logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

BAB08-Suka-Suka

Tiba di tempat tujuan, Bradley pun kembali menjalankan tugasnya sebagai seorang asisten dari sang atasan. Ia turun dari mobil dan mengambil koper, Ansel menantinya.
"Kau masih kuat seperti dulu, Brad," pujinya. Lalu, ia pun menepuk pundak sahabatnya itu.
"Jangan membuat masalah lagi, Sel. Jika nanti kakekmu murka, tolong tahan emosimu dan jangan di jawab. Kumohon taklukan hatimu sekali ini saja," imbuhnya.
Kedua pria itu saling berjalan mengarah pintu masuk, melewati dua pilar kokoh yang ada di depan teras sebagai pondasi. Sepi, rumah itu selalu sunyi terlihat dari luar.
"Aku akan mencobanya," balasnya sok meledek.
"Kau harus melakukannya, bukan mencoba. Sial, aku bagaikan memiliki seorang anak laki-laki yang gak bisa mengasihi papanya," desis Bradley.
Ansel tertawa.
"Kau terlalu berlebihan, Brad. Lihat," tunjuknya ke depan. "Perjalanan kita untuk mendapatkan ruang kerja kakekku saja berliku-liku. Seperti itulah jalannya hidupku. Kau harus mengerti, anak muda zaman sekarang dengan masa-masa orang tua kita sangat jauh berbeda. Kau ini terlalu ketinggalan, Brad," sindirnya.
Bradley menghentikan langkah, hingga membuat Ansel ikut berhenti dan menoleh ke belakang.
"Kenapa?"
Bradley bersedekap usai melepas koper milik Ansel. "Aku dan kau memang berbeda jauh, Sel. Tapi, aku masih memikirkan soal masa depanku. Berbeda denganmu. Lulus kuliah diberikan pekerjaan yang mudah untuk mengelola bisnis keluarga pun, kau menolak dan memilih kabur. Sebenarnya, kau mau jadi apa? Pikirkanlah masa depanmu, bukan bersenang-senang soal wanita melulu," ujar Bradley gemas.
Ansel menarik kedua sudut bibirnya. Ia pun berjalan mendekati sang sahabat kemudian merangkul pundaknya.
"Hey sobat. Kenapa setiap kali bicara padamu, aku benar-benar seperti anakmu. Kau mirip sekali dengan papaku atau kakekku. Tolong, jangan menjadi serius akan ucapanku. Tapi, hanya kau yang tahu bagaimana aku yang sesungguhnya, bukan? Ayolah, kau harus menemaniku menemui kakek," ucap Ansel seolah memohon.
Bradley menarik napas panjang. "Kau memang sangat menyusahkan. Tunggu sebentar, biar aku meletakkan koper ini terlebih dahulu di kamarmu," balas Bradley.
Ansel tertawa penuh kemenangan sembari mengedikkan bahunya meresponi perkataan Bradley, si pria pemilik tubuh tinggi, tegap, dan tangan yang kokoh.
Ansel menanti kedatangan Bradley, ia memilih duduk di atas anak tangga pertama. Dia melirik ke arah pintu ruangan sang kakek, yang berada tepat di pojokan lorong. Bukan tanpa alasan baginya untuk pulang. Karena, pemasukan sama sekali tidak ada dan seluruh kartu kredit, ATM, miliknya atas pemberian orang tua dan kakek di blokir sepihak tanpa sepengetahuan Ansel, hingga membuatnya harus kembali dengan tiket yang dibelikan oleh asisten sang kakek padanya.
"Ayo," tegur Bradley dari arah berlawanan.
Ansel pun bangkit dari duduknya. "Brad, jika kakek marah padaku. Aku mohon, jadilah yang terdepan sebagai pelindungku. Jangan biarkan dia memarahiku, memakiku, apalagi melempari barang terhadapku."
"Sudah, jangan banyak bicara. Jalanlah," perintah Bradley.
Ansel hanya menelan salivanya, melihat tampang Bradley penuh keseriusan. Kini, dia tidak menolak untuk mengikuti perintah sahabatnya sekaligus asisten.
Bradley yang memandu jalan untuk Ansel, tiba lebih dulu di depan pintu. Jemarinya tertekuk dan menempelkannya di atas pintu berbahan kayu kokoh berwarna coklat.
"Masuk," suara khas orang tua pun terdengar dari dalam.
Perlahan, Bradley menarik besi dari gagang pintu tersebut. Dengan lebar, ia membuka daun pintu dan mempersilahkan Ansel untuk masuk secara formal.
Ansel, dia melangkah dengan tampang ketakutan. Sekilas melirik ke depan, sebentar melirik ke arah Bradley yang tak boleh jauh darinya.
Terlihat dari posisi Bradley sendiri, Tuan Alaska sedang memunggungi keduanya dengan berdiri di depan jendela kayu di ruang tersebut ke arah taman.
"Selamat siang, Tuan. Tuan muda Ansel sudah tiba di sini," kata Bradley penuh rasa hormat.
Pria tua itu berbalik perlahan dan langsung menemui mata kecoklatan kepunyaan Ansel, lalu sorot itu berganti pada Bradley.
"Kau boleh keluar, Brad," perintahnya dengan suara ngebass dan sedikit berat.
"Baik, Tuan," ucap Bradley setengah mengangguk.
"Aku mohon jangan!" cegah Ansel panik, membuat Bradley kaget juga berhenti.
Lirikan mata sinis terlihat dari iris mata kebiruan milik Tuan Alaska, mengarah pada sang cucu tunggal.
"Kakek," lirih Ansel.
"Kau masih menganggapku, Kakekmu?" sindirnya.
Ansel berdecak lidah dan tertawa. "Kakek, mana mungkin aku tak menganggapmu. Kau adalah orang yang terbaiiiik, aku miliki," balas Ansel memuji.
"Jangan banyak bicara lagi. Sekarang, kau duduk dan dengarkan perintahku. Kupastikan, kau tidak akan bisa lolos dariku," ujar Tuan Alaska dengan menggertakkan giginya.
"Saya permisi," kata Bradley menyadarkan posisinya.
"Brad," panggil Ansel menggigil.
Bradley tak menggubris. Dia terus melangkah membawa kedua kakinya menuju pintu keluar.
"Duduk. Jangan banyak tingkah!" ulang Tuan Alaska setelah terdengar suara pintu tertutup.
Dalam rasa takut yang berkecamuk dalam dirinya. Ansel pun menuruti perkataan Tuan Alaska.
Dia pun duduk di depan meja kerja sang Kakek.
"Ehem," pria tua itu berdehem sejenak. "Kau, mulai sekarang aku berikan jabatan dari usaha terendah. Aku mau kau fokus, untuk membangun bisnis di Hot Tea & Coffee milikku yang berada di seputan New York. Kau tidak boleh menolaknya, Sel. Jika kau melarikan diri lagi, aku akan mencoretmu dari kartu keluarga orang tuamu," ancamnya masih memasang mata elang.
"Baiklah. Aku akan mencoba sesuai dengan yang Kakek mau," balas Ansel santai.
"Satu lagi," kata Tuan Alaska cepat.
Ansel tak berpindah tatapan. "Ada lagi?"
Wajah Tuan Alaska menampilkan sedikit ketegangan. "Aku tidak menerima penolakan. Mulai besok, kau datanglah ke cafe yang berada di Manhattan, tepat pukul dua belas siang. Makan siang bersama anak dari teman bisnisku. Berkenalan saja dulu, jika memang dia menerima perjodohan ini, aku akan menikahkanmu dengan dia. Namanya, Alona. Besok aku akan mengirimkan padamu alamatnya."
Tuan Alaska benar-benar tak ingin mengubah pandangannya dari Ansel. Seolah mengunci iris mata Ansel, agar dia tidak bisa menghindarinya.
"Untuk yang satu ini, aku tidak bisa Kek," tolaknya dengan suara pelan.
"Sudah kukatakan. Aku tidak menerima penolakan. Silahkan keluar dari sini, dan persiapkan dirimu. Besok, Bradley akan mengantarmu ke sana. Jangan menyusahkannya lagi, Sel. Selama kau kabur, dia yang mengurusi perusahaan yang harusnya kau pimpin. Jadi tolong, jangan memberatkan tugasnya. Jika nantinya kau seperti itu lagi, dengan sangat terpaksa, aku akan memberhentikan dia dan memintanya istirahat."
Bagaikan kena skakmat, Tuan Alaska mampu memegang kelemahan cucunya. Jelas saja tahu, Ansel tidak mampu tanpa Bradley dalam pekerjaannya.
"Kau sangat licik, Kek. Sudah memblokir semua asetku, kini kau hendak memisahkanku dengan Bradley. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah memecat Bradley terkecuali, dia sendiri yang mengundurkan diri. Kalau begitu, terserah kau saja. Aku akan mengikuti perintahmu," balas Ansel dan berdiri.
Dengan menyelipkan salah satu punggung tangannya ke dalam saku celana, ia pun melangkah keluar dari ruang kerja Tuan Alaska. Sang Kakek sudah bertekad, kali ini dia tidak akan melepaskan sang cucu.
"Sial," gumamnya marah.
Bersambung.

Book Comment (55)

  • avatar
    Akhwat Fakir Ilmu

    Bagus banget kak Semangat Lagi Membuat karyanya Jgn pantang semanggat semanggat 💪 kk

    14/01/2022

      3
  • avatar
    WahyuniTri

    menarik cerita nya...lucu...gemez semoga selalu semangat membuat cerita² yg lebih baik

    13/01/2022

      0
  • avatar
    Nisa Diva

    500

    15/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters