logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 4 Here i am!

Senja terbangun saat alarm pada ponselnya berbunyi. Ia meraba-raba kasurnya, mencari ponselnya. Setelah mendapatkannya, ia mematikan alarm ponselnya.
Masih dengan mukena yang terpasang karena sholat shubuh tadi, Senja keluar dari kamarnya. Mata yang masih setengah terpejam itu terbuka lebar saat kepalanya menabrak dada seseorang.
"Abang ih,"
Biru mendengus, "Mana gue tahu lo juga mau keluar. Baru bangun tidur kan lo?!"
Senja hanya mengibaskan tangannya malas. Ia kembali masuk ke dalam kamar, memilih untuk membersihkan dirinya. Menahan perutnya yang meronta-ronta ingin diberi makanan.
Sepuluh menit kemudian, Senja sudah rapih dengan dres selutut berwarna hijau tosca. Senja membiarkan rambutnya terurai indah. Ya, rambut ombre lavender dan silver itu hasil karya sang bunda. Walaupun selepas itu Langit menyindir Utari tanpa henti.
"Selamat pagi," sapa Senja kemudian ikut duduk di meja makan dengan Biru dan orangtuanya.
"Pagi sayang,"
"Pagi, cantik."
"Pagi, kesayangan Papa."
Senja membalikan piringnya. Bergumam terimakasih saat bunda menyodorkan dua helai roti selai strawberry kesukaannya.
"Milk or coffee?" tanya Utari pada biru dan Senja.
"Coffee,"
"Milk,"
Utari tersenyum mengangguk. Ia menyodorkan secangkir kopi pada Senja dan segelas susu full cream pada Biru.
Semuanya memakan sarapan. Sesekali Senja menyahuti pembicaraan Biru dengan Langit. Utari pun hanya menyimak.
"Bunda?"
"Iya, sayang?"
Senja menunjuk leher Utari, "Nanti tutupi itu pake foundation. Bunda nggak mau kan orang-orang tahu gimana liarnya Papa?" ceplos Senja yang membuat tiga orang di meja makan tersedak.
Utari sudah melirik Langit tajam. Sedangkan Biru menatap Senja seakan 'kau serius?!'. Senja mengendikan bahu acuh, kembali menggigit roti selainya.
Sesudah menghabiskan sarapan, Senja pamit ke kamarnya untuk memeriksa kembali barangnya. Pukul 9 nanti ia akan berangkat bersama orangtuanya ke Tangerang.
Senja mengedarkan pandangannya keliling kamar. Ia menghembuskan nafas berat, "Baiklah. Cuma sampai kelulusan Senja. It's totally okay." gumam Senja menyemangati dirinya sendiri.
Senja memeriksa dua kopernya lalu mengangguk pelan. Semuanya udah. Senja membaringkan tubuhnya diatas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar yang terpasang gantungan burung bangau dari origami.
Flashback on
"Senja! Jangan nangis." ujar Biru.
Senja yang masih menangis itu mengacuhkan Biru. Ia masih kesal karena jar berisi bintang warna-warni yang ia buat dari kertas origami itu hilang.
Biru menghembuskan nafas, "Nanti Abang buatin burung bangau deh gantinya. Jangan nangis lagi ya?"
Senja menatap Biru dalam, ia mengangkat jari kelingkingnya. Biru mengaitkan jemarinya, "Janji kelingking." ujar Biru mantap.
Senja tersenyum lebar saat Biru menepati janjinya. Memakan waktu hampir satu bulan hingga Biru menyelesaikan 200 burung bangau yang akhirnya digantung di langit-langit kamarnya atas bantuan Langit.
Kata Biru, bangau itu bisa menghalau mimpi buruk untuk datang. Saat itu Senja percaya-percaya saja. Namanya juga masih kelas 2 SD.
Namun semenjak ia beranjak dewasa, hal itu hanya sekedar omongan belaka. Buktinya ia masih sering mimpi buruk. Bagaimanapun, ia sangat menyukai gantungan burung bangau warna-warni itu. Sangat cantik, pikirnya.
Flashback off
Senja menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka. Biru datang dengan sebuah kotak kecil di tangannya.
Senja berganti posisi menjadi duduk, disusul Biru yang ikut duduk disebelahnya. Senja menatap Biru dan kotak itu bergantian, keningnya mengerut.
Biru menyodorkan kotak berpita merah muda itu, "Nih,"
"Buat aku?"
Biru mengangguk. Ia menidurkan tubuhnya saat Senja sudah menerima kotak pemberiannya. Senja menyilakan kakinya di atas kasur. Menatap kotak itu cukup lama.
"Isinya apa?" tanya Senja pada Biru yang sedang memejamkan matanya dengan tangannya yang menjadi tumpuan belakang kepala.
Biru terkekeh, "Buka aja."
Senja membuka kotak itu. Matanya berbinar, ia tersenyum lebar. Tanpa aba-aba, gadis itu melompat ke atas tubuh Biru dan memeluk Biru seerat mungkin.
Biru tertawa pelan. Ia membalas pelukan Senja. Ia tahu hadiahnya pasti akan sangat disukai oleh adik kesayangannya ini.
"Makasih, Abang." bisik Senja.
Biru mengangguk. Senja melepaskan pelukannya, memilih tengkurap di sebelah Biru. Ia menatap Biru bingung, "Tapi, kok Abang tahu kalau Senja suka kalung ini?"
Biru terkekeh.
"Waktu itu kamu bilang mau kalung itu. Tapi uangnya sayang, mending buat beli pizza sama novel." balas Biru diiringi dengusan geli. Ia mengacak rambut Senja gemas, "Padahal lebih untung beli kalung emas."
Senja menyengir. Ia menatap kalung itu sekali lagi. Kalung emas putih dengan bandul bulan dari berlian kecil. Ia melirik Biru yang kembali memejamkan matanya, pasti Abang beli pake tabungannya. Ini kan mahal karena berliannya juga.
"Nggak usah senyam-senyum mulu. Abang tahu kalau Abang ganteng." kata Biru masih dengan mata terpejam. Senja mendengus.
Biru membuka matanya lalu mengecup pipi Senja, "Ayo turun. Bentar lagi kamu berangkat. Koper yang besar biar Abang yang bawa." kata Biru lagi langsung berdiri.
Senja mengerang kesal. Ia menendang kakinya ke segala arah, ia benci perpindahan ini! Biru mendengus geli melihat tingkah Senja itu.
Keduanya turun menuju ruang keluarga. Biru berdecak sebal, ia tidak menyangka koper Senja akan seberat ini. Sebenarnya gadis itu bawa semua bajunya atau gimana?!
Senja yang sudah lebih dulu selesai itu melirik Biru yang baru saja turun dari tangga rumahnya. Ia melirik Biru remeh, "Lemah."
Biru melotot, "Heh! Nggak tahu diri lo emang. Koper lo tuh berat banget! Pindahan ke luar negri lo?!" cerewet Biru kesal.
Utari yang melihat pertengkaran kecil antara kedua anaknya itu hanya bisa menghela nafas lelah. Ia sudah biasa dengan kedua anaknya itu.
Utari menoleh, "Udah, Pa?"
Langit yang baru masuk ke dalam rumah setelah mengecek ulang kondisi mobilnya mengangguk. Ia menghampiri Biru yang sedang meneguk air dingin.
"Kenapa kamu, Bang? Capek banget kayaknya."
Biru melirik Senja, "Anak kesayangan Papa noh. Isi koper berasa pindah ke negri orang. Trial diusir dari rumah kali."
Langit tertawa. Ia memeluk Biru lalu menepuk bahu cowok itu dua kali. Memegang kedua bahu anaknya, "Papa berangkat dulu. Kamu baik-baik disini. Jangan macem-macem."
Biru mengangguk. Utari bergantian memeluk Biru. Wanita itu tampak menahan tangisnya. Biru memeluk erat sang bunda.
"Kamu sehat-sehat oke? Bunda udah bilang sama Aa' kamu buat lihat-lihatin. Awas kamu macem-macem ya!" kata Utari lalu memeluk Biru sekali lagi.
"Iya, Bundaaa."
Kali ini Senja yang memeluk Biru. Gadis itu sudah menangis dipelukan Biru. Sial, ia tidak bisa menahan isakannya. Bahkan kaos Biru sudah basah karena airmata dan ingusnya.
"Abang sering-sering main." lirih Senja. Biru terkekeh, ia mengusap kepala Senja lembut.
"Iya, sayang."
Senja melepaskan pelukannya, mengangkat jari kelingkingnya. Biru tanpa berpikir mengaitkan jari kelingkingnya pada jemari Senja.
"Janji kelingking. Kamu belajar yang bener biar bisa masuk kampus Abang. Oke?"
Senja mengangguk, "Oke."
Biru mengecup kening dan pipi Senja. Utari dan Langit pun mengecup kening Biru. Setelah adegan mengharukan itu, Biru melambaikan tangan pada mobil yang semakin jauh dari halaman rumahnya.
Senja yang sejak tadi membalikan tubuhnya ke jendela belakang mobil kembali duduk menghadap depan. Ia memilih menatap jalanan. Utari tersenyum sedih, "Pasti Biru sekarang lagi kesepian.."
Sedangkan Biru yang sudah melihat mobil keluarganya jauh, ia mengepalkan tangannya ke atas.
"Yes!!!" seru cowok itu. Ia mengeluarkan ponselnya untuk menelfon kawan-kawannya untuk datang ke rumah. Seharian ini ia harus merayakan kebebasan dan ketentraman hidupnya sementara.
...............
Setelah perjalanan hampir empat jam lamanya, akhirnya keluarga Mahesa itu sampai di rumah mereka. Tepatnya rumah Langit saat ia kecil dulu. Ya, ia sempat tinggal beberapa tahun di Tangerang sampai akhirnya pindah lagi ke Bandung.
Senja menatap rumah minimalis dua lantai di depannya ini. Matanya beralih pada taman kecil yang sepertinya akan menjadi tempat bermain Utari dengan beberapa tanaman bunga nanti.
"Senja, ayo masuk. Masih panas banget. Kopernya biar Papa yang bawa masuk."
Senja mengangguk. Ia ikut mendudukan bokongnya disebelah sang bunda. Membiarkan kepalanya menyender di bahu Utari. Utari mengusap kepala Senja lembut.
"Bunda tahu kamu males buat ketemu orang baru, temen baru. Tapi usahain baik-baik aja sama temen baru kamu ya?"
Senja tahu maksud dari kata baik-baik saja itu apa. Ia tahu sang bunda tidak mau menerima panggilan bk masuk ke ponselnya seperti yang biasa ia lakukan kemarin-kemarin.
Senja berdehem, "Nggak janji."
"Dasar Langit junior." bisik Utari.
Senja mendengus, "Padahal dari cerita Nenek sama Oma, Senja bisa narik kesimpulan kalau kalian juga sering keluar-masuk bk." gumam Senja pelan. Utari yang masih bisa mendengar hal itu hanya terkekeh pelan.
Langit yang baru selesai memasukan barang-barang mereka pun mendapati anak dan istrinya terlelap dalam posisi duduk. Langit tersenyum geli, ia mengangkat tubuh sang istri lebih dulu untuk dibawa ke dalam kamar utama.
Setelah menutup pintu kamar, Langit bergantian mengangkat tubuh Senja menuju kamar gadis itu. Lebih tepatnya, kamarnya dulu.
Senja menggeliat pelan kemudian kembali memeluk guling. Langit mengecup pucuk kepala anaknya lembut, "Papa sayang Senja."
Langit menghembuskan nafas panjang. Ia memilih membuat es teh lemon untuk menyegarkan badannya.
Ponselnya berdering. Langit mengangkat panggilan dari bundanya itu.
"Halo, Bun?"
"Waalaikumsalam."
Langit berdehem pelan, "Assalamualaikum, Bunda cantik. Kalo mau ngomong sama cucunya, dia lagi tidur. Menantu Bunda juga lagi tidur."
"Waalaikumsalam. Udah punya anak dua, masih aja salam nggak tahu kayak gimana." sindir Utami.
Langit menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal itu, "Iya-iya. Kenapa, Bun?"
"Kamu udah sampe? Tolong sampein salam Bunda ke Ibu Nita."
"Bu Nita? Sebelah rumah itu, Bun?"
"Iya, Mas. Jangan lupa lho. Bunda udah bilang ke dia kalau kamu pindah ke rumah lagi sementara."
Langit mengangguk. Sadar bahwa bundanya tidak bisa melihat responnya, ia berdehem. "Oke, Bun. Nanti sekalian sama Utari juga Senja bawa kue ke sebelah."
"Bagus. Salam buat menantu sama cucu Bunda. Bunda mau tidur dulu, si Alma brisik banget daritadi sama temen-temennya." gerutu Utami. Langit terkekeh, "Namanya juga masih muda, Bun. Yaudah, istirahat."
"Hm, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Tut..
Langit menaruh ponselnya di atas pantri dapur. Ia meneguk es buatannya. Tak lama setelah menghabisi minumannya, ia menyusul sang istri di dalam kamar. Sepertinya ia juga butuh tidur.
Senja membuka matanya perlahan. Ia menyatukan alisnya, bertanya-tanya pada diri sendiri dimana dirinya. Ia bangun dan menyender, "Ah, rumah Papa." gumam Senja.
Ia berjalan ke arah lemari, sekilas matanya melirik arlojinya. Pukul 5 sore. Sudah cukup lama ia tertidur.
Senja sedang merapihkan isi lemarinya setelah selesai sholat. Hampir satu jam ia membereskan isi lemari. Benar kata Biru, ia membawa banyak baju. Padahal ia sudah memilah-milah yang mana yang mau ia gunakan.
Senja merenggangkan lengannya. Menarik pinggangnya ke kanan dan kiri. Begitu ingin menutup pintu lemari, ia tak sengaja melihat kotak berwarna biru dongker di sudut lemari bawah.
"Punya Papa?" gumam Senja mengambil kotak itu. Terlihat disudutnya tulisan edelweiss and i.
"Edelweiss?"
Senja duduk di lantai, tak peduli walau belum disapu dan dipel. Ia terlalu penasaran. Ia membuka kotak tersebut. Membersihkannya dari debu-debu.
Kedua alisnya terangkat tinggi saat melihat sebuah buku hitam, beberapa surat yang terlipat, sebuah gelang berwarna merah muda dengan bandul matahari. Bahkan ada sebuah surat dalam botol kaca.
Oh ayolah, apa Papa yang terkenal cuek dan dingin itu ternyata cowok romantis? Pikir Senja.
Senja yakin gelang itu pasti milik bunda. Nama Utari itu kata Oma artinya matahari. Senja memilih untuk membuka surat-surat itu terlebih dahulu.
1991
Aku rasa aku sudah gila. Apa ini? Cinta? Sungguh? Perasaan seperti ini yang namanya cinta?
Utari, kau membuatku gila. Hubungan yang tak pernah kusangka bahwa aku memakai perasaanku padamu. Bukankah semuanya hanya main-main?
Lalu apa ini?
Perasaan takut kehilanganmu, perasaan marah saat kau bersama orang lain, perasaan berbunga saat kau memanggilku sayang.
Ya Tuhan, kau benar.
Aku mencintai hambaMu.
-LM
Senja mendengus, "Papa? Serius?" gumam Senja. Ia kembali membuka surat lain.
1992
Maafkan aku, Utari.
Bukan maksudku menghilang begitu saja saat semuanya terungkap. Aku memang tidak seserius itu saat menyatakan cinta padamu.
Tetapi– kau benar-benar mengambil semua cinta yang aku punya.
Aku benar-benar mencintaimu, Utari.
Jadi, mari kita mulai dari awal lagi ya, Bunga Edelweissku.
-LM
1993
Utari, aku tidak peduli kalau kita harus berpisah. Rasaku tetap untukmu.
Sial, sakit sekali rasanya.
Aku harus meminta maaf pada Ara karena melibatkannya dalam hubungan kita.
Tidak, aku harus minta maaf padamu karena tidak bisa tegas pada perasaanku sendiri.
-LM
1994
Apa harus berakhir? Ya Tuhan, maafkan aku. Aku mencintaimu, Utari. Sungguh.
Utari,
Maaf. Maaf. Maaf. Maaf.
Maaf untuk membuatmu hancur– kembali.
-LM
1995
Utari, kau serius?!
Kau tiba-tiba muncul lagi dihidupku!
Entah aku harus marah atau bahagia. Nyatanya sekarang bukan hanya bayanganmu yang ada dipikiranku, namun wujud aslimu yang kembali datang ke dalam duniaku.
Utari,
Katakan aku gila karena mengirimimu pesan lebih dulu, aku tidak peduli. Aku hanya ingin meminta maaf, namun yang ada hanya kata cinta. Maaf ya, cantik.
-LM
1996
Sabar Utari,
Semua masalah ini akan selesai. Aku janji. Aku janji, aku hanya milikmu. Dan kamu hanya milikku.
Kali ini,
Aku yang akan berjuang keras untuk mendapatkan impian kita.
Mohon bersabarlah.
Aku mencintaimu.
Selalu dan selamanya.
-LM
Senja menggeleng, "Woah Papa, aku nggak percaya ini." gumam Senja menutup mulutnya dengan satu tangan dramatis.
Baru ingin membuka buku milik Langit, suara Utari yang memanggilnya terdengar. Buru-buru Senja membereskan kotak itu dan menyimpannya kembali ke dalam lemari.
Nanti.
Nanti Senja akan membacanya lagi. Senja pastikan itu. Ia pun menutup pintu kamarnya dan turun dimana bundanya berada.

Book Comment (47)

  • avatar
    Yxztna_28

    Avv aku jadi gasabar sama kelanjutannya nihh kira² Senja bakal sama gege ato sama siapa ya tapi kalo diliat dari judulnya sih sama laksana😐udh seneng bgt waktu deket sama gege tapi aku baru sadar kalo judulnya laksana senja tapi aku suka bgt ama ceritanya semangat kk aku tunggu kelanjutan ceritanyaa😊😊

    30/12/2021

      1
  • avatar
    hariyani34Sri

    Bener bener bagus ceritanya huhu jadi pengen kayak senja yang kuat banget 🥺 lanjut part selanjutnya ya semangat author 🙏❤️

    26/12/2021

      0
  • avatar
    Zuzuki

    Yes,i liko this story this moment

    22/12

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters