logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

PART _8 BERTEMU ALAN

Lala tersenyum sumringah akhirnya bisa keluar juga dari penjara Glenn. Dirinya yang terbiasa bangun pagi cukup senang ketika mendapati kondisi apartemen Glenn yang belum menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan, spontan memunculkan ide untuk melarikan diri. Bahkan kamar Glenn masih tertutup rapat. Tentu saja Glenn belum bangun.
Lala menempelkan kertas kecil di pintu kamar dan menulis larik kalimat.
TIDAK USAH MENCARIKU
SEMINGGU LAGI AKU KEMBALIKAN SEMUA UANGMU
LALA
Setelah menempuh perjalanan sekitar empat puluh tiga menit dengan bantuan ojek online akhirnya Lala sampai juga di kosnya.
Hari ini Lala mempersiapkan diri untuk kuliah, dan tentu saja sudah tidak sabar untuk bisa bertemu Alan. Ya. Lala sudah punya pacar, namanya Allan. Cowok berambut gondrong itu yang beruntung merebut hati Lala. Kebetulan mereka satu kampus dan satu fakultas hanya saja beda jurusan saja. Jika Lala mengambil jurusan sastra, Alan mengambil jurusan desain komunikasi visual. Awalnya mereka bertemu karena sama-sama mengikuti usaha kegiatan mahasiswa yaitu teater. Di sanalah benih cinta itu tumbuh subur. Meskipun dalam waktu yang relatif singkat mereka memutuskan pacaran.
“La, semalam ke mana? Dicari Alan lho?” Pertanyaan Dewi cukup mengagetkan Lala. Pasalnya Lala belum mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan semudah itu. Masa iya mau bilang tidur di apartemen Glenn. Apa pikiran orang? Bisa dituduh macam-macam nanti.
“Eum, aku tidur di rumah tanteku, Wi,” jawab Lala sekenanya sambil menggaruk hidungnya yang sama sekali tidak gatal.
“Bukannya kamu pernah bilang di kota ini sendiri? Sejak kapan punya Tante yang tinggal di kota ini La?” Dewi menyipitkan mata, bertanya dalam nada sedikit heran.
“Eum maksudku....bukan di rumah Tante, eh iya di hotel... Bener di hotel. Jadi Tanteku datang ke sini lalu kami menginap di hotel..., begitulah,” dusta Lala sedikit susah bicara, dan tersenyum dengan bibir rapat di akhir kalimatnya.
Dewi tampak percaya dan mengangguk. “Ya sudahlah, aku berangkat duluan ya, sekalian mau beli sarapan soalnya, apa mau bareng?”
“Nggak Wi, duluan saja,” Jawab Lala sambil menghembuskan nafas lega.
Lala pun bersiap-siap. Namun dirinya tidak membeli sarapan di warung seperti Dewi, stock roti tawarnya masih kok, cukuplah buat sarapan, yang semula Lala sudah berhemat sekarang harus lebih hemat lagi. Mengingat uang di rekeningnya itu ternyata bukan miliknya tapi punya lelaki menyebalkan itu.
Berangkat ke kampus pun Lala cukup jalan kaki mengingat kosnya dekat. Langkah kakinya menyusuri trotoar, berjalan di antara guguran bunga Angsana yang terhampar di sepanjang area kampus. Kelihatan seperti karpet kuning yang sudah di persiapkan untuk menyambut kedatangan Lala.
Lala tersenyum melupakan sedikit beban yang mengimpitnya. Fokus sama tujuan dan niat dari awal datang ke kota ini. Kini dirinya sudah sampai di gedung F untuk kelas pagi ini. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ada suara memanggilnya.
“La ...” Suara itu tidak asing baginya, sudah pasti milik Alan. Siapa lagi yang menemuinya pagi-pagi selain kekasihnya itu. Lala menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Kemudian tersenyum.“Masih ada waktu lima belas menit, untuk menemuinya,” batinnya.
“Oke, kita duduk sebelah sana?” Lala menunjuk deretan kursi tepat di samping gedung F.
Lala menatap kekasihnya dengan segunung rindu, mengingat di kota ini seorang diri. Lala begitu tersentuh tatkala ada seseorang yang memberinya perhatian lebih. Dan menurutnya menumpuk rindu itu sah bagi mereka yang berstatus pacaran.
“Ada apa, Lan?” tanya Lala dibarengi senyum manisnya sembari menatap penuh rindu wajah kekasihnya.
“Kamu ke mana saja, semalam?” tanya Alan sambil duduk di samping Lala.
Meskipun sudah berpacaran beberapa bulan tapi tetap saja Alan masih terlihat gugup dan malu- malu jika berdua dengan Lala. Tapi itu yang membuat Lala bertambah gemas. Karena mendapatkan laki-laki yang seperti itu sangat langka. Pada umumnya lelaki yang di kenal Lala banyak tingkah, dan mendekati jika ada maunya saja.
“Maaf Lan, aku semalam menginap di hotel, bersama Tanteku,” dusta Lala menyamakan jawaban itu dengan pertanyaan Dewi tadi. Bukankah berbohong juga perlu konsisten?
“Ooh, ya..., Tante yang mana...?” tanya Alan mengernyitkan keningnya.
“Ahh, kamu tidak mengenalnya, kapan-kapan aku kenalin deh,” ucap Lala menutupi kebohongan yang sebelumnya.
Alan terus menatap Lala, seolah ingin merangkum wajah itu dan menyimpannya di sudut hatinya yang paling dalam. Dalam hati bersyukur, sungguh beruntung baginya punya pacar yang mau terima dirinya apa adanya.
Ya. Alan bukan terlahir dari keluarga kaya. Dirinya sanggup kuliah di universitas Nuansa karena beasiswa. Kehidupannya pun berbeda dengan mahasiswa lainnya. Karena dirinya bekerja paruh waktu untuk biaya hidupnya di kota Violens.
Alan pun tak jauh beda dari Lala, dia juga merantau dan tinggal di kos. Tentu saja ketika meminta Lala menjadi pacarnya dirinya cukup percaya diri. Mengingat nasib mereka menurutnya hampir sama.
“Oke, La. Nanti habis kelas ini ketemuan di tempat biasa ya?” pinta Alan pada kekasihnya. Hati Lala menghangat, dirinya mengangguk cepat pada cinta pertamanya.
Tak ingat di detik ke berapa tiba-tiba saja tangannya sudah berada di genggaman Alan, bahkan hanya diperlakukan seperti itu saja dirinya menjadi bersemangat. Alan lumayan ganteng sih di antara teman-teman yang lain, menurut Lala.
Pertemuan mereka pun harus berakhir, ketika Lala harus mengikuti kelasnya pagi ini. Terpaksa mereka berpisah di kelas masing-masing, nggak lama kok kelas pagi ini, hanya sekitar sembilan puluh menit. Setelah itu mereka dapat bertemu kembali.
Lala mendengarkan keterangan dosen dengan khidmat tidak lupa mencatat hal yang sekiranya penting. Dewi duduk di sampingnya. Itulah mereka teman satu kos dan satu kelas. Mereka bersahabat baik dan saling mendukung.
“La, aku mau ke kantin,” ucap Dewi ketika kelas sudah usai.
“Bukannya tadi kamu sudah sarapan, Wi? Mau makan lagi?” tanya Lala heran. Dewi memang suka makan dan sering makan meskipun begitu badannya tetap saja langsing. Itu yang membuat Lala heran.
“Laper lagi,” kilah Dewi pendek.
“Oke ke kantin dulu gih, nanti aku menyusul, aku mau temui Alan dulu.”
“Cie ... Cie ... Aku ikut dong .... Boleh ya?” goda Dewi yang membuat pipi Lala memerah tomat hanya mendengarnya.
“Enggak ... enggak ... kamu buru makan sana ... ,” tolak Lala. Setahu Lala Dewi memang yang paling menyetujui hubungannya dengan Alan, bahkan Dewi sering merecokinya jika jalan berdua. Mereka sering jalan bertiga. Dewi memang kurang kerjaan mengingat dirinya jomblo, pun tak rikuh ngintilin orang pacaran.
“Yaahh.....” Dewi mendengus lirih dan meninggalkan Lala begitu saja.
Lala hanya tersenyum simpul. Tangannya dengan terampil membereskan peralatan ke dalam tas, kemudian Lala melangkah ke luar. Matahari sudah mulai tinggi, panasnya sudah sedikit menyengat. Lala berjalan menuju tempat janjian sama Alan. Rambut coklatnya yang tertimpa sinar mataharin tampak keemasan melambai-lambai tertiup angin.
Namun, langkahnya tiba-tiba berhenti ketika sekilas melihat mobil hitam terparkir di depan gedung, mobil itu tidak asing bagi Lala. Tiba-tiba saja perasaannya tidak enak. “Celaka dua belas, untuk apa dia menyusul kemari,” rutuknya. Tangan Lala tergenggam erat dan sedikit gemetar, kemudian menengok kanan kiri. Setelah merasa aman dirinya, memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat, ingin menghindar dan lenyap begitu saja dari tempat itu seandainya bisa, tapi tiba-tiba saja lengannya sudah dicekal dan terpaksa Lala menatap pemilik tubuh tegap itu.
“Glenn, untuk apa kau kesini?” ucap Lala kelihatan panik dan takut jika Alan melihatnya. Lala mengajak Glen ke pinggir, biar tidak menjadi fokus bagi teman-temannya.
“Ikut aku atau aku lapor polisi?” ucap Glenn penuh tekanan tidak nampak ekspresinya di balik kaca mata hitam itu.
“Tapi, Glenn. Aku masih ada kelas!” kilah Lala panik sesekali menengok ke belakang.
“Nggak ada, aku sudah dapat jadwal kuliahmu, tadi aku minta di bagian tata usaha.”
“Astaga, Glenn,” Lala menepuk jidatnya tidak menyangka Glen bakal senekat itu.
“Ikut aku, atau pacarmu akan menemukan kita?” ancam Glenn kemudian sambil menarik Lala menuju mobilnya.
“Kenapa Glenn tahu tentang pacarnya, jangan-jangan sudah dari tadi dia mengikuti, ahh dasar kurang kerjaan,” batin lala.
Tapi ada benarnya juga ucapan Glenn. Lala hafal betul sifat Alan, terlambat menemuinya sedikit saja pasti Alan mencarinya. Bagaimana jika nanti Alan bertemu Glenn, pasti akan ada salah paham di antara mereka.
Lagi lagi Lala menurut pada Glen. Ketika tangan berotot Glenn membuka satu sisi pintu mobilnya, Lala segera masuk.
Glen mengintari mobilnya dan membuka sisi pintu yang lain, masuk dan duduk di belakang kemudi.
“Hari ini kita bertemu orang tua Sabila,” ucapnya setelah mobil itu melaju.
“Apa??” Mata Lala membola, tubuhnya yang awalnya bersandar kini tegak membentuk sudut sembilan puluh derajat.
***
Bersambung

Book Comment (454)

  • avatar
    Maya Lahe

    bagus ceritanya happy ending. sayangnya nunggu tamatnya lama 😭😭. tp ttp semangay nulis ya tor 💪💪

    20/05/2022

      1
  • avatar
    SubramaniamNakalingam

    nice story .... keep writing 👍👍

    18/05/2022

      0
  • avatar
    Sucipto Utomo

    isi ceritanya bagus, gaya bahasa mudah dimengerti, ditunggu kelanjutannya !!!

    21/01/2022

      7
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters