logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Pohon Asam di Depan Kamar Periksa

BPS (Bidan Praktek Swasta) Indri
Part 3
***
Setelah Bu Salamah pulang, aku memperkenalkan diri kepada Bu Paini. Kami mengobrol sebentar, saling berkenalan. Tak lama, dia kemudian mengambil sapu dan peralatan untuk mengepel lantai.
Aku masuk ke kamar untuk berganti pakaian, karena sudah lewat pukul satu siang. Bu Indri semalam bilang, jika sudah lewat pukul satu siang, aku boleh memakai baju bebas, asalkan rapi dan sopan.
"Assalaamu'alaikum …."
Terdengar suara orang mengucapkan salam dari arah luar.
"Wa'alaikum salam …."
Terdengar Bu Paini menjawabnya.
Aku keluar dari kamar, berjalan menghampiri arah suara.
Terlihat seorang ibu hamil di luar bersama dengan seorang laki-laki yang kemungkinan adalah suaminya.
"Ada perlu apa, Bu?" tanya Bu Paini, dia masih memegang sapu.
"Saya mau periksa hamil, Bu. Apa Bu Bidan Indri-nya ada?" tanya pasien itu.
"Ada, tapi Bu Indri sedang istirahat. Kalau Ibu mau nunggu, silakan duduk dulu. Atau mau diperiksa oleh asisten Bu Indri juga bisa, kalau Ibu buru-buru," jawab Bu Paini.
"Siapa asisten Bu Indri?" tanya pasien itu.
"Ini Mbak Nita," kata Bu Paini sembari memegang tanganku.
Sesaat pasien hamil itu memandangku, dari atas sampai ke bawah, sepertinya dia merasa ragu. Aku tersenyum dalam hati, wajarlah dia ragu, secara umurku belum genap 17 tahun, pasti masih terlihat seperti anak-anak.
Dia kemudian melihat ke arah suaminya yang sedang duduk di salah satu bangku sambil merokok.
"Pak gimana, mau nunggu Bu Indri apa sama asisten-nya?" tanya pasien kepada suaminya.
"Terserah Ibu aja, kalau biar cepet ya sama asisten Bu Bidan nggak apa," jawab suami pasien.
"Ya udah, saya mau diperiksa sama asisten Bu Indri," kata pasien akhirnya, meski dengan wajah yang masih menyiratkan keraguan.
"Mari, Bu," kataku mempersilakan pasien masuk ke ruang periksa.
Aku kemudian melakukan anamnesa. Pasien itu bernama Ny. Mastiyah, umur 34 tahun, hamil 20 minggu, anak kedua dengan jarak kehamilan 8 tahun. Anak yang pertama laki-laki, sudah kelas 2 SD.
Setelah melakukan pemeriksaan yang meliputi, menimbang berat badan, mengukur tensi dan pernapasan, serta mendengarkan detak jantung janin, dapat diambil kesimpulan bahwa kehamilan Bu Mastiyah dalam keadaan normal.
Aku kemudian memberikan tablet tambah darah dan vitamin yang harus diminum Bu Mastiyah. Serta memberitahu aturan minum obat tersebut.
"Bulan depan diusahakan datang periksa lagi ya, Bu," kataku ramah, setelah selesai semuanya.
"Iya, Mbak. Berarti kalau datang pagi bisa juga ya, Mbak?" tanya Bu Mastiyah, kali ini dia tampak lebih ramah.
"Kalau mau ketemu Bu Indri ya mending sore, Bu. Jadi Ibu nggak nunggu lama."
"Enggak apa kok sama Mbak Nita juga. Bisa kapan aja kan, Mbak?"
Aku mengangguk sambil tersenyum. Bu Mastiyah pun segera pulang setelah membayar uang periksa dan obat sebesar tiga ribu rupiah.
Aku segera membereskan kembali semua peralatan yang baru saja kupakai.
Saat melihat ke luar jendela, tak sengaja mataku melihat ke arah pohon asam. Tiba-tiba bulu kuduk meremang, aku merinding. Aneh, padahal siang hari. Cepat-cepat aku keluar dari kamar periksa dan duduk di salah satu bangku yang ada di depan ruang perawatan. Sementara itu Bu Paini belum selesai mengepel lantai.
[Ada apa ya dengan pohon asam itu? Kenapa tiba-tiba aku merinding?]
"Mbak, maaf kakinya," kata Bu Paini mengagetkanku. Dia akan mengepel bagian bawah bangku yang aku dudukki.
"Eh … iya, Bu. Sebentar, saya masuk aja," kataku sembari beranjak dari duduk dan berjalan ke ruang administrasi.
Aku melihat-lihat jadwal dinas yang ditulis di whiteboard. Tertera nama Muji, Salamah, Paini dan Mulyani di sana.
[Oh … jadi yang kutemui waktu tadi malam sedang mengepel lantai itu namanya Bu Mulyani? Nanti malam dia akan piket lagi, aku akan coba untuk berkenalan lebih dekat agar dia tak bersikap dingin]
"Mbak, minum teh dulu," kata Bu Paini.
Dia membawa sebuah nampan berisi dua gelas air teh hangat dengan sepiring kue bolu. Lalu, menaruhnya di atas meja.
"Iya, Bu. Terima kasih. Nanti malam yang piket Bu Mulyani ya, Bu?" tanyaku sambil menyeruput air teh manis hangat.
"Mulyani masih gadis, Mbak. Dia lulus dari SMEA tiga tahun lalu. Mungkin umurnya nggak jauh beda sama Mbak Nita," jawab Bu Paini sembari mengunyah kue bolu.
[Masih gadis? Waktu aku ketemu dia semalam sepertinya dia sedang hamil? Perutnya besar dan baju putih yang dipakainya pun berbentuk daster]
"Oh … saya kira umurnya sama seperti Bu Paini, Bu Salamah dan Bu Muji," kataku sambil tersenyum.
[Jadi siapa yang aku lihat sedang mengepel lantai tadi malam ya?]
Tuk … tuk … tuk …
Terdengar suara langkah kaki orang yang mengenakan sandal atau sepatu dengan hak tinggi menghampiri kami. Sesaat kemudian Bu Indri sudah berada di depan kami.
"Nit, saya mau ke rumah kakak saya, mungkin pulangnya malam. Kalau ada pasien yang enggak mau kamu layani, suruh aja kembali lagi besok," kata Bu Indri.
"Baik, Bu."
"Ini uang untuk kembalian, ini kunci laci meja. Kamu simpan aja, nanti setiap bulan kamu bikin laporan keuangan dan kasih ke saya. Nah ini contohnya," kata Bu Indri seraya memberikan uang, kunci dan memperlihatkan buku laporan keuangan yang sepertinya dibuat oleh perawat sebelumnya, Mbak Siwi.
"Baik, Bu," jawabku sambil menerima uang, kunci dan buku dari Bu Indri.
Setelah berbincang beberapa saat, Bu Indri kemudian berangkat bersama dengan suaminya.
Aku lalu menuju ke ruang periksa untuk menaruh uang dan buku di laci lemari. Di sana aku kemudian melihat-lihat buku kunjungan pasien hingga waktu asar tiba.
"Bu, saya mau salat terus mandi dulu. Nanti kalau ada pasien tolong suruh tunggu ya," kataku pada Bu Paini, dia sedang menyirami tanaman yang ada di halaman BPS.
"Iya, Mbak."
Aku kemudian masuk ke kamar. Saat tak sengaja melihat pohon asam dari jendela kamar, tiba-tiba aku merinding, seperti ada seseorang yang sedang melihat ke arah kamar. Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan dan segera mengambil air wudu.
***
Sekitar jam empat sore, pasien mulai berdatangan. Aku sudah siap melayani mereka di ruang periksa. Bu Paini ikut membantu memberikan obat, dengan catatan resep yang aku tuliskan di selembar kertas kecil.
Ternyata, mereka yang bekerja di BPS Indri memang diajarkan untuk mengenal obat, meskipun mereka bukan seorang tenaga kesehatan. Terlihat Bu Paini sangat cekatan, saat menumbuk dan membungkus obat puyer.
Menjelang magrib semua pasien yang berkunjung sudah selesai aku layani. Meskipun ada beberapa orang yang lebih memilih untuk kembali besok, agar bertemu dengan Bu Indri. Barangkali mereka masih belum yakin dengan penampilanku yang baru berumur 17 tahun.
Aku berjalan menuju ke arah jendela, bermaksud akan menutupnya, karena hari sudah petang dan langit mulai terlihat gelap. Suara azan dari toa masjid pun sudah terdengar berkumandang.
Saat akan menutup jendela, tiba-tiba aku melihat ada sekelebat bayangan di dekat pohon asam. Sejenak aku terkesiap. Jantung mulai berdetak tak karuan. Buru-buru aku menutupnya dan bergegas ke luar dari ruang periksa.
Tok … tok … tok …
"Mbak, makan dulu. Sudah disiapin," terdengar suara Bu Paini dari luar kamarku sambil mengetuk pintu.
"Iya, Bu. Sebentar."
Aku segera melipat mukena yang baru selesai dipakai dan membuka pintu kamar. Namun, saat pintu terbuka, di luar ternyata tak ada siapa pun. Padahal aku mendengar dengan jelas pintu kamar diketuk dan suara Bu Paini memanggilku untuk makan.
Aku mencari Bu Paini ke ruang administrasi, barangkali dia ada di sana, pikirku. Namun, tak kutemukan dia di sana.
Ketika akan meninggalkan ruang administrasi, aku mendengar suara dari arah luar, seperti orang yang sedang mengepel lantai. Bergegas aku menuju ke pintu depan, mengintip dari balik hordeng, tapi tak terlihat siapa pun di luar.
Tiba-tiba aku merinding, bulu kudukku meremang. Setengah berlari aku menuju ke ruang belakang.
"Mbak, makan yuk," kata Bu Paini yang baru datang dari arah dapur.
"Bu Paini tadi manggil saya sambil ngetuk pintu kamar?"
"Enggak, Mbak. Saya tadi salat terus bantuin Bu Isah di dapur, ini baru selesai. Yuk makan dulu."
Aku bergidik.
[Jadi siapa tadi yang memanggilku sambil mengetuk pintu kamar? Atau hanya perasaanku saja? Tapi aku mendengar dengan sangat jelas]
"Mbak, malah ngelamun," kata Bu Paini sambil menepuk pundakku, membuatku terkejut.
"Eh … iya, Bu," sahutku sedikit gugup.
"Kita makan dulu yuk," ajak Bu Paini.
Aku mengangguk dan berjalan mengikuti Bu Paini ke arah dapur.
***
Bersambung

Book Comment (263)

  • avatar
    Sweetypie

    cerita nya bener² menarik, setiap bab nya selalu di buat penasaran terus gaya bahasa dan cara penulisan pun enak untuk di baca dan di pahami

    26/12/2021

      2
  • avatar
    Elviera

    Best banget cerita ini penuh dengan misteri dan teka teki... Tidak terlalu serem tapi kalau dibikin film mungkin serem sihhh hahha😂kalau kalian semua penasaran boleh start reading yaaa😍😍😍

    21/12/2021

      0
  • avatar
    Sri Sunarti

    bagus banget ceritanya

    2d

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters