logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

|5.| Meet Again

"Ketika kita hanya ingin dihargai, tapi ternyata susah sekali."
•••
"BI ARUM!"
Bi Arum yang sedang mengaduk kopi hitam dikejutkan dengan Retta yang tiba-tiba memeluknya.  "Non Retta?"
"Bibi kerja di sini sekarang?" tanya Retta tanpa melepas pelukannya. Gadis itu tak peduli pada siswa-siswi yangmelayangkan tatapan heran ke arahnya. "Retta boleh ikut Bibi nggak? Retta boleh tinggal sama Bibi? Please, Bi. Bawa Retta ke mana pun."
Melihat kondisi anak majikannya saat ini, membuat Bi Arum terenyuh. Wanita paruh baya itu mengusap cairan bening yang membanjiri pipi Retta dengan lembut. "Non mau minum apa? Biar Bibi buatin."
Retta menggeleng kua-kuat. Gadis itu kembali memebenamkan wajhnya ke dalam dekapan Bi Arum. "Retta mau tinggal sama Bi Arum."
'KRINGGG!!! KRINGGG!!!
Bunyi bel yang menggema di seantero sudut SMA Trijaya membuat seisi kantin lantas berhamburan. Namun, Retta masih diam di tempat. Kedua lengannya memeluk Bi Arum semakin erat.
"Retta. Ayo, Ret. Udah bel masuk," ucap Eli yang memang sejak tadi berdiri di dekat sahabatnya.
Bi Arum melepas pelukan Retta. Kedua tangannya memegang bahu Retta. Lalu, Bi Arum menulis sesuatu di kertas. Tak lama kemudian, mengulurkannya pada Retta. "Ini alamat rumah kontrakan Bibi. Non Retta bisa datang kapan aja kalau Non mau."
Retta mengambil alih secarik kertas dari tangan Bi Arum dengan mata berbinar. "Beneran, Bi?"
Yang ditanya mengangguk mantap seraya tersenym lebar. Membuat Retta lantas turut tersenyum.
"Makasih, Bi," ucap Retta sambil memeluk Bi Arum sekali lagi.
***
Retta menghela napas berat, entah untuk yang keberapa kali. Gadis dalam balutan piyama orange itu sedang mengumpulkan keberanian untuk mengetuk pintu ruang kerja sang papa.
'Tok! Tok! Tok!'
"Pa, Retta boleh masuk nggak?"
"Masuk."
Terdengar suara Panji dari dalam. Retta pun menekan kenop pintu perlahan. Setelah masuk, Retta kembali menutupnya. Panji dengan tampang seriusnya tampak sibuk dengan beragam dokumen di atas meja.
"Ada apa?" tanya Panji. "Minta uang jajan?"
Retta tak menjawab. Gadis itu meletakkan kertas hasil ujian matematika miliknya di atas meja kerja Panji.
"Apa ini?" Panji kembali bertanya.
"Hasil ujian Retta." Gadis itu tersenyum bangga. "Retta dapat nilai seratus, Pa!"
Bola mata Panji melirik sekilas angka seratus yang tertera di lembar jawaban Retta. "Itu aja?"
"Maksud Papa?"
"Baru satu mata pelajaran, 'kan?"
Sekujur tubuh Retta seketika terasa membeku. Kalimat Panji barusan begitu menohok hatinya. Padahal, perilaku papanya yang seperti ini sudah bagaikan makanan sehari-hari untuk Retta. Tapi tetap saja, rasanya sangat sakit.
"Kalau nggak ada lagi yang mau diomongin, keluar. Papa sibuk," ujar Panji dingin.
Retta mengambil kembali lembar ujian miliknya. Tanpa mengatakan apapun, gadis itu keluar dari ruang kerja Panji dengan kedua mata memanas.
***
Sampai di kamar, tangis Retta pecah. Dadanya bergemuruh karena sesak. Sekeras apapun Retta berusaha, setinggi apapun hasil yang ia capai, Panji tetap tak akan merasa puas. Asal kalian tahu, otak Retta tak secerdas yang terlihat. Untuk mendapatkan hasil yang sempurna, ia harus belajar hingga lewat tengah malam.
Puas menangis, Retta melangkah ke arah meja belajarnya. Sebuah buku bersampul coklat menyita indra pengelihatan Retta. Waktu menunjukkan pukul 21.09 saat Retta memutuskan untuk membaca buku pemberian Surya.
Di halaman 3, terdapat sebuah tulisan:
Kapsul biru = penambah nyawa
Kapsul merah = perpanjangan waktu
Kapsul putih = pembuka gerbang
You can say: My world, I'm comming.
1x24 jam, dan Anda akan kembali ke dunia nyata.
Retta ingat, terakhir kali bertemu Bang Surya, ia seperti dibawa ke dunia lain. Di sana Bang Surya menjelaskan tentang 3 macam kapsul yang kini ada di atas meja belajar Retta.
Satu kalimat Surya yang hingga kini melekat di benak Retta, "Di dunia yang lo ciptain sendiri, orang lain bisa apa?"
"Apa iya?" gumam Retta. "Apa iya gue bisa masuk masuk ke dunia fiksi seperti yang Bang Surya bilang?"
Retta mengambil botol berisi kapsul di atas meja. Ia mengeluarkan kapsul berwarna putih. Jujur, Retta sangat penasaran. Rasa ingin mencoba seolah mendorongnya untuk meminum kapsul itu.
"Beneran bisa?" Retta kembali bergumam sembari mengamati kapsul putih di tangannya.
Setelah 15 menit berpikir, akhirnya Retta meminum kapsul putih itu. Kemudian, Retta menarik selimutnya di ujung kasur sembari berkata, "My world, I'm comming."
***
-PERBATASAN-
Pantai yang teramat luas dan jingga menyambut indra pengelihatan Retta begitu gadis itu membuka mata. Kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya debur ombak dan suara angin yang mampu membelai gendang telinga Retta. Suasana ini ... terasa sangat familiar.
Retta berpikir keras. Memutar otaknya dua kali lebih cepat untuk mengingat tempat apa ini. Dan saat Retta berhasil menjangkau memori itu, Retta terbelalak.
"Ini tempat yang gue dibawa Bang Surya waktu itu!"
"Sampai juga lo akhirnya."
Suara bariton yang bersumber dari belakang Retta membuatnya lantas menoleh kaget. "Bang Surya?!"
Tak seperti ekspresi Retta yang panik, Bang Surya tampak santai. Kedua sudut bibirnya menukik tipis.
"Keputusan yang bagus," ucapnya.
"Ini di mana, Bang?"
"Perbatasan." Bang Surya menelusuri setiap sudut pantai. Hanya ada mereka berdua dalam pelukan jingga di sana. Bang Surya kembali menatap Retta. "Lo masih inget, kan, instruksi gua waktu terakhir kali kita ketemu?"
Retta mengangguk. "Gue juga bawa kapsulnya." Gadis itu mengangkat botol kaca dalam genggamannya.
"Udah siap untuk masuk ke dunia ciptaan lo?"
Jika ditanya seperti itu, jujur saja Retta ragu. Ia masih tak percaya bahwa dunia lain benar-benar ada. Ralat. Maksudnya, dunia fiksi yang dapat Retta rasakan secara langsung.
Surya mengulurkan sebuah jam tangan warna hitam pada Retta. Jam yang tampak normal. Sangat manusiawi.
"Ini apa?" tanya Retta seraya mengambil alih benda dalam genggaman Surya.
"Jam dunia fiksi. Jam itu yang akan ngasih tanda kapan lo harus balik. Pintu gerbang untuk kembali ke dunia nyata adalah tempat pertama kali lo buka mata nanti. Begitu jam di tangan lo bunyi, cepetan balik. Atau nyawa lo taruhannya."
Retta meringis ngilu. "Serem amat."
Surya tersenyum miring. "Di dunia manapun, selalu ada harga untuk apa yang lo dapat."
"Terus, di sana gue harus ngapain, Bang?"
"Terserah. Asal jangan mengubah alur cerita."
"Maksudnya? Cerita novel gue?"
"Iya. Apapun yang terjadi, jangan sampai ada alur cerita yang berubah. Seperti yang gue bilang tadi, nyawa lo taruhannya.
"Waktu sampai di dunia novel nanti, pelan-pelan jantung lo akan melemah. Dan setelah dua puluh empat jam di sana, lo harus balik."
"Dua puluh empat jam?!" tanya Retta, kaget.
"Dua puluh empat jam di dunia fiksi. Setara empat jam di dunia nyata."
Retta manggut-manggut. Mulai mengerti apa saja yang harus ia lakukan nanti.
"Udah siap?" tanya Bang Surya yang dijawab anggukan oleh Retta.
Kedua mata Bang Surya mengarah pada pasir pantai di depan Retta yang tampak tak berujung. "Lo jalan lurus aja. Sekitar 30 langkah. Setelah itu, tutup mata lo. Ingat! Semua yang ada di dunia nyata, adalah kebalikan dari dunia fiksi."
"Ok ... e."
Belum sempat Retta menjawab, sosok Surya telah menghilang entah ke mana. Gadis itu mengatur napas sejenak. Lalu, kaki jenjangnya mulai melangkah perlahan.
"Satu ... dua ...." Retta terus menghitung dalam hati. Sesuai instruksi Bang Surya, gadis itu memejamkan mata pada langkah ke-30. Dan tak lama setelah itu, Retta kehilangan kesadarannya.
***
-DUNIA NOVEL-
Retta membuka kedua matanya lebar-lebar. Hal yang pertama kali tertangkap indra pengelihatan Retta adalah dua orang yang sedang berbincang di sebuah ruangan. Retta menoleh ke kanan, ia dibuat terkejut dengan apa yang dilihatnya.
"Mama?"
Wanita dalam balutan blazer abu-abu di samping Retta menoleh sejenak, lalu berdiri. "Titip anak saya, ya, Pak, Bu."
"Pasti, Bu," balas seorang pria paruh baya dengan name tag bertuliskan Cakra Kusuma di dada kirinya.
Retta yang masih bingung hanya mengamati sekitar. Sampai Anya—mama Retta—membawa gadis itu keluar dari ruangan yang ternyata ruang kepala sekolah.
"Kamu baik-baik, ya, di sekolah. Nanti pulangnya telepon Pak Ganjar aja. Mama udah suruh orangnya jemput kamu pas jam pulang nanti."
Retta masih bergeming. Manik matanya menatap dalam pada paras wanita di hadapannya. Apa ini benar Anya? Orang yang telah melahirkan Retta?
"Kamu kenapa, sih, Ret? Ngelihatin Mama gitu banget," ujar Anya, mulai risih dengan cara Retta menatapnya.
"Ini beneran Mama?"
Anya terbahak. "Kamu, nih, ya. Kayak habis pisah sama Mama bertahun-tahun aja."
"Papa? Papa gimana?"
Kedua alis Anya bertaut heran. "Kamu lupa? Papa udah meninggal tiga tahun yang lalu, Sayang."
"Papa? Meninggal?"

Book Comment (89)

  • avatar
    SianturiSondang

    bintang⁵seru dan

    17d

      0
  • avatar
    GamingRenal

    terimakasi y

    06/07

      0
  • avatar
    Yan Wp

    saya sangat suka

    26/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters