logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 Kekecewaan Aletta

Setelah ponsel Zulfa terisi penuh. Wanita itu langsung menghubungi Panji.
Tanpa salam Zulfa sudah menghujani Panji dengan pertanyaan. Saat lelaki berusia sekitar 53 tahun itu mengangkat telepon dari Zulfa.
Perempuan itu memang tidak takut lagi kepada Panji. Sebab, ia sudah lama bekerja dengan tuannya. Panji pun sudah mengangap Zulfa bagai adiknya sendiri. Jadi perempuan itu tidak ada alasan untuk canggung apalagi sungkan kepada majikannya sendiri.
"Aji, kamu bisa-bisanya membatalkan acara makan malam bersama anakmu. Kenapa? Apa kamu sudah lupa sama dia? Kamu tahu sejak tadi dia terus memilih dress mana yang paling cocok ia pakai untuk acara malam ini. Dia sampai ingin membeli dress di butik. Hanya untuk menemuimu. Dia rindu padamu. Tapi apa ini balasanmu. Membatalkan secara sepihak. Apa kamu tidak kasian sama anakmu? Kenapa kamu mengingkari janji? Aletta pasti sangat sedih kalau nanti ia mengetahuinya. Aku gak tau harus ngomong apa dengannya nanti!" Emosi Zulfa kali ini meledak. Ia begitu kecewa pada Panji yang telah ingkar janji.
"Tunggu dulu Zulfa biar aku jelasin. Apa semua wanita seperti kamu? Terus saja menyalahkan semua pria. Padahal aku belum mengucapkan satu patah kata pun!" tegas Panji menghela napasnya dengan berat.
"Mungkin begitu! Yang jelas aku kecewa denganmu, begitu pun Aletta ia pasti sangat kecewa," terang Zulfa.
"Ahh! Maaf aku mengecewakan kalian. Tapi, aku hanya ingin mengatakan sesuatu. Masalah ini hanya orang yang kupercayai yang mengetahuinya. Beberapa minggu yang lalu beberapa perusahaanku sedang bermasalah. Tapi, untunglah semua dapat diatasi segera. Tapi, sekarang banyak musuh dan pesaing yang berlomba-lomba mau menjatuhkanku. Kini aku berada di suatu tempat bersama beberapa tangan kanan. Kami ingin menyusun taktik agar perusahaan kami gak mengalami hal-hal yang buruk. Aku mohon kamu ngerti! Ini semua juga demi Aletta. Tolong bawa anakku  pergi ke Kota B. Di kota kalian, sudah gak aman untuk anak semata wayangku. Aku juga sudah menyuruh Bagas untuk mencarikan pengawal pribadi untuk Aletta," jelas Panji.
"Huh, sungguh sulit jadi kamu Ji. Di usia senja saja masih berurusan dengan para musuh. Harusnya kamu serahkan saja semua hartamu pada mereka, dan hidup sederhana bersama Aletta itu lebih baik. Daripada, hidup banyak harta tapi seperti dijajah," ketus Zulfa menyinggung tuannya itu. "Kenapa harus mencari pengawal pribadi untuk Letta, bukannya sudah ada Bagas? Dia juga tangan kananmu yang menguasai bela diri, bukan?" sambung Zulfa lagi.
"Enggak semudah itu Zulfa. Kamu mau hidup terlantar jika aku gak punya apa-apa lagi? Tugas Bagas ada di sana. Ia tidak boleh meninggalkan kota kalian sekarang. Kau kerjakan saja tugasmu, bujuk Aletta supaya dia gak marah lagi sama aku dan mau kamu ajak pergi dari kota yang sekarang kalian tinggali." 
"Ya sudah, apa boleh buat, ini perintah tuan panji gak bisa diganggu gugat. Kalau masih mau bekerja dengannya," ucap Zulfa dengan nada mengejek.
"Hehehe, baguslah kalau  kau mengerti maksudku," kekeh Panji diujung telepon. "Kalau begitu aku pamit. Masih banyak urusan. Titip salam untuk anak kesayanganku," 
"Baiklah." Zulfa menutup sambungan teleponnya.
***
Dering telepon dari ponsel Zulfa berbunyi. Setelah percakapan antara Zulfa dan Panji berhenti.
Ternyata itu telepon dari Aletta.
"Iya ada apa Aletta?" ucap Zulfa meletakkan ponsel di telinga kanannya.
"Bi tolong ke kamar. Aku ada perlu," ucap Aletta. Gadis manja itu sepertinya tidak ingin kakinya tersentuh lantai sama sekali, buktinya untuk membuka pintu dan berapa langkah menuju kamar Zulfa saja dia enggan.
"Baiklah!" ucap Zulfa. Wanita itu berjalan gontai ke kamar Aletta. Dia tahu sifat ayah dan anak memang sebelas dua belas. Suka sekali memerintah kepada bawahan. Walau begitu mereka berdua sama-sama baik. Tidak pernah menindas atau pun kasar.
Sekarang Zulfa sudah di dalam kamar Aletta.
"Sini Bi." Senyum merekah ditunjukkan Aletta. Gadis cantik itu tampaknya sedang membawa dua bingkisan. Ia menyuruh Zulfa untuk duduk di ranjang bersamanya.
"Apa itu Nak?" 
"Bukalah yang ini. Itu untuk Bibi." Perempuan cantik itu menyerahkan satu bingkisan ke arah Zulfa. Ia tersenyum manis. 
Zulfa membuka bingkisan tersebut. Terdapat gaun berwarna merah maroon yang sangat cantik di dalamnya.
"Tara! Itu hadiah untuk Bibi dariku, baguskan Bi? Sementara bingkisan yang ada di tanganku ini. Punyaku, nanti malam ingin aku pakai saat acara. Aku benar-benar gak sabar." Senyum merekah tercipta dibibir cantik Aletta.
"Kamu beli di mana? Katanya mau Bibi temenin ke butik? Kok sekarang malah sudah beli? Berangkat ke butik bersama siapa Nak?" tanya Zulfa heran.
"Gak jadi ke butik Bi, aku malas. Pesan online saja. Terus minta langsung diantar hari ini juga. Eh. ternyata permintaanku diterima. Barangnya cepat sampai. Terus memuaskan lagi. Pasti Ayah akan takjub melihat penampilanku," cerocos gadis itu tanpa henti.
Zulfa yang mengetahui bahwa Ayah majikannya itu, tidak bisa hadir dalam acara makan malam kali ini. Tampak bingung ingin mengatakan yang sejujurnya. Takut, Aletta malah patah hati.
"Bi, aku mau coba dress yang kubeli dulu ya?" 
"Iya Nak," sahut Zulfa tersenyum tipis.
Setelah anak gadis itu memakainya. Dia meminta bibinya untuk menilai.
"Cantik enggak Bi?" Gadis itu berputar-putar dengan dress berwarna putih selulut yang dikenakannya.
Zulfa mendekati Aletta. Dia meraih ke dua tangan gadis itu.
"Kamu sangat cantik Nak, tapi... " Ada jeda  dari ucapannya.
"Tapi apa Bi, dressnya kurang bagus ya?" tebak Aletta.
"Bukan begitu, lebih baik kita duduk dulu, sayang!" Zulfa mengajak Aletta duduk di tepi ranjang. Agar Aletta lebih tenang jika mendengar sesuatu yang mengecewakan baginya.
"Memangnya ada apa Bi?" Aletta mengikuti saja perintah Zulfa walau hatinya bertanya-tanya.
"Maaf nak, kata Ayahmu dia gak bisa hadir dalam acara makan malam, nanti. Ayahmu sedang ada urusan genting yang harus didahulukan, Ayahmu hanya titip salam untuk putri kesayangannya. Maafkan dia ya Nak." Zulfa mengusap ke dua pundak Aletta dengan Lembut. Ia menyadari Aletta pasti sangat kecewa.
Mata hitam Aletta yang sejak tadi berbinar. Tiba-tiba saja redup. Lalu, berubah menjadi tangisan.
"Aku benci Ayah! Padahal dia sudah janji. Kenapa malah diingkari Bi!" teriaknya. Perempuan dua puluh tiga tahun itu, lalu ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuk miliknya. Ia meraih bantal yang ada didekatnya, menelungkupkan wajahnya di sana. Sesaat kemudian, terdengar suara sesegukan yang keras berasal dari Aletta. Zulfa yang mendengar suara tangis itu hanya dapat menenangkan gadis manis itu.
"Sabar ya sayang.''
Aletta tidak menjawab. Perempuan itu hanya  beralih merebahkan kepalanya di paha Zulfa. Tangisannya berhenti. Namun, air matanya semakin deras. Saat-saat kecewa seperti ini. Aletta hanya merindukan Ibunya yang tidak pernah dilihatnya, apalagi disentuh oleh Aletta.
"Bi, Aku ingin ke makam Ibu." Suara parau yang terdengar di telinga Zulfa. Membuat hati wanita itu tersentuh.
"Iya Nak, nanti kita ke makam Ibumu ya." Zulfa mengusap rambut Aletta lembut, sesekali ia menciumi puncak kepala anak gadis itu. Sampai, gadis itu terlelap tidur di pangkuannya.

Book Comment (91)

  • avatar
    Momz Brio

    bagus cerita nya

    22/07

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus ceritanya gk muter2👍

    29/04

      0
  • avatar
    Ade Priatna

    terimakasih

    17/06/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters