logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 34 Sekilas Cerita Tentang Brandon dan Indah

“Ah iya, Indah. Gue ingat tuh wajahnya secantik namanya, sama-sama indah.” Firto memantik jari semangat.
“Ingat bini di samping, Bang,” komentar teman Brandon yang lain.
Pria berkepala botak itu malah nyengir kuda. Dia menangkupkan kedua telapak tangan, pertanda meminta maaf kepada perempuan berkerudung yang tampak anggun di sampingnya.
“Kok kamu tahu, Nadzifa?” Moza memajukan kepala ke depan, agar bisa melihat Nadzifa dengan benar.
“Cuma nebak aja, Kak. Biasanya kalau yang panggilannya In, ya Indah atau Indri,” sahut Nadzifa asal, khawatir semua yang duduk di sana curiga.
“Pintar juga calon istri kamu, Zan,” puji Fahmi menggoda Farzan.
Farzan tersenyum lembut, kemudian mengusap puncak kepala Nadzifa untuk pertama kali. Sontak gadis itu menatap tak percaya dengan sikap manis lain yang ditunjukkannya sekarang.
“Jadi gimana cerita tentang Indah, Kak?” Nadzifa menoleh kepada Firto dengan raut penasaran.
“Oh iya. Tuh, Si Brandon.” Firto melirik Brandon yang asyik sendiri dengan Arini. “Gimana, Bran?”
Brandon mengalihkan pandangan kepada Firto dengan tatapan malas. “Sorry udah lupa tuh yang mana,” sahutnya.
Nadzifa berusaha menahan geram mendengar perkataan Brandon. Dia harus mendengarkan pembicaraan orang-orang yang sangat matang ini terlebih dahulu.
“Brandon kalau nggak berkesan ya nggak bakalan inget, Bang. Paling cuma diajak nonton dan jalan-jalan aja,” komentar Arini yang sejak tadi diam.
“Yang ditiduri cuma tiga orang termasuk dia,” sambungnya menunjuk tepat ke wajah Moza.
“Rin?”
“In?” tegur Moza dan Brandon bersamaan.
Semua yang duduk di sana langsung diam mendengar perkataan Arini. Wanita itu tampak kesal ketika masa lalu Brandon kembali diungkit.
Nadzifa mengernyitkan kening memikirkan apa yang dikatakan Arini barusan. Dia melihat kepada Moza yang tersinggung.
Apa maksudnya cuma tiga? Apa di antara tiga orang itu termasuk Tante Indah? duganya dalam hati.
“Lo sih, Bang,” gerutu Siti kepada Firto.
“Maaf, niat gue ‘kan bercanda.”
Brandon menarik napas panjang sebelum mengangkat kepala. “Kalian nggak salah. Gue yang salah,” ucapnya melihat teman-temannya satu per satu.
“Gue minta maaf mewakili Iin, Moz, Bang Fahmi,” tambah Brandon melihat suami istri itu bergantian, “Iin lagi nggak sehat, jadinya asal ngomong. Mungkin lagi inget masa lalu.”
Delapan pasang mata melihat kepada Arini dengan penuh tanya.
Farzan mematut Arini yang tampak sedih. Barangkali yang dikatakan Brandon benar. Ingatan Arini saat ini kembali ke masa lalu, tepat masa-masa nakal suaminya. Dia memilih duduk dalam hening dan membiarkan Brandon menjelaskan apa yang terjadi kepada teman-temannya.
“Iin divonis terkena alzheimer,” ungkap Brandon tersenyum samar kepada Arini. Dia meraih tangan istrinya, kemudian memberi kecupan di punggung tangan.
“Alzheimer?” gumam mereka serentak.
Brandon mengangguk. “Ada penyumbatan di pembuluh batang otak Iin. Jadinya dia kadang lupa gue siapa. Kadang kalau lihat Farzan suka mikir dia adalah gue.”
Pria itu melirik kepada Moza. “Kayak tadi, dia tanyain aku kenapa nggak datang sama kamu, Moz. Itu karena dia pasti lagi ingat masa lalu dan lupa masa sekarang.”
Moza menutup mulut dengan kedua tangan. Matanya mulai digenangi bulir bening. Dia tidak percaya Arini bisa terkena penyakit yang belum ada obatnya.
“Astaghfirullah, Rin,” lirih Moza berdiri kemudian memeluk Arini. Meski pernah menjadi rival, sekarang mereka menjalin hubungan baik layaknya sahabat.
“Gue nggak apa-apa kok, Moz. Sorry ya, kalau gue nyinggung lo. Nggak sengaja,” sahut Arini membalas pelukan Moza.
Wanita berambut hitam panjang itu mengangguk cepat. “Gue nggak marah kok. Cuma kaget aja.”
Moza kembali duduk ke tempat semula. Sementara Arini yang kembali ingat dengan masa sekarang mengedarkan pandangan kepada teman-temannya, termasuk Nadzifa dan Farzan.
“Habis gue kesal juga sih kalau ada yang mikir Bran tiduri banyak cewek,” jelas Arini tersenyum kecut, “dia emang dulunya nakal dan suka PHP-in anak orang. Tapi Bran nggak pernah tidur dengan sembarangan orang.”
Brandon menundukkan kepala dalam-dalam. Dia membiarkan Arini meluruskan prasangka yang salah dari mantan rekan kerjanya. Apalagi untuk pertama kali sejak beberapa tahun belakangan, istrinya berbicara panjang seperti ini.
“Bran itu cuma pernah tidur sama tiga cewek. Pertama Inez, mantan pacar pertamanya. Kedua Moza.” Arini mengedipkan mata pelan kepada Moza sebagai permintaan maaf.
“Yang ketiga gue nggak tahu siapa namanya, karena Bran nggak pernah bilang. Katanya cuma pelarian aja, karena gue tinggal nikah,” paparnya kembali tersenyum kecut.
“Ketiga itu yang jelas bukan anak floor (sebutan untuk tempat kerja Brandon dan Arini dulu). Aku cuma pacaran tiga bulan aja, nggak lebih.” Brandon angkat suara.
Nadzifa yang mendengarkan penjelasan Arini dan Brandon barusan mengerutkan kening. Dia mulai menduga-duga, apakah perempuan ketiga adalah Indah atau bukan.
Tapi yang dikatakan Brandon tadi bukan anak floor. Floor ini maksudnya apa? Pengin tanya tapi nggak enak, batin Nadzifa diselimuti penasaran.
Gue harus cari cara agar bisa tanyakan langsung sama Brandon, sambungnya lagi di dalam hati.
Farzan menarik napas sebelum berkomentar. “Semua orang punya masa lalu. Sebaiknya nggak usah dibahas lagi. Kapan nih kita makan? Udah keburu lapar cacing di perut,” guraunya berusaha mencairkan suasana.
Pria itu menoleh kepada Nadzifa yang tampak gelisah dari tadi. Farzan tahu saat ini dia teringat lagi dengan almarhumah sang Tante yang bunuh diri, karena hamil.
“Farzan bener. Perut aku juga lapar,” tanggap Siti setuju.
Suasana kembali hening ketika hidangan untuk tamu spesial Brandon tiba. Mereka semua menyantapnya dengan lahap dan nikmat.
Setelah berbincang lagi beberapa saat begitu makanan tandas, akhirnya semua rekan kerja Brandon dan Arini pulang ke rumah masing-masing. Tinggal Brandon, Arini, Farzan dan Nadzifa.
“Maaf tadi jadi bahas aib masa lalu.” Brandon tertawa singkat.
“Nggak apa-apa, Mas. Namanya juga reuni. Biasanya pasti bahas masa lalu,” tanggap Farzan santai.
Brandon manggut-manggut. Sedetik kemudian dia melihat Nadzifa dan Farzan bergantian. “Kalian kapan kenal?”
Rupanya Brandon tidak tahu tentang Farzan dan Nadzifa, meski sudah membayar orang untuk menyelidiki adiknya. Wajar saja, karena mereka berdua sering berinteraksi di gedung apartemen.
“Ketemunya udah lama ya, Zi.” Farzan melihat plafon ballroom mencoba mengingat pertemuan pertamanya.
“Tiga tahunan waktu di Zürich,” ujar Nadzifa.
“Oya? Kok kamu nggak pernah cerita, Zan?”
“Mereka awalnya temenan, Bran. Nggak mungkin Farzan cerita sama kamu,” sela Arini geleng-geleng kepala.
“Jadiannya kapan?” selidik Brandon curiga. Dia ingin memastikan apakah kedua orang ini benar-benar saling mencintai atau hanya bersandiwara.
“Baru dua bulan, Mas.” Kali ini Farzan yang menjawab.
“Sayang banget ya nggak bisa nikah sebelum Al.” Brandon mendesah.
“Yang penting ‘kan aku udah tepat janji, Mas. Awalnya juga pengin nikah sebelum Al, tapi Mama dan Papa keberatan. Zizi juga nggak setuju,” lontar Farzan disambut anggukan kepala oleh Nadzifa.
“Ngeri kalau ada yang salah paham. Nanti dipikir aku hamil duluan,” sindir Nadzifa berharap Brandon menunjukkan ekspresi berarti. Namun sayang, pria itu tidak memperlihatkan reaksi apa-apa.
“Benar juga. Bahaya kalau ada yang berpikiran gitu.” Brandon melipat kedua tangan di depan dada. “Nanti biar Mas yang urus persiapan nikah kamu, Zan. Kalian tenang aja.”
“Anggap sebagai kado dari Mas,” lanjut Brandon setelahnya.
Farzan menggelengkan kepala, kemudian menoleh kepada Nadzifa. “Biar kami aja yang persiapkan. Mas fokus aja sama Kak Arini,” tolaknya halus.
Brandon masih bersikeras ingin mempersiapkan pesta pernikahan untuk sang Adik. Alih-alih berdebat, Farzan akhirnya setuju dengan perkataan pria itu.
Percakapan harus berhenti ketika Brandon dan Arini kembali naik ke pelaminan menggantikan kedua orang tua mereka yang sudah sepuh. Tinggal Farzan dan Nadzifa duduk bersebelahan.
Farzan menggeser kursi ke dekat Nadzifa. Dia mengulurkan tangan di sandaran kursi gadis itu.
“Ini tumben sih dari tadi nempel-nempel. Kalau nggak nempel ya pegang-pegang tangan,” risik Nadzifa bingung.
Jari-jari Farzan bergerak ke pinggir kepala bagian kiri gadis itu. Dia mendekatkan kepala ke telinga Nadzifa, lalu berbisik, “Emangnya nggak boleh nempel-nempel sama calon istri? Sebentar lagi kita nikah loh,” tanggapnya santai.
Nadzifa melotot heran. Perlakuan Farzan hari ini benar-benar berbeda dari sebelumnya. Semua membuat jantung gadis itu berdebar tak karuan. Apakah itu pertanda benih-benih cinta sudah tumbuh di hati keduanya? Mungkinkah posisi Arini telah digantikan oleh Nadzifa di hati Farzan?
Bersambung....

Book Comment (82)

  • avatar
    Yuliana Virgo

    menarik

    31/05/2023

      1
  • avatar
    Joezeus Maria Catalanoto

    leen,novelmu buagus smua nih. nungguin trus novel barumu yg lain. udah ku baca berulang" ttep aja bgus. kok lama bgt gak ada novel bru drimu sih.

    22/12/2022

      1
  • avatar
    Sugiarto

    bgs

    05/12/2022

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters