logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

BAB12-Leon

Setelah mengikuti kemauan diri, akhirnya Alona pergi sesuai tekadnya yang sudah membulat. Dengan diantar oleh Leon, sang Kakak. Dia diantar dengan menggunakan mobil sport merah milik Leon. Alona membiarkan wajah cantiknya di buai oleh angin yang tak kenal lelah menerpa, memberikan ketenangan jiwa. Walaupun itu bersifat sementara.
"Kau baik-baik saja?" tegur Leon, dalam keadan mengemudikan mobil.
Alona tak menoleh pada pria itu. Ia menaikkan salah satu tangannya ke udara. "Aku sangat baik, Kak."
"Kau tidak menangis, 'kan?" tanyanya lagi.
Sekarang, ia mengarahkan wajah pada Leon. Rambut pirang panjangnya berterbangan tertiup angin malam.
"Tidak, Kak. Aku sangat menyukai pilihanku yang sekarang. Ini, tidak baik untuk kesehatan hati dan juga perasaan. Jika saja, terus-terusan hidup di keluarga yang tidak sehat itu. Apa kau senang dengan keadaan keluarga kita?"
Leon sekilas menatap pada sang adik. Dia pun melihat wajah cantik Alona yang sama sekali tidak bermuram durja.
"Aku? Kau menanyakan itu padaku? Tentu saja tidak masalah. Itu adalah jalan yang dipilih sama Mama dan juga Papa. Kita hanya seorang anak, yang harus memenuhi keinginan mereka. Ya, yang terpenting kehidupan kita sangat terjamin, Alona. Sudah begini, apa kau pikir akan bahagia hidup di luaran tanpa kami?"
Alona mengangguk cepat. "Tentu saja. Aku pasti bisa bahagia, Kak. Akan aku buktikan, kalau aku mampu bahagia tanpa menggunakan nama keluarga kita."
"Sayang ... kau tidak akan pernah bisa melepas nama keluargamu. Jika nantinya, pun kau melamar pekerjaan di luaran sana. Dan si pemilik perusahaan tahu siapa kau yang sebenarnya. Pastilah, mereka akan menerimamu tanpa pikir panjang. Dan kau tetap hidup dengan nama belakang keluarga kita, bukan?" tanya Leon.
"Lihat saja nanti," gumam Alona tak mau berpikir.
Gadis kecil itu kembali melipat tangan di atas pintu kaca mobil yang masih terbuka lebar. Ia menyangga wajahnya, dan memberutkan bibir.
"Adikku yang malang. Jika kau tahu, siapa kau yang sebenarnya. Mungkin, kau akan bertambah sedih," gumam Leon dalam hati.
Empat puluh menit kemudian. Mobil yang dikemudikan oleh Leon terhenti di salah satu apartemen di kota New York. Tepatnya berlokasi di daerah 432 Park Ave, New York.
"Kak, jangan kesini. Uang yang kupunya bakalan tidak cukup untuk membayar sewanya. Ini sangat mahal, Kak. Apalagi, Alona cuma sendiri. Ini terlalu mewah untukku," ucap Alona mencegah sang Kakak.
Alona menarik kaus yang dikenakan Leon, saat kedua kaki pria tinggi itu tak menggubris panggilan sebelumnya.
Leon menarik pundak Alona, dan membawanya masuk ke dalam pelukan. Bola mata mereka saling tatap, penuh dengan kebingungan.
"Ini untuk adikku. Kenapa kau menolaknya? Tidak usah takut soal biaya. Ini gratis, Alona. Karena ini adalah aparteman sahabat-Kakakmu," balas Leon memasang mata serius ke Alona.
Alona salah tingkah mendapati iris kebiruan milik Leon. Yang ia tahu selama ini, Kakaknya itu sangat jarang bersikap seperti sekarang padanya. Saling merangkul, peduli, dan perhatian.
"Apa, kau ini memang Kakakku?" tanya Alona pelan.
Loen sadar kemudian tertawa geli. Memang untuk pertama kalinya, dalam hidup seorang Leon. Memiliki rasa kepedulian pada sang adik. Dia mendapati kekeliruan dari wajah gadis dalam dekapnya.
Alona memberut bibir dan menolak pelan tubuh Leon karena tak mendapat jawaban. "Kenapa kau jadi menertawaiku?"
Alis Leon terangkat sebelah.
"Ya, kau itu sangat lucu. Ternyata, adikku ini sangat menggemaskan. Kenapa selama ini aku tidak pernah sadar, dan tak pernah memberikan perhatian penuh untuknya. Sudahlah, ayo, Kakak akan mengantarkanmu sampai di kamar."
"Tunggu dulu." Alona kembali menghentikan pergerakan dari kaki Leon. "Jangan katakan, kalau apartemen ini milik kak Harva? Sahabatmu yang berasal dari Indonesia, 'kan?" tanya Alona menebak.
Leon mengangguk. "Ya, ini adalah apartemennya. Kau tahu sendiri, 'kan? Betapa kayanya keluarganya. Sudahlah, tidak akan jadi masalah. Harva juga jarang kemari, setelah dia sibuk dengan rumah tangganya."
Leon pun mengayun langkah tanpa menunggu respon sang adik.
"Aneh? Padahal, kak Harva juga jarang berkomunikasi dengan pria tengik sepertinya. Agh, ya, sudahlah."
Alona berjalan dengan santai mengikuti ke arah mana Leon berjalan.
Keduanya pun sampai di tempat tujuan. Baru saja berjalan beberapa langkah untuk masuk. Bola mata Alona menerawang setiap sudut tempat, yang menurutnya sangat berlebihan.
"Kenapa kau masih di situ? Masuklah," kata Leon menyuruh.
Alona sama sekali tidak terkejut, atas kemewahan apartemen termewah di kota New York. Yang sangat di sayangkan olehnya, ini terlalu besar. Alona tidak suka sendiri di tempat luas itu.
Alona menyusul Leon yang sudah berjalan menuju ruang dapur.
"Kakak, ini sangat berlebihan bagiku. Terlalu besar. Dan aku hanya sendiri, 'kan? Gimana ... kalau aku pindah saja ke tempat lain," ujar Alona memaksa.
Leon memeriksa lemari pendingin dengan memasukkan setengah wajahnya ke dalam. Dia benar-benar memastikan akan ketersediaan bahan makanan untuk Alona selama di tinggal sendiri.
"Agh, syukurlah. Dia memang sahabat terbaik," gumam Leon dalam hati.
"Kakak," panggil Alona lagi.
Leon berbalik badan seraya menutup pintu lemari pendingin tadi. Dia juga mengulas sebuah senyum termanis, sebagai balasan panggilan Alona. Lalu, melangkah perlahan mendekati pada adiknya.
"Adikku, aku harus memastikan keamananmu. Kau tahu, 'kan? Selama kau di sini atau di luaran sana. Tidak ada David sebagai pengawal untuk menemanimu. Kakak rasa, tidak akan ada satupun orang-orang yang diutus untuk memantaumu nantinya. Aku yakin, karena Mama pasti ingin melihat, sampai kapan kekuatanmu berujung. Dia juga pasti berpikir, kau akan pulang dan memohon untuk berbalik padanya."
Leon dan Alona saling bertemu tatap dan berhadap-hadapan. Hanya meja bar yang menjadi pemisah di antara keduanya. Mata kebiruan milik Leon, menelusuri iris kecoklatan kepunyaan Alona. Dia masih menggantung senyum terbaiknya.
"Terima kasih, Kak," ucap Alona kini. "Tetapi, aku masih belum mengerti."
Leon memiringkan kepalanya. "Belum mengerti? Apa yang belum kau mengerti. Katakan pada Kakak," balas Leon sungguh-sungguh.
Pria itu pun menopang dagu di atas meja bar. Tatapannya masih terus mengarah pada sang adik kecilnya.
Alona mengulur tangan dan menyentuh dahi Leon. "Apa kau sedang sakit?" Sejenak berpikir, dan kemudian berkacak pinggang. "Tidak demam," sambungnya lagi.
Tawa Leon mengudara di selah kebingungan Alona.
"Kau sangat menggemaskan, adikku. Selama ini, aku sungguh menyesal tak menyadari betapa sayangnya aku padamu. Hanya kau, satu-satunya yang masih menganggapku, Kakak."
Leon kembali memposisikan tubuhnya dengan benar, kemudian dengan sangat berani mengacak-acak rambut Alona.
"Kakak! Hentikan."
Dia kembali tertawa melihat Alona yang sedang kesal.
"Sudahlah, Kakak akan pulang. Dan kau, harus segera beristirahat. Agh, Setelah dari sini, aku pasti akan terkena marah karenamu. Tapi percayalah, kau tidak akan terusik bila tinggal di sini. Percayalah pada, Kakak," imbuhnya.
"Kakak," gumam Alona lirih.
"Jangan memasang wajah kasihan. Karena itu tidak cocok buatmu. Kau adalah gadis pemberaninya, Kakak. Jika sesuatu terjadi padamu, atau kau membutuhkan sesuatu. Panggil Kakak segera. Kau mengerti?"
Alona refleks mengangguk kepala.
"Berhati-hatilah, Kak."
Leon melayangkan tangan kiri ke udara, dengan tangan kanan yang tersampir di sebalik saku celananya. Ia pun beranjak langkah menuju pintu. Alona, dia ikut mengantarkan Leon.
Sampai di depan pintu, Leon berbalik badan dan melihat wajah Alona yang memeluk daun pintu. Samar-samar, Alona mengerjap mata.
"Jangan merasa tidak punya keluarga, Alona. Kakak, bisa menjadi sahabatmu, teman, dan sosok Kakak untukmu," ucapnya dengan tulus.
Alona terperanjat sebelum mengangguk pasti. "Terima kasih, Kak."
Leon membalas dengan menarik sudut bibirnya.
"Masuklah. Kakak pergi," balasnya lagi.
Tidak ingin berlama-lama, karena merasa sedikit sedih melihat Alona tinggal sendirian, Leon cepat-cepat pergi dari sana. Ia tak ingin berbalik, meskipun yakin, Alona masih menatap pada punggungnya.
"Aku sangat salut dengan gadis kecil itu, yang tak pernah kenal takut sedari dulu. Bahkan, aku merasa sangat malu di depannya. Karena aku yang jelas-jelas seorang pria saja, tidak memiliki keberanian dan pendirian kuat sepertinya. Kelak, aku harus bisa menjaganya dengan sepenuh hati dan cintaku," batin Leon berkata.
"Hati-hati, Kak," gumam Alona ke udara.
Bersambung.

Book Comment (55)

  • avatar
    Akhwat Fakir Ilmu

    Bagus banget kak Semangat Lagi Membuat karyanya Jgn pantang semanggat semanggat 💪 kk

    14/01/2022

      3
  • avatar
    WahyuniTri

    menarik cerita nya...lucu...gemez semoga selalu semangat membuat cerita² yg lebih baik

    13/01/2022

      0
  • avatar
    Nisa Diva

    500

    15/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters