logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

6.Pathner Kerja

"Sialan! bikin kaget orang saja, kebiasaanmu yang satu ini bisa nggak kamu buang! suka bener bikin jantungan ini orang Nisya, bukan kambing!" cerocosnya.
Aku hanya menghendikan bahu acuh mendengar gerutunya itu, dan memilih langsung duduk tepat dihadapannya yang tengah sibuk menatap layar laptop di depannya. "Gimana masalah yang kemarin?" tanyaku akhirnya.
"Telat, sok sibuk banget kamu sekarang hampir saja mau aku ambil alih ini kantor, balik sini napa Nis, pusing aku lama-lama ngurusin kantor ini sendirian."
"Jangan lupa kalau ini juga kantor kamu, tapi ambil saja sih kalau kamu sudah nggak butuh bantuanku lagi, senang-senang aja sih aku."
Dia mendengkus sebal mendengar penuturanku, Yasa Adiasta teman sekaligus partnerku mendirikan kantor ini. Dan juga satu-satunya arsitek terbaik selain aku tentunya. Dia cukup bisa aku andalkan untuk mengambil alih kantor ini, kecuali ketika dia merasa kesulitan baru akan meminta bantuanku.
"Ngapain kesini?" sewotnya.
"Dih kepo, kek Dora. Eh lupa kalian kan saudaraan yak," candaku yang sukses bikin dia mengumpat untuk kesekian kalinya.
Aku lantas pergi meninggalkan Yasa menuju ruanganku dengan umpatannya yang masih bisa kudengar, aku pastikan sebentar lagi dia akan menyusulku ke sini.
"Gimana kabar?"
"Nggak usah sok basa-basi, apa yang mau kami katakan?" kebiasaan Yasa jika dia langsung mengikutiku ke ruangan artinya dia sedang ada yang mau dibahas denganku.
Kulihat dia menghela napas panjang sebelum memulai kalimatnya, "Tebakanmu selalu benar," lanjutnya
"Apa?"
"Sebenarnya aku nggak enak mau ngomongnya, begini Nis, abangku sepertinya ingin sekali masuk ke sini, keluarga juga sudah meminta dan memohon sama aku supaya dia bisa kerja di sini, bagaimana menurutmu?"
"Kamu lebih tau apa yang terbaik Sa, apalagi ini abang kamu sendiri, pasti kamu tau kan kemampuan apa yang dimiliki sama dia?"
"Masalahnya itu Nis, satu-satunya kemampuan yang dia miliki itu adalah menyusahkan keluarga, kamu juga tau sendiri gimana dia selama ini."
"Terus kenapa kamu tanya sama aku? Pastinya kamu juga sudah tau apa yang semestinya kamu lakuin, kan?"
"Aku bingung, Nis. Nggak enak juga di tambah keluarga selalu memohon untuk aku bisa bawa dia kerja di sini, untung mereka tidak tahu jika aku sebenarnya punya bagian di kantor ini, jika sampai mereka tahu kamu pasti bisa menebaknya Nis, akan seperti apa akhirnya."
"Selama ini kamu sudah terlalu baik sama keluargamu Sa, sekali-kali bersikaplah tegas supaya nggak terus-menerus mereka semena-mena sama kamu. Baik boleh tapi kalau kebaikanmu disalah artikan apalagi sampai merugikan diri kamu sendiri, menurutku sih bodoh di kamunya."
"Kalau saja semudah apa yang kamu katakan, Nisya!"
"Mudah saja jika kamu mau, karena selama ini aku lihatnya kamu pasrah saja menghadapi keluarga yang sudah tidak sehat itu, lawan Sa, jika memang itu perlu dilakukan. Jangan lemah apalagi takut sama ancaman-ancaman yang diberikan mereka selama ini, bego banget kalau kamu tetap diam. Sudah cukup mereka selama ini bersikap tidak adil terhadapmu."
"Ck, tambah pusing aku denger omelan kamu itu."
"Tapi nggak apa-apa kasih aja dia kerjaan yang sekira tidak terlalu mencolok di sini, biar kalau ada masalah yang dibuatnya kita tidak terlalu repot mengurusinya."
"Oke deh, nanti aku cari bagian yang kiranya cocok untuknya. Thanks Nis, seperti biasa kamu selalu bisa diandalkan."
Sudah hampir satu jam aku disini, sekarang saatnya aku untuk mengunjunginya, sebelum itu aku akan membeli bunga dulu untuk aku bawa ke sana.
Setelah berpamitan dengan Yasa, aku segera keluar dari gedung ini, beberapa karyawan yang mengenalku menyapa dengan sopan dan kubalas juga dengan anggukan. Dengan mengendarai roda duaku aku melaju membelah jalanan yang masih senggang namun belum berapa lama aku berkendara, tiba-tiba ada sebuah mobil yang memotong jalanku dan berhenti tepat di depanku, sehingga aku langsung berhenti dan sedikit kesal melihat aksinya.
Saat pengemudi mobil itu turun, rasa kesalku berubah menjadi gugup dan takut, seperti sedang tertangkap basah melakukan kesalahan.
Mas Ryan dialah orangnya, kenapa aku tidak mengenali mobilnya?
"Mas!" sapaku sambil mencium punggung tangannya.
"Ngapain?"
"Ada urusan dekat sini tadi."
"Sini'in kunci motornya," pinta Mas Ryan mengulurkan tangan kepadaku.
Aku langsung menyerahkannya pada Mas Ryan, "Untuk apa?"
"Kasih helm, sama suratnya juga," tambahnya lagi.
"Ck, mas mau ngapain, sih?"
"Ayo!"
Mas Ryan malah menggandengku menuju mobilnya dan menyuruh temannya untuk membawa motorku ke kantor, "Mas, nggak enak tau ngerepotin temennya mas," ucapku setelah kami berada di dalam mobil.
"Mas Ryan! Malah diam saja, ish," rajukku sambil melipat tangan di depan dada.
"Nggak usah ngambek," ucapnya.
"Mas nggak tega Nis, lihat kamu panas-panasan kayak tadi, oke selama ini mas nggak pernah melihatnya secara langsung tapi tadi, sumpah demi apapun mas ngerasa jadi suami nggak berguna banget."
"Nisya sudah terbiasa, Mas."
"Tapi mas yang nggak biasa lihat kamu seperti itu!" tegas Mas Ryan dengan suara yang sedikit meninggi.
Aku hanya bisa menunduk, merasa kesal sekaligus marah sama tindakan Mas Ryan yang tiba-tiba itu, rencana yang sudah aku susun jauh hari akhirnya batal lagi. Bisa dipastikan aku tidak bisa mengunjunginya entah sampai kapan.
Pandanganku seketika menjadi buram hanya butuh satu kali kedip kristal bening itu jatuh dari kedua bola mataku, lagi, aku tidak bisa melepas rindu dengannya.
Aku mengarahkan pandanganku ke samping jendela, dan mengusap kedua mataku yang sudah berembun. Sampai kurasakan remasan lembut di jemariku dan selanjutnya diangkatnya tanganku untuk di kecup oleh Mas Ryan.
"Maaf, mas nggak bermaksud bentak kamu tadi," sesalnya.
Malah aku yang di buatnya bingung sekarang, jadi Mas Ryan pikir aku sedih gara-gara ucapannya tadi? Kalau gini sih, jadi aku yang merasa bersalah kan? Sama dia.
"Ikut ke kantor mas sebentar ya, baru setelah itu kita pulang."
"Memang nggak menganggu kalau Nisya ikut?"
"Sudah pernah mas bilang kan, kalau kamu nggak pernah menganggu apapun pekerjaan mas."
"Terus motor Nisya?"
"Nanti biar mas minta tolong sama orang kantor untuk bawa ke rumah."
"Apa nggak ngerepotin?"
"Nggak apa-apa," ucapnya sambil mengelus pelan pipiku dan selanjutnya kembali fokus sama kemudinya.
Di sini lah aku sekarang, di dalam ruangan kerja Mas Ryan sambil menunggunya menyelesaikan pekerjaannya, entah kenapa aku sangat suka saat melihat Mas Ryan sedang bekerja, seperti saat ini. Ketika dia tengah konsentrasi menatap layar laptop dengan memakai kacamata yang membingkai wajahnya, terlihat sangat ..., tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata.
"Kenapa? Butuh sesuatu?" tanyanya mungkin dia sadar kalau sedang aku perhatikan.
"Nggak, mas lanjutkan saja kerjanya."
"Bilang sama mas, kalau butuh sesuatu," pintanya yang kubalas dengan anggukan kepala.
Aku akui Mas Ryan memang tampan, ditambah sama sifatnya yang kelewat baik itu, banyak juga yang suka sama dia, meski diantara mereka ada juga yang hanya memanfaatkan kebaikan Mas Ryan. Tidak sedikit dari temannya yang juga memanfaatkan kebaikannya.
Aku bahkan pernah sampai turun tangan untuk menghadapi temannya itu, sudah ditolong bukanya berterima kasih malah semakin ngelunjak. Akhirnya aku tegur soalnya jika menunggu Mas Ryan sudah dipastikan tidak akan pernah mau menegurnya dengan alasan tidak enak hati.

Book Comment (60)

  • avatar
    RafaaditiaRafaaditia

    pitar

    17d

      0
  • avatar
    KukusBralife

    bagus

    20d

      0
  • avatar
    Syifa SA

    good

    07/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters