran ring dan memantul kembali tepat di kepalaku. "Ishh sial!" umpatku. Lalu aku meleparkan bola tersebut dengan kesal ke belakang tubuhku. Ugh sakit. Aku kembali mengusap-usap dahiku. "Bodoh." Aku berbalik ketika mendengar seseorang memakiku dari arah belakang. And exactly, itu sosok yang menjadi sumber masalah hidupku sekarang. Dia menatapku atau mungkin menatap dahiku? "Aku tidak bodoh;" ujarku tidak terima. Dia membuang pandangannya pada ring dan melemparkan bola jingga yang dipegangnya ke sana. Yeah, bola itu masuk tepat sasaran. Setelah itu, dia berbalik meninggalkanku. oh no! Aku lekas berdiri dan memegang tangannya agar ia berhenti melangkah. Rasanya ada sengatan listrik yang merayap di tubuhku ketika bersentuhan dengannya. Lelaki itu menatapku tajam kemudian berpaling pada tanganku yang memegang tangannya. "Maaf. Maaf;"ujarku salah tingkah. Tetapi dia hanya menatapku datar. Kenapa sulit sekali menjangkaumu? Kenapa sulit sekali membaca dirimu? "Kenapa kau tidak menolak perjodohan itu?" tembakku langsung padanya. "Kenapa kau tidak menolaknya?" tanyanya balik padaku. Kegugupan menderaku ketika berhadapan dengannya. Ini untuk pertama kalinya kami dapat berkomunikasi dengan benar. "Kenapa kau bertanya balik? Lagipula aku hanya tidak ingin kembali menentang kedua orangtuaku. Jika kau menolaknya terlebih dahulu, setidaknya aku tidak akan terlalu sulit menjelaskan alasan penolakanku nanti kepada orangtuaku. Lagi pula ini perjodohan yang aneh, paparku. Tetapi dia justru menatapku tajam seperti tidak senang dengan perkataanku. "Sama sepertimu, aku juga tidak ingin mengecewakan orangtuaku.' Dia menampilkan senyum iblisnya. sial! Ini sebenarnya sama saja dengan ia hanya membalikkan kata-kataku. "Kenapa kau kelihatan begitu membenciku?" tanyaku yang menghentikan langkahnya. la berbalik dan kini benar-benar ada di hadapanku. la melipat kedua tangannya di dada lalu menatapku dengan pandangan, Ah, aku harap jantungku masih ada pada tempatnya. "Apa aku pernah mengatakan aku membencimu?" tanyanya sambil mengangkat alis. Sialan! Makhluk tampan ini! "Tidak ada orang yang membenci orang yang lainnya dan mengatakan secara jujur bahwa dia membenci orang itu. Tetapi sikapmu yang menunjukkan seperti kau membenciku, kataku padanya. "Jadi kau berpikir aku membencimu?" "iya" "Terserah,' tandasnya. Sial! Kenapa makhluk ini tidak berperasaan sekali? "Kenapa kau begitu padaku? Kenapa kau dingin dan menutup diri dariku? Bagaimana perjodohan ini bisa berjalan lancar, jika kau tidak membiarkanku masuk ke dalam hidupmu? Kenapa kau bersikap seolah peduli lalu kembali lagi menjadi tidak peduli? Apa maumu sebenarnya?" tanyaku frustasi. Aku melihat raut wajah datarnya. Tetapi matanya tidak bisa berbohong ada rasa bersalah, sedih, dan amarah disana? Lalu dengan cepat berganti kembali menjadi tidak terbaca. Namun, dia sama sekali tidak mengucapkan satu kata pun. Dan yang membuat amarahku memuncak adalah ketika ia berbalik dan meninggalkanku tanpa penjelasan. "Baiklah. Kita batalkan saja perjodohan konyol ini. Aku tidak bisa hidup dengan orang yang bahkan tidak mengharapkan kehadiranku di hidupnya! Lalu aku mendesah kuat'Hah, kenapa pula papa harus menjodohkanku denganmu bukan dengan anaknya yang lain, yang jelas lebih menerimaku di kehidupan mereka,' ujarku dengan nada lantang lalu aku juga berbalik. Sekarang terserah padanya. Aku tidak peduli lagi. Sial! Air mataku justru meluncur dengan deras di pipi. Kenapa aku cengeng sekali akhir-akhir ini?! Tiba-tiba sepasang tangan menarikku dari belakang. Sepasang lengan mengitari pinggangku dan mendekapku pada kehangatan. Punggungku dapat merasakan dadanya yang masih sama-sama berlapis pakaian. Deru napasnya menerpa telinga kananku. Menggelitik memang, tetapi adanya kenyamanan pada posisi ini. "Maaf" lirihnya pelan sekali. Kata itu terdengar juga karena bibirnya tepat di sebelah telingaku. "Jangan menangis karena aku,’ pintanya lembut. Aku berbalik. Tidak kupedulikan lagi harga diriku. Aku melingkarkan tanganku di sekitaran pinggangnya kemudian mendekapnya erat. Aku bersandar pada dada bidangnya dan menangis disana. "Kau jahat sekali! Makhluk menyebalkan! Aku benci padamu." Aku memukul-mukul dadanya. Dia tidak menjawab dan hanya memeluk dan mengelus punggungku. Keheningan menyelimuti kami. Tetapi aku nyaman dengan posisi ini. Aku merasa dibutuhkan olehnya. Setelah isakkanku berhenti, dia mulai melonggarkan dekapannya dan menangkup wajahku agar fokus dengannya. "Jangan paksaku aku untuk berubah. Dan ada atau tidaknya perjodohan ini, kau tetap milikku. You're mine. Mengerti?" Mine? Seperti kata yang tidak asing. Tolong jangan bangunkan aku jika ingin semua mimpi. "lya;' aku menganggukkan kepalaku. "Sekarang pergilah mandi! Keringatmu bau sekali;' ujarnya ketus. Bastard! Belum ada semenit dia berkata begitu manis dan sekarang begitu ketus padaku. Dan apa katanya? Aku bau?
"Kau!" Aku menggeram kesal padanya dan dia menampilkan smirknya padaku. Aku sudah bersiap untuk memukulnya namun si sialan itu justru sudah menghilang dengan kekuatan vampirnya. "sial--" Umpatanku terhenti ketika benda kenyal itu menutup mulutku dengan lancangnya. Bibir lelaki itu menempel tepat di bibirku. Dia menciumku. Mata hitamnya menatap mataku dengan smirk yang terbaca jelas. Lengannya berada di pinggangku untuk mengangkat tubuhku agar sejajar dengan tingginya. Aku menahan nafas melihat mata itu yang berkilat penuh kemenangan. Apa-apaan dia?! Lelaki itu melepas kecupannya dan dekapannya di pinggangku. Aku sama sekali belum sadar, semuanya terlalu mengejutkan dan tiba-tiba. Kemudian ia sedikit menunduk dan berbisik tepat di depan bibirku,'selalu emosional. Aku akan memberi hukuman yang sama setiap kali aku mendengarmu mengumpat. Bibir manismu ini perlu mendapat hukuman!' la pergi setelah kembali mengecup singkat bibirku
Ugh! "Breng--,' spontan aku menutup mulutku. esteve brengsek! "Hatcii.. Ish." Aku kembali menggosok hidungku. "Kau tidak apa Michel?" tanya Mama Lucy. "Maaf, aku merusak suasana sarapan kita,' ujarku merasa bersalah. "Hatchi!" Aku kembali bersin. "Bagaimana kau tidak sakit, jika hampir tengah malam kau masih bermain basket di lapangan. Aku yakin kau juga tetap mandi setelahnya dengan air dingin,' ujar Urien dan aku menyengir membalasnya. "Astaga Michel, itu bukan kebiasaan yang baik;' nasehat Papa Edmund. "Hatchi!
aiklah Papa. Hari ini tidak akan lagi;' jawabku. "Besok-besok juga tidak,' sambung Obelix. "Aku tidak janji; gumamku nyaris tidak terdengar. "Michel!" tetapi sepertinya yang lainnya mendengar kecuali Mama Lucy. "Bagaimana jika kau tidak perlu ke sekolah hari ini?" "Bolehkah?" seruku dengan senang hati. "Tidak;' suara itu datang dari seseorang di belakangku. "Seharusnya kau sudah tahu resiko dari apa yang kau lakukan." Esteve tiba di meja makan dan aku merengut cemberut. Menyebalkan! Tarikan kursi terdengar, tepat di sebelahku. "Tumben sekali kau duduk di sini? Biasanya kau akan langsung berangkat?" heran Ireneo. "Astaga Ireneo kau mengajukan pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Tentu saja ia menunggu tunangannya. Oh ralat, calon tunangannya;' seru Urien yang sialnya membuat pipiku bersemu. "Diamlah,’ balas laki-laki itu dingin. Urien dan Ireneo justru semakin menertawakannya. "Urien. Irene. Jangan memancing pertengkaran;’ peringat Alaric.
"Aku hanya mengatakan hal yang sejujurnya Al. Untuk apa dia duduk di sini? Dia juga tidak akan makan kan?" terang Urien. Oh tolong jangan memancing kemarahannya! Tetapi, benarkah ia menungguku? Suara kursi yang beradu dengan lantai kembali terdengar. Aku merasakan makhluk di sampingku beranjak meninggalkan kursinya. "Kemana kau akan pergi Esteve?" tanya Alaric. "Kau akan meninggalkan Michel sendiri?" tanya Ireneo yang sukses menghentikan langkahnya. "Dia punya kaki untuk berangkat sendiri;' ujarnya dingin. Sial! Dia memang bisa sekali mencabik-cabik hatiku. Aku masih berpura-pura fokus dengan makananku. "Ugh,' seru Urien sambil memegang hatiku seolah berada di posisi diriku. "Aku juga tidak berniat berangkat dengannya. Aku ingin berangkat dengan Obelix saja. Aku bersamamu ya,' harapku pada Obelix. Tolong aku Obelix! Agar dia tahu, aku juga tidak bergantung padanya. "Terserah padamu,' balasnya. Yeay!
"Terimakasih. Aku sayang padamu Lix;' ujarku spontan. Ups! "Uhh kuharap seseorang tidak segera meledak,’ ejek Urien dan kulihat dia segera melangkah keluar. "Cepat habiskan makanan kalian dan segeralah berangkat, perintah Mama Lucy. Ketika aku berpamitan dengan Mama Lucy dan Papa Edmund, Mama sempat berbisiK agar aku segera meminta maar pada esteve. Ugh, bagaimana aku harus mengatakan maaf pada makhluk dingin itu? Sinar matahari tidak terlalu terik siang ini, awan kelabu justru menutupinya dengan berani. Sehingga aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangku taman sekolah. Sebenarnya aku juga sedang menghindari Helena dan beberapa siswa lain yang memberiku tatapan bertanya. Mereka yang ingin tahu sekali hubunganku dengan Obelix, karena keberangkatan kami yang berada pada satu kendaraan yang sama. Ini juga karena si jahil Obelix yang tidak mau berhenti beberapa meter dari gerbang sekolah. Biasanya ketika saudaranya yang lain mengantarku ke sekolah akan melewati tempat parkir khusus mereka yang cukup rahasia. Bayangkan jika yang mengantarku tadi adalah Esteve. Oh! Aku pasti sudah tidak akan ada di tempat ini dalam keadaan bernapas. Dengan Obelix yang terkenal playboy saja, aku masih dicerca berbagai pertanyaan. Belum lagi masalahku dengan Esteve yang membuatku semakin pusing. Memangnya apa kesalahan yang kulakukan sehingga aku harus meminta maaf? "Hatchi!" aku kembali bersin. Flu ini benar-benar menyusahkan. "Elaa!" panggil Helena yang berdiri tergesa-gesa di hadapanku. "Oke Helena, jika kau ingin menanyakan hubunganku dengan Obelix maka aku tidak punya waktu untuk menjawabnya,' tandasku sebelum beranjak. Helena memberikan cengiran permintaan maaf. "Baiklah-baiklah. Aku tidak akan menanyakannya lagi." Aku menatapnya kesal. "Aku hanya ingin menyampaikan kalau kita sekelompok dalam tugas sejarah. Jadi bangunan apa yang harus kita kunjungi?" tanya Helena padaku. "Terserah; ujarku tidak tertarik. "Ini menyebalkan ketika berbicara denganmu;' dia berdecak kesal" Lusa kau harus menginap di rumahku, lalu besoknya adalah hari libur. Nah, pada hari itu kita akan mengunjungi bangunan bersejarahnya,' usul Helena. Menginap? "Aku tidak janji;' kataku ragu. "Ayolah Ela, kita sudah lama sekali tidak menghabiskan waktu bersama;' dia merayu sambil menggoyang-goyangkan lenganku. "Aku akan usahakan. Kau tahu kan, aku harus meminta izin pada orangtua angkatku. Itu tidak mudah." "Oke. Baiklah" Lalu setelahnya keheningan menyelimuti kami. Aku sibuk dengan pikiranku tentang cara meminta maaf pada Esteve, tentang kesalahan yang sama sekali tidak kumengerti. Sementara Helena masih sibuk mencomoti kentang goreng miliknya. "Lena,’ panggilku. "apa?" "Seandainya kau bertengkar dengan pacarmu dan posisinya kaulah yang salah. Bagaimana caramu meminta maaf?" tanyaku berharap dia dapat memberi usul yang baik. Tetapi apa Esteve dapat dikategorikan pacar? "Kau sedang bertengkar dengan pacarmu?! Siapa?! Obelix?! Oh My God!Kenapa kau tidak memberitahukanku sejak dulu. Selama ini kau terlihat tidak peduli dengan most wanted sekolah. Tetapi ternyata kau," dia memutusnya dengan memberikan tatapan menggoda. This is Helena dan segala kesimpulannya. "Aku hanya bertanya dan kenapa kau jadi mengaitkannya dengan Obelix? Aku menyesal meminta saran padamu.’ Aku sudah akan beranjak namun tangan Helena kembali menarikku untuk duduk. "Baiklah-baiklah aku tidak akan menggodamu lagi. Walaupun kegiatan itu terasa menyenangkan;' cengirnya di akhir kalimat. Aku merengut kesal. "Kau tahu kan jika lelaki meminta maaf pada kekasihnya biasanya mereka akan memberikan coklat ataupun bunga. Tetapi jika wanita yang meminta maaf mungkin kau harus menciumnya." Helena tertawa dan aku berdecak kesal. YYang benar saja, aku mencium Esteve?! "Beri aku saran yang baik, Helena?!" geramku. "Ugh kau sensitif sekali. Baiklah. Mungkin kau harus menyiapkan makanan spesial untuknya atau makan malam berdua,' saran Helena. makan? "Dia saja tidak pernah makan,' lirihku. "Apa yang kau katakan Ela?" Aku terperanjat, "oh tidak-tidak. Bukan apa-apa Lena." "Nah, berhubung kau tidak bisa memasak jadi aku benar-benar tidak menyarankan hal itu. Daripada nanti objek yang memakannya akan keracunan aww;' dia berhenti berbicara karena aku langsung memukul pundaknya. "Menurutku kalau untuk meminta maaf seperti ini, kau ajak saja dia jalan berdua, lalu menciptakan guality time di antara kalian dan ucapkan permintaan maafmu;’ sarannya lagi. Mengajaknya jalan? Kencan? Mungkinkah?
Seperti biasa pintu privat room selalu dijaga oleh dua pengawal di depannya. Masih orang yang sama seperti pertama kali aku datang. Salah satunya ber-nametag Tom R. "Permisi Mr. Tom. Aku ingin bertanya, saat ini siapa saja yang sedang berada di dalam?" "Di dalam hanya ada Mr. Esteve, Nona!" Oh waktu yang tepat sekali. "Terimakasih Privat room tampak sepi. Ruang tengah yang biasanya menjadi tempat para makhluk itu bekerja, sekarang terlihat kosong. Begitu juga beberapa ruangan utama lainnya. Salah satu ruangan yang belum kuperiksa adalah ruangan khusus Esteve. Mungkin lebih pantas disebut kamar. "Hatcil" aku bersin lagi. Entah sudah keberapa kalinya aku bersin setelah memasuki privat room. Tampaknya flu-ku benar-benar buruk. Kuberanikan diriku untuk mengetuk pintu bertuliskan Esteve G. Walcott, tetapi sama sekali tidak ada respon. Aku kembali mencobanya dengan lebih keras hingga sang penghuni tergerak untuk membukakan pintunya untukku. Sayangnya semua tidak sesuai ekspetasi. "Ada apa?" tanyanya dengan wajah kesal. Aku menggumam ragu. Entahlah, aku ragu melihat air mukanya yang seperti memiliki banyak masalah. "Aku tidak memiliki banyak waktu Chel;' geramnya. Kan, aku jadi takut! "Tidak jadi." Aku bergegas ingin pergi tetapi Esteve lekas menahanku. "Katakan saja;' titahnya. "Hatchi!" Sial! Aku kembali bersin di hadapannya. "Maaf,' ujarku sambil mengusap hidungku dengan tissue. "Emm, aku ingin mengajakmu pergi bersama malam ini,' ujarku memberanikan diri. Esteve kali ini mengubah posisi berdirinya dengan menumpukan tubuhnya pada salah satu tangan yang bersandar pada tiang pintu. Sial! Dengan rambut acak-acakkan itu dia terlihat berkali—kali lipat lebih tampan. Meski tetap saja, tatapan dinginnya menusuk tepat tepat di mataku. "kau mengajaku berkencan?" tanya nya padaku aku begitu malu hingga menunduk untuk menyembunyikan kedua pipiku yang merona. ^_^*^_^
Thank you
Support the author to bring you wonderful stories
Cost 112 diamonds
Balance: 0 Diamond ∣ 0 Points
Book Comment (66)
Sinta Queena Reborn
aku suka alur ceritanya... bikin kesel, greget sekaligus gemes sm es batu nya esteve..
04/07/2022
2
Rada Dan Yasir
kenapa lama bnget ceritanya kk ... sya sudh chek setiap hri tapi masih lom dilanjut lanjut kak . ayo dong semngat kak .. lanjutin lagi kak .
aku suka alur ceritanya... bikin kesel, greget sekaligus gemes sm es batu nya esteve..
04/07/2022
2kenapa lama bnget ceritanya kk ... sya sudh chek setiap hri tapi masih lom dilanjut lanjut kak . ayo dong semngat kak .. lanjutin lagi kak .
21/06/2022
0so nice
4d
0View All