logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 60 Mencintai Istriku, bukan Istri Kakakku

Lima bulan kemudian
Bunyi ciuman terdengar jelas di sebuah kamar kondominium mewah yang berada di kawasan Marina, Singapura. Suara desahan menjadi penutup penyatuan sepasang suami istri yang entah berapa kali melakukannya hingga siang ini. Keduanya saling berbagi tatapan dan senyuman dalam posisi duduk berhadap-hadapan.
Nadzifa segera turun dari pangkuan Farzan, kemudian masuk ke dalam selimut. Napas memburu keluar dari hidung seiringan dengan jantung yang berdebar cepat. Farzan juga ikut masuk ke balik selimut, sebelum menarik tubuh istrinya merapat.
“Mentang-mentang libur, aku nggak dibolehin keluar kamar,” sungut Nadzifa mencubit hidung mancung suaminya.
Farzan tersenyum lebar seraya menatap gemas wajah Nadzifa yang masih memancarkan rona merah. “Habis kamu bikin aku nagih. Top banget deh.”
Nadzifa berdecak seraya menyipitkan mata. “Segitunya kamu.”
Meski usia wanita itu tidak lagi muda, tapi ia masih bisa mengimbangi Farzan yang masih bersemangat dalam bercinta. Eeaaa!!
Oya, Farzan dan Nadzifa menetap di negeri Singa ini sejak tiga bulan yang lalu. The Harun’s Group benar-benar memperluas usaha ke negara tersebut. Sudah jelas usaha yang diperluas di sana adalah bidang properti. Nadzifa juga ikut membantu suaminya mengelola perusahaan sembari mengawasi usaha butik milik almarhumah ibunya, meski dari jarak jauh.
“Zi,” panggil Farzan.
“Hmmm ….”
“I love you,” ucapnya kemudian memberi kecupan di bibir Nadzifa.
Senyum kucing menghiasi wajah wanita itu. Tangannya bergerak membelai lembut pipi Farzan yang ditumbuhi rambut halus. Untuk mengimbangi penampilan dengan sang Istri, pria itu sengaja menumbuhkan cambang tipis.
“I love you too, Sayang,” balas Nadzifa tersenyum lembut.
Farzan mengembuskan napas lega mendengar perkataan istrinya barusan. “Akhirnya kata ajaib itu keluar juga, Zi.”
Kening Nadzifa berkerut bingung. “Bukannya aku pernah panggil kamu sayang ya waktu di kantor polisi waktu itu? Aku juga udah bilang kalau jatuh cinta sama kamu.”
Bola mata Farzan berputar sebentar, lalu melihat lagi kepada istrinya. “Oya? Kok aku lupa ya?”
“Wajar lupa sih, kamu ‘kan lagi banyak pikiran waktu itu. Trus Papa juga datang. Mungkin nggak fokus sama aku katakan.”
Pria itu manggut-manggut. “Sejak kapan kamu jatuh cinta sama aku?”
“Ehmmm ….” Nadzifa menjepit bibir sebentar. “Kapan ya? Lupa. Pokoknya waktu kamu cium aku di pantai udah mulai ada rasa tuh.”
“Oya?” Farzan menunjukkan ekspresi terkejut.
“Kalau kamu gimana? Kapan baru nyadar?”
Farzan kembali menarik ingatannya. “Jujur aku nggak tahu kapan jatuh cinta sama kamu. Tapi ….”
“Tapi?” Nadzifa penasaran.
“Waktu kamu pergi, rasanya ada yang kurang. Hatiku kosong.” Farzan ingat bagaimana ia berhasil menghindar dari Arini yang nyaris menciumnya. Hal itu tidak lepas dari perasaan yang kuat untuk Nadzifa.
“Jadi?”
“Jadi. Di situlah aku sadar kalau perasaanku untuk Kak Arini udah habis,” ungkap Farzan jujur. “Jadi, sekarang aku mencintai istriku, bukan istri kakakku.”
Nadzifa terdiam sebentar ketika memandang mata elang Farzan bergantian. Tidak ada lagi cemburu yang dirasakan di hati, setelah memiliki pria itu seutuhnya.
“Aku boleh tanya sesuatu nggak, Sayang?” Dia ingin mengajukan pertanyaan yang sudah lama ingin diajukan.
“Tanya apapun, My Love,” sahut Farzan.
“Janji jangan marah ya?”
Farzan mengangguk tanpa ragu.
“Kenapa sih kamu bisa jatuh cinta sama Kak Arini?” selidik Nadzifa seolah tidak ada beban. Dia penasaran sekali dengan alasan yang membuat Farzan cinta kepada kakak iparnya sendiri.
“Nggak mau jawab ah. Nanti kamu cemburu trus ngomel-ngomel,” tolak Farzan dengan wajah tengil.
“Ih, enggak, Sayang. Ngapain cemburu dan marah-marah. Udah lewat ‘kan itu.” Sorot mata hitam lebar itu mendadak berubah tajam.
“Kecuali kamu masih cinta sama Kak Arini, baru aku bikin perhitungan sama yang ini,” sambungnya mencengkram sesuatu di bawah sana.
“Eh, jangan! Itu aset masa depan kita, Sayang. Jangan diapa-apain. Calon anak-anak kita ada di dalam sana,” cecar Farzan panik.
Nadzifa tergelak melihat raut panik di wajah Farzan. Dia kembali menarik tangan ke atas, kemudian mengusap kening hingga puncak kepala suaminya.
“Nggak mungkin aku begitu, Zan. Kejam banget.” Wanita itu masih cekikikan. “Kecuali kamu selingkuh. Baru deh beneran aku bikin nggak bangun lagi.”
Farzan bergidik mendengar ancaman sang Istri.
“So, gimana ceritanya? Aku penasaran banget. Kok bisa?” Nadzifa dan rasa penasarannya.
Pria itu kemudian menceritakan apa yang terjadi sebelum ia menyadari perasaannya terhadap Arini. Dia sendiri sebenarnya enggan mengatakan ini, tapi tidak tega juga melihat Nadzifa penasaran. Bisa-bisa tidak tidur nanti malam.
“Jadi ciuman kita waktu itu bukan yang pertama bagi kamu?” Bibir wanita itu langsung berkerut-kerut.
Farzan menggeleng pelan. “Yang kedua. Maaf ya?”
Wajah cantik itu langsung mengerucut seperti ingin menangis. Beruntung suara ponsel Farzan mengurungkan niat Nadzifa untuk meraung-raung tidak ikhlas, karena menjadi wanita kedua yang dicium suaminya.
“Sebentar. Kak Arini telepon,” seru Farzan setelah meraih ponsel dari atas nakas.
Nadzifa memutar bola mata seraya mendengkus kesal. Bukan kesal karena cemburu dengan Arini, tapi karena tidak jadi menangis mencari perhatian suaminya.
“Assalamualaikum, Kak,” sapa Farzan setelah menggeser tombol terima.
“Waalaikumsalam,” sahut Arini, “kamu lagi di mana, Dek?”
“Lagi di kondominium. Tumben tanya di mana? Kayak Kakak lagi di Singapore aja,” balas Farzan menaikkan kedua alis.
“Beneran ya? Nggak lagi di luar?” Arini memastikan lagi.
Farzan seketika panik saat memikirkan kemungkinan Kakak dan Kakak iparnya benar-benar berada di Singapura sekarang.
“I-iya beneran, Kak. Jangan-jangan Kakak ada di Singapore ya?” Pria itu langsung mengubah posisi menjadi duduk.
“Kenapa sih, Sayang? Kok tiba-tiba gelisah gitu?” Nadzifa kebingungan, ikut duduk dengan tangan menahan selimut agar tidak tersingkap. Bisa girang si Farzan kalau lihat aset istrinya. Haha!
“Iya. Ini bentar lagi sampai di gedung tempat kamu tinggal. Kakak dan Mas bawain makanan buat kamu. ‘Kan nggak bisa masak di sana,” tanggap Arini terdengar santai tanpa beban.
“Zan?” panggil Nadzifa masih dengan raut wajah heran.
Farzan menutup bagian bawah ponsel sebelum menjawab pertanyaan istrinya. “Kak Arini dan Mas Brandon lagi ke sini. Buruan pake baju.”
Nadzifa ikut-ikutan panik, lalu mengambil pakaian yang dilucuti Farzan dari lantai.
Sementara Farzan menundukkan kepala malu mendengar suara cekikikan di telepon. Suami istri itu seperti menertawakan kepanikannya dan Nadzifa.
“Astaga. Kakak ganggu kalian ya?” lontar Arini masih tertawa.
“Kamu sih, In. Aku udah bilang, kita nginap di hotel aja dulu. Besok baru samperin Farzan. Jadi ganggu mereka ‘kan tuh.” Terdengar suara Brandon berkomentar.
“Habis kangen sama adek kesayangan, gimana dong?”
“Iya deh, iya.”
“Kak, Mas. Nanti aja berantemnya ya. Aku siap-siap dulu. Masih lama nggak?” tanya Farzan meraih pakaian yang tergeletak asal di lantai.
“Tiga jam lagi deh. Kakak sama Mas mau main ke Garden By The Bay dulu. Kalian nggak usah buru-buru,” jawab Arini tidak ingin mengganggu kesenangan adik iparnya.
Farzan nyengir kuda seraya garuk-garuk kepala. Dia melihat ke arah Nadzifa menggelengkan kepala. Tangannya menahan sang Istri yang ingin beranjak ke kamar mandi.
“Ya udah. Nanti aku pesenin makanan deh buat makan malam.”
“Nggak usah. Kakak bawa makanan nih.”
“Tiga jam lagi ya, Kak?” Farzan mengajukan pertanyaan lagi.
“Iya, Dek. Santai aja,” pungkas Arini sebelum panggilan berakhir.
Farzan dan Nadzifa sama-sama mengembuskan napas lega. Wanita itu kembali duduk di pinggir tempat tidur, tidak jadi buru-buru ke kamar mandi. Keduanya tertawa lepas menyadari betapa paniknya mereka barusan. Beruntung Arini dan Brandon pengertian, sehingga menunda kedatangan ke kondominium.
***
Farzan menatap nanar lantai yang dilapisi karpet. Matanya menghangat setelah mendengar berita yang dibawa oleh Arini dan Brandon barusan. Dia tidak menyangka nasib ibunya akan menjadi seperti ini.
“Sidang ditunda, karena alasan kesehatan Ayu, Dek,” info Arini dua jam yang lalu.
“Emang Mommy sakit apa, Kak?” tanya Farzan cemas. Meski Ayu jahat dan hanya menjadikannya sebagai mesin uang, tapi ia tetaplah wanita yang telah mengandung dan melahirkan dirinya.
“Kejiwaannya terganggu.”
Itulah yang membuat Farzan merasa terpukul. Sang Ibu menjadi gila karena tidak bisa mewujudkan impiannya. Apalagi anak kandungnya tidak mau bertemu. Selama lima bulan ini, tidak sekalipun Farzan mengunjungi Ayu di penjara. Dia benar-benar membuktikan perkataan yang diucapkan waktu itu.
“Lagi mikirin Tante Ayu ya?” Nadzifa duduk di samping Farzan membawa secangkir kopi panas.
Farzan tersenyum samar.
“Kamu nggak mau pulang jenguk Tante Ayu?” Wanita itu memiringkan kepala, agar bisa mempelajari raut wajah Farzan.
“Nggak, Zi. Biarin aja dia begitu. Mungkin itu yang terbaik dan bisa bikin dia sadar dengan kesalahan yang telah diperbuat,” tanggap Farzan terdengar berat.
Nadzifa mengangguk paham. Dia tidak ingin terlalu memaksa suaminya untuk berdamai dengan sang Ibu. Barangkali Farzan butuh waktu, setelah apa yang terjadi. Jika berada di posisi yang sama, ia pasti juga akan mengambil sikap seperti itu. Contoh saja dengan saudara kandungnya sendiri.
“Minum ini, Sayang. Biar pikiran tenang,” ujar Nadzifa menyerahkan secangkir kopi.
Farzan menerima kopi yang diberinya, kemudian meneguknya dua kali. Kening berukuran ideal itu berkerut sebentar.
“Nggak mempan deh, Sayang.” Farzan melihat serius istrinya.
“Masa sih?”
Pria itu segera meletakkan cangkir kopi itu di atas meja. Dia meraih tangan istrinya, lalu mendudukkannya di atas paha. Bibirnya memulai aksi yang mampu membuat Nadzifa memanas, sehingga terjadilah hal yang mereka inginkan. Itulah yang mampu menenangkan pikirannya sekarang.
Beberapa menit kemudian Nadzifa dan Farzan berdiri di dekat jendela kondominium yang ditempati, tepat di lantai 54. Dari kejauhan tampak Garden By The Bay yang begitu indah dihiasi lampu warna-warni dari pohon di dalam taman bunga yang menjadi icon tempat wisata terkenal Singapura tersebut.
“Indah banget ya?” gumam Nadzifa terpesona melihat pemandangan yang terpampang di depan mata.
“Lebih indah kamu, Sayang,” sahut Farzan di samping telinga istrinya.
Pria itu memeluk Nadzifa dari belakang, sehingga kulit polos mereka saling bersentuhan di balik selimut yang melingkar menutupi tubuh keduanya.
“Gombal.”
“Eh, bukan gombal itu namanya. Beneran, kamu itu lebih cantik. Apalagi kalau aku buka selimutnya sekarang. Bikin mata nggak berkedip,” bisik Farzan menggigit daun telinga Nadzifa dengan penuh cinta.
Nadzifa memutar tubuh masih di dalam selimut, agar bisa menghadap Farzan. Dia melingkarkan tangan di belakang pundak suaminya, kemudian melabuhkan ciuman intens. Mereka kembali saling melumat dan mengecap manisnya bibir masing-masing.
Ketika hendak bergerak lagi ke tempat tidur untuk melanjutkan ke tahap berikutnya, terdengar pintu kamar diketuk.
“Zan. Tolong Mas.” Suara bariton milik Brandon terdengar panik di sebelah sana.
Suami istri itu langsung mendesah pelan ketika aksi panas mereka harus berhenti secara paksa.
“Ya, Mas. Sebentar,” sahut Farzan setengah berteriak.
Pria itu mengambil pakaian, lalu mengenakannya lagi. Begitu juga dengan Nadzifa.
“Kenapa, Mas?” tanya Farzan dengan kening berkerut setelah membuka pintu.
“Itu … Kak Arini tiba-tiba ngidam rendang. Kamu tahu nggak restoran masakan Padang deket sini di mana?” jawab Brandon kembali memberi pertanyaan pada kalimat terakhir.
“Ngidam?” Farzan dan Nadzifa serentak bertanya.
“Ada nggak, Bran? Calon anak kita pengin makan rendang nih malam-malam.” Arini tiba-tiba sudah ada di lantai dua kondominium yang dihuni Farzan dan Nadzifa.
Pandangan pasangan yang baru lima bulan menikah itu beralih ke arah Arini yang mengelus pelan perutnya. Setelah itu mereka saling berbagi pandangan penuh tanya.
Brandon tersenyum aneh sebelum menjawab keheranan adik dan adik iparnya. “Kak Arini lagi hamil, udah masuk bulan keempat.”
“What?!” seru mereka serentak.
“Emang kenapa kalau Kakak hamil lagi? Ada suami ini kok,” tanggap Arini santai merangkul lengan suaminya. “Lagian umur kakak juga belum lima puluh tahun. Belum tua-tua banget dong.”
“Iya, Kak. Cuma kaget aja. Ya ‘kan, Sayang?” Nadzifa mengalihkan pandangan ke arah Farzan.
Pria itu menganggukkan kepala meski terkejut mendengar kehamilan Arini.
“Ya udah, biar aku yang pesenin rendangnya. Kakak dan Mas istirahat dulu. Kalau udah aku panggil ke bawah,” ujar Farzan kemudian.
Arini dan Brandon mengangguk setuju.
“Jangan lama-lama, Zan. Adik kamu udah laper katanya,” celoteh Arini nyengir kuda.
Setelahnya mereka turun lagi ke lantai bawah, tempat kamar tamu berada. Sementara Farzan dan Nadzifa masuk ke kamar untuk memesan rendang di restoran langganan.
“Kita kalah nih sama Kak Arini dan Mas Brandon,” keluh Nadzifa dengan raut wajah cemberut.
“Kalah apanya? Emang lagi lomba?”
“Bukan gitu, Zan. Aku ‘kan pengin cepat-cepat hamil juga.” Nadzifa mendadak uring-uringan. “Umurku udah tiga puluh lima loh ini.”
Farzan memutar tubuh menghadap istrinya. Senyum lembut tergambar di paras yang memiliki rahang tegas itu.
“Nadzifa Sayang. Anak itu amanah. Allah pasti kasih kita kalau waktunya udah tepat. Berarti sekarang kita disuruh puas-puasin dulu pacaran setelah nikah.
“Kalau nggak dikasih gimana?”
“Ya berarti nggak rezeki.” Farzan berdecak dengan mata menyipit. “Kamu kok mikirnya jauh gitu sih? Kita baru lima bulan nikah loh. Masih ada waktu. Tenang.”
Nadzifa menarik napas singkat, kemudian duduk di pinggir tempat tidur. Dia melihat lagi ke arah Farzan yang tampak santai. Tidak ada beban di parasnya mengenai kehadiran buah hati. Sesaat senyum tergambar di wajah tirusnya.
Jauh di dalam hati, ia sangat bersyukur memiliki suami seperti Farzan. Pria yang dikenal kaku dan dingin, sekarang menjadi suami yang perhatian dan penyayang. Tidak pernah mempermasalahkan perbedaan usia yang jauh di antara mereka. Tidak pernah meminta dirinya untuk berpenampilan lebih muda dari usia yang sebenarnya. Justru Farzan-lah yang menyeimbangkan Nadzifa dari segi penampilan.
“Kamu ngapain lihat aku kayak gitu?” desis Farzan ketika mengambil ponsel untuk memesan rendang.
“Beruntung aja nikah sama kamu, Sayang,” balas Nadzifa.
Pria itu tersenyum seraya geleng-geleng kepala. “Aku lebih bersyukur lagi punya istri kayak kamu, Zi.”
Farzan tidak pernah menyangka akan jatuh cinta dengan perempuan yang jauh dari kriteria ideal sebagai seorang istri yang salihah. Siapa menyangka wanita yang suka clubbing dan dekat dengan alkohol, sekarang bisa menjadi istri yang baik dan patuh terhadap suami. Bisa menjadi ibu yang baik juga bagi calon anak-anak mereka kelak.
“Gimana kalau aku nggak bisa punya anak?” cetus Nadzifa membuat Farzan terkejut.
Pria itu merangkul bahu istrinya, kemudian memberi kecupan di sana. “Cintaku nggak akan berubah, Sayang. Kita bisa ambil anak asuh. Tuh lihat Kak Arini dan Mas Brandon punya banyak anak asuh.”
Nadzifa menjepit bibir sebentar. “Kamu nggak akan tinggalin aku dan cari wanita lain, ‘kan?”
Farzan menggelengkan kepala.
“Janji?”
“Janji. Kita akan hadapi semua bersama-sama, hingga maut menjemput,” janji Farzan tanpa ragu.

=MENCINTAI ISTRI KAKAKKU TAMAT=
SAMPAI JUMPA DI SEQUEL YANG NANTI BERJUDUL ‘MENCINTAI SEDALAM LAUTAN’
Sequelnya belum aku kerjakan dalam waktu dekat yaa, Kakak-kakak. Jadi bersabar dulu.
Oya, sekalian aku mau info kalau Trilogi JUST seri kedua mau aku bikin versi baru, jadi bisa publish di sini juga. Jadi, kakak-kakak reader yang belum baca JUST FOR FUN bisa tahu kelanjutan kisah Arini dan Brandon di novel JUST ON BED. Insyaa Allah aku bikin antara bulan Februai atau April. Follow IG @Leena_gie aja buat info selanjutnya yaa.

Book Comment (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • View All

End

Recommendations for you