logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bagian 07.

Aku seakan berjalan di pinggiran danau berair hijau. Dapat kulihat ikan di dasar air sedang berlarian saling kejar-kejaran bahagia. Aku tersenyum melihatnya, mereka sangat bahagia tidak sepertiku yang tengah berduka ini. Segera aku mengambil segepak makanan khusus untuk ikan lalu menaburkannya ke dalam danau. Para ikan sangat antusias dan langsung berebut, seakan takut kehabisan.
“Kinan ... apa itu kau, Nak?” Sebuah suara menggema terdengar di belakangku.
Aku seperti mengenalnya, suara wanita yang sangat kurindukan selama ini. Aku langsung berbalik melihatnya. Seorang wanita paruh baya tengah berdiri anggun menatapku.
“Mama ... Mama itu Mama? Mama ke mana saja? Kinan rindu.” Aku berkata sambil menangis, segera aku berlari ke arahnya yang cukup jauh dariku.
Aku berlari cukup kencang, terlihat wanita itu merentangkan kedua tangannya. Seakan bersiap untuk memelukku. Rasa tak sabar untuk memeluknya membuatku berlari dengan semangat, tapi ...
“Ah ... Mama tolong Kinan,” lirihku saat terjatuh karena tersandung akar pohon. Wanita itu hanya menatapku tanpa bergerak.
“Mama kenapa Mama diam saja? Tolong Kinan, Ma,” kataku lagi sambil berusaha bangkit.
“Bangunlah, Kinan. Sembuhlah. Carilah kebahagian hidupmu, carilah Mama. Mama juga merindukanmu.”
“Mama, Kinan tidak mau. Kinan mau dengan Mama,” ucapku lagi, tapi dia menggeleng.
“Akan tiba saatnya kita akan bertemu, jagalah dirimu. Tunggu Mama datang menjemputmu.” Selepas mama berkata, kepalaku terasa ringan dan sakit.
Aku berusaha melihat sekeliling, sunyi. Ke mana perginya mama? Aku hanya melihat ruangan bercat putih dan seorang gadis berpakaian seperti perawat di sebelah meja. Aku mengerjap-ngerjapkan netra menatap sekeliling sambil mengingat kejadian tadi.
“Aww ...,” lirihku sambil memegang kepala. Perawat itu menoleh padaku, lalu berjalan menghampiriku.
“Nyonya, kau sudah sadar? Apakah ada yang sakit?” Aku memandangnya. Nyonya? Siapa maksudnya?
“Nyonya? Siapa yang kau maksud?” tanyaku menatapnya.
“Tentu saja kau, bukankah kau adalah Nyonya Fhatir Maheswara?” tanyanya membuatku melotot. Apakah Fhatir mengakuiku?
Pintu terbuka, menampilkan sesosok tegap tengah berjalan ke arahku diikuti oleh seorang dokter wanita yang cantik. Yang satu aku mengenalinya, dia Fhatir. Dan yang satu seperti dokter.
“Bagaimana, Dokter Frey?” Fhatir bertanya.
“Suhu badan sudah membaik, jantungnya juga sudah berdetak normal. Dia hanya perlu beristirahat saja, Tuan,” ucap dokter itu setelah memeriksaku. Fhatir hanya mengangguk tanpa senyum, aku takut melihatnya. Bagaimana kalau dia akan menyiksaku?
“Baiklah, Tuan, Nyonya. Saya permisi dulu, Selamat beristirahat.” Aku hanya mengangguk. Setelah mereka keluar, Fhatir menatapku tajam. Aku takut, bagaimana ini?
Dia langsung menjatuhkan dirinya di atas kursi di dekatku. Pandangannya tak terlepas dariku, bahkan semenit saja. Kalau dia menyiksaku dalam keadaan begini tak dapat kupungkiri, bisa saja aku langsung mati.
“Bagaimana keadaanmu, hem?” Aku terkejut mendengar suaranya, lembut sekali. Apakah dia Fhatir? Atau Also berwajah Fhatir? Itu tidak mungkin.
“A-aku me-merasa lebih baik, Tuan,” ucapku gemetar.
“Baguslah, jangan banyak bergerak. Istirahatlah agar kau cepat sembuh,” ujarnya sambil mengelus kepalaku. Aku dapat merasakan aura baru dalam dirinya. Apakah dia hanya berpura-pura baik untuk menebus kesalahannya? Atau ini adalah sifat aslinya yang terkurung selama ini?
“Tapi aku ingin pulang, tugasku banyak yang belum kukerjakan, Tuan.” Setelah lama terdiam, aku kembali memberanikan diri untuk berkata. Dia yang tengah memainkan ponsel langsung beralih melihatku, membuatku kembali bergidik ngeri.
“Kau belum pulih, Kinan. Jangan repotkan aku karena sakitmu,” balasnya membuatku hanya bisa diam.
Jadi hanya karena sakit, makanya dia baik padaku? Kupandangi ruangan yang kutempati ini, seperti berbeda dengan yang lain. Sepertinya ini ruangan VIP, Oh tidak. Pasti biayanya mahal sekali.
“Tuan, aku sakit apa? Kenapa harus dirawat di sini? Biayanya pasti mahal, aku tak sanggup membayar,” ucapku membuatnya kembali menatapku tajam.
“Kau hanya demam dan drop karena kelelahan. Memangnya kenapa jika aku menempatkanmu di sini? Agar kau cepat sembuh. Jika di ruangan lain, maka perawatannya takkan sebagus ini membuatmu akan lama di rumah sakit, dan aku tak memintamu untuk membayar,” katanya membuatku dapat bernapas lega.
“Halo, ada apa Also?” sahutnya sambil menjawab telepon dari Also. Entah kapan ponselnya berdering dan dia sekarang sudah menjawab saja.
“Apa? Mama di sana? Oke aku pulang sekarang.” Dia bangkit lalu berjalan hendak keluar. Aku hanya diam melihatnya yang seperti terburu-buru. Sedetik kemudian dia balik lagi ke arahku dan berkata, “Kau istirahatlah, aku pulang dulu. Nanti akan ada suster yang menjagamu. Jangan lupa minum obat.” Ucapnya membuatku bergetar, hatiku merasa dingin akan sikap perhatiannya padaku setelah sekian lama. Setelah mengusap kepalaku, dia meraih jasnya dan melangkah keluar.
“Tuan ....” Dia berhenti dan berbalik.
“Ada apa lagi?”
“Terima kasih dan ....” Dia mengernyit karena aku tak melanjutkan kata-kata.
“Dan apa? Ada sesuatu yang kurang?” tanyanya tak sabar. Aku berusaha tersenyum padanya.
“Hati-hati, aku berjanji akan cepat pulih,” kataku membuatnya tersenyum. Sungguh, baru kali ini aku melihatnya tersenyum padaku.
“Baiklah, assalamualaikum.” Aku kembali tersentuh. Dia berubah banyak saat aku sakit, kuharap ini bukanlah mimpi. Kelak ketika aku sembuh dia akan kembali seperti semula. Maka aku ingin ini adalah kenangan terindahku bersamanya.
“Waalaikumussalam,” balasku. Dia kembali berbalik dan melangkah cepat keluar, meninggalkanku yang tetap memandanginya hingga dia berbelok ke tembok pemisah.
Ya Allah, jagalah dia dan sifatnya yang seperti ini. Hamba tak ingin lebih, hamba hanya ingin dia lembut pada semua orang termasuk hamba. Walaupun hamba hanya dianggapnya sebatas pelayan, doaku dalam hati, tak terasa air mataku menetes haru karenanya.
***
Aku berjalan cepat menuju parkiran. Dalam hati ada rasa kegilaan yang meronta karena sikap baikku pada Kinan. Bisa-bisanya aku memperlakukannya dengan lembut. Entah apa yang merasukiku tadi, tapi aku merasa sedikit senang karena dapat mengontrol diri. Ini bukan kemauanku, memiliki dua sikap yang berbeda jika aku tak menyukai seseorang.
“Mudah-mudahan dia tak berpikir buruk tentangku,” gumamku sambil berjalan menuju mobil.
“Maafkan aku, Kinan. Mungkin aku terlalu keras padamu. Aku juga tidak ingin begini, maafkanlah aku. Belum saatnya kau tahu siapa diriku, Kinan.” Aku terus bicara tanpa memerhatikan orang lain yang melihat ke arahku.
“Zidan, tadi laki-laki itu mengucapkan nama Kinan. Apa mungkin itu Nona Kinanti?” bisik seorang laki-laki pada atasannya yang tengah duduk di kursi rumah sakit. Mereka adalah anggota pasukan Handrik yang bertugas mencari Kinan.
“Kita cari saja dulu di seluruh rumah sakit ini. Mungkin saja yang disebutnya tengah dirawat,” kata laki-laki bernama Zidan dan langsung dibalas anggukan oleh mereka.
“Ayo kita tanya pada suster yang bertugas,” ajak laki-laki itu.
“Maaf, permisi, Sus,” kata Zidan pada seorang suster yang tengah berjaga.
“Iya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
“Apakah di rumah sakit ini ada yang bernama Kinan?” Zidan bertanya.
“Oh, sebentar saya cari dulu berkasnya,” ucap sang suster.
Setelah beberapa saat membolak-balik berkat, suster itu pun berkata, “Maaf, Tuan. Ada banyak nama Kinan di sini.  Ada yang bernama Kinan Ayudia, Ayu Kinanti, Kinanti Brajasmara, dan Ayu Kinanti Maheswara Arada. Yang mana nama yang Tuan maksud?” Zidan terdiam. Wajahnya tampak sedang berpikir, dalam ingatannya nama anak majikannya itu hanya Ayu kinanti.
“Yang mana, Vin? Gue bingung,” kata Zidan pada temannya.
“Begini saja, Suster. Tolong antarkan kami ke ruangan pasien itu satu persatu,” pinta Alvin.
“Maaf, Tuan. Hanya satu saja yang di perbolehkan. Selebihnya tidak, karena suami dan keluarga pasien meminta privasi, terlebih yang bernama Ayu Kinanti Maheswara Arada,” balas sang suster.
“Oh ya, kenapa begitu?”
“Karena dia adalah istri dari pengusaha sekaligus pemilik rumah sakit ini,” kata suster itu, mereka mengangguk.
“Baiklah, bagaimana kalau kami memiliki ini?” tanya Alvin sambil menunjukkan tanda pengenal, membuat suster itu terkejut dan tampak panik.
“Baik, Tuan. Saya hubungi pihak rumah sakit dulu ya,” ucapnya, tapi tertahan. 
“Hei, kami hanya ingin melihat saja, untuk apa izin. Ayo cepat, kami tak punya banyak waktu,” perintah Zidan. Suster itu tampak menolak, setelah didesak berulang kali barulah dia menurut dan berjalan menuju ruangan pasien.
“Ini Kinanti Ayudia,” kata dokter itu, saat melihat ke dalam Zidan menarik mundur kepalanya.
“Bukan, Nona Ayu Kinanti tidak setua itu.”
“Baiklah, mari ke ruangan selanjutnya.” Suster itu mulai melangkah diikuti mereka. Dan setiap memasuki ruangan, Zidan selalu berkata bukan dan bukan. Karena dia sempat melihat foto Kinan yang balita. Dalam pikirannya, Ayu kinanti tak jauh berubah dari foto itu.

Book Comment (176)

  • avatar
    Rusmawati Ketty

    sedih.tpi terharu karna romantis

    5d

      0
  • avatar
    Sann Gaurifa

    sangat menarik alur cerita nya

    16d

      0
  • avatar
    susiloDavit

    bagus

    23d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters