logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

2. Menyembunyikan Kehamilan Alana

Setelah Axelio pergi, Denuca memutuskan menghabiskan sepanjang malam di club. Dia pusing dengan masalah yang dihadapinya sekarang. Pasalnya ini bukan tentang penyeludupan atau transaksi, tetapi melainkan menyangkut tentang wanita dan bayi yang dikandungnya.
Dahi Denuca hampir menyatu. Memikirkan bayi ia rasanya belum siap menjadi seorang ayah meski usianya sudah matang. Semakin ia mencoba mencari solusi semakin ia pusing. Dengan sempoyongan, ia keluar dari club menuju apartemennya.
Wajah dan nama gadis itu memenuhi kepalanya. Ia masih belum bisa mengambil keputusan seperti yang dikatakan Axelio. Padahal dia bukan orang yang begitu lama dalam mengambil keputusan. Otak cerdasnya seperti buntu untuk memikirkan solusinya.
"Argh! Sudahlah! Aku akan mengurusnya," ucapnya dan membanting dirinya setelah di apartemennya.
***
Sang Fajar setelah menampakkan wajahnya dan mengusir rembulan untuk kembali ke peraduannya. Ia menggeliat kecil dan melihat jam menunjukkan pukul 12:00 siang. Denuca merogoh dengan malas ponselnya di nakas yang berdering nyaring. Nama Bosnya tertera di sana.
"Ck, apa Axelio mengadu kepada Mr. Waston," batin Denuca. Dia segera bangun dan menggeser tombol hijau.
"Halo," sapanya dengan suara serak.
" ...."
"Baiklah."
Denuca menyimpan ponselnya setelah Mr. Waston mematikan sambungan. Ia bangun dengan kepala yang masih pening. Semalam ia mabuk berat, untung tidak menabrak jalanan sepulangnya. namun, begitu Denuca sudah terbiasa minum dan pulang keadaan mabuk.
Alasan ia memilih apartemen agar ibunya tidak banyak tanya saat dia pulang. Denuca tidak mau sampai harus berurusan panjang dengan ibunya. Apalagi apartemennya dekat dengan rumah sakitnya. Hobinya yang mabuk tentu diketahui Jane. Namun, sang suami selalu membela putranya dan membiarkan Denuca memilih jalannya sendiri selama pria itu tetap menjalankan rumah sakit.
"Lusi, saya akan ke sana jam 2 siang. Berikan obat dan catat saja keluh kesah Alana. Jangan biarkan dia pulang," ucap Denuca saat menelepon Lusi.
" ...."
"Ok, aku percayakan padamu."
Klik.
***
Denuca memasuki markas Black Hold. Di ruangan khusus terlihat Jevras sedang sibuk dengan layar monitor di depannya sedangkan Draco sedang berada di Miami melakukan transaksi narkoba. Di sofa hitam terlihat seorang pria dengan duduk bersandar, kacamata bertengger manis di hidungnya.
"Alana, gadis yatim piatu. Usia 22 tahun, kelahiran Indonesia. Kasir di Cafe Justin Adalson. Dia pernah dijual oleh paman dan bibinya di club Indonesia milik Mr. Waston, tetapi sepertinya dia berhasil melarikan diri. Dia hidup di kos-kosan. Pendidikan terakhir SMA."
Axelio melempar berkas itu setelah membacanya di depan sahabatnya. Ia merasa kesal melihat sikap ceroboh Denuca yang membuat wanita tidak bersalah terlibat ke dalam masalah yang tidak seharusnya. Parahnya, dia melibatkan diri dengan membiarkan benihnya dikandung orang lain.
Denuca membuka berkas berisi informasi Alana. Ia mengusap kasar wajahnya. Melihat Denuca frutrasi, Axelio mendengus.
"Apa yang akan aku lakukan?"
Denuca mengangkat alisnya mendengar pertanyaan Denuca yang terdengar frustrasi. "Kau bertanggungjawablah."
Setelah mengatakan itu, Axelio mengajak Denuca untuk keluar. Sekarang, mereka perlu melaksanakan perintah Bos mereka. Meski sekarang, Taehyung berada di Korea, tetapi tetap mengontrol klannya. Setidaknya di sini ada Axelio, Denuca, Jevras dan Draco yang menjalankan klan mereka.
***
Di rumah sakit, gadis itu terbangun dengan kepala yang masih berdenyut sakit. Ia tersenyum tipis melihat sirat khawatir di mata pria yang menemaninya sepanjang malam. Tampak pria itu kurang tidur karena kantung mata memenuhi matanya.
"Lana, kamu butuh sesuatu?" tanya Justin.
"Tidak, ekhm, Justin, maaf merepotkanmu," ucap Alana malu. Ia merasa sering merepotkan Justin. Kebaikan pria itu sudah terlalu banyak untuknya.
Justin tersenyum mendengar ucapan Alana. Ia mengusap kepala Alana dengan lembut. Siapa pun bisa melihat jelas pria itu sangat mencintai gadis di depannya. Namun, sayangnya, Alana hanya berpikir Justin menyayanginya sebagai sahabat. Alana terlalu polos dan lugu.
"Dokter akan datang sebentar lagi. Dia tidak bisa datang tadi pagi karena ada urusan mendadak, tetapi suster sudah mengecek keadaanmu," jelas Justin.
"Hm, Justin, aku ingin pulang. Aku tidak menyukai bau rumah sakit," pinta Alana. Ia sebenarnya tidak mau merepotkan terlalu lama Justin ditambah saat ia memerhatikan kamarnya. Meski ia anak desa, tetapi ia cukup tahu bahwa kamar yang ia tempati sama seperti ruangan rumah sakit di TV.
Ia tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit bila terlalu lama di sini. Ia berjanji akan menggantikan uang milik Justin yang ia pakai untuk biaya pengobatan dan ruang inapnya, meski ia harus mencicilnya dulu karena ia tidak punya banyak uang.
Gaji yang didapatkan dari Justin juga hanya untuk biaya kosnya dan juga kebutuhan sehari-harinya. Ia yakin, bekerja selama tiga bulan pun belum tentu melunasi ruang inapnya semalam di sini. Mengingiat itu, Alana menggigit bibir bawahnya cemas.
"Kenapa, Lana? Ada yang sakit?" tanya Justin.
"Tidak ... ak--aku hanya mau pulang," lirihnya gugup.
"Sabar, ya, nanti kalau dokternya sudah datang kita tanyakan, apakah kamu sudah boleh pulang atau masih harus dirawat," ucap Justin menenangkan.
Alana mengangguk. Justin meminta izin keluar untuk membeli makanan. Saat Justin keluar, pintu kamar inap Alana terbuka. Gadis itu menoleh dan terpaku melihat wajah pria yang tak lain Denuca.
Alana sering kali melihat wajah Denuca di majalah dan di TV, tetapi ia tidak menyangka akan bertemu dengan pria itu dan menjadi pasiennya. Pasokan oksigen di sekitarnya terasa menipis dengan berdirinya Denuca di samping bangkarnya.
"Selamat pagi, Alana," sapa Denuca.
"Pa--pagi, Dok," balas Alana dan memilin ujung selimutnya.
Denuca langsung memeriksa Alana. Setelahnya, dia duduk di kursi bangkar. Mata biru Denuca yang menatap lekat Alana membuat gadis itu semakin dilanda rasa gugup.
"Keadaanmu sudah lebih baik, tetapi kamu tidak boleh bekerja dulu. Itu akan mempengaruhi kondisi tubuhmu," ucap Denuca, "Karena di dalam rahimmu ada bayiku." Dia mengucapkannya dalam hati.
Alana mengangguk menurut karena pada dasarnya dia memang penurut. Namun, sikapnya yang tidak berhenti memilin ujung selimut menyita perhatian Denuca.
"Ada keluhan?" tanya Denuca.
"Emm ... boleh tidak Dok saya pulang dari sini?" tanya Alana khawatir.
"Kenapa?"
Alana menunduk. "Sa--saya tidak bisa membayar biaya rumah sakit," cicitnya.
Denuca tahu jelas kondisi ekonomi Alana dari informasi yang didapatnya dari Axelio, tetapi Justin sudah membayar administrasinya. Lalu, Alana tidak perlu khawatir karena dia tidak aka terlilit hutang.
"Biaya rumah sakitmu sudah dilunasi Justin," ujar Denuca.
"Saya tidak bisa, Dok. Saya tidak mau berhutang banyak dengan Justin," lirih Alana.
Denuca ingin sekali mengatakan bahkan ia akan bersedia gratiskan biaya rumah sakit Alana asal gadis itu mau dirawat, tetapi ia tidak mau gegabah karena di sini, Alana hanya mengenalnya sebagai seorang dokter bukan sebagai ayah dari anak yang dia kandung.
"Saya mohon, Dok. Izinkan saya pulang," pinta Alana dengan mata berkaca-kaca.
Denuca terpaksa menyetujui permintaan Alana dengan syarat dia harus rehat sampai kondisinya membaik. Alana dengan senang berjanji. Ia merasa lega karena hutangnya tidak akan terlalu banyak.
"Hufh ...begitu saja dia senang," batin Denuca. Ia berdiri dan pamit pergi karena malam ini, ia masih ada tugas dari Bosnya.
***
TBC

Book Comment (245)

  • avatar
    ELYN

    makasiiiiii

    8d

      0
  • avatar
    JondepCarolina

    qwdfghhhh

    20d

      0
  • avatar
    Evelyn KimEryn

    I LOVE THIS STORY SO MUCH

    02/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters