logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Rencana

Santri putri itu menatapku tanpa harus berpaling.
Berbeda sekali dengan santri lain. Ia tidak menunduk kepala atau menyembunyikan mata, namun dianya malah lebih memilih berani menatapku.
Bahkan tadi datang tidak bilang apa-apa malah mematung terus. Tidak ketuk pintu bahkan salam juga tidak.
Di pesantrenku tata krama yang benar sudah jelas-jelas kami tegaskan saat hari pertama masuk ke pesantren ini.
Kami menjelaskan bagaimana, dan seperti apa akhlak dan tata krama yang harus diterapkan baik dipesantren ini maupun diluar pesantren.
Tapi kalau dia ini dari tundak-tunduknya, menunjukan dirinya bukanlah santriwati dikalangan pesantrenku.
"Gus, saya disuruh sama Gus Hasan untuk ke sini, memanggil gus sendiri. Agar cepat-cepat menuju ke Pesantren Darul Mustaqim sekarang. Latihannya mulai sekarang Gus."
"Ya, bilangin ya ... nanti insya'allah aku ke sana."
"Tapi, Gus ... Gus Ha-"
"Ya ... nanti aku ke sana. Aku akan telpon ke Gus Hasan dulu. Kamu silahkan kembali. Terima kasih untuk informasinya."
Santri putri itu langsung pergi, tanpa salam sekalipun. Hanya berlalu bagai angin yang lewat tanpa badai.
Aku mulai menghubungi Gus Hasan.
'Aduh, kebiasaan deringnya itu lama sekali. Gus Hasan ini ke mana? Sibuk atau lagi apa? Katanya butuh aku.'
"Halo, assalamu'alaikum."
Suara gemresek aku dengar agar begitu keras dari sananya.
Aku tidak tau benar Gus Hasan ini lagi di mana?
Tetapi aku juga mendengar suara vocal al-banjari yang sedikit samar bersama tabuhan.
"Wa'alaikumsalam ... ada apa nyari aku? kan aku sudah bilang, kalau pelatihnya itu Gus Hikam saja. Aku lagi tidak bisa, jadwalku padat Hasan ...."
Aku sedikit geram.
Namun bagaimana lagi, segeram-geramnya dengan tim tetap sama kan? Harus tetap kerja sama.
"Aslinya mau ke Gus Hikam. Tapi aku tidak punya nomornya. Mau hubungin Gus sendiri, dari tadi malah belum online-online. Jadi Aku suruh tokoh utama yang mau peran di teater ke situ."
"Ya allah, sepurane wes. Aku lupa belum mengirim nomor Gus Hikam. Niatnya tadi aku kirim, lalu aku tidak sempat. Bahkan tadi sempat terpikir sudah aku kirimin nomornya apa belum, eh ternyata malah belum. Ya sudah, biar aku kirim sekarang."
"Iya, Gus. Aku tunggu."
"Hasan, nanti aku ke Pondok Darun Mustaqim sekitar satu seperempat jam yang akan datang ya. Aku harus ngimamin sholat dhuhur dulu ini."
"Tidak apa, Gus. Penting sameannya itu datang, sudah cukup. Soalnya para santri itu makin senang kalau sameannya yang malahan datang. Para santri itu, maunya sama samean saja, Gus. Biasanya adanya gus sendiri itu, yang menambah semangat saat pelatihan seperti ini."
"Ya sudah ... nomornya bentar lagi aku kirim."
"Baik, Gus. Terima kasih, wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
***
Neng lia
"Nduk ... sore besok itu, sameannya sudah masuk diniah apa? Apa masih belum?"
Aku menghentikan tangan kananku yang mengiris tahu taqwa.
Lalu menatap pelan, Mami yang mengajakku berbicara.
Aku dari tadi juga sempat kepikiran juga dengan yang namanya urusan madrasah diniah yang rencananya tahun ini mau lulus.
Tapi itu bukan soal pelajarannya, tapi soal latihan mengajar, yang di mana aku harus langsung terjun untuk mengajar di kelas-kelas awal.
Aku memang benar-benar lama untuk menantikan hal itu, di mana aku akan berdiri di depan kelas untuk mengajari adik-adik kelas.
Merasakan bagaimana bahagianya bisa melihat yang diajar itu benar-benar serius memperhatikan dan mungkin aku juga siap-siap merasakan sedikit sedih saat melihat yang diajar malah ngobrol sendiri atau mungkin ditinggal tidur.
"Masih belum tahu e ... kulonya, Mami. Kelas enam itu soalnya sangat berbeda sama kelas satu, dua sampai lima di sebelumya. Bahkan kepala sekolahnya juga sudah berbeda."
Aku menatap kosong ke arah irisan bawang yang mau Mami gongseng dalam wajan.
"Lho iyo ta, Nduk? Terus bagaimana?"
Mami, sedikit menatapku namun lanjut memainkan sepatulah ke penggorengan.
Sejenak aku berpikir karena aku juga todak tahu informasi soal madrasah diniah.
"Sebentar, Mami. Kemarin sebelum libur panjang ... kan kulonya itu dikasih brosur untuk kelas lima yang berhasil naik ke kelas enam dan brosur itu sekarang ada di mana, pasti di sana ada nomor WhatsAap kantor madrasah diniah."
Entahlah, yang ada aku tiba-tiba teringat saja dengan brosur pemberian kepala sekolah waktu itu.
Yang sebelah pojok pernah sempat aku baca tentang masuk diniahnya itu kapan, tapi lupa.
"Yang bawa brosur bukan Mami, tapi Papi."
jawab Mami sambil mencuci ke dua tangannya yang sedikit berminyak itu dengan sabun.
"Papi, Mi? Bentar nggih kulo tinggal ke Papi ... bentar saja ...."
Aku meninggalkan tahu taqwa yang sempat aku potong jadi empat.
Lalu berlari menuju ke arah taman yang aku rasa Papi memang ada di sana.
Karena aku tadi sempat mendengar suara Papi yang berada di taman samping kiri rumahku saat minta tolong ke Mami buat menyalakan sanyo.
Aku yakin, pondok pesantrenku sudah tentu mulai ramai dan pada banyak yang balik bahkan berlomba-lomba datang dari berbagai penjuru.
Namun soal madrasah diniah inilah yang perlu diketahui kabarnya.
"Papi ... tahu kah, brosur diniah yang sebelum liburan kemarin dikasihkan kepala sekolah diniah kelas empat sampai lima waktu itu? Seingat kulo, Papi sendiri yang menyimpan."
Aku cukup berdiri di dekat pohon jambu sambil menatap lurus Papi yang tengah membersihkan beberapa daun jambu yang tengah jatuh berserakan.
Di sini udara sejuk berhembus dengan bebas, apalagi yang seperti sekarang.
Taman samping rumah selesai disirami Adikku Ajeng sampai tanahnya yang gersang berubah menjadi tanah yang sedikit basah. Jadi, aroma tanah yang seperti hujan seketika tercium.
"Brosur ... Brosur apa? Papi tidak tahu brosur mana yang kamu maksud, Nduk."
Papi terlihat begitu tercekat heran. Namun terlihat dari wajah, Papi sedang mengingat-ngingat brosur yang aku maksud.
Aku takut kalau brosur itu hilang.
Aku juga sedang tidak punya cadangan brosur soalnya, karena dari pihak madrasah diniah ngasihnya cuma satu.
"Ya allah, brosur yang warna hijau itu? Yang ada lebel madrasah diniahnya?"
Seketika aku menarik nafas lega dan kembali tersenyum.
Alhamdulilah, Papi ingat.
"Nggih, Papi."
Aku mengangguk beberapa kali.
"Papi taruh, di laci almari. Brosur itu lain kali disimpan, jangan diklelerin."
Aku mengangguk faham.
"Nggih, Papi. Matur suwun, kulo ambile sekarang!"
Aku berlari setelah pamit untuk mengambil brosur itu.
***
Gus Iqbal
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Aku membuka acara pelatihan.
Aku melihat Gus Hasan masih sibuk melatih tim al-banjari di ujung sana. Namun aku belum melihat Gus Hikam.
Apa tadi Gus Hasan belum ngasih informasi?
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Santri putri pondok pesantren Darul Mustaqim ini, benar-benar memiliki semangat kuat.
Rasanya benar kata Gus Hasan itu, mungkin kedatanganku memberi dampak lebih pada mereka. Namun aku juga kurang faham.
Aku pun, juga tidak tahu lebih soal hal itu. Mungkin bisa saja mereka semua itu memang semangat karena menghargai yang membina mereka.
"Kalian sudah tahu tujuan kalian datang ke sini?"
Aku ini kurang tahu juga tentang para santri putri, perasaan aku ini tidak ada apa-apanya dengan gus pesantren lainnya.
Yang memang terlihat lebih bersahaja dan dekat dengan para santri.
Namun, entah kenapa aku selalu melihat kalau aku inilah yang diam-diam menjadi alasan mereka bersemangat?
Aku saja jarang tersenyum orangnya.
Apalagi bercanda sama mereka itu, yang malahan tidak pernah.
Kemungkinan yang sering aku lakukan, ya mungkin mengintrogasi mereka-mereka yang tidak menaati peraturan.
Lalu soal senyum, aku hanya menampakkannya di saat aku memperagakan sebuah tokoh dalam teater. Itupun juga sangat jarang sekali.
Itu aku lakukan saat di mana aku benar-benar dibutuhkan untuk memperagakan itu.
"Tahu, Gus."
"Tujuannya apa?"
Aku mengernyitkan alisku dan memasang wajah penuh tanya kepada mereka semua.

Book Comment (115)

  • avatar
    AzahraWiwin

    ceritanya sangat inspiratif, bagus dan memotivasi kita semua. thanks

    24/07/2022

      0
  • avatar
    Dwi CahyaFardana Difka

    Cerita Ini Sangat Menarik Dan Alurnya Juga Indah

    21/07/2022

      0
  • avatar
    Selvia Putri

    seru banget novelnya

    7d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters