logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

|7.| Mama

"SADAR! DIA ITU COWOK FIKSI!"
•••
Keseruan Retta di dunia fiksi belum berakhir. Selepas pulang sekolah, gadis itu menemani Diza yang sedang duduk di sebelah selatan tribun. Menonton Gara latihan basket. Retta juga sudah memutuskan untuk cancel ikut ekstrakulikuler cheers. Ia memilih untuk masuk ekskul drama bersama Diza. Entah mengapa, namun Retta tiba-tiba tertarik dengan dunia akting.
"Jadi, ekskul drama tiap Selasa sama Kamis? Habis pulang sekolah?" tanya Retta usai mendengar penjelasan Diza tentang ekstrakurikuler drama.
"Iya. Mulai Selasa depan."
"Ketua ekskul drama lo, 'kan?"
Diza tersenyum tipis. "Iya."
"Ayo pulang."
Suara bariton dari arah samping menyudahi perbincangan Retta dan Diza. Sosok Gara dalam balutan pakaian basket dengan nomor punggung 05 tampak sangat mempesona. Apalagi, butir-butir keringat sebiji jagung membanjiri pelipis cowok itu.
Sumpah! Ingin rasanya Retta mengurungi laki-laki ini dan membawanya pulang.
"Minum dulu," ucap Diza sambil mengulurkan sebotol air mineral yang lantas diterima oleh Gara. Laki-laki itu mengucap terima kasih sembari tersenyum tipis.
Dan sekali lagi. Senyum Gara sukses membawa Retta terbang jauh.
SADAR, RETTA! SADAR! DIA ITU COWOK FIKSI!
Entah darimana datangnya suara itu. Yang jelas, sukses meruntuhkan halusinasi Retta.
"Retta pulang sama siapa?" tanya Diza.
Belum sempat Retta menjawab, gadis itu merasakan sesuatu yang berdering di saku seragam putihnya. Tertera nama Pak Damar di layar ponsel Retta. Ini pasti supir yang dimaksud mamanya tadi.
"Hallo, Pak?"
" .... "
"Oh, gitu. Ya udah nggak apa-apa, Pak. Saya bisa pulang sendiri. Oke."
"Kenapa, Ret?" tanya Diza begitu sambungan telepon Retta terputus.
"Supir gue nggak bisa jemput katanya," jawab Retta.
"Bareng kita aja kalau gitu. Gara bawa mobil, kok. Boleh, kan, Gar?" Diza menoleh ke arah Gara. Lelaki itu tak menjawab.
"Nggak usah deh, Za. Gue pulang sendiri aja," tolak Retta halus.
"Nggak apa-apa. Bareng kita aja. Daripada lo pulang sendiri. Ya kan, Gar?"
"Hm." Gara hanya bergumam. Akhirnya, Retta menyetujui ajakan Diza untuk pulang bersama.
***
"Bye, Diza!!!" Retta melambaikan tangan dari balik jendela mobil Gara. Mereka baru saja sampai di rumah Diza. Ternyata, alamat rumah Retta di dunia nyata dan dunia novel sama.
Sepeninggalan Diza, suasana mobil mendadak hening. Rasa canggung perlahan menyergap. Dalam perjalanan tadi, Diza duduk di depan. Sementara Retta di belakang. Untuk mengenyah kecanggungan yang menyesakkan, Retta memilih untuk memainkan ponselnya.
"Pindah depan."
Retta yang semula sibuk scroll Tiktok lantas terdiam saat mendengar suara barusan.
"Hah?"
"Pindah depan. Budek lo?"
Gadis itu melirik ke kaca spion depan. Di sana, tampak kedua mata hitam Gara tengah menatapnya tajam.
"Gue bukan supir lo. Jadi, pindah depan sekarang," ucap Gara lagi. Kali ini, terdengar dua kali lebih tegas.
"O-oke."
Retta tak berani menolak. Dari seluruh umat penghuni bumi—maksudnya penghuni novel, Retta yang paling tahu bagaimana tabiat seorang Ganendra Javas Kaivan. Bagaimana buruknya temperamen lelaki itu. Apalagi, jika perintahnya tidak segera dilaksanakan.
Setelah Retta pindah ke depan, mobil Gara melaju. Tanpa sepatah katapun. Padahal, saat ada Diza tadi, laki-laki itu terdengar cerewet. Gara kerap melarang Diza inilah, itulah. Intinya, Gara sangat perhatian pada sang pacar.
Retta menyalakan ponselnya. Gadis itu membuka galeri. Kepo dengan foto-foto yang ada di dalamnya. Di sana, terdapat banyak foto Retta dan Anya. Foto yang sukses membuat Retta tersenyum haru adalah saat ulang tahunnya yang ke-17.
Di foto itu, Retta mengenakan gaun warna pink pastel. Rambutnya yang panjang bergelombang dibiarkan menjuntai indah. Bibirnya tersenyum lebar sembari membawa kue tart dengan lilin angka 17. Lalu, Anya berdiri di samping Retta sembari mencium pipi gadis itu. Nuansa yang sangat berbeda dengan ulang tahun Retta di dunia nyata.
Di tengah-tengah keasyikan Retta menyelami galeri ponselnya, mobil yang ia tumpangi tiba-tiba berhenti. Retta pun refleks menoleh ke kanan.
"Kenapa berhenti?" tanya Retta.
Gara tak menjawab. Laki-laki itu turun dari mobil untuk mengecek bagasi depan. Retta yang penasaran pun ikut turun.
"Kenapa? Mogok?" tanya Retta lagi.
"Udah tau mogok. Pakai nanya segala," ujar Gara, jutek. "Lo pulang sendiri aja."
Sebenarnya, ini kesempatan bagus untuk Retta. Ia bisa berduaan lebih lama dengan Gara. Mumpung tak ada Diza di antara mereka.
"Baterai handphone gue habis. Nggak bisa pesan gojek," elak Retta. "Rumah gue juga masih jauh banget dari sini."
Gara mengulurkan ponsel miliknya. "Pakai handphone gue."
"Eh? Nggak usah!" Retta bingung. Alasan apa lagi yang harus ia katakan? "Maksudnya, nggak pa-pa gue nemenin lo dulu."
Gara menatap Retta tajam. Tanpa mengatakan apapun, cowok itu tampak mengotak-atik ponselnya.
"Udah gue pesenin taxi online," kata Gara, telak. Retta pun tak bisa berbuat apa-apa selain nurut.
***
Elvaretta Adinda:
Gara udah sampe rumah?
Elvaretta Adinda:
Gimana tadi mobilnya?
Retta mengirim pesan lewat aplikasi WhatsApp pada Gara setelah gadis itu selesai mandi. Kini, Retta sedang bersantai di ruang tengah dengan beberapa buku paket di atas meja. Gadis itu berniat untuk belajar.
Ganendra Javas Kaivan:
Sp?
Balasan singkat itu tak ayal membuat Retta tersenyum lebar. Respon yang sangat menggambarkan seorang Gara.
Elvaretta Adinda:
Retta :)
Jangan lupa disave ya :)
Ganendra Javas Kaivan:
Dpt no gw drmn?
Elvaretta Adinda:
Diza
Selesai. Tak ada balasan lagi setelah itu. Retta memaklumi. Ia sendiri yang membuat karakter Gara cuek terhadap orang lain, kecuali Diza.
Indra pengelihatan Retta menjelajah ke segala penjuru rumah. Dari segi bentuk, warna cat, dan perabotan, semuanya sama dengan rumah Retta di dunia nyata. Bedanya, rumah ini terasa begitu hangat dan nyaman meski sama-sama sepi.
Retta membuka buku paket kimia. Gadis itu selalu mulai belajar dari mata pelajaran yang paling ia suka. Tapi aneh, beberapa kali Retta membaca, otaknya tak mampu menyerap materi yang ada. Saat itu, Retta baru ingat kembali tentang hukum 'Serba Kebalikan' yang Bang Surya bilang. Itu artinya, di dunia novel ini, Retta lemah dalam pelajaran matematika dan kimia.
Suara pintu yang terbuka membuat Retta menoleh. Gadis itu menangkap sosok mamanya yang baru saja pulang kerja. Melihat hal itu, Retta cepat-cepat menghampiri sang mama. Memeluknya begitu erat.
"Mama," ucap Retta sambil tersenyum lebar. Sangat senang karena bisa merasakan kembali hangatnya pelukan sang mama.
"Retta? Kenapa?" tanya Anya heran.
Masih dengan kedua lengan yang memeluk erat sang mama, Retta menggeleng kecil. "Nggak pa-pa. Kangen aja sama Mama."
Anya terkekeh. "Kayak nggak ketemu berapa tahun aja."
Retta melepas pelukannya. Gadis itu menatap Anya lamat-lamat. "Mama udah makan belum?"
"Belum. Kita makan bareng, yuk!"
Dengan senang hati, Retta mengiyakan.
***
"Jadi, kita baru pindah ke Jakarta seminggu yang lalu? Sebelumnya kita kita tinggal di Bandung?" tanya Retta. Gadis itu baru selesai mendengarkan cerita Anya.
"Iya. Mama buka cabang butik di sini. Jadi, kita pindah, deh. Emang kenapa, sih, kamu nanya-nanya? Kamu, kan, udah tau."
"Terus papa? Papa meninggal kenapa?"
Helaan napas berat menguar dari saluran pernapasan Anya. "Kecelakaan pesawat, waktu berangkat ke Surabaya untuk perjalanan bisnis."
"Jasad papa ditemukan?"
Anya menggeleng lemah. "Dua minggu berturut-turut Mama cari papa kamu. Udah segala cara Mama coba. Polisi, tim sar, semuanya sudah berusaha. Tapi, ya, namanya juga takdir. Emang berat, sih, awalnya. Untung ada kamu. Kamu yang bisa bikin Mama bangkit lagi."
Mendengar cerita itu, Retta jadi bingung. Haruskah ia merasa sedih? Atau justru senang? Tapi, apa tidak berdosa Retta jika merasa bahagia saat tahu sang papa telah tiada?
Andai Retta mampu, ia ingin terus ada di sini. Bersama mamanya.
"Ma, boleh nggak, malam ini Retta tidur di kamar Mama?"
Anya tersenyum tulus. "Boleh, dong."
***
Waktu menunjukkan pukul 23.05 saat Retta terbangun. Gadis itu merasakan nyeri di bagian jantungnya. Terdengar sebuah suara yang bersumber dari jam hitam di pergelangan tangan Retta. Tanda-tanda yang mengharuskan gadis itu kembali ke dunia nyata.
Sambil menekan dadanya yang terasa nyeri, Retta bangkit dari kasur. Ia harus ke SMA Pandawa sekarang juga. Sebab pintu gerbang untuk ke dunia nyata ada di sana.
***
Sampai di depan gerbang sekolah, Retta bingung harus berbuat apa. Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Namun, Retta tak punya banyak waktu. Dia harus segera kembali. Jam tangan hitam yang melingkari pergelangan kirinya sudah berbunyi.
Retta berusaha memanjat pagar depan SMA Pandawa. Butuh usaha keras hingga akhirnya ....
'BRUK!'
"Awh!" Retta meringis ngilu sembari mengusap pantatnya yang baru saja memukul aspal.
Gadis itu bergegas bangkit. Memasuki sekolahnya yang sangat sepi dan gelap. Sampai di ruang kepala sekolah, Retta menekan tombol berwarna merah di jam tangan hitam miliknya sambil memejamkan mata.
"My World, let me go."

Book Comment (89)

  • avatar
    SianturiSondang

    bintang⁵seru dan

    17d

      0
  • avatar
    GamingRenal

    terimakasi y

    06/07

      0
  • avatar
    Yan Wp

    saya sangat suka

    26/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters