logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 2 PAKLEK

Perlahan mata Eva terbuka, ia melihat kanan dan kiri melihat seisi rumah yang begitu besar dan arsitektur modern, namun di dominasi ornamen hiasan dari turki membuat Eva sedikit terbelalak. ia mengingat saat terakhir terjatuh dari tembok pembatas dan berfikir sudah mati.
''Oh my God, apa ini di surga?'' batinnya yang masih berbaring.
“Sudah sadar.” Suara bariton dari seorang laki-laki menghampirinya. Eva terdiam sejenak memperhatikan wajah laki-laki tersebut yang ia kira malaikat.
''Eh, busyet … malaikatnya ganteng banget, pasti mau nanyain gue udah punya pacar apa belum?” batin Eva melihat sosok laki-laki tampan di depannya. Eva melihat dengan mata berbinar dan tersenyum genit.
''Kamu kenapa cengengesan?” tanya Adisty tiba-tiba membuat Eva terkejut karena posisi Adisty ada di atas kepalanya.
“Astagfirullah!'' Eva berlonjak dari tidurnya dan melihat Adisty. Semua yang mendengar teriakkan Eva pun terkejut .
“Kamu pikir aku hantu,”saut adisty mendorong pelan tubuh Eva
“Kamu mati juga, Dis?” Eva masih melongo melihat Adisty.
''Sial! Masih hidup lah, kamu pikir kita jatuh berdua langsung mati gitu! Ogah, lo aja.” 
''Lah, ini malaikat datangnya dari mana?” tanya Eva menunjuk Daniz. Maer yang melihat ekspresi Eva pun tertawa terpingkal-pingkal terlebih melihat ekspresi Daniz yang sudah kesal.
''Kamu nggak gegar otak, kan?'' tanya Adisty memegang kening Eva karena Eva bicaranya sudah ngelantur.
''Apa sih, ya gak lah! Oh ya, Harita mana.” Eva menepis tangan Adisty.
''Pulang, tadi emak sudah datang kemari sama Harita tapi kamu nggak bangun-bangun dan emak ada arisan. Jadi ya, udah, mak sama Harita pulang, kamu sih pingsan menghayati banget! Sampai nggak bangun-bangun. Pingsan atau tidur?” jelas Adisty apa adanya.
“Aku kayak anak nggak ada harganya, emakku lebih mentingin arisan!'' Cicit Eva lalu melihat Deniz, Via, dan Maer.
''Sudah ngomongnya, kalau sudah pulang gih sana, berisik kalian berdua,'' saut Daniz kesal melihat Eva dan Adisty sedari tadi berbicara sendiri. 
“Iya...! Ini juga mau pulang. Dasar bule kawe,” seru Eva. 
“Apa?” tanya Deniz tidak terima disebut bule kawe 
“Nggak, itu palek!” jawab Eva asal. 
lagi-lagi Maer tertawa melihat Eva, karena baru pertama ini ada seorang gadis yang berani menjawab atau menyela putra kesayangannya, sedangkan Via hanya tersenyum sinis seolah senang ada yang berani dengan kakaknya.
“Ibu, eh ibu. Nyonya kami pamit, ya,” pamit Adisty menyalami maer. Adisty tidak mau Eva banyak bicara dengan orang yang baru saja dikenal bisa-bisa panjang urusannya.
Dan Eva masih berusaha bangun dari duduknya.
‘Brukkk’
Eva terjatuh di pelukan Deniz Karena posisinya ada di dekatnya, tubuh Eva belum seimbang karena kakinya masih terasa sakit jadi ia tidak bisa berdiri seperti biasanya. 
“Maaf, kakiku masih sakit,” cicit Eva yang masih berpegangan di lengan Deniz dan sekilas melihatnya, pandangan mereka bertemu. Namun, itu hanya sekilas.
“Astaga … ngerepotin aja,” gerutu Daniz masih memapah Eva. Eva pun seketika mendorong Deniz 
“Kau sudah ku bantu, kenapa malah dorong-dorong.” Deniz makin lama kesal dengan Eva. 
''Bule, Eh salah, Palek! Dengar ya, aku perhatiin dari tadi, kamu nolongin aku nggak ada ikhlas-ikhlasnya dan aku juga nggak minta kamu tolongin. Lain kali kalau mau nolongin orang itu yang ikhlas, heran ya, punya masalah apa kamu sama aku. Percuma jadi dokter tapi gak ada empati.” Eva kesal lalu mengibaskan stetoskop yang menggantung di leher Deniz, seketika Deniz terdiam ia baru menyadari kesalahannya, Entah kenapa baru kali ini ia sentimen kepada pasiennya. Sedangkan Via tersenyum puas ada yang berani memarahi kakaknya, karena selama ini tidak ada yang berani membantahnya
“Ibu, maaf. Maaf sudah gaduh di rumah Ibu,” pamit Eva menyalami maer dan menatap sinis Deniz
''Iya nak, hati-hati,'' jawab Maer tersenyum.
Eva dan Adisty pamit pulang dengan mengendarai motor yang dibawa Harita.
''Mampus! Aku puas ada yang berani marahin kakak kejam kayak kamu!'' celetuk via yang langsung berdiri dan berjalan menuju lantai atas.
''Via!!'' teriak Deniz tidak terima.
''Bodo!'' jawab Via dari anak tangga
''Sudah, lagian kamu kenapa seperti sentimen sama gadis itu, tidak biasanya. Biasanya kamu cuek.'' Saut Maer menghampiri Deniz yang duduk di sofa.
''Tau ah,Ma,'' jawab Deniz lalu melepas stetoskop yang menggantung di lehernya dan mengusap kasar wajahnya.
''Cantikan?'' Goda Maer yang kini duduk di sebelahnya.
''Hem, seksi juga,'' jawab Deniz tanpa sadar.
 'Bukk' Maer memukul kepala Deniz dengan bantal sofa.
''Aduh," Pekik Deniz melihat Maer.
''Jadi dari tadi kamu cuma lihat tubuhnya. Astagfirullah anak Maer!'' ucap Maer kesal.
"Mata Deniz normal, Ma, siapa suruh bajunya seperti itu,'' elaknya. Namun Maer memakluminya ternyata anaknya sudah tumbuh dewasa.
''Ponsel siapa ma?'' tanya deniz melihat ponsel di atas meja tepat berada di depannya lalu ia mengambilnya.
''Ponsel gadis tadi mungkin,'' jawab Maer yang ikut melihat isi ponsel Eva.
''Cantik,'' batin Deniz melihat foto Eva yang di jadikan wallpaper di layar ponselnya,lalu ia membuka satu persatu galeri fotonya.
 Tak lama Maer meninggalkan Deniz duduk di ruang tamu seorang diri, dan membiarkan deniz melihat foto-foto Eva bersama sang sahabat kakak dan keluarganya.
''Oh, ini ayahnya?" batin Deniz melihat foto Eva memeluk pria yang seusia papanya dan berparas Eropa. Tanpa sadar ia mengirim salah satu foto Eva ke ponsel nya lalu menghapus riwayat pengirimannya.
Sesampainya di rumah Eva masuk kedalam rumah di bantu Adisty. ''Ini rumah sepi?'' tanya Eva saat sampai rumah, lalu duduk di sofa ruang tamu di bantu Adisty.
''Udah pulang?'' tanya Indi yang baru keluar kamar.
''Hem, gila ya! Bukan jemput gua malah enak-enakan di rumah,'' protes Eva pada Indi.
''Dari awal aku sudah melarangmu naik tembok, tapi kamu nggak mau dengar, itu bukan salah aku dong. Kamu sendiri yang cari penyakit, '' jawab Indi santai seraya duduk di samping Eva.
''Alasan aja lo!"
''Susah ya ngomong sama kamu!'' Jawab Indi melempar bantal ke arah Eva.
''Aku cabut, males dengar orang berantem!" pamit Adisty lalu berdiri dari duduknya, Adisty merasa bosan jika harus melihat kakak adik itu terus bertengkar saat bersama.
''Makasih ya, Disty,'' ucap Eva. Adisty hanya mengangguk dan tersenyum, lalu pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari rumah Eva.
''Emak belum pulang, Ndi?" tanya Eva saat Adisty keluar rumah.
''Belum, masih arisan tempat bu RT.''
''Daddy?"
''Mungkin minggu depan Daddy pulang, kenapa tumben tanya Daddy?'' Jawab Indi sambil memainkan ponselnya.
''Gak, gue kangen sama Daddy. Dari kecil di tinggal kerja terus,'' balas Eva sendu, lalu merebahkan kepalanya di pangkuan Indi.
''Sabar, Va, aku juga kangen sama Daddy,'' jawab Indi perlahan mengusap kepala adiknya. Walau mereka sering bertengkar, akan tetapi mereka juga saling melengkapi dan menyayangi.
''Kuliahmu bagaimana? ''tanya Indi mengusap rambut Eva.
''Ya kayak gitulah. kuliah farmasi kepala gue pusing, harus bisa pas meracik obat, kalau gak yang ada pasien gue overdosis." balas Eva diiringi tawa keduanya.
''Kamu juga mau nuruti emak, sdah tahu bakat kamu itu menggambar."
''Gue cuma nuruti emak aja, Ndi, gue gak mau emak kecewa. Hanya itu yang bisa gue lakuin buat Emak." Jawab Eva seadanya 
Emak Menginginkan Eva menjadi seorang apoteker agar formasi di rumahnya lengkap. mereka memang sangat menyayangi Emak, jadi apapun keinginan Emak mereka akan turuti.
''Ndi gue lapar, dari pagi gue belum makan.'' ucap Eva lalu bangun dari rebahannya.
''Ya sudah makan sana.''
''Ambilin,"rengek Eva.
''Ambil sendiri!''
''Kaki gue sakit, Maimunah!''
''CK....Nyebelin!'' Jawab Indi, namun ia juga tidak tega membiarkan adiknya kelaparan, dengan kesal ia menuju dapur mengambilkan Eva makan sedangkan Eva hanya tertawa kecil .

Book Comment (78)

  • avatar
    melonmitra

    mantapp

    2d

      0
  • avatar
    KaramokeyauYohanes

    2222

    20/08

      0
  • avatar
    Ivan Witami

    bagus

    19/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters