logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Luka Hati Shanum

Luka Hati Shanum

Axenna


1. Meradang

“Apa lagi maksud foto ini, Mas?” desisku pada Mas Ardan yang tampak acuh tak acuh dengan amarahku.
Hatiku perih, menatap nanar pada foto yang terpajang di aplikasi Bukuwajah. Di sana, terpampang foto Mas Ardan—suamiku, dengan seorang wanita. Entah siapa lagi wanita yang duduk bersamanya itu. Mereka tampak tersenyum lebar sambil duduk di meja sebuah kafe. Menikmati minuman dan makanan bersama. Di atas foto tersebut, tertulis pula sebuah judul “Makan siang santai ditemani dia”.
“Apa sih, gak usah terlalu berlebihan, Shanum. Dia itu cuma calon pembeli. Kalau aku berhasil menjual mobil kepadanya, kan lumayan bonus bulan ini,” jawab Mas Ardan dengan santainya.
“Ya, tapi gak harus gini juga, Mas! Apakah setiap mendapat calon pembeli, kamu harus makan berdua, bahkan sampai seperti orang pacaran? Lebih lagi sampai memamerkannya di media sosial!” cecarku menahan amarah.
“Kamu mana paham soal marketing! Kalau aku tuh kaku sama calon pembeli, gimana mau bikin mereka tertarik? Sudahlah, gitu aja jadi masalah!” Mata Mas Ardan mendelik ke arahku.
“Iya, aku memang gak paham soal marketing, Mas! Tapi aku paham soal batasan dengan lawan jenis! Apa yang akan kamu rasakan, kalau aku yang ada di dalam foto itu? Makan siang dengan lelaki lain, dan kemudian mengunggah fotonya ke media sosial? Mikir, Mas, mikir!” Emosiku benar-benar sudah tak bisa kukendalikan.
“Oh, kamu mau seperti itu juga? Hah, jangan mimpi, Shanum! Berhentilah merasa cemburu pada wanita-wanita itu. Mereka semua wanita karir, bisa cari uang sendiri, dan yang terpenting, bisa mengurus diri! Coba lihat dirimu sekarang!” ejek Mas Ardan dengan seringai di wajahnya.
Tajam, tajam sekali ucapan Mas Ardan menusuk tepat di jantungku. Jadi, dia sekarang mulai terang-terangan membandingkan aku dengan wanita-wanita yang ditemuinya di luar? Sungguh tak punya perasaan.
“Ucapanmu keterlaluan, Mas! Bagaimanapun juga, aku adalah istrimu. Baik dan buruknya aku, juga tergantung dirimu!” balasku dengan suara bergetar.
“Sudahlah, tutup mulutmu itu. Kalau kamu tak bisa menyenangkanku, minimal diamlah! Jangan memancing emosi! Lagi pula, aku tak menuntut apa-apa darimu. Bahkan, kerjamu hanya ongkang-ongkang kaki saja di rumah!”
Kugenggam erat benda tipis di tangan. Jika menuruti hawa nafsu, mungkin sudah sedari tadi ponsel ini kubanting atau lempar ke wajah Mas Ardan. Bukan pertama kalinya ia berbuat seperti itu. Beberapa minggu yang lalu, ia pun mengunggah sebuah foto yang tak kalah membuat hatiku panas terbakar. Di showroom mobil tempatnya bekerja, ia merangkul pinggang seorang Sales Promotion Girl atau SPG. Memang, pekerjaan Mas Ardan sebagai seorang staf marketing menuntutnya untuk bergaul dengan banyak orang, bahkan wanita sekalipun. Namun … bukan begini caranya. Apakah ia tak tahu, kalau aku juga bisa cemburu dan terluka? Padahal, sudah kuingatkan berkali-kali untuk menjaga jarak kepada lawan jenis. Sayang, semua itu dianggapnya angin lalu.
Pernikahan kami yang didasari dari perjodohan, tampaknya tak dapat menumbuhkan benih cinta di hati Mas Ardan. Ia hanya memenuhi keinginan ibunya untuk menikahiku. Di usia yang sudah lebih kepala tiga, Mas Ardan tadinya tak ingin terikat dan serius dalam menjalin hubungan. Namun, dengan sedikit paksaan dari Bu Nani—Ibu mertuaku yang mulai sakit-sakitan, akhirnya Mas Ardan menerima perjodohan. Sejak awal, ia sudah mewanti-wantiku agar tak menyimpan perasaan untuknya.
Sudah empat bulan kami menikah, aku memang belum pernah merasakan kasih sayang yang tulus dari Mas Ardan. Bahkan, nafkah batin pun hanya beberapa kali ia berikan, dapat dihitung dengan jari saja sepanjang pernikahan kami. Untuk nafkah lahir, ia selalu memberiku uang bulanan yang menurutku sangat pas-pasan. Dulu sebelum menikah, aku bekerja sebagai seorang tutor Bahasa Inggris di Bimbel yang cukup terkenal di kota. Namun, semenjak menikah dan pindah ke rumah Mas Ardan, aku harus rela melepaskan pekerjaan yang sudah aku geluti selama tiga tahun lebih. Jarak tempuh yang terlalu jauh, memaksaku untuk menjadi pengangguran.
Pernah aku mencoba untuk mencari pekerjaan baru, tapi kondisi Ibu yang selalu sakit-sakitan, membuatku tak tega meninggalkannya sendiri di rumah. Usia ibu sudah hampir kepala tujuh, sedangkan Ayah mertua sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Mas Ardan adalah anak bungsu. Mas Teguh—kakak iparku, tinggal di seberang pulau. Mau tak mau, akulah yang mengurus Ibu sekarang.
*
“Ini jatah bulanan, jangan boros-boros kamu,” ujar Mas Ardan sambil menaruh sebuah amplop di meja makan.
Aku meraih amplop tersebut, lantas melihat isinya. Setelah kuhitung, terdapat sepuluh lembar uang berwarna merah. Hanya satu juta? Biasanya Mas Ardan memberiku satu juta lima ratus. Itu pun, masih pas-pasan sekali untuk kebutuhan sehari-hari kami bertiga. Belum lagi, aku harus membayar token listrik dan iuran air dari uang itu. Ingin rasanya protes, tapi dengan keberadaan Ibu di meja makan, aku urungkan niat itu.
Setelah Ibu selesai dengan makanannya, ia berlalu ke ruang tengah. Menyalakan TV, lalu bersantai. Beliau adalah orang yang tak banyak bicara. Tak pernah cerewet mencampuri urusanku dengan Mas Ardan juga. Entahlah, aku merasa antara beruntung dan tidak, memiliki Ibu mertua yang terlalu pendiam. Saat melihat tingkah Mas Ardan yang semena-mena pun, Ibu tak pernah bersuara.
“Mas, kok jatah bulan ini, Mas kurangi?” tanyaku pelan, takut terdengar ibu.
“Ya terserah aku. Lagi pula, kamu boros, kan? Masa satu juta setengah, tak bersisa selama sebulan? Pasti kamu sering jajan,” tuduh Mas Ardan. Aku mengerutkan dahi.
“Boros? Jajan? Dari mana kamu dengar itu semua, Mas? Bahkan satu juta lima ratus pun, sangat pas-pasan untuk kita bertiga. Bulan kemarin saja, untuk listrik dua ratus ribu. Biaya air, dua ratus lima puluh ribu. Belum lagi kalau ada keperluan mendadak. Semuanya pas-pasan, Mas,” kataku dengan suara pelan.
“Ya, kamu atur-aturlah! Kamu pikir, aku gak capek cari uang? Kamu mana ngerti? Bisanya cuma bersantai di rumah!” sentaknya, lantas berdiri meninggalkanku yang masih terhenyak.
Bersantai katanya? Dia pikir pakaian kotor akan masuk sendiri ke mesin cuci? Piring kotor akan membilas sendiri di washbak? Makanan akan terhidang dengan sendirinya di meja? Dan rumah yang berdebu, akan menyapu sendiri? Tak terima, kususul ia ke depan. Sebentar lagi, Mas Ardan akan berangkat kerja.
“Mas! Maaf, bukannya aku tak berterima kasih … tapi, uang satu juta sangat kurang untuk satu bulan! Tak perlu mas tambahi, tolong berikan saja satu juta lima ratus seperti biasa!” pintaku sambil menatapnya yang sedang memasang sepatu.
Aku merasa seperti seorang pengemis. Apakah pantas jika aku meminta-minta sampai seperti ini, terhadap orang yang kusebut sebagai suami?
Mas Ardan menatapku sekilas, lantas berkata, “Kalau aku bilang segitu cukup, ya cukup. Sudah, aku mau berangkat!” Ia berlalu begitu saja tanpa mengucap salam.
Suara mobil terdengar keluar dari pekarangan. Aku masih terpaku di tempat, menatap amplop yang sedari tadi digenggam. Apa yang harus aku lakukan?
“Num … Shanum!” Suara ibu terdengar memanggil. Aku bergegas menuju ruang tengah.
“Ya, Bu. Ada apa?” Kudekati ia yang masih duduk di depan TV.
“Ardan, sudah berangkat?” tanyanya.
“Sudah, Bu. Memangnya, kenapa?” Aku balik bertanya.
“Num, Ibu kepingin sekali makan bakso yang di ujung gang itu. Rasanya sudah lama, tidak makan. Belikan ibu ya, Num,” pinta Ibu dengan wajah sendu.
Aku memaksakan senyum, “Iya, Bu. Nanti siang kita beli, ya.” Aku sungguh tak tega pada Ibu.
Ya Tuhan, bantulah aku berlapang dada. Sepertinya, bulan ini aku harus memakai lebih banyak uang tabunganku.
*
Aku sudah berkutat dengan pekerjaan rumah sejak tadi. Waktu menunjukkan jam setengah delapan, sebentar lagi waktunya sarapan. Hari Sabtu, Mas Ardan libur kerja. Biasanya, saat libur ia akan menghabiskan waktunya untuk bermain game atau keluar bersama teman-temannya. Jangan harap ia akan mengajakku dan Ibu untuk jalan-jalan. Tidak, tidak akan. Pernah sekali aku meminta, tapi ditolaknya mentah-mentah dengan alasan capek. Padahal, siangnya dia keluar untuk bermain.
Kadang, aku kasihan dengan Ibu yang memiliki anak seperti Mas Ardan. Pastilah Ibu menyimpan keinginan, tapi tak bisa ia ungkapkan. Dulu, aku pikir sikap Mas Ardan akan berubah seiring waktu. Nyatanya, tidak. Ia tetap dengan sikapnya yang menyebalkan dan seenaknya sendiri.
Aku baru saja akan menjemur pakaian, saat terdengar suara ketukan di pintu depan. Sedikit tergesa, kuletakkan kembali keranjang di dekat mesin cuci. Suara ketukan masih terdengar, diiringi dengan ucapan salam.
“Assalamu’alaikum! Dan, Ardan!”
“Wa’alaikumsalam!” jawabku ambil memutar kunci. Setelah pintu terbuka, nampaklah wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya.
“Maaf, cari siapa?” tanyaku.
Lelaki itu memandangiku dari atas hingga bawah. Aku merasa sedikit risih dibuatnya.
“Ardannya, ada, Mbak?”
“Iya, ada. Mas siapa?” Aku menyipitkan mata.
“Oh, saya temannya. Tolong panggilkan Ardan ya, Mbak. Bilang saja, nama Dodi!” pinta lelaki itu.
“Oh, iya. Tunggu ya, Mas. Silakan duduk,” ucapku sebelum berlalu. Lelaki itu kemudian duduk di kursi teras.
Kumasuki kamar. Terlihat Mas Ardan masih terpejam. Tadi, saat subuh sudah kubangunkan ia. Suamiku itu hanya menggeliat sebentar, kemudian tidur lagi.
“Mas, Mas, bangun!” panggilku sambil mengguncang bahunya. Tak ada respons sama sekali.
“Mas! Bangun, ada yang nyariin!” Kutepuk pipinya.
Matanya mengerjap, lalu terbuka. “Mau apa?” tanyanya dengan suara parau.
“Bangun, ada yang namanya Dodi nyariin!” ucapku.
Ia lantas duduk sebelum akhirnya turun dari ranjang. Tanpa bicara, ia mencuci muka sebelum keluar.
Segera kusiapkan dua cangkir teh. Satu untuk Mas Ardan dan satu untuk tamunya. Hal yang selalu aku lakukan, jika Mas Ardan kedatangan tamu. Setelah siap, aku bergegas ke depan dengan dua cangkir teh di tangan. Terdengar suara obrolan dari dua lelaki di teras.
“Bro, yang tadi itu, siapa? Istri kamu?” tanya Dodi sedikit berbisik, tapi terdengar di telingaku.
Aku menghentikan langkah. Mereka membicarakan aku?
“Iya … emang kenapa?” Suara Mas Ardan terdengar malas.
“Ya ampun, kupikir pembantu kamu, Bro! Maaf-maaf, nih, Bro! Ahahaha! Secara, penampilannya aja gitu. Kucel, pakai daster lagi!”
Tak lama, terdengar suara tawa dari kedua lelaki itu. Aku mematung. Dadaku terasa seperti ditusuk demi mendengar hinaan yang baru saja dilontarkan teman Mas Ardan.
“Bisa aja kamu! Pembantu plus-plus namanya!” sahut Mas Ardan setelah berhenti tertawa.
“Pantes aja kamu sering unggah foto sama yang bening-bening di Bukuwajah. Ternyata, yang di rumah, bentuknya seperti itu!” timpal lelaki bermulut lemas bernama Dodi itu.
Sekali lagi suara derai tawa mereka terdengar. Sakit, hatiku sakit. Alih-alih membela, Mas Ardan malah tertawa saat temannya mengolok-olokku. Dengan langkah pelan, aku kembali ke dalam. Usai meletakkan cangkir berisi teh panas ke washbak, kumasuki kamar dengan perasaan sangat terhina. Sambil menyeka air mata, kubenamkan kepala di bantal yang seketika basah.
***

Book Comment (61)

  • avatar
    EdiWawanedy

    suka cerita nya dan menyedihkan

    12d

      0
  • avatar
    Putri Ilma

    bgus

    20d

      0
  • avatar
    RosdianaDian

    bagus

    06/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters