logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 48 Tidak Ada yang Tidak Mungkin

“Seberapa mirip sih, Bram?” selidik Farzan.
“Kalau lepas kerudung mirip banget, Zan,” sahut Bramasta yakin.
Farzan menyandarkan punggung di dinding. Dia memikirkan segala kemungkinan wanita itu Nadzifa. Kepalanya menggeleng cepat.
“Kayaknya nggak mungkin deh,” kata Farzan ragu.
“Kenapa nggak mungkin, Dek?” Arini ikutan nimrung.
“Zizi pernah bilang belum siap pake kerudung. Katanya harus dari hati dulu.”
Elfarehza berdecak beberapa kali seraya geleng-geleng kepala. “Yang namanya hidayah itu kita nggak tahu, Bang. Bisa jadi ada yang bikin Kak Nadzifa mau tutup aurat, ‘kan?”
Bramasta manggut-manggut setuju dengan perkataan El.
“Allah maha membolak-balikkan hati manusia, Dek. Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi. Apalagi kamu udah sebulan lebih nggak ketemu sama Nadzifa, ‘kan? Siapa tahu sekarang dia beneran pakai hijab. Jangan bilang nggak mungkin ah,” papar Arini lugas.
El dan Bram menatap wanita itu tanpa berkedip. Untuk pertama kalinya Arini berbicara panjang dan jelas seperti ini semenjak dua tahun belakangan.
“Mami, are you okay? Kok rasanya ada yang beda?” celetuk Elfarehza.
“Beda apanya, El?” Kening Arini berkerut bingung.
“Abang ngerasain, ‘kan?” El melihat Farzan.
Farzan mengangguk lagi membenarkan perkataan El. “Tuh ‘kan, Kak. Yuk aku temenin cek lagi ke dokter,” ajaknya semangat.
Wanita berkerudung itu menggelengkan kepala. “Nanti aja. Kakak masih mau di sini dulu tungguin Mas. Kalau nanti sadar ‘kan bisa langsung ke dalam.”
“Biar aku aja, Kak. Sekarang Kakak pulang dulu sama El. Istirahat. Kalau Mas udah sadar, langsung aku kabari.”
“Kamu belum ngerasain gimana rasanya kehilangan, Zan. Kakak nggak bisa istirahat sebelum Mas sadar.” Arini dan sifat keras kepalanya.
Farzan mendesah pelan. Dia tidak bisa memaksa Arini, khawatir jika nanti sakit lagi. Sebaiknya ia terus di rumah sakit menemani sang Kakak Ipar dulu. Pandangan netra elangnya beralih kepada El.
“Pulang gih, El. Biar Abang yang jagain Mami dan Papi.”
“Aku di sini aja, nungguin Papi siuman. Kali aja nanti cariin aku.” Elfarehza enggan meninggalkan rumah sakit.
Pada akhirnya Farzan sia-sia menyuruh kedua orang itu untuk beristirahat di rumah. Berbeda dengan ketika meminta Sandy, Lisa, Al dan suaminya untuk pulang ke rumah.
Mereka berempat beranjak ke kursi panjang tak jauh dari ruangan Brandon dirawat. Di dalam ada perawat yang mengawasi, sehingga bisa dikabari secepatnya jika pria itu sudah sadar.
“Kamu udah coba hubungi Nadzifa belum, Zan?” Arini mengajukan pertanyaan ketika mereka telah duduk.
“Udah, Kak. Tapi nggak pernah diangkat.” Farzan mengalihkan paras kepada El. “Kamu ada chat atau teleponan sama Zizi nggak?”
“Cuma Syifa yang sempat teleponan sama Kak Nadzifa, Bang. Tapi nggak tahu kapan. Kayaknya diskusi kebaya wisuda deh.”
“Telepon dan chat gue juga nggak dibalas, Zan. Cuma dibaca doang,” sela Bramasta tanpa ditanya.
Farzan tepekur memikirkan jalan keluar dari permasalahannya dan Nadzifa. Dia ingin memperbaiki semuanya, tapi tidak tahu harus mencari ke mana gadis itu. Selama beberapa hari ini, ia telah mencari ke apartemen dan bolak-balik ke butik juga, tapi hasilnya nihil.
“Kamu udah coba cari ke butiknya belum?” tanya Arini dengan sebelah alis naik ke atas.
“Tuh ‘kan Mami. Ya Allah, semoga bener Mami udah sembuh,” seru El memeluk Arini dengan penuh haru. Dia sangat bersyukur melihat ibunya seperti ini. Benar-benar berbicara seperti orang normal, tidak ada gejala yang muncul ketika mereka berdiskusi sejak tadi.
Arini tersenyum memandang El seraya mengusap lembut pinggir wajahnya. “Anak Mami udah gede ya sekarang. Gimana kabar Syifa?” godanya memiringkan kepala.
“Ih Mami apa-apaan sih? Orang kita belum tamat kuliah loh ini, Mi. Jadi belum bisa kayak Al.” El menundukkan kepala malu-malu meong.
“Kamu udah belajar bisnis, ‘kan? Bentar lagi juga bisa bantuin Abang dan Papi loh di kantor.”
“Ya tetap aja, Mi. El masih pengin cari uang sendiri dulu. Kalau udah mapan baru pikirkan langkah selanjutnya. Gitu,” tanggap Elfarehza.
“Setuju, El. Zaman sekarang susah kalau nikah nggak mapan,” imbuh Bramasta setuju.
“Kalau lo emang bukan karena pengin mapan, Bram. Belum ada yang mau aja,” ledek Farzan menepuk pelan pundak sahabatnya.
“Sialan, buka kartu aja lo,” sungut Bramasta seraya menaikkan frame kacamata yang turun.
Suara sepatu yang bergerak cepat terdengar dari kejauhan. Keempat orang tersebut menoleh serentak ke sisi kiri lorong. Tampak seorang dokter dan dua orang perawat berjalan cepat menuju ruang perawatan. Langkah mereka berhenti ketika tiba di depan ruangan tempat Brandon berada.
Arini, Farzan dan El langsung berdiri menghampiri mereka.
“Ada apa dengan suami saya, Dok?”
“Kakak saya kenapa, Dok?”
Tanya Arini dan Farzan serentak. Keduanya mendadak cemas melihat raut tegang di wajah dokter dan perawat.
“Pasien mulai sadar, Bu, Pak. Mohon tunggu di luar terlebih dahulu, karena dokter akan lakukan pemeriksaan lebih lanjut,” jelas perawat yang mengenakan sanggul kecil.
Wajah ketiga orang tersebut tampak tegang. Farzan yang paling tinggi di antara mereka, berjinjit agar bisa melihat melalui kaca kecil yang ada di pintu. Dia melihat dokter sedang melakukan pemeriksaan kepada Brandon yang masih terbaring di tempat tidur.
Mereka kembali melafalkan doa, agar Brandon sadarkan diri. Suasana mendadak hening ketika dokter masih belum keluar dari dalam ruangan hingga sepuluh menit kemudian.
“Ibu Arini, silakan masuk,” kata perawat yang baru muncul di sela pintu.
Tanpa bertanya lagi Arini segera memasuki ruang perawatan. Sementara Farzan, Elfarehza dan Bramasta hanya bisa menunggu di luar.
“Gimana keadaan Kakak saya, Sus?”
Pertanyaan yang diajukan Farzan barusan, membuat perawat tersebut mengurungkan niat memasuki ruangan.
“Pasien sudah sadar, Pak. Kondisinya mulai stabil,” tutur perawat perempuan itu, sebelum berputar ke dalam ruangan.
“Alhamdulillah,” ucap Farzan, El dan Bramasta serentak.
Ketiganya saling berbagi pandangan satu sama lain. Tampak raut kelegaan yang luar biasa. Artinya Brandon sudah melewati masa-masa kritis.
Farzan melihat Arini memeluk tubuh kurus Brandon seraya memberi kecupan di seluruh wajah pria itu. Senyum lega tergambar jelas di parasnya sekarang. Dia bisa menyaksikan betapa bahagia sang Kakak ipar karena suaminya kembali seperti sedia kala.
“Pak Farzan, boleh masuk.” Perawat yang tadi, kembali berdiri di sela pintu.
“Saya gimana, Sus?” protes Elfarehza.
“Nanti dulu ya, Mas. Satu-satu,” tanggap perawat tersenyum singkat.
Farzan segera memasuki ruangan. Langkah semakin cepat ketika melihat Brandon mengulurkan tangan menyambut kedatangannya. Dia bergerak ke sisi kiri tempat tidur.
“Alhamdulillah, Mas,” desis Farzan meraih tangan sang Kakak. Ada banyak pertanyaan yang bergelayut di pikiran, tapi harus ditahan. Tidak mungkin mengajukannya karena Brandon baru saja sadar.
Brandon tersenyum lemah memandang sang Adik. “Makasih, Zan,” lirihnya.
“Makasih untuk apa, Mas?”
“Makasih udah jaga Iin dan anak-anak.” Brandon menarik tangan Farzan, agar duduk di kursi samping kiri tempat tidur. Pandangan netra sayunya bergerak melihat ke arah pintu yang sedikit terbuka.
“Nadzifa mana?” Brandon mengajukan pertanyaan yang mampu membuat kening Farzan mengernyit heran.
“Kok malah tanyain Zizi, Mas?”
Brandon melihat kepada Arini sebentar. “Boleh tinggalin aku dan Farzan berdua dulu nggak, Sayang?” katanya pelan.
Arini berdiri kemudian membelai lembut kening Brandon hingga ubun-ubun. Dia memberi kecupan di kening, kemudian turun ke bibir pria itu. Perawat dan dokter juga turut keluar dari ruangan, karena kondisi Brandon kini sudah stabil.
“Jangan lama-lama. Aku masih kangen sama kamu, Bran,” cicit Arini keberatan.
Brandon mengedipkan mata pelan, sebagai tanda paham dengan perkataan Arini. Dia melihat sang istri meninggalkan ruang perawatan.
“Zan,” panggil Brandon menatap serius adiknya.
“Gimana, Mas?” Farzan mendekat ke samping kepala Brandon, agar bisa mendengar perkataannya dengan jelas. Kehilangan tenaga membuat suara Brandon menjadi pelan.
“Mas nggak tahu harus berterima kasih seperti apa lagi sama Nadzifa.” Pernyataan Brandon membuat Farzan semakin bingung.
“Orang yang selamatkan Mas dari wanita itu adalah Nadzifa. Kalau saja dia nggak datang tepat waktu, Mas pasti udah meninggal sekarang,” ungkap Brandon membuat mata elang Farzan melebar seketika.
Kenapa Zizi bisa menyelamatkan Mas? Siapa wanita yang dimaksud? Ada apa ini? racau Farzan di dalam hati.
Bersambung....

Book Comment (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters