logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 41 Kegundahan Hati

Semua yang ada di ruangan itu kompak dalam diam. Tidak ada seorang pun berani membuka suara menjawab pertanyaan yang dilontarkan Arini barusan. Bingung, tak tahu harus memberi jawaban apalagi agar wanita itu percaya.
Arini berdiri kemudian melangkah ke arah Farzan. Dia menatap sayu sang adik ipar dengan mata merah digenangi air. Wajahnya menyiratkan kesedihan yang mendalam. Meski sakit, tapi Arini bisa merasakan ada yang disimpan oleh keluarganya saat ini.
Dia menarik tangan Farzan ke posisi berdiri, sehingga mereka berhadapan saat ini. “Kamu jawab kakak, Zan. Kenapa Bran belum pulang?” lirihnya terdengar memilukan di telinga pria itu.
Farzan menarik napas dalam, sehingga menimbulkan sesak di dalam dada.
“Zan!!” bentar Arini, “kamu selama ini nggak pernah bohong sama Kakak.”
Netra cokelat lebar Arini menatap mata elang Farzan satu per satu. Dia berharap adik yang telah dibesarkan dengan penuh kasih sayang mau menjawab pertanyaannya dengan jujur.
“Kamu sayang sama Kakak, ‘kan?” tanya Arini dengan sorot mata memohon.
Farzan mengangguk tanpa ragu. Sementara penghuni lainnya memilih menundukkan kepala tak kuasa melihat Arini shock jika pria itu mengatakan yang sejujurnya.
“Kalau sayang, jawab Kakak dengan jujur,” desak Arini mencengkeram bagian depan baju kaus yang dikenakan Farzan.
Tangan Farzan perlahan naik ke lengan kecil itu. Dia membungkukkan tubuh ke depan dan menatap lurus kedua mata Arini.
“Duduk dulu ya, Kak.”
Arini menggeleng dengan tegas. “Nggak sebelum kamu jawab pertanyaan Kakak.”
Desahan pelan keluar dari sela bibir Farzan, karena tahu Arini punya sifat yang keras kepala juga.
“Kak, please.”
Wanita itu bergeming dengan tatapan nanar ke arahnya.
“Jawab Kakak, Zan!” bentak Arini tak lama kemudian.
Dia sangat frustasi sekarang. Air mata jatuh berderai menanti jawaban Farzan yang tidak kunjung didapatkan. Wajah putihnya menyembulkan rona merah sebagai pelepasan beragam rasa di dalam diri.
“Mas Brandon ….” Farzan berhenti ketika kalimat yang ingin diucapkan terasa mengimpit lidahnya, sehingga tidak bisa berbicara. Terlalu berat untuk digerakkan.
“Zan?” Suara Arini melunak ketika melihat raut wajah Farzan sekarang. “Jangan bikin Kakak takut.”
Farzan menarik lagi napas sedalam-dalamnya. Mata elang itu terpejam sebentar, sebelum kembali terbuka.
“Mas Brandon kecelakaan waktu ke Sukabumi, Kak,” ungkap Farzan memberanikan diri untuk mengatakan yang sebenarnya.
Mata cokelat Arini melebar seketika tahu suami yang dicintainya mengalami kecelakaan. Tungkai yang menopang tubuh rampingnya mendadak lemas, sebelum akhirnya oleng ke kanan. Beruntung Farzan dengan cekatan menangkapnya.
“Buka pintu kamar, El,” titah Farzan panik seraya meraup tubuh Arini ke dalam gendongan.
Elfarehza segera berlari menuju kamar Arini untuk membukakan pintu. Dia melihat Farzan berjalan cepat ke kamar membawa Ibunya.
“Cepat telepon dokter, Al.” Terdengar suara Lisa dari kejauhan.
Suasana di kediaman keluarga Harun menjadi ricuh. Brandon belum ditemukan dan Arini pingsan. Untuk pertama kali mereka mengalami kondisi seperti ini.
Farzan menidurkan Arini yang tampak lemas sekarang. Sepertinya energi wanita itu terkuras habis setelah mendengar berita memilukan tentang sang Suami.
“Panggil Kak Zizi ke sini, El,” suruh Farzan, “sekalian ambil minyak kayu putih.”
Elfarehza segera keluar dari kamar, melakukan apa yang diperintahkan Farzan tadi. Sekarang pria itulah yang mengambil alih kendali di rumah ini.
“Kak Arini,” panggil Farzan menepuk pelan pipi Arini.
Wanita itu masih belum sadarkan diri. Farzan meraba samping lehernya. Masih terasa denyutan di sana. Dia mengambil bantal dan guling, kemudian meletakkannya di bawah kaki Arini. Hal ini bertujuan agar aliran darah bisa kembali lagi ke otak.
“Kak Arini!!” Farzan mengeraskan lagi suaranya.
Nihil. Arini bergeming dengan mata tertutup rapat.
Pandangan Farzan beralih kepada Nadzifa yang muncul dari arah pintu.
“Tolong longgarkan pakaian Kak Arini, Zi,” pinta Farzan beranjak ke posisi berdiri.
Gadis itu mengangguk, lantas berjalan ke dekat Arini. Nadzifa menarik resleting gaun rumah yang dikenakan wanita itu, kemudian menutup tubuhnya dengan selimut.
“Udah, Zan. Aku ke luar lagi ya,” pamit Nadzifa bersiap ke luar.
Farzan langsung menahan tangan gadis itu seraya menggelengkan kepala. “Kamu temani aku di sini dulu.”
Dia tidak ingin goyah jika berada di dalam kamar ini berdua dengan Arini. Meski sebentar lagi El datang membawakan kayu putih.
Dengan patuh, Nadzifa duduk di sisi kanan tempat tidur sementara Farzan di sisi kiri. Sejak tadi, ia mengamati interaksi calon suaminya dengan Arini. Mulai dari bagaimana pria itu memperlakukan Arini hingga kecemasan yang tampak tidak wajar di matanya. Semua membuat gadis itu bingung. Ditambah lagi sekarang, cara menatap Farzan tampak begitu berbeda.
“Ini minyak kayu putihnya, Bang.” Elfarehza datang lagi dengan napas sesak akibat berlari. Belum hilang kekhawatirannya akan kondisi sang Ayah, saat ini ia bertambah cemas dengan keadaan ibunya.
Farzan segera mengolesi bagian bawah hidung Arini dengan minyak kayu putih. Dia kembali memanggil nama wanita itu, berusaha membangunkannya.
Tak lama kemudian kelopak mata Arini bergerak, begitu juga dengan jari-jarinya. Perlahan netra cokelat lebar terbuka. Napas wanita itu kembali sesak ketika air mata mengalir di pipinya.
Farzan, Nadzifa dan Elfarehza mengembuskan napas lega. Begitu juga dengan Alyssa, Sandy dan Lisa yang baru saja menapakkan kaki di kamar.
“Brandon,” isaknya lagi begitu sadar.
Arini meraih tangan Farzan dengan sorot mata duka. “Brandon gimana, Zan?”
Farzan mengeratkan genggaman di tangan Arini. Dia melihat tautan tangan itu sebelum menjawab pertanyaannya.
“Mas Brandon belum ditemukan, Kak,” sahut Farzan tidak berani melihat wajah Arini yang luar biasa memilukan.
Mata cokelat Arini terpejam beberapa saat. Dia berusaha duduk, tapi kepala terasa pening.
“Ambilin pulpen dan kertas untuk Mami, Al,” desis Arini kepada Alyssa.
Wanita itu mengangguk sebelum bergerak keluar kamar.
“Aku harus catat di kertas dulu, khawatir besok tanya lagi,” katanya setelah itu.
Dua menit kemudian, dia kembali menangis memanggil suaminya. “Kamu di mana sekarang, Bran? Tega banget tinggalin aku di sini? Mau balas dendam ya karena dua kali aku tinggalin?” racaunya mengiba.
Lisa tak tahan lagi melihat keadaan Arini, sehingga keluar dari sana. Begitu juga dengan Sandy. Keduanya saksi hidup bagaimana kisah cinta Arini dan Brandon terjalin. Mereka selalu bersama-sama sejak SMA dalam suka dan duka.
Nadzifa mengalihkan pandangan dengan mengedipkan mata, agar air mata tidak keluar dari sarangnya. Perasaan bercampur aduk di dalam diri saat ini. Salah satunya merasa bersalah, jika kepergian Brandon ke Sukabumi berkaitan dengan pria yang menghamili Indah.
“Ini, Mi.” Alyssa menyodorkan pena dan kertas kepada Arini.
Perlahan wanita paruh baya itu bangkit, lalu bersandar di headboard tempat tidur. Dia menerima kertas dan pena yang diberikan putrinya kemudian menuliskan sesuatu di sana.
‘Brandon kecelakaan dan belum ditemukan.’
Itulah yang dituliskan Arini di sana. Tubuhnya kembali bergetar hebat ketika terisak lagi. Dunia yang dibangun bersama Brandon terasa tidak utuh tanpa kehadiran pria itu di sisi. Dia hanya bisa berharap, sang Suami bisa ditemukan lagi dalam keadaan selamat. Meski kemungkinannya sangat tipis.
Bersambung....

Book Comment (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters