logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Malam yang hangat

Senja menghembuskan nafas lelah saat memasukan baju terakhir ke dalam koper besarnya. Ia sengaja tidak membawa semua bajunya. Merepotkan. Lagipula Senja jarang keluar rumah dengan baju jalan yang berbeda-beda.
Ia menggerakan kepalanya ke kiri dan kanan. Merenggangkan otot-otot tangannya. Baru saja ia berbaring, suara Utari sudah memenuhi seisi rumah dua lantai itu.
"SENJA! BIRU! THE FOOD IS READY SWEETIE!"
"Aaarrgghh!!" erang Senja kesal. Ia enggan bangkit dari kasur empuknya. Tubuhnya sangat lelah karena berkeliling kota tadi.
Pintu kamarnya terbuka memunculkan wajah Biru dengan senyuman manisnya. Senja mendelik aneh, "Ngapa, Bang?"
"Nggak papa. Turun yuk,"
Senja terdiam. Alarm di dalam kepalanya berkata Biru sedang menyusun rencana. Senja menatap Biru penuh selidik.
Biru mendengus, ia masuk ke dalam kamar adiknya itu. Dengan wajah datar, ia meraup wajah Senja dengan tangannya.
"Nggak usah suudzon lo sama gue."
"Ya biasanya lo kan nyebelin."
Biru menarik Senja agar bangkit dari kasurnya. Ia merangkul adiknya menuju ruang makan. Senja pun memeluk pinggang Biru manja.
Utari dan Langit yang melihat keakuran kedua buah hatinya itu serasa ingin buat tasyakuran tujuh hari tujuh malam. Sangat menggemaskan.
"Ehem," Utari berdehem yang menyadarkan Langit.
Langit tersenyum ke arah dua anaknya yang sudah duduk di hadapannya. Utari menyendokan nasi ke piring Langit.
"Hari ini Papa yang masak gulai ikan. Papa tahu Biru suka itu kan?"
Biru mengangguk, "Iya. Soalnya kalau Bunda, rasanya nggak seenak buatan Papa."
Utari melotot kesal. Langit malah tersenyum bangga, mau bagaimanapun skill memasak Langit jauh di atas Utari. Ia ingat bagaimana dulu ia mengajari Utari memasak nasi dan menggoreng ayam goreng via video call karena sedang di rumah sendiri dan kelaparan tengah malam.
Senja memukul bahu Biru cukup kencang. Ia mengarahkan kepalan tangannya ke wajah Biru. Utari tersenyum haru, "Anak Bunda baik banget sih."
Senja menepuk dadanya bak pahlawan. Senja melirik Biru tajam, "Aku juga tahu kalau Papa lebih jago masak dari Bunda. Bahkan semua masakannya lebih enak ketimbang Bunda. Tapi nggak ngomong ceplos di depannya juga, gila!"
"Ehem,"
"Abang mau dipotong uang jajannya?! Masih untung Senja ingetin." kata Senja. Biru menatap Senja kesal sambil melirik Utari yang sudah menatap keduanya tajam.
"Apasih, Bang?! Udah sono minta maaf sama, Bunda! Gue tahu dari gulai ikan, pasta, puding lava sama nasi goreng aja masih menang Papa! Tapi plis dong, jang–"
"Senja." panggil Langit memotong ucapan anak bungsunya itu.
Senja menoleh, "Apa? Senja bener kok. Biru harus minta maaf sama Bunda. Masakan Papa emang lebih enak dari–" mata Senja melotot begitu sadar dengan ucapannya sejak beberapa detik yang lalu.
Senja beralih menatap Utari yang sudah menatapnya setajam silet. Wanita 42 tahun itu memegang sendok makan dengan erat.
"Ma-maksudnya Senja tuh–"
Utari bangun dari duduknya. Ia berjalan menuju kamar tanpa memerdulikan panggilan dari anak dan suaminya. Tak lupa membanting pintu kamar dengan kencang.
Senja menunduk. Begitupula dengan Biru. Langit menghela nafas, "Papa samperin Bunda dulu. Kalian makan duluan aja."
"Papa," panggil Senja.
Langit membalikan badannya, "Ya, sayang?"
"Bilang ke Bunda, Senja minta maaf. Senja nggak ada maksud apa-apa." lirih Senja. Langit tersenyum lembut, "Pasti."
Setelah Langit menyusul Utari, Senja melirik Biru. Ia mendengus sebal, semuanya karena Biru! Ia juga menepuk bibirnya berkali-kali. Bukan salah Senja sepenuhnya, Senja mewarisi sifat blak-blakan ini juga dari Utari.
"Hahh.." Senja merasa sangat bersalah pada bundanya itu. Padahal ia tahu bagaimana sang bunda mencoba untuk jadi istri dan ibu yang sempurna bagi mereka dari cerita sang ayah.
Biru mengusap kepala Senja, mulutnya masih mengunyah. Senja mendelik, "Abang sih!"
"K-hok Ab-hangh,"
"Plis deh telen dulu baru ngomong. Ewh,"
Biru menelan nasinya lalu meneguk segelas air. Ia ikut mendelik, "Kok Abang?"
"Ya Abang ngomong gitu di depan, Bunda! Hargain dong walaupun emang itu kenyataan! Segalak-galaknya Bunda kan beliau tetep wanita!"
Biru menghembuskan nafas, "Iya Abang salah memang."
Senja memotong sosis gorengnya dengan kesal lalu mencoleknya ke saus tomat kesukaannya. Senja memilih makan daripada berdebat dengan Biru. Ia masih butuh tenaga untuk memilih novel mana yang akan ia bawa ke Tangerang.
Langit masih mencoba menghibur sang istri. Entahlah, belakangan ini Utari terlalu emosional. Padahal biasanya tidak begitu. Ya ia tahu kedua anaknya bisa dibilang keterlaluan, tapi tanggapan Utari malam ini tidak seperti biasanya.
"Ney.. Udah dong. Makan yuk,"
Utari masih diam memeluk guling. Enggan membalikan tubuhnya sama sekali.
"Sayang," panggil Langit menyentuh pundak Utari. Langit pun akhirnya ikut berbaring dan memeluk Utari dari belakang.
"Utari, aku udah masak loh. Masa nggak kamu makan? Padahal aku masak kentang balado kesukaan kamu juga." kata Langit sedih.
Utari membalikan tubuhnya. Ia menatap manik mata Langit dalam, seulas senyuman muncul dari wajahnya. Langit mengusap pipi chubby Utari dengan ibu jari.
"Kita makan ya? Mereka juga nyesel kok. Mereka nggak maksud apa-apa, Ney." kata Langit pelan. Utari mengangguk, ia mengecup bibir Langit singkat.
"Aku tahu. Aku cuma kesel."
"Senja juga minta maaf. Lihat, anak aku emang pinter banget."
Utari mendengus. Ia bangun dari kasur bersama Langit. Keduanya kembali ke meja makan untuk makan malam.
Mata Langit dan Utari membulat saat melihat kedua anaknya seperti korban bencana alam di ruang keluarga.
Bagaimana tidak? Biru berselonjor di sofa panjang dengan mengusap perutnya berkali-kali. Bahkan sendawa masih keluar dari mulutnya. Sedang Senja kepalanya keluar dari batas sofa dan kakinya ke atas sandaran sofa. Seperti Biru, gadis itu tampak kekenyangan.
Utari dan Langit saling melirik satu sama lain lalu masuk ke ruang makan. Betapa terkejutnya mereka melihat meja makan yang tadinya penuh dengan menu makan malam ini, hanya tersisa beberapa lauk seperti kentang balado, ayam goreng dan sayur sop. Selebihnya habis menyisakan tulang dari ikan gulai.
Langit menganga, "Mereka.. Serius?"
"Pa, mereka nggak makan berapa hari?"
Keduanya menggeleng. Tanpa memikirkan hal itu lagi, Utari dan Langit pun makan malam. Beruntung mereka tidak menyentuh masakan kesukaan Utari. Sepertinya gulai ikan dan rendang buatan Langit sangat menggugah selera makan kedua anaknya itu.
"Bang,"
"Hm,"
Senja menoleh, "Sesekali main ya ke Tangerang. Pasti sepi deh rumah nggak ada Abang nanti." ucap Senja tenang.
Biru membalas tatapan Senja. Ia mengangguk pelan sambil tersenyum.
"Ya pastilah. Lagian nggak jauh-jauh amat Bandung-Tangerang." balas Biru.
Keduanya terdiam. Saling tenggelam dalam pikiran masing-masing. Satu hal yang pasti, mereka harus terbiasa untuk saling berjauhan. Selama ini, baik Senja ataupun Biru tidak pernah berjauhan. Walaupun kerap kali bertengkar dan berdebat, mereka tidak terpisahkan.
Bahkan ketika tour perpisahan Biru, cowok itu mengajak Senja untuk ikut serta tour ke Bali selama satu minggu penuh itu.
Senja tersenyum kecil saat mengingat bagaimana ia menangis tanpa henti dulu. Waktu itu Biru sedang sakit cacar, dan sang nenek menyuruh Senja untuk tinggal di rumahnya. Ah, kalau dipikir kembali itu hanya sekitar dua minggu Senja berjauhan dengan Biru.
Bagaimana nanti?
"Senja. Biru."
Kedua remaja itu menoleh. Utari menyengir di dalam dekapan sang suami. Senja dan Biru menghampiri kedua orangtua mereka.
"Ayo kita ke gazebo. Malam ini kita bakar-bakar jagung sambil minum cocktail." ujar Utari yang dibalas anggukan semangat kedua anaknya.
Senja memeluk pinggang Biru. Mereka menuju halaman belakang rumah. Senja memilih duduk di gazebo, sesekali memotret semuanya dengan kamera polaroidnya.
Senja tersenyum kecil melihat keromantisan kedua orangtuanya. Sesekali tertawa pelan melihat Biru yang kesal karena menjadi nyamuk diantara keduanya.
Biru memanggil Senja. Mau tak mau gadis itu menghampiri sang kakak. Biru menyodorkan kipas, "Nih kipasin. Abang mau ambil minuman dulu."
Senja mengangguk.
"Pa, dagingnya pakein keju juga ya." pinta Senja pada Langit yang sedang memanggang daging. Langit mendengus, "Nggak anak nggak emak, sama aja."
"Fine-fine!" pasrah Langit begitu melihat ekspresi permusuhan Utari dan Senja padanya.
Utari mengangkat daging yang sudah matang sempurna. Malah sesekali memakan daging itu yang membuat Senja merengek ingin juga.
"Nggak, nanti bareng-bareng, Dek. Bentar lagi kok nih tinggal tiga." tolak Utari santai.
Senja mencebikan bibirnya sebal, "Padahal Bunda daritadi makanin." gumam Senja sambil mengipas jagung bakarnya sekuat tenaga untuk melampiaskan emosinya.
Biru yang baru datang membawa nampan berisikan minuman dingin itu menghampiri Senja. Alisnya bertautan heran, "Ngapa lo?"
"Emak lo noh. Pelit." balas Senja sengaja mengeraskan suaranya agar didengar oleh Utari.
"Biarin. Suka-suka Bunda lah."
"Hih, awas aja kolestrol kebanyakan daging. Lemak semua!"
"Yang penting ideal."
Senja mendecih, "Padahal badan kek gabon."
"APA?!"
Biru dan Langit terkejut mendengar pekikan Utari. Buru-buru Biru membawa Senja duduk di gazebo.
"Nyari perkara lo emang sama Bunda." kata Biru kemudian melanjutkan membakar jagung.
Senja meledek Utari dari arah gazebo. Gadis itu menjulingkan matanya sambil menarik kedua telinganya. Tak lupa mencibirkan bibirnya.
Utari mendelik, anak siapa sih?! Langit nggak seekspresif itu perasaan.
Langit menyenggol Utari yang membuat wanita itu mengangkat alisnya sebelah seakan bertanya 'apa?'
"Seinget aku, pas kita pacaran aku maunya anak cewek kita mirip aku deh yang kalem. Kok bisa-bisanya dua-duanya petakilan mirip kamu?" bisik Langit.
Utari memukul pundak Langit kencang. Ringisan pelan terdengar dari bibir Langit. Sial, tenaga istrinya bukan hanya fantastis di atas ranjang. Namun juga di situasi lainnya.
"Cepetan! Aku laper!"
Langit mendengus, "Ini udah. Yang ada kejunya itu punya kamu sama Senja." balas Langit.
...............
Senja tertawa mendengar lelucon dari Biru. Jangan tanya bagaimana reaksi Utari, wanita itu sudah terpingkal. Bahkan Langit harus menahan nafas pasrah saat istrinya memukul pahanya berkali-kali.
"Bun, Bunda inget si Mikael?"
Utari tampak berfikir lalu mengangguk. Ia menatap anak bungsunya penasaran, "Kenapa dia, Dek?"
Senja melirik Biru yang sudah melotot. Senja memajukan wajahnya, membisiki sesuatu di telinga sang bunda.
"Mikael suka sama Abang."
"APA?! SUKA?!"
senja tergelak. Utari menatap Biru horor. Ia mengecek seluruh wajah Biru, bahkan sampai ke gigi-gigi cowok itu. Langit mengernyit heran, "Apasih, Dek?"
"Abang disukain sama Mikael."
Langit membelalak kaget, "Astaga! Jeruk makan jeruk!" seru Langit menunjuk Biru tepat di depan wajahnya.
Biru menyingkirkan jari sang ayah. Ia mendelik ke arah Senja. Tak lama menghembuskan nafas panjang. Ia harus menjelaskan ini, apalagi sang bunda sudah seperti hulk yang siap menghancurkan apa saja yang ada di depannya.
"Iya, Mikael confess perasaannya ke Abang waktu itu. Pas liburan perpisahan kemarin, Bun, Pa. Adek tahu karena nggak sengaja denger." kata Biru. Ia melirik Senja remeh, "Kayaknya sih sengaja." sambung Biru.
Senja memukul lengan Biru kencang, "Enak aja! Adek nggak sengaja denger! Lagian Mikael mau confess di balkon utama. Orang mah di taman belakang kek yang sepi." elak Senja.
Biru meringis pelan mengusap lengannya yang terasa perih dan panas akibat pukulan Senja itu.
Utari berdecak, "Terus,"
"Ya Abang tolak. Bunda emang mau anaknya belok?!"
Utari meringis pelan. Membayangkan hal itu membuat Utari bergidik ngeri, bisa-bisa gue dicincang Bunda sama Mama kalau tahu cucunya belok.
Utari menggelengkan kepalanya cepat. Langit sudah tebak istrinya itu sedang memikirkan hal yang tidak-tidak.
Langit berdehem, "Kamu nggak nyoba godain kan? Maksud Papa penampilan kamu cool kan?" tanya Langit ragu.
Senja terbahak. Hal itu membuat ketiganya menatap Senja bingung. Apa yang ditertawakan oleh gadis ini?
Senja berdehem. Ia mengibaskan tangannya cepat, "Abang ini tuh incaran semua kalangan, Pa! Semua cewek bakalan suka sama dia. See? Buktinya cowok aja ada yang kepincut." kata Senja. "Kalau di novel-novel yang Adek baca, Abang ini tipe tokoh utama protagonis. Ganteng, ramah, baik hati, penolong, friendly. Siapa yang nggak suka sama dia coba? Ya paling orang yang iri sama Abang." sambung Senja merangkul Biru.
Biru berusaha melepaskan rangkulan Senja yang erat pada lehernya. Setelah berhasil, ia menghirup oksigen banyak-banyak karena sempat gelagapan kekurangan oksigen akibat rangkulan adiknya pada lehernya.
"Ckckckck, kasihan sekali anak sulung Bunda." ujar Utari menatap Biru prihatin.
Langit menggeleng pelan, "Pantes juga kamu jadi playboy. Banyak yang suka ternyata."
Utari mendengus.
"Gimana nggak player. Bapaknya juga begitu pas masih muda." sinis Utari. Biru menyengir lebar, "Kan. Nggak salah aku berarti."
"Kok aku?"
Utari mendelik, "Kok aku?" ulang Utari dengan nyeleneh. Matanya menatap Langit tajam, ia menunjuk suaminya dengan jagung yang masih tersisa sedikit.
"Terus kamu pikir siapa itu Ara, Nada, Isa, Ami–"
Langit membekap mulut istrinya. Ia menatap istrinya tak percaya. Serius, dia masih ingat semua wanita yang pernah ia kencani?! Bahkan sekedar gebetan aja Utari masih hafal?!
Senja dan Biru menatap Langit prihatin. Kedua anaknya menggelengkan kepalanya.
"Ckckckck dasar brengsek." kata Senja dan Biru berbarengan.
Langit melotot, "Apa?!"
Utari melepaskan tangan Langit dari mulutnya. Ia melirik Langit sinis, "Memang brengsek. Sayangnya aku cinta. Saking cintanya, aku nggak bisa nerima oranglain untuk hidup bersama."
Langit berdehem. Sedang Senja dan Biru sudah berpura-pura muntah. Kedua orangtua mereka memang pasangan yang unik.
Setelah berbincang dan bersantai, semuanya kembali ke kamar masing-masing. Berbeda dengan Langit dan Utari yang melakukan ritual malam mereka, Senja dan Biru memilih tidur karena sudah mengantuk.
Langit ikut berbaring di sebelah Utari setelah permainan beberapa ronde mereka. Ia menatap Utari yang memejamkan matanya dengan nafas yang masih terengah-engah.
Senyuman lembut muncul dibibirnya. Ia memeluk Utari yang membuat wanita itu membuka matanya. Terasa deru nafas hangat Langit di lehernya.
Langit mengecup lehernya sekali, "Terimakasih, Utari. Terimakasih untuk segalanya."
Utari ikut tersenyum manis. Ia memiringkan tubuhnya, memeluk tubuh Langit. Mengusap kepala pria itu, memberikan rasa nyaman dan tenang pada Langit.
"Aku cinta kamu, Mas. Terimakasih udah berusaha sebaik mungkin buat aku dan anak-anak." lirih Utari. Utari dapat merasakan pelukan Langit yang semakin erat.
"Begitupun aku, Ney. Aku cinta kamu. Cuma kamu yang aku mau di dunia ini." balas Langit pelan. Langit mengangkat wajahnya lalu mencium bibir Utari lembut.
Langit tersenyum disela-sela ciuman mereka. Tanpa Utari sadari, Langit sudah berada di atas tubuhnya kembali. Langit melepaskan ciuman mereka. Tangannya mengusap pipi Utari lembut, "Please?"
Utari terkekeh. Pipinya merona, tak ayal mengangguk. Langit tersenyum lebar. Malam itu, Langit dan Utari menghabiskan waktu dengan erangan demi erangan.
Berbeda dengan Senja yang bermimpi dikejar puluhan troll akibat membaca novel fantasi beberapa hari belakangan ini.

Book Comment (47)

  • avatar
    Yxztna_28

    Avv aku jadi gasabar sama kelanjutannya nihh kira² Senja bakal sama gege ato sama siapa ya tapi kalo diliat dari judulnya sih sama laksana😐udh seneng bgt waktu deket sama gege tapi aku baru sadar kalo judulnya laksana senja tapi aku suka bgt ama ceritanya semangat kk aku tunggu kelanjutan ceritanyaa😊😊

    30/12/2021

      1
  • avatar
    hariyani34Sri

    Bener bener bagus ceritanya huhu jadi pengen kayak senja yang kuat banget 🥺 lanjut part selanjutnya ya semangat author 🙏❤️

    26/12/2021

      0
  • avatar
    Zuzuki

    Yes,i liko this story this moment

    22/12

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters