logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 42 Perhatian

Sepasang mata elang tampak mengerjap berusaha untuk terbuka. Dia melihat seorang perempuan berparas cantik masih lelap di samping. Tangannya bergerak naik ke atas, lalu membelai lembut kepala yang dihiasi rambut hitam tebal itu.
Farzan berusaha bangun, tapi kepala terasa pusing. Dia tidak bisa tidur sejak tadi malam memikirkan nasib Brandon yang sampai sekarang belum diketahui. Baru memejamkan mata, sudah terbangun lagi sekarang.
“Astaga! Aku jadi ketiduran di sini,” gumam Nadzifa jadi ikut terjaga.
Tadi malam ia hanya berniat mengantarkan teh hangat untuk Farzan. Nadzifa mendengarkan curahan hati pria itu hingga tertidur di kamarnya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Farzan menahan tangan Nadzifa ketika ingin berdiri.
“Aku mau ke kamar sebelah dulu. Nggak enak kalau Tante Lisa dan yang lain lihat.”
Farzan menggelengkan kepala, kemudian mengerling ke jam dinding. “Mereka baru keluar kamar nanti jam 06.00. Sekarang baru jam 04.00.”
Pria itu menarik tubuh Nadzifa kembali ke posisi tidur. Dia memeluknya dari belakang.
“Makasih udah ada untukku di saat kayak gini, Zi,” bisiknya di samping telinga Nadzifa.
Gadis itu menganggukkan kepala. Terdengar tarikan napas berat dari sela hidung Farzan.
“Hari ini aku mau ke Sukabumi lagi, cari Mas Brandon. Tolong jagain Kak Arini ya?” pintanya lagi.
Nadzifa kembali mengangguk. “Hmmm … Nanti aku telepon si Mbak aja biar bantu awasi butik dan konveksi.”
Farzan mengusap lembut punggung tangan Nadzifa yang berimpitan di depan dada. Dia kembali teringat dengan acara pernikahan yang akan digelar enam hari lagi. Pernikahan itu mustahil diselenggarakan, jika belum ada kabar tentang Brandon.
“Zan?” panggil Nadzifa menatap lurus ke depan.
“Apa?”
“Mengenai pernikahan. Sebaiknya ditunda dulu ya? Mumpung undangan belum disebar.” Nadzifa memutar balik tubuh menghadap Farzan, sehingga keduanya berhadap-hadapan sekarang.
Dia melihat raut bingung di paras pria itu. Farzan heran kenapa Nadzifa bisa tahu apa yang ada di pikirannya.
“Nggak mungkin kita nikah dengan kondisi sekarang.” Nadzifa memandang mata elang pria itu bergantian. “Nanti biar aku yang hubungi WO-nya.”
“Emang kamu tahu?”
“Alyssa pasti tahu. Soalnya Mas Brandon minta dia yang carikan,” balas Nadzifa.
“Kamu beneran mau tunda dulu? Apa nggak sebaiknya akad nikah tetap dilaksanakan?”
Kepala gadis itu bergerak ke atas dan bawah tanpa ragu. “Nggak mungkin, Zan. Mas Brandon aja belum ada kabar.”
Lagi-lagi Farzan menarik napas berat. Dia menganggukkan kepala setuju. Netranya melihat bibir berisi penuh milik Nadzifa. Keinginan untuk menciumnya kembali muncul.
“Sabar, Zan, sabar,” cicitnya pada diri sendiri.
Nadzifa tertawa pelan tahu apa yang ada di pikiran Farzan sekarang. Dia memajukan kepala, kemudian melabuhkan kecupan singkat di bibir pria itu. Senyum tergambar di paras cantiknya sekarang. Ketika Farzan menahan diri untuk tidak menciumnya, Nadzifa malah mewujudkan keinginan itu meski hanya sebatas kecupan singkat.
“Kalau gitu aku ke kamar sebelah dulu. Kasihan tuh nanti menderita,” goda Nadzifa melirik ke bagian bawah dari tubuh Farzan.
Pria itu jadi ikut-ikutan melihat ke bawah. Dia geleng-geleng kepala menyadari di saat seperti ini, masih saja ada yang ‘bangun’.
“Awas kamu nanti ya! Nggak akan aku lepasin,” ancam Farzan kembali merebahkan tubuh.
Dia hanya bisa menyaksikan Nadzifa beranjak menuju pintu dan memberikan kiss bye sebelum membuka gagangnya. Tak lama kemudian gadis itu menghilang dari balik pintu yang kini tertutup.
Farzan memutuskan untuk bangun, bersiap menunaikan salat Subuh ke masjid terdekat. Dia ingin berdoa untuk keselamatan sang Kakak yang entah bagaimana keadaannya sekarang.
***
Farzan melangkah gontai ketika keluar dari mobil, diiringi Elfarehza di belakang. Seharian melakukan pencarian bersama tim yang dibentuk kepolisian masih belum membuahkan hasil. Tidak ada jejak keberadaan Brandon di pinggir sungai. Besar dugaan, jasad pria itu terseret oleh arus yang sangat deras. Pencarian akan dilanjutkan lagi besok, karena cuaca yang kurang bersahabat.
“Bagaimana, Zan?” tanya Lisa begitu dirinya muncul di ruang keluarga.
Di sana juga ada Arini, Nadzifa, Alyssa dan Sandy. Mereka menanti kabar baik yang akan dibawa oleh Farzan.
Pria itu menggeleng lesu, lantas duduk di sofa. Tilikan mata elangnya beranjak melihat Arini yang tampak semakin pucat. Mata cokelat milik wanita itu terpejam erat dengan bibir bergerak tidak jelas. Sepertinya ia melafalkan doa untuk keselamatan sang Suami.
“Pencarian akan dilanjutkan besok, Ma.”
Farzan menengadahkan kepala ke arah plafon, menahan diri agar tidak menangis di depan Arini. Mereka sepakat untuk tidak menangis, apapun yang terjadi. Wanita itu membutuhkan dukungan dan perhatian penuh sekarang.
“Kakak mau lihat mobil Brandon, Zan,” desis Arini mengalihkan pandangan kepada Farzan.
“Kakak harus istirahat. Jangan sampai kecapekan,” tanggap Farzan.
“Tapi Kakak mau ke sana. Kakak nggak mau lupa lagi dengan apa yang terjadi sama Brandon.” Sejak tadi malam, Arini berusaha untuk tetap menjaga ingatannya bahwa sang Suami menghilang setelah kecelakaan yang terjadi.
“Abang bener, Mi. Sebaiknya Mami di rumah aja, jaga kesehatan.” Elfarehza angkat bicara.
Arini menggeleng tegas. “Mami baik-baik aja, El. Buktinya sejak pagi masih ingat apa yang terjadi sama Papi. Tanya Nadzifa.”
Kegigihan Arini dalam melawan penyakitnya sungguh luar biasa. Dia tidak mengizinkan sedikitpun penyakit yang diderita mengganggu memorinya.
Farzan dan Elfarehza melihat ke arah Nadzifa dengan penuh tanya. Gadis itu mengangguk pelan, membenarkan perkataan Arini.
“Tapi Kak Arini nggak mau makan dari pagi. Gimana mau ada tenaga kalau pergi ke sana?” ujar Nadzifa yang duduk di samping Arini.
Wanita berlesung pipi itu menggamitkan tangan kepada Alyssa. “Ambil makan buat Mami, biar besok Mami bisa ikut.”
Farzan menganggukkan kepala, agar Alyssa segera mengambilkan makan untuk Arini. Paling tidak, wanita itu butuh asupan gizi agar tidak sakit.
“Aku bikinin teh hangat buat kamu ya,” tawar Nadzifa kepada Farzan.
“Makasih ya, Zi,” ucapnya tersenyum samar.
Ketika Nadzifa akan melangkah ke dapur. Terdengar suara yang amat dikenalnya dari arah ruang tamu.
“Eh, Bram,” cetus Farzan melihat sahabatnya muncul di sela pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga.
Pria berkacamata itu menunjukkan wajah prihatin. “Maaf gue baru bisa datang ke sini sekarang, Zan.”
Farzan mengangguk singkat, kemudian menunjuk ke arah kamar yang ada di lantai dua. Artinya mereka akan melanjutkan perbincangan di sana, agar Arini tidak mendengarkan.
“Tolong bikinin buat Bramasta juga ya, Zi. Langsung ke lantai atas,” pinta Farzan mengerling ke arah tangga.
Gadis itu pergi ke dapur, sementara Farzan langsung berpamitan kepada anggota keluarga yang lain.
“Gimana sih kejadiannya?”
Bramasta tidak bisa lagi menahan rasa penasaran ketika berada di kamar. Mereka duduk bersisian di sofa berukuran kecil itu.
Farzan menceritakan kronologi kejadian tabrakan yang menyebabkan Brandon hilang. Matanya kembali berair memikirkan nasib sang Kakak sekarang.
“Trus rencana lo gimana?”
“Gue harus cari Mas Brandon sampai ketemu, Bram.”
Bramasta menganggukkan kepala. “Udah seharusnya.”
“Gue nggak sanggup lihat Kak Arini kayak gitu.” Farzan menutup wajah dengan kedua telapak tangan, sebelum menarik napas berat.
Bramasta mengamati sahabatnya dengan lekat sebelum mengajukan pertanyaan. “Gimana perasaan lo sama Kak Arini sekarang? Maksud gue, apa lo masih cinta sama dia?”
Farzan mengangkat bahu ke atas seraya menggelengkan kepala.
“Lo udah mau nikah, Zan. Kenapa masih bingung? Atau lo mau batalin pernikahan, setelah apa yang terjadi dengan Bang Brandon?” selidik Bramasta resek. Di saat seperti ini, dia masih saja penasaran dengan perasaan sahabatnya.
Farzan hening bukan karena tidak memiliki jawaban, tapi kepalanya sudah pusing memikirkan nasib Brandon dan Arini. Dia tidak ingin dibuat pening lagi dengan masalah perasaannya sendiri.
“Tujuan lo nikah ‘kan cuma meyakinkan Bang Brandon kalau lo nggak ada perasaan apa-apa sama Kak Arini. Sekarang waktu yang tepat untuk batalin pernikahan,” tutur Bramasta mengingatkan niat awal Farzan untuk menikah.
Bramasta belum tahu kalau niat Farzan menikah, bukan lagi karena permintaan Brandon pun membuktikan dirinya tidak memiliki perasaan cinta kepada Arini. Dia benar-benar jatuh cinta dengan Nadzifa. Gadis itu mampu membuat hatinya berpaling dari pesona wanita berlesung pipi itu.
“Gue nikah bu—”
Kalimat Farzan berhenti ketika mendengar bunyi cangkir jatuh ke lantai. Sontak pandangannya beralih ke arah pintu dan melihat Nadzifa berdiri mematung di sana sebelum berlari menuju tangga.
Bersambung....

Book Comment (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters