logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 45 Will Find You

“Apa pantas gue jemput kebahagiaan di saat suasana keluarga gue sedang berduka?” Pertanyaan itu dilontarkan Farzan setelah hening beberapa saat.
“Nggak ada salahnya, Zan. Lo berhak bahagia. Masa cinta lo harus kandas untuk kedua kalinya? Nggak nyesek apa?” Bramasta memanas-manasi pria itu.
Farzan tepekur sebentar, memikirkan langkah apa yang harus ditempuh. Tiba-tiba Bram menepuk pundaknya keras.
“Udah sana. Kelamaan mikir lo. Entar beneran diembat orang, baru tahu rasa,” sambungnya menakut-nakuti.
Kepala Farzan langsung menggeleng cepat. “Gue nggak akan biarkan itu terjadi, Bram.”
Pria bertubuh tegap itu langsung berdiri, kemudian menggamit tangan Bramasta. “Temenin gue.”
Dia beranjak ke dekat meja kerja mengambil jaket kulit berwarna cokelat yang biasa dikenakan ketika mengendarai motor.
Bramasta tertawa melihat kepanikan yang tergambar jelas di paras sahabatnya. Dia berdiri dan setuju untuk menemani pria itu menemui Nadzifa.
“Pak Habib. Hari ini ada jadwal meeting nggak?” tanya Farzan kepada sekretarisnya.
“Tidak ada, Pak. Hanya ada tanda tangan dokumen saja,” jawab pria paruh baya tersebut.
“Masih bisa sign besok, ‘kan?”
“Bisa, Pak.”
“Kalau gitu, saya keluar sebentar. Urgent.”
Pak Habib hanya mengangguk dengan membungkukkan sedikit tubuh ke depan.
Farzan dan Bramasta segera meninggalkan pria tersebut di meja kerjanya. Mereka melangkah cepat menuju lift berada.
“Kita mau ke mana dulu nih?” Bramasta mengajukan pertanyaan.
“Apartemen.”
Kening Bramasta berkerut membuat frame kacamatanya bergerak sedikit. “Kenapa nggak ke tempat kerjanya aja? Masih jam kantor loh sekarang.”
Farzan menepuk pelan kening sendiri. “Lo bener. Kita ke butiknya sekarang!”
“Tempat konveksinya juga di sana, ‘kan?”
“Iya. Satu tempat. Ruko gitu,” sahut Farzan seraya keluar dari lift, setelah pintu terbuka. Dia langsung mengenakan jaket dengan rapat.
“Pake apa nih perginya?”
“Motor aja deh. Jadi kalau nggak ada di butik langsung ke apartemen. Takut macet kalau pakai mobil.” Farzan mengerling ke arah parkiran motor.
“Tapi gue nggak ada helm, Zan. Tadi ke sini pake taksi online.”
“Gampang, bisa pinjam security.” Pria itu mengibaskan tangan. Tumbenan Bramasta sekarang ribet.
Setelah meminjam helm kepada petugas penjaga parkiran, Farzan langsung naik motor. Dia meminta Bram untuk naik di belakang.
“Sorry, Zan. Bukannya apa-apa.” Bramasta menelan ludah melihat jok belakang motor yang lebih tinggi dibanding bagian depan. “Masa gue boncengan trus meluk lo kayak cewek?”
“Lo bisa duduk biasa, Bram.”
“Pinggang gue bisa encok, Zan.” Bramasta menggeleng.
“Lo aja deh yang pergi. Daripada dibilang aneh-aneh sama orang. Mana gue belum nemu belahan jiwa lagi. Lo mah enak, udah punya Mbak Nadzifa. Lha gue?” cerocos pria berkacamata itu bergidik seraya mengusap tengkuk sendiri.
“Beneran nih nggak mau ikut?”
Bramasta menggeleng enggan. “Serius. Lebih baik gue nggak ikut daripada peluk lo. Najis!”
“Sialan lo!” sungut Farzan dengan mata menyipit.
“Ya udah deh. Lo bisa pulang sendiri, ‘kan?”
“Trus lo mau anterin? Sama aja gue kudu boncengan sama lo,” cibir Bramasta.
Farzan menarik napas berat, kemudian menepuk lengan Bram. “Kalau gitu gue duluan ya. Helmnya balikin lagi ke security. Hati-hati di jalan. Doakan gue berhasil.”
“Yoi, Man. Good luck,” pungkas Bramasta sebelum Farzan menekan kopling dan menarik gas perlahan.
***
Selang dua puluh menit kemudian, Farzan sudah tiba di depan butik milik mendiang ibu Nadzifa. Dia memarkir motor terlebih dahulu, lalu melepaskan helm. Jantungnya berdebar cepat membayangkan sebentar lagi akan berjumpa dengan gadis itu.
Satu bulan bukan waktu yang singkat untuk dilewati. Farzan ingin sekali berjumpa dengan Nadzifa, tapi sayang seluruh waktunya tersita dengan kesibukan mencari Brandon dan menangani perusahaan. Dia terpaksa menahan kerinduan yang mulai tak terbendung.
Farzan menarik napas sebentar seraya membuka resleting jaket kulit yang dikenakan. Dia melihat pantulan diri sebentar di kaca spion, memastikan tidak ada yang aneh dari parasnya. Desahan pelan keluar dari sela bibir ketika menyadari apa yang dikatakan Bramasta saat di kantor tadi benar. Wajahnya tampak kusut dan lelah. Belum lagi rambut halus mulai muncul di area bawah hidung, pinggir wajah hingga dagu.
“Oke. Lo harus bisa, Zan!” seru Farzan pada diri sendiri.
Setelah menganggukkan kepala, Farzan segera melangkah menuju pintu kaca butik yang sekarang dikelola Nadzifa. Begitu tiba di dalam, sorot mata elangnya menyapu ruangan yang menampilkan beragam pakaian wanita. Tidak ada perempuan yang ia cari di sana.
“Selamat datang, Pak. Ada yang bisa dibantu?” sapa karyawan butik.
“Ehmmm … Ibu Nadzifa ada?” tanya Farzan to the point. Rasa rindu yang menggebu tidak mengizinkan pria itu untuk berbasa-basi.
“Oh, cari Ibu Nadzifa ya? Ibunya a—”
“Eh, Mas Farzan.” Seorang perempuan berusia empat puluhan datang menyela. Dia menggelengkan kepala kepada pelayan yang tadi ditemui Farzan. “Kamu ke dalam dulu gih ambil tambahan stok baju yang udah selesai di-packing,” titahnya lagi.
Pelayan itu segera bergerak ke dalam melaksanakan perintah orang kepercayaan Nadzifa itu.
“Ada apa, Mas?”
“Mau ketemu sama Zizi, Mbak. Ada?” Farzan kembali mengerling sekilas ke arah bagian konveksi.
“Zizi lagi ndak di Jakarta, Mas,” balas wanita itu dengan logat jawa yang kental.
“Maksudnya, Mbak?” Farzan tampak bingung.
Wanita paruh baya itu mengulurkan tangan ke arah kursi, agar Farzan duduk terlebih dahulu sebelum pertanyaannya dijawab. “Duduk dulu, Mas.”
Pria itu meletakkan helm di atas kursi kayu panjang, kemudian duduk. Terdengar helaan napas berat dari samping kanan, tepat dari tempat wanita itu duduk.
“Satu bulan lalu, Zizi ke sini malam-malam dengan mata merah, seperti habis nangis.” Netra yang mulai dikelilingi kerutan itu bergerak melihat Farzan. “Dia ndak mau cerita kenapa. Tiba-tiba besok paginya bilang mau pergi ke luar kota untuk menenangkan diri.”
“Saya tanya ada apa. Dia hanya bilang pernikahan dibatalkan,” sambungnya lagi. Wanita paruh baya itu menatap lekat Farzan yang menundukkan kepala. “Mbak ndak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Tapi Zizi itu udah ndak punya siapa-siapa lagi, Mas. Cuma Mas yang dia miliki setelah Ibu meninggal.”
“Mbak sudah kenal Zizi sejak SD, tepat waktu Ibu merintis usaha ini. Jadi tahu persis kalau dia terluka.” Mata cokelat gelap milik wanita itu berkaca-kaca.
“Aku minta maaf, Mbak. Memang aku yang salah nggak jujur dari awal sama Zizi.” Farzan mengangkat pandangan melihat wanita itu. “Aku mau jelasin sama Zizi. Memang telat, tapi aku baru bisa ke sini sekarang.”
Wanita paruh baya itu mengangguk paham. Dia juga mengetahui apa yang terjadi kepada keluarga Harun dari Nadzifa.
“Mbak tahu Zizi sekarang ada di mana?”
Kepala yang ditutupi kerudung itu menggeleng pelan. “Zizi ndak bilang ada di mana, Mas. Maaf.”
Farzan mengembuskan napas lesu selaras dengan raut wajahnya. Keinginan bertemu dengan Nadzifa pupus sudah. Gadis itu tidak ada di Jakarta.
“Ya udah makasih ya, Mbak. Kalau gitu aku pamit dulu,” ujar Farzan segera berdiri, “kalau Zizi telepon, tolong kasih tahu aku ke sini.”
Wanita itu menganggukkan kepala.
“Nanti aku coba hubungi ponsel Zizi. Mudah-mudahan diangkat,” harap Farzan dengan dada terasa sesak.
Farzan memutar balik tubuh membawa rindu yang belum terobati. Langkah kaki terasa berat ketika meninggalkan tempat yang sering didatanginya ketika menjemput Nadzifa sepulang bekerja. Dia menoleh ke belakang berharap gadis itu berdiri di meja kasir seraya menyambut dirinya dengan senyum mengembang seperti biasa. Namun harapan itu sia-sia. Meja itu kosong tak berpenghuni. Hanya ada perempuan berkerudung yang berdiri dua meter dari sana.
Aku akan temukan kamu di mana pun berada, Zi. Aku nggak akan lepasin kamu lagi, janji Farzan di dalam hati.
Sementara sepasang mata hitam lebar memandang sendu dari balik kata hitam pembatas antara butik dan bagian konveksi. Jantung yang sejak tadi berdebar kencang ingin berlari menemui pasangannya yang baru saja meninggalkan ruko ini. Bulir bening yang selama ini tertahan, turun satu per satu membasahi pipi tirus miliknya.
Gue rindu sama lo, Zan, batinnya sendiri.
Bersambung....

Book Comment (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters