logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

11. Keinginan Yang Terwujud

"Masih belum selesai?" tanya Mas Ryan, tiba-tiba memelukku dari belakang.
Aksinya ini membuatku mematung untuk beberapa saat saking terkejutnya, pertama kalinya dalam pernikahan Mas Ryan berani melakukan skinship denganku selain aktivitas ranjang tentunya. Karena sebelum ini jangankan pelukan, gandengan tangan saja tidak pernah dilakukannya.
"Tinggal sedikit lagi," balasku kikuk dan masih kurasakan debaran jantungku yang dua kali lebih cepat dari biasanya.
Aku sedang berkutat di dapur saat Mas Ryan menghampiri, berikut perlakuannya yang masih begitu asing buatku.
"Biar mas yang lanjutin, kamu siap-siap sudah mas siapin airnya," Mas Ryan lantas mengambil alih pekerjaanku yang tengah membuat omlet untuk menu sarapan pagi ini.
Sejak perdebatan kami tadi malam, Mas Ryan tidak lagi berdiam diri seperti sebelumnya, dia menunggu sampai aku selesai mandi dan setelahnya dia memintaku untuk menyelesaikan masalah yang kami alami saat itu juga.
"Baik, jika kamu merasa terganggu dengan kembalinya Sarah, mulai saat ini mas janji akan mencoba untuk tegas terhadapnya. Jika kamu berpikir mas masih ada perasaan sama dia, buang jauh-jauh pikiranmu itu, karena sekarang hanya ada kamu di sini." Sambil mengarahkan tangannya di dada.
Malam itu juga permasalahan yang kami alami kuanggap clear, bisa kulihat kesungguhannya seperti tidak ada kebohongan yang ditunjukkan oleh Mas Ryan. Akupun memilih untuk memaafkan dan kami sepakat untuk berbaikkan.
"Al, belum turun, Mas?" tanyaku yang tidak melihat keberadaan Alshad di meja makan.
"Sudah, mas suruh dia ambil tas di kamar, paling sebentar lagi juga turun."
Benar saja, anak itu sudah terlihat sedang menuruni tangga dengan tas karakter yang melekat di punggung kecilnya. Entah kenapa setiap melihatnya rasa sayangku pada anak itu justru semakin besar. Setelah melakukan ritual terakhir sebelum sama-sama berangkat kami lebih dulu mengantarkan Alshad ke sekolahnya.
"Al, yang pintar ya kalau di sekolah," pesanku.
Alshad langsung bersiap turun dari mobil ketika salah satu guru datang menjemputnya dan membukakan pintu untuknya.
"Selamat pagi kakak Al, ayo pamit sama ayah bundanya dulu sebelum masuk," sambut salah satu guru yang bertugas menyambut anak-anak.
Anak itu lantas menghampiriku dan Mas Ryan, "Nanti bunda yang jemput Al lagi kan?" tanyanya seraya mengulurkan tangannya untuk salim.
"Iya dong, memang Al mau dijemput sama siapa?"
"Sama bunda lah, Al senang kalau diantar jemputnya sama bunda terus."
"Oiya? Jadi selama ini Al nggak suka kalau dijemput nenek?" tanyaku sengaja menggoda Alshad.
"Suka juga, tapi lebih suka lagi kalau bunda yang jemput, seperti teman-teman Al yang lainya di jemput sama bundanya."
Ucapan terakhir Alshad seakan menamparku pada kenyataan, jadi ini yang Alshad inginkan dariku, bisa mengantar jemputnya setiap hari? Yang belakangan ini sengaja aku abaikan karena masalahku dengan kedua orang tuanya.
Berdosa sekali aku kepada anak kecil ini yang bahkan tidak tau menau dengan masalah yang menimpa kami para orang tua, namun berimbas kepadanya.
"Maaf ya, kemarin bunda terlalu sibuk jadi nggak sempat antar jemput Al, tapi sekarang bunda akan usahakan biar bisa antar jemput Alshad setiap hari."
"Yang benar bun!" serunya bersemangat.

Kubalas dengan anggukan dan pelukanbsingkat. "Pamit sama ayah dulu, Al," titahku yang langsung di turuti olehnya.

"Ayah, Al sekolah dulu ya, nanti jangan lupa bawa bunda untuk jemput, tadi bunda sudah janji," pesan Al pada ayahnya.

Mas Ryan hanya mengangguk dan mengelus puncak kepala Alshad, kami pun segera melanjutkan perjalanan kembali untuk menuju ke sekolah tempatku mengajar. Mas Ryan, seolah tidak mau kehilangan kesempatan untuk tidak melakukan skinship denganku, karena sesaat setelah Alshad turun dari mobil, tangan kirinya dengan sigap meraih jemariku untuk digenggamnya.


Perlakuan Mas Ryan yang seperti ini tidak juga membuatku tenang, karena entah kenapa setiap Mas Ryan melakukan kontak fisik denganku, aku masih saja merasakan gugup dan sedikit canggung.

"Nisya masuk dulu ya, Mas," pamit ku setelah Mas Ryan membukakan pintu mobil untukku.

"Iya, kalau ada apa-apa segera hubungi mas kapanpun itu," pesanya seraya menarik tubuhku kedalam pelukannya, tak lupa kecupan hangat di keningku sebagai salam perpisahan kami.

Aku bergegas masuk setelah kupastikan mobil Mas Ryan hilang dari pandanganku, "Yang jomblo mah bisa apa melihat keuwuan Ibu Guru satu ini," celetuk seseorang membuatku langsung menoleh kearahnya.

"Wira!" kagetku, "berangkat sama siapa? Tumben pagi sudah datang." Aku berharap dia berangkat sendiri, bukan sama Sena. Karena jika iya bisa dipastikan dia tidak akan berhenti buat cengin aku lagi seharian ini.


"Emang ibu nggak tau apa pura-pura nggak tau? Jika dari tadi kita sudah melihat keuwuan ibu," Wira lantas memberi isyarat kepadaku untuk menoleh kearah belakang, di sana Sena sudah berdiri sambil tersenyum jahil kearahku. Dan dia tidak sendirian karena ada Mas Biru juga yang berdiri di sampingnya.

Ya Tuhan! mau di taruh di mana mukaku ini, kenapa bisa-bisanya aku tidak menyadari kedatangan mereka? Aku merasakan hawa panas menerpa wajahku, bisa kupastikan jika saat ini seluruh permukaan wajahku sudah merah padam karena menahan malu.

"Ibu, kenapa muka ibu jadi merah begitu?" tanya Wira yang bisa kuartikan jika dia juga sedang ikut menggodaku, dasar murid satu ini! benar yang dikatakan Sena, jika dia memang sengeselin ini anaknya.

Tidak aku hiraukan pertanyaan Wira, berbalik aku segera masuk ruangan guru guna mendinginkan kembali wajahku yang masih kurasakn panas yang menjalar di kedua pipiku.

"Nisya! kamu harus tanggung jawab," celetuk Sena sembari duduk tepat di depan mejaku.

"Apa?" tanyaku sambil mengerutkan dahi, karena nggak tau apa maksud dari perkataannya.

"Bisa-bisanya kamu sudah bikin aku baper sepagi ini, untung saja tadi Mas Biru lihat jadi aku bisa memintanya melakukan hal yang sama seperti keuwuan kalian pagi ini."


"Terus, apa Mas Birumu mau?"

"Nggak usah tanya kalau sudah tau jawabannya," ucapnya cemberut.


"Jadi, bapermu itu karena melihatku, atau karena Mas Birumu yang tidak mau melakukan apa yang Mas Ryan lakukan terhadapku pagi tadi?" ujarku menggodanya.

"Nisya, kenapa jadi kamu yang menggolokku? Harusnya aku yang melakukan itu padamu tahu!"

Aku hanya menghendikan bahu acuh, "Pergi sana, bukanya kamu ada kelas pertama?"


"15 menit lagi, jadi masih ada sedikit waktu untuk mendengar penjelasanmu, kenapa bisa sedrastis ini perkembangan kalian?"

"Nggak ada yang perlu kukasih tahu sama kamu, ini rahasia negara."

"Sejak kapan kamu main rahasia-rahasiaan sama aku? Pokoknya aku gak bakalan pergi dari sini sebelum kamu bilang, kenapa Mas Ryanmu itu jadi seromantis ini, barangkali aku bisa praktekin juga sama Mas Biruku."

"Tanya sendiri sama orangnya."


"Baik, aku telepon sekarang juga," ucap Sena sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.


Ini tidak bisa kubiarkan, karena Sena akan sungguh-sungguh dengan ucapanya, "Stop! Oke kukasih tahu tapi nanti, pass istirahat," putusku sambil menghentikan aksinya.


"Deal, aku tunggu! karena jika kamu tidak menepatinya kamu tau sendiri jika aku tidak pernah main-main sama ucapanku," ancam Sena terhadapku.


Tanpa diingatkan pun aku sudah tau jika Sena akan benar-benar nekat menghubungi Mas Ryan langsung, dia memang seperti itu, tidak pernah main-main sama apa yang sudah keluar dati mulutnya.

Book Comment (60)

  • avatar
    RafaaditiaRafaaditia

    pitar

    17d

      0
  • avatar
    KukusBralife

    bagus

    20d

      0
  • avatar
    Syifa SA

    good

    07/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters