logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

10. Amarah Menguasaiku

"Aku lihat sejak turun dari mobil Mas Biru, kamu tidak berhenti buat nggak unjuk gigi Sen, ada apa rupanya?"
Dan sosok yang kutanya masih bertahan dengan senyuman yang asli membuatku ingin sekali menampol wajah ngeselinnya.
"Arsena Nadhira! lo kesambet, hah?!" tanyaku yang mulai kesal.
"Sabar Nis, aku bingung mau cerita dari mananya."
"Nggak usah cerita, lagian pede banget aku mau dengar ceritamu yang nggak mutu itu!"
"Dasar ibu-ibu ambekan, oke aku cerita dengerin baik-baik, aku ... habis dilamar Mas Biru dong," ucapnya dengan percaya diri sambil mengangkat tangannya untuk memperlihatkan kalau sudah ada cincin yang melingkar di jari manisnya.
"Udah basi, lamarannya sudah dari kapan ceritanya baru sekarang, kamu masih waras kan, Sen?"
"Ish, beda Nisya, ini tuh Mas Biru ngelamarnya pakek acara ala-ala yang romantis gitu tahu." Girangnya.
"Jadi, Mas Biru melamar kamu lagi begitu?" Dia mengangguk semangat dengan senyuman yang selebar lapangan basket. Namun tidak akan bertahan lama setelah mendengar ucapan yang aku lontarkan kepadanya.
"Atas permintaan kamu kan, Sen? Jadi, bisa kuartikan jika Mas Biru melamarmu kembali hanya karena terpaksa menuruti kemauanmu yang tidak ada habisnya itu!"
Benar saja senyum yang sedari tadi terpasang di wajah ayunya hilang seketika, berganti dengan raut tidak menyangka jika aku sanggup mematahkan senyum di bibirnya. Aku cukup terhibur melihat Sena pagi ini, mudah banget bikin moodnya turun drastis.
"Nisya!" teriaknya, "Kamu! Kenapa suka banget mengganggu kesenanganku, ish!" rajuknya.
"Itu kenyataan Arsena Nadhira, kalau bukan kamu yang maksa aku yakin, Mas Birumu itu nggak bakalan mau ngelakuin hal konyol seperti itu."
"Bilang saja sih, kamu sebenarnya iri sama aku, soalnya, Mas Ryan nggak ada romantis-romantisnya sama kamu."
"Emang Mas Biru selama ini romantis, Sen? Yakin?" tanyaku.
Aku tau seperti apa Mas Biru, dia itu orangnya ... supel sih, tapi kalau romantis itu bukan dia banget, kecuali kalau ada yang paksa dia buat jadi romantis seperti yang telah dilakukan oleh Sena.
"Ngomong sama kamu sama saja merusak kebahagiaanku tahu, dasar teman nggak ada akhlak bukannya ikut seneng sahabatnya dilamar ini malah julid."
Sena lantas pergi dari hadapanku diikuti gerutuanya yang masih bisa kudengar, senang banget rasanya bisa gangguin dia sepagi ini. Akupun segera pergi ke kelas untuk memulai mengajar, hari ini jadwalku full sampai sore jadi, mungkin juga aku tidak sempat buat jemput Alshad di rumah mama nantinya.
Ada sesuatu yang aku lupakan seharian ini, sejak tiba di sekolah pagi tadi aku sama sekali belum membuka ponsel. Segera kucari keberadaan benda persegi itu untuk kasih kabar kepada ibunya Mas Ryan kalau aku tidak bisa menjemput Alshad sore nanti.
Namun niat itu harus aku tunda dulu karena panggilan Mas Ryan lebih dulu masuk, dengan malas aku menggeser icon warna hijau dan panggilannya langsung terhubung denganku.
"Iya Mas?"
"Akhirnya kamu angkat juga, dari tadi mas hubungi kenapa nggak dijawab?"
"Aku sibuk."
"Pulang jam berapa? Nanti mas jemput."
"Nggak usah, aku bawa motor sendiri."
"Nggak repot kok nanti mas jemput ya, kamu sudah makan?"
"Sudah."
"Ya sudah mas tutup ya, mas usahakan sudah datang sebelum kamu selesai."
Sebelum mengakhiri panggilannya sempat kudengar helaan napas berat dari Mas Ryan di seberang sana, mungkin karena aku tidak seramah dulu sekarang. Jujur aku merasa kasihan sama Mas Ryan, tetapi juga muak dengan kelemahannya dalam menghadapi Mbak Sarah, dia sudah seperti tidak ada harga dirinya sama sekali sebagai laki-laki.
Sementara selama ini aku selalu memperlakukannya dengan baik dan santun, bagaimanapun juga dia suamiku, meski tidak ada cinta diantara kami aku masih bisa menghormati dan memperlakukannya dengan sebaik yang kubisa.
Sekarang aku jadi sedikit cuek terhadapnya, mungkin Mas Ryan merasa aku berubah, karena memang kenyataannya seperti itu, aku tidak bisa bersikap sebaik dulu terhadapnya setelah tau bagaimana dia bersikap kepada mantan istrinya yang terlalu menurut.
Sampai waktu mengajar selesai kulihat mobil Mas Ryan sudah ada di depan gerbang sekolah, ternyata Mas Ryan benar-benar menepati ucapannya untuk datang sebelum aku selesai.
Aku lantas menyambutnya seperti biasa, disusul Mas Ryan dengan sigap membukakan pintu penumpang untukku, kami masih sama-sama diam sebelum Mas Ryan membuka obrolan disela-sela kegiatan mengemudinya.
"Kita jemput Alshad dulu, ya?"
Aku hanya mengangguk membalas ucapannya, karena merasa suntuk aku lantas meraih ponsel dan memainkannya, yang sebelum ini belum pernah sekalipun aku lakukan jika sedang bersamanya.
Terdengar beberapa kali Mas Ryan menghela napas, tapi aku bodo amat dan pura-pura tidak dengar. Mungkin mau menegurku tapi tidak berani dia lakukan, karena kondisi kami yang sedikit renggang belakangan ini.
Setelah sampai rumah mama, aku segera turun sebelum dia membukakan pintu untukku, Alshad, anak itu sudah menunggu kedatangan kami di depan pintu bersama neneknya.
"Nisya, yang sabar ya." kata mama saat aku akan pamit membawa Alshad pulang.
Mungkin beliau merasa jika hubunganku dengan anaknya sedang tidak baik-baik saja setelah kembalinya mantan istri Mas Ryan.
"Mama nggak usah khawatir, semua akan baik-baik saja kok, doakan saja yang terbaik ya, Ma." pintaku pada beliau.
Bagaimana mungkin aku bisa melukai hati seorang ibu, yang begitu lutus menyayangiku selama menjadi istrinya Mas Ryan, tidak pernah sekalipun beliau jahat kepadaku, aku cukup beruntung memilikinya karena di luaran sana masih banyak menantu yang tidak bisa akur terhadap mertuanya. Sementara aku selalu diperlakukan seperti anak kandungnya sendiri, tidak pernah beliau membedakanku dengan Diandra Ahmad Salim, adik perempuannya Mas Ryan.
"Bunda, Al mau dipangku, boleh?" pinta Alshad saat kami sudah berada di dalam mobil.
"Tumben Al, tapi nggak papa, sini!" ucapku yang akan membantunya pindah ke depan bersamaku namun langsung di cegah oleh Mas Ryan.
"Nggak bisa Al, Bunda capek kamu duduk di belakang saja," putus Mas Ryan dengan ekspresi dingin yang selama ini tidak pernah ditunjukkan olehnya.
"Kalau begitu tolong minggir dulu Mas, biar aku yang pindah ke belakang," pintaku tapi tidak dihiraukan oleh Mas Ryan.
Dia malah semakin mempercepat laju kendaraannya, karena tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku pun diam dan sedikit memberi pengertian kepada Alshad biar nanti di rumah saja bisa bermain denganku sepuasnya.
Mas Ryan masih tidak mengeluarkan suaranya sama sekali dan tetap fokus ke depan. Sampai di rumah barulah dia mengeluarkan suaranya ketika kami sama-sama berada di dalam kamar.
"Mas capek Nis," ucapnya.
"Istirahat," balasku cepat sambil bersiap untuk mandi.
"Mau sampai kapan kita seperti ini terus?"
"Seperti ini gimana maksud, Mas?"
"Bisa nggak kamu kembali seperti dulu lagi?"
"Yang seperti apa?"
"Jadi Nisya yang baik, kalem, tidak seperti sekarang kamu berubah Nisya, dan mas nggak suka dengan perubahanmu ini."
"Jadi menurut Mas, aku sekarang tidak baik, dan kasar, begitu?" tudingku dengan nada tidak terima atas tuduhannya.
"Bukan begitu maksut mas ...."
"Aku mengerti, lalu kenapa Mas merasa tidak terima? Bukanya Mas sudah terbiasa dengan sikap seperti ini dari dulu? Kenapa baru sekarang Mas merasa keberatan atas sikapku yang berubah. Lalu dulu ketika Mbak Sarah bersikap seperti ini apa Mas juga berani menegurbdan meminta dia untuk berubah? Tidak kan! Mas tidak seberani itu untuk memintanya berubah, itu yang dapat aku simpulkan melihat Mas yang bahkan sampai saat ini masih bisa mengalah dan menuruti setiap kamauannya."
"Nisya, mas cuma ...."
"Cuma apa? Nggak berani sama Mbak Sarah, makanya sampai sekarang dia masih semena-mena sama Mas. Tapi jika itu aku kenapa Mas nggak terima? Apa aku memang nggak boleh untuk bersikap seperti ini sama kamu, Mas Ryan!"
Aku berhenti sejenak untuk mengatur napas rupanya cukup memakan energi juga untuk meluapkan kekesalanku terhadap Mas Ryan. "Jika Mas ngerasa capek, sama akupun capek harus melihat drama kalian yang nggak tau kapan akan berakhir."
Setelah puas dengan amarahku aku lantas pergi untuk membersihkan diri, aku tidak mau emosi ini semakin menguasaiku, karena jika itu terjadi aku takut akan semakin kasar bahasaku terhadap Mas Ryan.
Dan aku tidak mau itu terjadi, bagaimana pun juga dia masih suamiku yang mestinya harus aku hargai dan hormati. Aku tidak ingin jika perkataanku nanti akan membuatnya semakin terluka dan sakit hati. Sangat berdosa jika aku sampai melakukan itu terhadap suamiku sendiri.

Book Comment (60)

  • avatar
    RafaaditiaRafaaditia

    pitar

    17d

      0
  • avatar
    KukusBralife

    bagus

    20d

      0
  • avatar
    Syifa SA

    good

    07/02/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters