logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

29. AIR MATA GIBRAN

Malam itu Gaby pergi bersama Gibran untuk mencari Mirella.
"Kita mau kemana Gib?" tanya Gaby saat mereka sudah di mobil. Kendaraan Gibran baru saja memasuki tol.
"Ke Bandung," jawab Gibran singkat. Dia terus fokus menyetir.
"Bandung? Ke rumah ortu lo?" tanya Gaby lagi.
"Bukan. Gue mau cari Mirella ke kediaman orang tuanya, siapa tau dia pulang ke sana. Tadi selepas maghrib, Reno telepon gue, Reno bilang, ada kemungkinan Mirella kabur dari tawanan Freddy, karena dari pengakuan Freddy ke Reno, tua bangka itu nggak tau di mana Mirella saat ini," jelas Gibran pada Gaby. Kemungkinan Mirella ada di Bandung memang sangat kecil, tapi apa salahnya dicoba. Gibran tak akan bisa tenang sebelum memastikan keadaan Mirella baik-baik saja.
Gaby hanya diam sambil terus mencerna kalimat Gibran mengenai berita terbaru tentang Mirella.
Entah kenapa, kenyataan ini membuat kecurigaannya semakin kuat.
Setelah kurang lebih dua jam berkendara, Gaby meminta Gibran menepi di pom bensin, dia ingin pipis.
Gibran pun menurut.
Dia memarkirkan mobil mewahnya di dalam rest area tepatnya di depan sebuah restoran ayam goreng yang cukup terkenal di Indonesia.
"Gue tunggu di dalem ya, sekalian pesen minum," kata Gibran pada Gaby sebelum mereka berpisah di mobil.
Gaby mengangguk dan langsung berjalan cepat mencari toilet.
Saat hendak memasuki toilet umum, Gaby berpapasan dengan seorang lelaki berhoodie hitam lengkap dengan topi dan masker yang menutupi wajahnya.
Lelaki itu berjalan menunduk hingga akhirnya menabrak Gaby ditikungan.
Tatapan keduanya sempat bertemu.
Si lelaki tampak kaget dan langsung berlalu dari hadapan Gaby yang sewot.
Gaby pun masuk ke dalam toilet umum wanita untuk menuntaskan niatnya.
Tanpa pernah dia tahu, bahwa tatapan si lelaki yang menabrak Gaby tadi terus memantau ke arah toilet tempat di mana Gaby masuk.
Lelaki itu bersembunyi di balik dinding dan masih terus memantau keadaan, hingga setelahnya tatapan lelaki misterius itu tertuju ke arah restoran dihadapannya. Dia melihat Gibran.
Dengan gerakan super cepat, lelaki itu mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam saku celananya dan mulai menghubungi seseorang.
"Gaby sekarang ada di toilet umum rest area tol cipularang bersama Gibran," ucapnya pada seseorang lain di telepon itu.
*****
Gibran menggebrak dashboard mobilnya ketika mendapati tak ada jejak dan tanda-tanda keberadaan Mirella di kediaman orang tua Mimi.
Rumah sederhana itu kini di huni oleh sepasang suami istri bernama Hakim dan Nurul. Mereka salah satu anggota keluarga dari pihak Ibu Mimi yang bernama Ratna. Mereka tinggal di rumah itu setelah Ratna wafat sekitar dua tahun yang lalu karena menjadi korban pembunuhan. Sementara Ayah Mimi yang bernama Jajang sudah lebih dulu meninggal karena menjadi korban tabrak lari.
Baik Hakim maupun Nurul tak sama sekali tahu menahu tentang keberadaan Mimi sejak Mimi dikabarkan hilang.
Saat itu, Jajang sempat mengancam keluarga Gibran karena dianggap sudah membawa kabur anaknya hingga Mimi hilang, padahal sebelumnya semua orang tahu bahwa dia tidak pernah perduli pada Mimi.
Terlebih setelah dia mengetahui bahwa Ayah Gibran di Jakarta ternyata orang yang sangat kaya, sejak saat itu Jajang menjadikan kejadian hilangnya Mimi sebagai alat untuk memeras Ayah Gibran. Hal itu berlangsung cukup lama sampai lelaki bernama Jajang itu akhirnya tewas.
"Di mana lo Mimi? Tuhan baru aja mempertemukan kita lagi setelah sekian lama, tapi kenapa sekarang Dia harus pisahin kita lagi?" gumam Gibran dalam tangisnya. Kepala lelaki itu tertunduk, bertumpu pada dashboard mobilnya.
Gaby hanya terdiam melihat Gibran meluapkan kesedihannya.
Lelaki itu terlihat sangat kehilangan.
Sejujurnya, sepanjang Gaby mengenal Gibran, Gaby belum pernah melihat keadaan Gibran sekacau ini.
Suami palsunya itu selalu saja bersikap tenang jika sedang bersama Gaby. Gibran itu sosok yang periang jika sudah menghabiskan waktu bersama Gaby.
Sesuatu yang berbanding terbalik dengan sikap asli Gibran yang sebenarnya.
Gibran yang dikenal pendiam dan sangat irit bicara di mata kebanyakan orang, terlebih oleh karyawan dan karyawati di perusahaan Company Grup yang kini dia kelola. Bahkan sebagian dari bawahannya di kantor tersebut mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat Gibran tertawa.
Dan malam ini, Gaby bisa melihat tatapan hangat lelaki itu berubah menjadi tatapan sendu yang menyedihkan.
Seolah-olah seisi dunianya hanya ada sosok Mirella di dalamnya.
Apa sebegitu berharganya seorang Mirella untuk Gibran?
Gaby hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.
"Gib," panggil Gaby setelah mereka cukup lama terdiam di dalam mobil. Gaby menyentuh bahu Gibran.
Gibran mendongakkan kepalanya.
Seperti tersadar kalau di sisinya saat ini ada orang lain, Gibran langsung menyeka air matanya, lalu dia tersenyum.
"Sorry, Gab. Gue terlalu drama," katanya merasa tidak enak pada Gaby.
Gaby berusaha memaklumi.
"Lo yang sabar ya, Mimi pasti ketemu," ucap Gaby menyemangati.
Air mata Gibran kembali meleleh di pipinya.
"Memendam perasaan bersalah selama bertahun-tahun itu nggak enak, Gab. Gue penyebab Mimi hilang sampai akhirnya dia dijadikan budak seks sama si Bajingan Freddy! Gue yakin hidup Mimi selama ini menderita! Seandainya dulu gue nggak nekat ajak Mimi pergi ke Jakarta untuk cari bokap gue, mungkin nasib Mimi nggak akan seburuk ini! Kalau sampai Freddy membunuh Mimi, gue harus apa Gab? Gue nggak tau apa Mimi bakalan maafin gue? Nggak seharusnya dulu gue tinggalin Mimi sendirian di gudang tua itu... Gue emang pengecut... Gue cuma lelaki bodoh! Mungkin bener kata lo Gab, gue ini emang lemah! Bahkan gue nggak bisa melindungi perempuan yang harusnya gue lindungi..." cecar Gibran frustasi. Gibran melontarkan kalimar demi kalimat itu dengan intonasi naik turun serta lelehan air mata yang tiada henti.
"Dulu lo itukan masih kecil, wajar kalau lo bertindak seperti itu. Mungkin ini memang udah jalan takdirnya Mimi. Lagipula, hidup Mimi di Bandung bersama orang tuanya juga nggak bahagiakan?" balas Gaby berusaha menenangkan Gibran.
Dia mengelus bahu Gibran beberapa kali. "Gue akan bantu lo, Gib. Reno juga ada di pihak kita. Kita bisa sama-sama cari Mimi," tambah Gaby lagi. Dia tersenyum pada Gibran.
Gibran menatap lekat wajah Gaby. Hatinya sedikit terhibur dengan keberadaan Gaby di sisinya.
Sesungguhnya Gibran rindu sosok Gaby yang seperti ini.
Sosok Gaby yang dewasa, baik dan selalu bisa mengerti keadaannya.
Mungkin seandainya saja Gibran tidak memberitahukan perihal penyakit yang dia derita pada Gaby, bisa jadi sikap Gaby tidak akan berubah terhadapnya.
Bisa jadi, Gaby akan tetap menjelma menjadi seorang Gaby seperti Gaby yang kini ada di sisinya.
Gaby yang manis.
"Gue boleh peluk lo?" tanya Gibran lirih.
Gaby terhenyak. Dia langsung menarik tangannya dari bahu Gibran lalu menggeser duduknya, sedikit menjauh.
Gibran tersenyum kecut.
Bahasa tubuh Gaby sudah menjawabnya.
"Kita pulang sekarang?" tanya Gibran lagi.
Dan Gaby hanya mengangguk.

Book Comment (151)

  • avatar
    Nouna Noviie

    lanjutt dooongg...... jadi penasaran apa bayi yg akan d adopsi itu setelah dwasa nanati akan membalaskan dendam sang ibu kandung... apa bila mngetahuin cerita semasa hidup ibu y dan mengetahuin bahwa ayah angkat'y lah Gibran yg sudh membunuh ibu y...!!??? ini Novel baguss menurutku berhasil membawa pembaca masuk ke dalam suasana isi novel ini😍

    22/12/2021

      2
  • avatar
    Mela Agustina

    seruu bgt demi apapun😭🤍🤍

    20d

      0
  • avatar
    WaniSyaz

    Seru banget

    14/07

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters