logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Mencintaimu Adalah Doaku

Mencintaimu Adalah Doaku

Embun Rindu


Chapter 1 Kehambaran Dalam Pagi

Neng Lia
"Mbak, besok mau balik ke pondok ya?"
Pagi-pagi yang dingin seperti ini, Kharisma datang ke rumah.
Yang tujuannya hanya untuk menanyakan acara balik ke pesantren besok.
Sebenarnya soal itu, aku juga belum siap. Bahkan aku juga belum menyiapkan keperluan untuk balik ke pesantren, yang besoknya itu harus aku bawa itu apa saja.
Bagaimana tidak?
Lihatlah aku, yang setiap hari selama di rumah.
Harus bangun lebih awal, yang sampai tidak sempat membaca al-quran karena mengurus rumah yang mirip dengan kapal pecah.
Mainan Adikku Ratu, yang selalu berserak di mana-mana. Meja ruang tamu yang dibiarkan lusuh dan taplaknya entah ke mana. Bahkan sofa orenge yang muasalnya bersudut, terubah menjadi pola yang entah apa namanya.
Belum lagi, aku harus mampir menuju dapur. Kepala langsung pening, ketika langsung melihat piring-piring bekas makanan yang berpesta pora. Melihat juga gelas kotor di mana-mana, sehingga meja dapur bagai tiada terlihat lagi permukaannya.
Kemudian, belum lagi mampir ke kamar TV. Di mana isinya cucian berbak-bak besar yang mulai menggunung dan baju yang telah dijemur kemarin tidak ada yang mau melipat.
Muak tidak muak itulah kegiatan rutin.
Semua itu harus aku selesaikan sebelum aku memulai mengerjakan karangan novelku, harus bersih sebelum Papiku terbangun. Harus rapi sebelum Mami memasak makanan.
"Iya, memang kenapa?"
Teh yang aku taruh di meja itu Kharisma minum.
Aku tidak tahu rasanya manis apa tidak teh itu, tadi waktu tehnya masih panas, sudah aku kasih es batu.
Padahal rencanya itu teh bukan untuk tamu, tetapi khusus buat aku sendiri.
Sesekali terkadang aku merasakan waktu pagiku terhempas begitu saja, terasa begitu cepat.
Hingga aku buat sesekali menyantai itu, sepertinya tidak bisa. Mungkin tidak akan pernah bisa bila memang setiap hari berlangsung seperti itu.
"Aku ini masih malas, Mbak. Kalau memang benar besok itu, aku harus sudah balik lagi ke pesantren. Soalnya apa ya, Mbak ... tahu sendiri kan ya? Di pesantren itu, kalau tidak mengaji kitab ... ya, mengaji Al-quran. Pokoknya beda jauh Mbak, kalau dibanding kegiatan yang ada di rumahku sendiri."
Teh itu Kharisma taruh, sambil mengemukakan alasannya.
Alasannya memang ada benarnya.
Memang dari dulu, pesantren bukanlah tempat bermain-main.
Tetapi tempat di mana seorang anak dibimbing sampai bisa menjadi santri solih-solihah dan tahu tentang norma, sehingga dapat bermanfaat untuk kehidupannya ke depan.
"Namanya juga pesantren. Semua yang berada di sana pasti ada waktunya sendiri. Kita mondok juga buat bekal masa depan, terutama agar disiplin waktu. Kalau waktunya ini ya ngerjakan ini. Kalau waktunya ngerjakan itu ... ya, itu."
Aku masih ingat sekali, tekadku untuk ke pesantren waktu aku masih kelas empat MI.
Saat itu, aku sama sekali tidak tahu. Entah kenapa, aku begitu ingin masuk ke pesantren. Padahal usiaku waktu itu, masih dikatakan belum cukup umur untuk memenuhi kriteria masuk ke pesantren.
Karena tekadku. Papi rela, dengan berhari-hari sibuk mencari pesantren yang di mana mau menerima santri yang belum cukup umur untuk aku.
Lalu seminggu setelah itu, Papi akhirnya menemukan Pondok Pesantren yang bernama Al-Qomar.
Namun, tetap saja. Waktu itu, aku tidak bisa langsung memasuki pesantren.
Aku harus tetap menunggu satu tahun lagi untuk naik kelas lima MI dulu, kalau memang niatku benar-benar ingin mengaji dan mempelajari ilmu agama di pesantren yang aku impikan.
"Iya itu, Mbak. Waktu yang ada pesantren, itu semuanya dibatas-batasin. Berbeda banget, kalau di rumah. Bebas mau ngapain saja. Yah, meski harus mau kena perintah dari orang tua mulu. Tapi, kalau Mbak Sari sendiri bagaimana? mau nerusin mondok di pesantren?"
"Ya tetap mondok, sampai lulus dari MAN."
"Mbak Sari itu, memang tidak capek? Soalnya kegiatan di pesantren itu banyak banget lho, Mbak ... aku saja sampai-sampai kapok. Tapi bagaimana lagi, Ayahku itu malah nyuruh untuk tetap mondok di pesantren eq."
Aku tidak tahu, Kharisma itu memanggil aku dengan panggilan Sari itu dari mana. Setahuku, Kharisma pernah melihat tulisan nama di sampul bukuku waktu pertama kali aku bertemu dengannya, waktu di pelatihan qiroahnya Pak Ustad Amin.
Sebenarnya aku seperti alergi dengan panggilan itu, karena panggilan itu bagai memberi sajak ingatan aku di waktu Madrasah Ibtidaiyah yang penuh dengan gelombang luka. Yang tentunya, lebih nestapa dan lebih pahit lagi, sebelum masa di Madrasah Tsanawiyah.
Namun, apa salah Kharisma? Bila aku membrontak tentang panggilan darinya, Sari itu? Kharisma tidak tahu benar, apa masalah aku.
"Tuh kan disuruh Ayah samean untuk tetap mondok di pesantren. Apa masih tetap malas balik ke pesantren, besok? Tujuan Ayah samean menempatkan di pesantren itu, sangatlah mulia. Biar sameannya itu tumbuh menjadi gadis solihah. Apa tidak mau ngewujudin tujuan Ayah samean itu, Kharisma?"
Kharisma terhenyak sejenak.
Mungkin hati dan pikirannya saat ini masih belum menetap. Hatinya ingin iya saja, kalau lanjut mondok di pesantren. Namun pikirannya teralih pada hal lain, sehingga hanya ingin tidak lanjut saja.
"Mau sih, Mbak. Tetapi bagaimana ya, Mbak?"
Akhirnya Kharisma membuka mulut kecilnya kembali untuk menjawab pertanyaan sederhanaku.
Kharisma melirik tajam.
Hanya saja, aku cuma bisa diam sambil melirik Adikku Ratu yang tengah bermain-main sapu di ambang pintu.
"Ya, begitu."
"Eh Mbak, Ayahku itu tidak memaksa aku mondok di pesantren. Ayahku itu ... terserah sih, Mbak. Intinya, tergantung akunya sendiri. Jadi enaknya bagaimana ya, Mbak? Kalau dulu, kan. Mondoknya itu, kan ada sameannya yang buat nemenin mengaji, sama bisa untuk berbagi cerita. Tapi kan, kalau sekarang? Mondoknya itu, sudah tidak sekamar sama Mbak. Jadi ya ... sudah tidak asik lagi, Mbak. Mangkanya itu juga jadi alasan aku malas buat lanjut mondok.
Kharisma ini mengeluh atau berpendapat?
Memang semenjak ada rollingan kamar itu, kamar aku dan Kharisma selalu berbeda. Itupun selisih agak begitu jauh, bahkan pernah sampai selisih delapan kamar.
Jadi semenjak itu, aku jarang banget bertemu dengan Kharisma. Bahkan, aku juga sudah jarang banget mendengar cerita pendeknya. Yah, yang terkadang juga tidak ada hal spesial.
"Lanjutin saja mondoknya ... meski kita sudah tidak sekamar, kita kan masih bisa saling komunikasi. Meski memang tidak selama dulu komunikasinya. Tapi kalau sameannya itu, ingin curhat atau berbagi cerita. Insya'allah tetap akan aku terima. Masa' hanya karena beda kamar sama aku, sameannya jadi malas mondok di pesantren? Janganlah, Kharisma."
Aku juga sebenarnya mau banget kalau aku sekamar lagi sama Kharisma, tapi bagaimana lagi? keputusan Umi Kulsum yang rollingan kamar tidak dapat digugat sedikitpun. Yang sama persisnya seperti keputusan dewan juri di perlombaan yang pernah aku lalui sebelumnya.
"Yahhh ... bukan itu saja sih, Mbak. Aku juga sudah tidak ada lagi niat dan tekad untuk mondok di pesantren lagi, Mbak."
"Lha, terus?"
Aku membalas lirikan tajam itu, dengan wajah seperempat membeku heran.
"Terus nabrak Mbak. Hmm ... Mbak Sari, bagaimana kalau ... aku tidak lanjut mondok lagi? Biar bisa pulang ke rumah setiap hari tanpa harus nunggu jadwal sambang, Mbak."
Beberapa detik lalu, Kharisma itu masih baik-baikan untuk duduk diam. Entah ada hewan kecil apa yang membuatnya harus menggeliatkan badan.
Aku juga bingung sama Kharisma, apakah dari awal dia mondok tidak ada niat, atau memang ada niat tapi bukan niat mencari ilmu, hanya semata-mata menuruti keinginan orang tuanya.
"Mondok lagi saja, Kharisma ... bukannya nanti sameannya malah kerepotan sendiri? Kalau samean itu, tidak lanjut di pesantren? Samean nanti, bakalan harus bolak-balik jalan untuk sekolah pagi. Iya, bukan? Toh kamunya juga kurang pondasi kalau mondoknya samean di pesantren itu, tidak dilanjut. Sudahlah, lanjut di pesantren saja. Ya?"

Book Comment (115)

  • avatar
    AzahraWiwin

    ceritanya sangat inspiratif, bagus dan memotivasi kita semua. thanks

    24/07/2022

      0
  • avatar
    Dwi CahyaFardana Difka

    Cerita Ini Sangat Menarik Dan Alurnya Juga Indah

    21/07/2022

      0
  • avatar
    Selvia Putri

    seru banget novelnya

    7d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters