logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

|27.| Bully

"Kadang, kita harus merasakan sakit luar biasa untuk mendapatkan apa yang kita mau."
•••
-DUNIA NOVEL-
Retta disambut dengan pemandangan di depan teras rumahnya begitu membuka mata.
"Retta, Mama berangkat duluan, ya?" Suara dari samping kanan membuat Retta menoleh. Kedua sudut bibirnya menukik begitu mendapati wajah cerah Anya. Wanita paruh baya dalam balutan blazer pink pastel itu mengecup kedua pipi putrinya dengan sayang.
Senyum Retta kian melebar. Ia yang semula duduk, berdiri untuk mencium punggung tangan mamanya. "Hati-hati di jalan, ya, Ma."
"Bilangin sama Gara, hati-hati bawa motornya. Anak Mama nggak boleh sampai lecet!"
Retta terbahak. "Iya, Mamaku sayanggg."
Anya turut tertawa. Tangannya bergerak mengusap lembut puncak kepala Retta. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Tepat saat itu, terdengar suara deru motor dari luar pagar. Begitu mobil Anya menghilang dari pandangan Retta, gadis itu berlari kecil menuju Gara yang tengah tersenyum lebar ke arahnya.
"Pagi, Pacar!" sapa Retta girang.
Gara terkekeh. Jemarinya bergerak mengacak puncak kepala Retta gemas. "Pagi juga, Sayang."
OMG HELLOWWW!!! RETTA BUTUH TABUNG OKSIGEN SEKARANG! CEVATTT!!!
Jangan coba-coba bilang 'Retta lebay!' Kalian juga pasti merasakan hal yang sama, kan, kalau ada di posisi Retta?
Semburat merah jambu menguar di permukaan pipi Retta yang mendadak terasa panas. Belum sempat detak jantungnya kembali normal, Gara kembali berulah dengan mencubit pelan pipi kanan Retta.
"Gemes banget pacar gue."
"Gara, stop!"
Gara terbahak-bahak. Ujung matanya sampai berair melihat betapa lucunya Retta sekarang. "Berangkat sekarang?"
Retta mengangguk mantap. Gadis itu lagi-lagi dibuat tersipu dengan Gara yang memasangkan helm di kepalanya.
'Klik!'
Gara mengaitkan tali helm Retta. "Nyaman nggak?"
Retta mengangguk singkat. Tak mampu lagi berkata-kata. Rasanya, Retta ingin teriak sekarang juga.
Motor Gara melaju dengan kecepatan sedang. Dalam perjalanan, Retta mengingat kembali kejadian sebelum dia memasuki dunia novel.
Sepeninggalan Surya, Retta menghubungi Eli agar membawa novel berjudul 'GANENDRA', karyanya. Adegan berikutnya yang Retta baca adalah Gara memilih untuk menyelidiki kasus tabrak lari Diza keesokan harinya. Tindakan manis yang Gara lakukan hari ini pun murni ada di sana. Tak heran kan jika Retta salting?
Yang Retta baca, cukup sampai di sana. Gadis itu sengaja berhenti. Ia ingin merasakan sendiri adegan-adegan selanjutnya.
***
Baru saja memarkirkan motor, Gara dan Retta disambut dengan sorakan heboh.
"Jadi, udah official, nih?" tanya Josep dengan nada menggoda.
Gara tak menjawab. Lelaki itu melepaskan helm di kepala Retta dengan hati-hati. Retta? Apalagi yang ia bisa selain tersenyum malu?
"Orang buta juga bisa lihat kalau mereka udah jadian," sahut Anang.
"Orang buta nggak bisa lihat," timpal Atha. "Bego!"
"Bego-bego gini juga temen lo, Tha!" balas Anang tak terima.
"Sejak kapan?"
Anang melotot. "ABANG JAHAT, IHHH!!!" Tangannya memukul-mukul dada Atha dengan manja.
"Geli, anjir!" pungkas Atha sambil menyentak tangan Anang dari dadanya.
"Emang cuma gue yang waras di sini," ujar Josep.
"Lo lebih!" teriak Atha dan Anang secara bersamaan.
Sementara yang lain sibuk dengan kekonyolan mereka, Gara sibuk mengedarkan pandangannya ke segala arah. Cowok itu sedang mencari plat nomor yang membuat tidurnya tak nyenyak. Helaan napas berat menguar dari saluran pernapasan Gara begitu manik matanya menemukan apa yang ia cari.
"Kenapa?" Retta yang menangkap keanehan dari tingkah Gara pun bertanya.
Tanpa mengatakan apapun, Gara memfokuskan bola matanya ke arah motor dengan plat nomor B 3725 JK, seolah berkata pada sang pacar 'lihat ke sana'.
Retta yang mengerti akan maksud Gara lantas mengekori arah pandang laki-laki itu. Tak seperti Gara, Retta terkejut bukan main. Ia mengira, dirinya kemarin hanya salah lihat. Ternyata motor itu benar-benar ada di sini.
Tapi, tunggu dulu. Kalau motor itu sekarang ada di sini, bagaimana dengan motor yang Retta lihat di rumah sakit? Indra pengelihatan Retta masih sangat normal. Motor itu ... benar-benar persis.
"Gar, itu kan ...."
Belum sempat Retta menyelesaikan kalimatnya, Gara menyeret gadis itu meninggalkan area parkir. "Jangan sampai masalah ini sampai ke orang lain. Cukup kita. Gue cuma percaya sama lo."
"Termasuk temen-temen lo?"
Gara mengangguk. Kakinya melangkah mantap menyusuri koridor, tatapannya lurus ke depan. Bisik-bisik yang tertangkap indra pendengaran tentang gosip hubungan Gara dan Retta tak membuat keduanya gentar.
Keduanya memasuki kelas tepat beberapa detik sebelum guru bahasa Indonesia datang.
***
Seseorang dengan sengaja menyenggol bahu Retta tepat setelah gadis itu menerima segelas es teh manis. Alhasil, minuman itu menumpahi seragam Retta.
"Mangkanya, jalan, tuh di mana-mana pake mata!"
Retta mengepalkan tangan kuat. Meredam emosinya yang mulai naik. Gadis itu mendongak. Membalas tatapan Hana dan kedua kacungnya dengan berani.
Sebenarnya, Retta ke kantin ini tidak sendiri. Ia bersama Wenda dan Ika, namun keduanya masih ke toilet. Jadilah Retta duluan ke kantin. Afifah sendiri belum keluar dari kelasnya.
Niat awal Retta untuk mengabaikan Hana dipaksa urung sebab pergelangan tangannya dicekal oleh Loli. Gadis itu diseret oleh ketiga siswi sok hits SMA Pandawa ke tembok belakang kantin. Retta tak ada keinginan untuk melawan, entah mengapa.
'BRUK!'
Retta jatuh terjerembab ke tanah berlumpur sebab Hana yang mendorong tubuhnya keras. Retta masih diam dengan tangan terkepal. Menahan mati-matian emosi yang bergejolak dalam dirinya.
"Habisin aja, Han! Dasar cewek ganjen!" sentak Sara sambil menendang pergelangan tangan Retta yang menahan tubuhnya.
Perih.
Retta dapat merasakan kulit di pergelangan tangannya berdarah. Lutut dan sikunya pun terasa panas sekarang. Namun gadis itu tetap pada pendiriannya, ia tak ingin melawan.
"HEH, BICTH!" Hana menjambak rambut Retta sekuat tenaga, membuat si korban lantas meringis ngilu. Dengan sisa tenaga yang ada, Retta membuka mata, membalas tatapan penuh kebencian yang Hana layangkan.
'DUGH!'
"Ssshhh ...."
Kalau tadi Sara menendang pergelangan tangan kanan Retta, kini Loli menendang bagian kirinya.
"Biar impas!" seru Loli puas. Ketiga temannya tertawa meremehkan.
Retta masih berusaha sekuat tenaga untuk bertahan. Rasanya, kulit kepala Retta akan segera lepas. Hana menjambak rambutnya benar-benar kuat.
"Argh ...." Ringisan kembali lolos dari mulut Retta, sebab Hana lagi-lagi menarik rambutnya.
"Ututuuu ... sakit, ya?" Hana menampilkan ekspresi sok cemas, lalu berubah ganas sedetik kemudian. Gadis itu melepas rambut Retta dengan kasar. Tak sampai di sana, Hana dan teman-temannya pun mengacak-acak rambut Retta.
Retta marah?
Tentu. Tapi entah mengapa, sekujur tubuhnya seakan menolak untuk bergerak melawan. Retta benar-benar diam dan pasrah.
"Sini lo!" Loli menarik kencang pergelangan tangan Retta, membuat gadis itu lantas berdiri.
'PLAK!'
Satu tamparan melayang dari Sara untuk Retta. Retta yang diperlakukan seperti itu hanya bisa memejamkan mata, menikmati setiap rasa sakit yang ada.
"Ini, karena lo udah ganjen di sekolah gue!"
'PLAK!'
Kali ini, asalnya dari tangan Loli.
"Ini, karena lo udah sok kecantikan!"
'PLAK!'
'PLAK!'
Tak tanggung-tanggung, Hana yang terakhir menampar kedua pipi Retta sekaligus. Jangan ditanya bagaimana kondisi Retta saat ini. Tubuhnya seolah mati rasa.
"Awh!"
Retta mengaduh saat Hana tiba-tiba memelintir tangan kanannya ke belakang. "Kenapa? Masa gini doang sakit?" Hana terbahak. Gadis itu beralih menatap Loli. "Pegang, Lol."
Masih dengan Retta yang menahan rasa sakit di pergelangan tangannya, Hana mengeluarkan sebuah pisau dari saku rok abu-abu yang membalut tubuhnya. Perempuan itu memainkan benda tajam di tangannya ke wajah Retta.
"Kayaknya, lo bakal makin cantik kalau ada goresan di pipi. Iya nggak, guys?" tanya Hana. Kedua temannya terbahak.
"Langsung aja, Han! Nggak sabar gue," sahut Sara.
Hana manggut-manggut. Tawanya meledak. Gadis itu mundur beberapa langkah, siap menyalurkan seluruh emosinya dengan menyayat wajah Retta. Tapi ....
"GARA!"
Loli dan Sara yang melihat adegan barusan memekik histeris. Mata pisau di tangan Hana mendarat mulus di telapak tangan kiri Gara, menciptakan cairan merah segar di sana.
Retta yang tersadar dari rasa kagetnya lantas berlari ke arah Gara. Gadis itu berniat membawa sang pacar ke UKS. Namun, Gara terpaku. Langkahnya enggan beranjak. Retta baru sadar, Gara tengah menatap tajam ke arah Hana.
"Bangsat lo semua!"
Jika ada yang mengira Gara teriak, kalian salah. Suara laki-laki itu terdengar rendah dan berat. Matanya memerah, rahangnya mengatup rapat. Retta menggenggam tangan kanan Gara yang masih dibalut perban dengan pelan. Jaga-jaga kalau cowok itu kelepasan.
"Mau lo pada apa, sih, hah?! Dia cewek gue! Kalian nyakitin dia, mau bunuh diri?!"
"Gar, udah, Gar. Obati tangan lo, ya?" mohon Retta. Kedua matanya berair. Bukan karena ia menerima bully, tapi khawatir dengan tangan Gara yang terus mengeluarkan darah.
"Lo juga kenapa diem aja, anjing?!"
Mendapat teriakan dari Gara, Retta berjingkat kaget. Hanya sekejab. Karena setelah itu, hanya ada tatapan khawatir yang terpancar di balik manik mata Gara.
"Lah, gue cariin di sini ternyata—ANJROT, GAR, TANGAN LO!" Anang yang sejak tadi mencari keberadaan Gara, melotot kaget melihat kondisi tangan kiri sahabatnya.
"Bawa mereka ke ruang BK," sahut Atha yang datang bersama Josep. Sebenarnya, mereka melihat sejak awal apa yang Hana dan kedua temannya lakukan pada Retta. Jujur, Josep tak tahan ingin menolong Retta. Namun, Atha mencegahnya. Cowok itu bertindak cerdas dengan merekam aksi bullying tadi.
"Semua bukti ada di HP gue," lanjut Atha. "Gue bakal nemenin Retta sama Gara ke UKS. Anang sama Josep bawa Hana, Loli, dan Sara ke BK."
Semua kompak mengangguk. Ketiga pelaku bullying tadi yang masih terkejut hanya bisa pasrah saat langkah mereka diseret oleh Anang dan Josep. Terutama Hana. Sumpah demi apapun, ia tak ada niat untuk melukai Retta dengan senjata tajam. Gadis itu masih cukup waras. Tapi, Gara malah datang dan menyahut pisau di tangannya.
Sementara itu, Gara melangkah terlebih dahulu menuju UKS. Meninggalkan Retta dan Atha begitu saja.
"Lo nggak pa-pa?" tanya Atha pada Retta.
Bodoh memang. Sudah tahu Retta kenapa-napa, masih saja bertanya!
Retta hanya menatap ke arah Atha sambil menggeleng singkat, tanpa ekspresi. Dalam langkahnya menyusul Gara, gadis itu menyinggung senyum miring. Setelah ini, Retta dapat pastikan bahwa Hana, Loli, dan Sara akan lenyap.
Retta sengaja tidak melawan?
Tentu saja. Gadis itu tahu, sejak tadi Josep dan Atha mengawasinya.
***
Sepanjang pergerakan anak PMR yang mengobati luka-luka Retta, tatapan gadis itu tak lepas dari Gara di brankar kirinya. Luka tusukan Gara ditangani oleh salah satu perawat yang hari ini memang bertugas di UKS SMA Pandawa. Maklum sekolah elit, UKS saja hampir seperti rumah sakit umum. Rupanya, kali ini luka di telapak tangan Gara lebih parah. Terbukti dari kulitnya yang harus dijahit.
Karena tak ingin mengganggu, Atha memilih untuk menunggu di luar.
"Selesai," ucap seorang gadis dengan name tag Anjeli Raharja yang mengobati luka Retta.
"Thank's." Retta tersenyum simpul, tanda terima kasih.
Sepeninggalan Anjel, Retta kembali menatap ke arah Gara. Gadis itu menunggu hingga luka di tangan Gara selesai diobati. Setelahnya, Retta beranjak, mengambil posisi duduk di samping kiri Gara.
"Gara," panggil Retta. Telapak tangannya mendarat di pergelangan Gara. Masih sangat jelas di mata Retta, rahang Gara yang mengeras, matanya yang menatap nyalang, dan ekspresi marah yang kentara.
"Gara."
Pada panggilan kedua, Gara menoleh. Tatapannya yang dingin, perlahan menghangat. Manik matanya meneliti Retta dari bawah hingga atas. Luka di lutut, siku, pergelangan tangan, sudut bibir, dan jidat Retta membuat Gara kembali tersulut emosi. Namun, lelaki itu kini lebih bisa mengendalikannya.
"Sakit, ya?" tanya Gara dengan suara bergetar.
Setetes cairan bening lolos dari indra pengelihatan Retta. Sarat kekhawatiran yang begitu tulus, membuat Retta terenyuh. Gadis itu menggeleng pelan. "Gue nggak pa-pa, Gar. Lo yang kenapa-napa. Lo yang luka."
Gara menarik Retta ke dalam dekapannya. "Lo nggak boleh kenapa-napa. Gue khawatir, El."
"El?"
"Boleh, 'kan?" Gara melepas pelukannya. Sorot mata lelaki itu menatap Retta hangat.
"Boleh aja. Belum ada yang manggil gue kayak gitu sebelumnya."
Asal kalian tahu. Di balik cara bicara Retta yang santai, ada usaha keras untuk Retta mengendalikan degub jantungnya yang menggila!
"Anggap aja panggilan sayang," kata Gara, membuat keduanya lantas tertawa.
"Ssshhh ...." Ringisan ngilu lolos begitu saja dari mulut Retta.
"Kenapa tadi nggak ngelawan, hm?" Ibu jari tangan kanan Gara mengusap lembut sudut bibir Retta yang berdarah. Seolah luka di sana dapat menghilang dengan sentuhan Gara. "Gue tahu lo bisa. Tapi kenapa lo diem?"
"Kalau gue ngelawan, nggak bakal ada bukti untuk nyingkirin Hana dan teman-temannya dari sekolah ini."
"Maksud lo?" Kening Gara mengernyit heran.
"Hana, Loli, dan Sara di DO."
Suara bariton dari arah pintu membuat Gara dan Retta kompak menoleh. Sosok Atha, Josep, dan Anang menghampiri mereka.
"Mereka bertiga emang sakit!" ucap Josep emosi, tak habis pikir dengan tindakan Hana dan kawan-kawannya.
"Syukurlah mereka dikeluarin," sahut Anang. "Jadi berkurang pelaku bullying di sekolah kita."
"Makasih, ya." Kata bernada tulus itu bersumber dari Retta. Kedua sudut bibirnya menukik, membentuk seulas senyum manis. "Kalian udah nolongin gue sama Gara."
"Ah! Sama-sama." Anang menyugar rambutnya ke belakang.
"Apapun untuk Yayang Retta," sahut Josep.
Kedua cowok itu yang merasa ada sensasi menusuk tersadar akan tatapan tajam dari Gara.
Josep tersenyum meringis. "Hehe. Ampun, Bang Jago."
"Gara sama Retta emang paling serasi," timpal Anang dengan cengiran kudanya.
"Nggak biasanya lo pasrah," ujar Atha dengan tatapan mengarah pada Retta. "Sengaja?"
Belum sempat Retta menjawab, pergelangan tangannya ditarik oleh Gara. Keduanya meninggalkan Atha, Anang, dan Josep yang sama-sama melongo.
"Gue berasa wabah yang mengganggu," ucap Josep.
"Sama," sahut Atha.
"Temen lo yang satu itu mulai nggak tahu diri."
Josep dan Atha kompak menoleh ke arah Anang. Temannya yang satu itu tampak berbeda. Mereka yang salah dengar, atau memang suara Anang barusan terdengar dingin?
Anang pergi begitu saja. Meninggalkan Josep dan Atha yang semakin dibuat heran.
"Dia kenapa?" tanya Atha.
"Cemburu kali."

Book Comment (89)

  • avatar
    SianturiSondang

    bintang⁵seru dan

    15d

      0
  • avatar
    GamingRenal

    terimakasi y

    06/07

      0
  • avatar
    Yan Wp

    saya sangat suka

    26/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters