logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 2

“Kamu tahu nggak Li, siapa IPK tertinggi tahun ini?” sambil menuruni tangga, Vivi berusaha mendekatkan diri pada teman barunya Liona, mahasiswi paling beken di kampusnya.
“Hai, Liona!”
“Pagi Liona!”
Liona hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyuman manis pada orang-orang yang sibuk mencari perhatian padanya. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian. Setelah selesai mata kuliah, ia ingin cepat-cepat pergi dari kampus ini. Sepertinya kuliah terasa lebih mencekam dibandingkan bekerja di Perusahaan Charisma.
“Li?” Liona menoleh, tersadar Vivi masih setia mengikutinya. “Iya, siapa yang dapat IPK tertinggi?” tanyanya, mencoba tertarik.
“Hm…” Vivi mencari-cari seseorang. “Itu! Titan, mahasiswa semester lima, banyak dosen yang berebut minta dia jadi asisten mereka. Keren kan? IPK nya hampir 4 kayaknya.” Vivi menunjuk kerumunan mahasiswa yang sedang bergurau di pelataran aula.
“Oh… Titan.” Walau jarang masuk kuliah, Liona tahu mahasiswa yang terlihat istimewa di mata dosen. Salah satunya ya Titan, pemuda berotak jenius yang sering dikira reinkarnasi dari Einstein. “Sepertinya aku satu kelas dengannya di salah satu mata kuliah.” Ucap Liona, kini dengan wajah penuh minat.
Dengan mata kecilnya yang tidak bermasalah, Liona dapat memandang jelas sosok Titan dari kejauhan. Seperti pemuda pintar pada umumnya, tinggi kurus, sorot mata yang jenaka dan terlihat begitu ramah. Hanya saja ia tidak berkacamata dan bahasa tubuhnya juga tidak kaku, tidak seperti Charisma.
Liona tersenyum miris mengingat kakaknya itu.
Namun penampilan Titan tidak seperti orang berada layaknya mahasiswa. Ia terlihat memakai kaos usang dengan kemeja kotak-kotak lusuh yang kontras dengan warna kulitnya yang putih. Celana jeans, sepatu dan tas selempang semuanya old of date. Tanpa sadar Liona menggelengkan kepala, ingin sekali rasanya make over penampilan Titan menjadi lebih fashionable, pasti jika dirubah sedikit banyak mahasiswi yang mendekatinya.
“Selain otaknya brilian, tampangnya juga lumayan. Mungkin kalau kita nggak lihat penampilan usangnya itu, dia pasti udah punya banyak cewek.” Perkataan Vivi kurang lebih sama dengan pemikiran Liona tentang Titan. Hanya saja, Vivi lebih mendominasikan harta yang tidak Titan miliki sedangkan Liona Pure sedih melihat penampilannya.
“Tapi Li, kamu udah pernah lihat sahabatnya Titan belum? Cewek tomboy dan keren banget. Nggak tahu ya apa yang menarik dari dia, yang pasti enak aja ngeliat gayanya.” Karena masih asik bicara dengan Liona, Vivi memilih duduk di sudut kampus yang menyediakan tempat duduk panjang. Mau tidak mau Liona mengikuti gerak Vivi.
“Siapa sih namanya? Aku sering lihat dia bersama Titan. Tadinya kukira cowok, tapi setelah diperhatikan baik-baik wajahnya lumayan manis.” Liona tersenyum, membayangkan wajah yang sekarang tidak sedang bersama dengan Titan. Ia gadis yang berbeda. Entah kenapa, Liona yakin ia akan kenal lebih dekat dengannya.
“Aku kurang tau nama formalnya, tapi semua anak di sini biasa manggilnya Ara. Dia terkenal supel, sebelas duabelas deh sama sahabatnya Titan. Makanya, banyak gosip yang bilang kalau mereka itu pasangan serasi.” Tutur Vivi yang kemudian tertawa renyah. Liona hanya mengerutkan kening, tidak suka bergosip. Otak gadis cantik itu pun kini berpikir keras, bagaimana cara untuk menghilang dari teman bicaranya ini.
***
“Are you Sarah, aren’t you?”
Tidak biasanya sepulang kerja Charisma berlari tergesa-gesa menaiki tangga, para pelayan dibuat terpaku melihat aksi lincah pemuda yang hari ini beranjak dua puluh tiga tahun itu. Ketika ayahnya mengatakan Sarah akan menghubunginya sepulang kerja, seharian di kantor Charisma sudah tidak fokus lagi.
Pikirannya hanya pulang, kamar dan laptop. Setelah menaiki tangga dengan melangkah dua buah anak tangga sekaligus, Charisma berlari menuju kamar, membuka laptop dan mengaktifkan webcam. Melihat wajah seorang gadis tengah menunggunya di layar laptop, membuat jantungnya berdegup tak terkendali.
“Are you Sarah?” Charisma mengulangi pertanyaannya. Gadis itu sepertinya mendengar tapi tangannya sibuk mengotak-atik komputer miliknya.
“Iya, Ini Sarah. Kamu lihat aku di sana, nggak? Soalnya aku nggak bisa lihat kamu.” Sarah agak sebal mendapati komputernya tidak bisa menayangkan wajah Charisma di layar sedangkan wajahnya bisa ditampilkan di sana. Itu tidak adil.
Charisma termenung di sana, mengamati dalam diam perempuan yang beranjak delapan belas tahun itu. Tidak ada yang berubah setelah kepergiannya ke London satu tahun silam, ia tetap gadis yang sama yang membuat hidup hampanya lebih bernyawa.
Gadis belia berwajah bulat telur, mempunyai sepasang mata coklat almond, bibir bawah yang tebal dengan garis lekukan yang indah dan rambut hitam kecoklatan sebahu yang bergelombang. Ia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik.
Sarah akhirnya menyerah, ia duduk diam sejenak. Menatap webcam komputernya seakan sedang menatap Charisma. Ia tersenyum tipis dan berucap dengan suara lembut.
“Charisma, happy birthday.”
Sarah…
Charisma membuka mata, merasakan getar handphone di saku celananya. Ia perlahan duduk di tepi ranjang, dengan jiwa yang sepertinya masih separuh ia mengangkat panggilan telepon yang bergetar terus.
“Happy Birthday, bos!” seru seorang pemuda disebrang telepon, tampak sangat ceria.
“Hei Bil, thanks.” Jawabnya, sambil mengusap wajahnya yang masih mengantuk.
“Charis, jangan bilang aku adalah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untukmu?” tanyanya dengan nada menuduh.
Bily memang bukan sahabat dekat Charisma. Tepatnya, Charisma memang tidak punya sahabat. Tapi ia cukup tahu perilaku Charisma yang over working dan jarang terlihat membawa pasangan.
“Sarah told me that before you.” Suara Charisma terdengar pelan, lebih seperti gumaman namun Bily bisa mendengar, walau samar.
“What?”
"No Bily, Nothing.” Charisma menggelengkan kepala, berharap dilupakan. “Ada apa? Cuma mau bilang happy birthday aja?”
“Bukan cuma itu, malam ini kita ngadain party garden buat merayakan ultahmu yang ke…26? Wow, you already old man! Jadi sebagai pemeran utama di acara nanti, kau harus
datang.” Tersirat unsur pemaksaan dalam ucapan Bily. Itu semua karena Charis yang hampir tidak pernah menghadiri pesta teman-temannya.
Ia terlalu sibuk dengan pekerjaan, kalau pun sedang libur kerja ia memilih tidur di rumah. Tidak ada waktu untuk berbincang dan berkenalan dengan gadis-gadis High class seperti yang dilakukan pemuda mapan pada umumnya. Ia tidak suka basa-basi, dan ia benci wanita penuh make-up yang pasti ada di pesta.
“Hm…I don’t know, Bil.” Charis mencoba mengelak.
“Ayolah Ris, mau sampai kapan kamu betah di rumah besarmu seorang diri? Di sana banyak wanita cantik.” Tanpa melihat, Charis tahu Bily sedang mengedipkan mata ketika mengucapkan wanita cantik.
“You know, I’m not interest.”
“Oke, kalo gitu akan ada banyak cowok tampan, bagaimana?”
Charisma tersedak mendengar kalimat putus asa Bily. “Oh, Come on!” serunya, tidak suka dengan arah pembicaraan Bily.
“Ha…ha… sorry, jam delapan kami tunggu di party garden. Buat Charis, wajib datang. Bye!” tanpa menunggu jawaban, Bily memutuskan hubungan telepon. Ia membiarkan Charis untuk berpikir lebih lama.
Baru beberapa menit ditutup, handphone Charis kembali bergetar. Masih dengan raut wajah malas Charisma membuka suara. “Ada apa Liona?” selalu seperti ini, to the point.
“Happy birthday, kakak!” suara bahagia dari seberang telepon membuat Charisma sedikit tersenyum. “Semoga Kak Charisma lebih baik lagi di tahun ini, lebih bijak, lebih tampan dan apapun yang kakak inginkan bisa tercapai di tahun ini. Aamiin!”
“Ya, ya, terima kasih doanya.”
“Kakak, datang ya ke acara nanti malam.” Ajakan Liona terdengar serius, membuat Charis curiga. “Kamu tahu acara party garden?”
“Semua orang yang kenal kakak pasti diundang. Makanya, kak Charis harus datang.”
Charisma terdiam, tidak suka dipaksakan. Seakan tahu perasaan Charisma, Liona kembali bicara, kali ini lebih serius. “Sudah tiga tahun kak, tidak ada yang berubah. Mau sampai kapan kakak seperti ini? selamanya? Apapun keadaannya, life must go on.”
“Ini tidak ada hubungannya dengan dia, Li. Jangan dibicarakan.”
“Lalu karena apa? Karena memang sikap kakak yang seperti ini?”
“Ya, ini memang sikapku. Jangan membuatku emosi di hari ulang tahunku, Liona.”
Charisma menutup telepon dan melemparkan handphonenya ke sofa. Ia sudah tidak peduli. Masa bodoh dengan harapan semua orang kepada dirinya. Ia terlalu depresi, tidak bisa menahan beban kesedihan yang selalu melandanya setiap hari. Bahkan untuk sekedar menangis pun ia tidak sanggup lagi, terlalu menyakitkan.
“Bisakah aku bertemu denganmu lagi, Sarah?”
***

Book Comment (75)

  • avatar
    BotOrang

    bagus

    21/08

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus endingnya👍

    21/03

      0
  • avatar
    NoepRoslin

    Kalau dah jodoh tak kan ke mana. Walaupun terpisah pasti akan berdatu kembali..🥰🥰

    22/07/2023

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters