logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 44 After Shock

Satu bulan kemudian
Sepasang mata elang tengah mengedip pelan berusaha terbuka. Jari-jari bergerak mengurut pangkal hidung, menghalau hangover pasca bangun tidur. Setelah sepenuhnya terbuka, sorot mata itu menatap sendu melihat ruang kosong yang ada di samping.
Seharusnya, tempat itu sudah terisi dengan sosok perempuan yang akan mendampinginya satu bulan lalu. Namun, peristiwa pahit nan memilukan mampu mengubah semua. Terutama kehilangan dua orang sekaligus yang begitu berarti bagi Farzan; Brandon dan Nadzifa.
Hingga detik ini, jasad Brandon belum ditemukan. Tim yang dibentuk kepolisian masih melakukan pencarian, sesuai dengan permintaan keluarga Harun. Mereka masih belum bisa menerima Brandon dinyatakan tewas pada kecelakaan tersebut.
“Aku belum percaya sampai melihat jasad Brandon di depan mata.” Begitulah kalimat yang dilontarkan Arini ketika menolak suaminya dinyatakan tewas dalam kecelakaan tunggal.
Raut lelah tampak di paras dengan rahang tegas milik Farzan. Selama satu bulan ini banyak yang dilaluinya. Dia kerap ikut melakukan pencarian di sela rutinitas baru yang kini dijalani. Ya, sesuai dengan permintaan Sandy, Farzan diminta untuk menggantikan posisi Brandon. Terlalu berisiko jika membiarkan posisi Komisaris Utama The Harun’s Group kosong, apalagi saat ini Direktur Utama tidak dipegang oleh anggota inti dari keluarga Harun.
Setelah pikiran fokus sepenuhnya, Farzan berangsur ke posisi duduk. Dia meraih ponsel dari atas nakas dan membuka aplikasi chat. Netra hitam itu menatap nanar ruang chat yang bertuliskan nama Zizi di bagian atas. Tidak ada balasan dari pesan yang dikirimnya tepat dua jam setelah mereka bertengkar.
Me: Aku minta maaf, karena nggak jujur sama kamu dari awal. Aku akan jelasin semuanya sama kamu nanti, setelah Mas Brandon ketemu. Sekarang aku harus fokus dulu dengan masalah ini. Bukan berarti masalah kita nggak penting. Kamu mau kasih kesempatan buat aku, ‘kan?
Desahan pelan keluar dari sela bibir Farzan ketika rindu yang hinggap terasa menyesakkan. Dia beristighfar berkali-kali agar hatinya kembali tenang. Setelah itu beranjak menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu.
Farzan melafalkan doa kepada Tuhan, agar segera mempertemukannya lagi dengan Brandon. Pria itu tidak tega melihat kondisi Arini yang semakin tidak baik karena suaminya menghilang.
Selesai menunaikan salat Subuh, Farzan langsung turun ke lantai dasar mencari tahu keadaan kakak iparnya. Bagaimanapun Arini butuh perhatian ekstra dari keluarga, agar bisa melewati hari-hari sulit.
Farzan melihat pintu kamar Arini terbuka. Pandangannya beredar ke seluruh ruangan. Tidak ada siapa-siapa di sana. Seperti biasa, menjelang pukul enam pagi penghuni rumah masih berada di kamar masing-masing.
“Kak,” panggil Farzan mengetuk pintu kamar.
Tidak ada jawaban dari Arini. Samar-sama terdengar bunyi isak tangis di dalam kamar.
“Kak?” Farzan memanggil lagi.
Dia mendengar lagi suara tangis yang lebih kuat dari tadi. Dengan penasaran, Farzan memasuki kamar yang hanya diberi penerangan minim itu. Netra hitamnya menangkap keberadaan Arini duduk lesehan, bersandar di pinggir tempat tidur. Wanita itu meringkuk sambil memeluk foto pernikahan yang ada di figura kecil.
“Astaghfirullah, Kak,” kata Farzan tercekat.
Arini mengangkat pandangan sehingga tampak kelopak matanya yang membengkak. Hidung memerah dan penuh dengan cairan bening. Tangan kurus itu terangkat ke atas berusaha meraih Farzan.
Air mata langsung turun di pipi Farzan ketika memeluk tubuh ringkih Arini. Semenjak tidak ada kabar baik mengenai Brandon, wanita itu enggan menelan sesuap nasi.
“Brandon,” lirih Arini terdengar pilu di telinga Farzan.
Entah berapa kali wanita itu mengira dirinya adalah Brandon. Entah berapa kali juga ia menjelaskan kalau dirinya bukan pria yang dicintai Arini.
“Aku Farzan, Kak,” sahut Farzan duduk di samping Arini.
Wanita itu meletakkan figura yang sejak tadi dipegang di lantai, kemudian mencengkeram erat kerah baju kaus yang dikenakan Farzan.
“Lo jahat banget, Bran. Tenaganya lo tinggalin gue,” tuduhnya menarik-narik kerah baju itu ke depan.
“Kalau mau balas karena udah gue tinggalin nggak gini caranya. Jangan menghilang gini. Gue nggak sanggup hidup tanpa lo, Bran,” sambungnya di sela tangis yang semakin menjadi.
Farzan menenggelamkan Arini ke dalam pelukan. Sungguh tidak tega melihat wanita itu larut dalam kesedihan.
“Maafin gue, In. Gue cuma pergi sebentar,” ucap Farzan menirukan gaya Brandon. Dia berharap hanya dengan seperti ini, Arini bisa tenang.
Arini melonggarkan pelukan, kemudian memandang netra Farzan satu per satu. Tangannya bergerak membelai pinggir pipi pria itu. Ibu jari lentik itu pindah ke bibir Farzan.
“Gue rindu ciuman lo, Bran,” bisik Arini menatap bibir Farzan.
Pria itu langsung menelan ludah mendengar perkataan sang Kakak Ipar. Perasaan yang berusaha diredamnya belakangan ini kembali mendominasi. Ternyata cinta untuk Arini belum sepenuhnya lenyap dari hati. Farzan kembali lemah, terpedaya oleh perasaan terlarang.
Seketika pikiran menyesatkan muncul di kepala. Inilah saat baginya untuk memiliki Arini seutuhnya, jika cinta terhadap wanita itu jauh lebih besar dari cinta kepada Nadzifa. Hati Farzan mulai guncang.
***
Farzan duduk termenung di meja kerja yang ada di ruangan Komisaris Utama The Harun’s Group. Dia menatap foto Brandon dan Arini yang ada di atas meja. Dua minggu menjabat sebagai orang nomor satu di perusahaan itu, Farzan membiarkan semua barang-barang kakaknya di sana. Masih berharap suatu hari Brandon kembali lagi memimpin perusahaan.
Pandangannya berpindah ke layar ponsel yang menunjukkan foto prewedding-nya dengan Nadzifa. Mereka berdua tampak bahagia ketika duduk di atas jembatan Hutan Kota, Gelora Bung Karno. Gadis itu bersandar di punggungnya dengan seulas senyum yang tampak manis.
Farzan rindu dengan semua kenangan manis yang pernah mereka ukir sebelum kejadian mengejutkan ini. Dia ingin mendengar tawa, canda dan kekonyolan tingkah Nadzifa yang menggemaskan di matanya saat ini. Namun, semua kerinduan itu harus ditahan karena kesibukan akhir-akhir ini.
Pikiran Farzan kembali berkelana kepada kejadian tadi pagi. Dia hampir mengulangi kesalahan yang sama dengan empat tahun yang lalu.
“Kak, aku ini Farzan bukan Mas Brandon,” bisik Farzan ketika Arini nyaris melabuhkan ciuman di bibirnya tadi pagi. Pria itu memundurkan kepala agar bisa menghindar.
Farzan tidak ingin lagi melakukan kekeliruan yang bisa berakibat fatal. Cintanya kepada Nadzifa benar-benar diuji dengan kejadian tadi. Terjadi perang hebat di dalam diri pria itu ketika hampir jatuh lagi ke dalam pesona Arini. Pada akhirnya, Farzan berhasil menemukan jawaban siapa wanita yang paling dicintainya saat ini
Tok-tok!
Suara ketukan pintu menyentakkan lamunan Farzan. Dia melihat ke arah pintu yang masih tertutup rapat.
“Masuk, Pak,” sahut Farzan ketika tahu orang yang ada di balik pintu itu adalah Pak Habib.
“Maaf, Pak. Ada Pak Bramasta mencari Bapak,” kata Pak Habib muncul di sela pintu.
“Oh ya, suruh masuk aja, Pak,” balas Farzan kemudian.
Dia melepaskan jas yang dikenakan, kemudian menggantungkannya di sandaran kursi, menyisakan baju kemeja berwarna biru laut dan celana abu-abu gelap.
“Apa kedatangan saya mengganggu Pak Komisaris Utama?” goda Bramasta menyelipkan kepala di sela pintu.
“Sialan lo! Masuk sini,” sahut Farzan langsung berdiri.
Bram melihatnya dengan berdecak kagum. “Aura bos itu beda ya. Nggak kayak sebelumnya.”
Kedua sahabat itu berpelukan singkat, sebelum duduk di sofa. Sementara Pak Habib kembali ke luar ruangan untuk memesan minuman kepada office boy.
Bram mengamati sahabatnya lekat. Satu minggu tidak berjumpa membuatnya bisa melihat perubahan signifikan dari seorang Farzan Harun.
“Lo kurus sekarang, Zan.” Tangannya mencengkram pelan rahang Farzan, kemudian memutar kepala ke kiri dan kanan sesuka hati. “Muka lo juga nggak terawat.”
Farzan menarik napas berat sebelum menanggapi perkataan Bramasta. “Gue nggak bisa tidur mikirin Mas brandon, Bram.”
Bramasta mengangguk paham. Dia tahu persis betapa sayangnya Farzan kepada Brandon. Meski mencintai Arini, tetap saja rasa sayang pria itu tidak berkurang sedikitpun terhadap sang Kakak.
“Mbak Nadzifa udah ada kabar belum?” tanya Bram menyandarkan punggung di sofa.
Kepala Farzan bergerak ke kiri dan kanan, kemudian tertunduk lesu.
Pria berkacamata itu mendesah kesal. “Mau tunggu sampai kapan lo samperin Mbak Nadzifa lagi, Zan? Ini udah sebulan loh.”
“Lo lihat sendiri gue belum ada waktu ketemu sama dia, Bram.”
“Ada waktu, tapi lo aja yang nggak mau.”
“Bukan nggak mau. ‘Kan gue udah bilang sama lo sebelumnya. Gue akan temui Zizi setelah Mas Brandon ketemu,” sanggah Farzan tegas.
“Ya mau sampai kapan, Zan? Polisi aja belum bisa kasih kepastian.” Bramasta menarik napas singkat. “Sekarang jawab pertanyaan gue. Gimana perasaan lo sama Mbak Nadzifa? Apa dia nggak berarti apa-apa bagi lo?”
Farzan diam seraya menatap nanar ke arah karpet.
“Jangan bilang kalau lo mau jadikan Kak Arini ….” Bramasta langsung membekap mulut sendiri, sebelum melayangkan tuduhan kepada Farzan.
Farzan meninju lengan Bramasta sehingga membuatnya meringis. “Gue nggak akan ambil kesempatan dalam kesempitan Bram. Gue nggak sejahat itu. Lagian Kak Arini itu cinta banget sama Mas Brandon.”
“Enteng banget lo ngomongnya sekarang. Dulu sampai nyesek cerita ke gue lihat mereka mesra-mesra.” Sorot manik cokelat di balik kacamata itu berganti usil. “Jawab gue jujur deh. Apa Mbak Nadzifa berhasil menggantikan posisi Kak Arini di hati lo?”
Senyum terulas di bibir Farzan sekarang. “Sebelumnya gue nggak tahu persis perasaan sendiri, Bram.”
Mata elangnya beralih menatap plafon, ketika kepala bersandar di ujung punggung sofa. “Gue nyaman banget bersama Zizi. Ya, harus diakui gue tertarik sama dia dan pengin serius. Tapi gue takut aja kalau ternyata dia hanya pelarian aja. Lo paham maksud gue, ‘kan?”
Bramasta menganggukkan kepala. Dia juga mengkhawatirkan hal serupa, jika saja Farzan menjadikan Nadzifa sebagai pelampiasan karena tidak bisa mendapatkan Arini.
Farzan menegakkan tubuhnya. “Sampai kejadian tadi pagi.”
“Kejadian apa?” Bramasta kepo.
“Kak Arini hampir cium gue lagi tadi.”
“Astaga! Trus lo khilaf untuk kedua kalinya?”
Pria itu menggeleng cepat. “Gue bilang hampir, Bram. Berarti belum,” sungutnya dengan sorot mata protes.
“Syukurlah. Trus?” Tingkat keingintahuan Bramasta meningkat dua level.
“Gue menghindar, Bram. Trus bilang kalau gue bukan Mas Brandon, tapi Farzan.” Pandangan Farzan beralih kepada sahabatnya. “Saat itu gue baru sadar.”
“Sadar apa?” Bramasta mendekatkan wajah saking penasaran.
“Kalau ternyata cinta gue sekarang hanya untuk Nadzifa,” akunya tanpa gengsi.
“Cinta untuk Kak Arini udah nggak ada?” Bram memastikan.
Farzan menggeleng yakin.
“Serius?”
“Dua rius.”
Pria berkacamata itu menghadiahi tepukan keras di lengan Farzan. “Ya udah bilang sana. Samperin. Minta maaf. Suruh dia balik lagi. Tunggu Mas Brandon ketemu kelamaan, Zan. Kalau keburu diambil orang gimana?” cecar Bramasta berapi-api.
“Jangan sampai nyesel loh. Apalagi Mbak Nadzifa pengin cepet-cepet nikah juga biar amanah Nyokapnya terwujudkan,” sambungnya lagi.
Farzan ketakutan sekarang. Dia tidak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi. Cukup cinta kepada Arini yang tidak bisa diwujudkan, jangan sampai cintanya kepada Nadzifa harus kandas juga. Namun, pantaskah ia memikirkan kebahagiaan sendiri di saat kondisi keluarga masih berduka?
Bersambung....

Book Comment (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters