logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 25 Sah!

”Saya terima nikahnya, Nadia Jovita bin Kusrin dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan cincin emas seberat 20 gram dibayar tunai!”
”Sah! Sah!” Penghulu bernama Amir itu menengok ke kanan dan ke kiri.
”Sah!” suara para saksi dan orang – orang yang mengelilingiku kompak bersuara. Termasuk Jono dan lain – lainnya. Semua terlihat tegang, padahal aku yang menikah kenapa mereka yang tampak tegang begitu?
Pak penghulu itu pun langsung mengucapkan doa sebagai bentuk kalau pernikahan kami sudah sah secara agama.
Aku mengucap Alhamdulillah sambil terus menengadahkan tanganku dan mengaminkan doa pak penghulu si Amir itu. Semua khidmat dalam doanya, namun mataku masih saja nakal dan aku melirik isteriku, ya kan sekarang sudah sah.
Isteriku itu, Nadia. Dia khusyuk dan menunduk dalam doanya, larut dalam bahagia. Wajahnya demikian cantik, bagai rembulan saat purnama, bagai pelangi sehabis hujan, bagaikan embun saat pagi datang, bahkan indahnya wajah itu laksana langit cerah tanpa penghalang mendung yang menutupinya.
Sungguh indah, aku tersenyum menatap wajah yang menunduk itu.
Mungkin ada kontak batin, wajah yang tertunduk itu tiba – tiba sedikit terangkat, matanya melirik kearahku. Dia juga curi – curi pandang, mata kami pun bertemu. Nadia yang cantik, kini resmi menjadi isteriku, kami berpandangan dan itulah pandangan yang begitu membahagiakan. Seolah rela meskipun tak makan satu tahun demi melihat wajahnya yang menawan ditambah senyumnya yang sempurna.
Duhai! Aku tak kuasa lagi, solah semua duka dan luka, hilang semua.
Doa usai, saat itulah, Nadia menggapai tanganku dan mengecup punggung tangan kananku. Kami berpandangan sangat dekat. Mata kami bahkan sangat dekat dan seolah dunia ini hanyalah ada Nadia semata.
Isteriku yang cantik, wajah itu bahkan seolah semakin dekat. Apakah, kami akan...., bibir itu semakin dekat dan mata itu juga semakin dekat.
Inikah ciuman pertamaku dengan wanita???
Semakin dekat, sangat dekat, sungguh aku tak kuasa, dadaku berdebar seperti sedetik ribuan kali berdetak. Aku sudah tak kuasa menahan kebahagiaan.
Krueess! Apa ini, kenapa kepalaku seperti ditekan, apakah ciuman itu begini berat?
”Bangun Adnan! Itu sudah mau Iqomat, dibangunin dari adzan tadi masih saja molor!”
Suara emak?
Aku membuka mataku perlahan, tangan Mamak sudah di wajahku dan menggenggam wajahku kuat.
”Astaghfirullahal ’adhim! Mak! Mana Nadia Mak?”
”Nadia gundulmu itu! Ini sudah mau iqomat, buruan ketinggalan, ke masjid cepet. Mamak sudah teriak berulang kali baru sekarang mau bangun?!”
Ya Allah, mimpi to. Hah..., aku pun duduk, Mamak pergi lagi ke dapur. Sudah mau qomat! Aku harus cepet – cepet nih.
Mimpi yang indah, sekedar kenangan. Ah! Semoga jadi kenyataan ya Allah, amin. Aku mengaminkan doaku sendiri sambil buru – buru. Wudhu dan ganti baju dengan kilat, sarung dan peci, lengkap, tancap gas. Siapa tahu pas lewat rumah Nadia masih bisa melihat wajahnya meski sekilas.
Aku pun pamitan dengan Mamak dan mengucapkan terima kasih karena sudah dibangunkan, seperti biasanya, Bapak pasti sudah berangkat dari tadi.
Aku melangkah di dinginnya pagi yang masih gelap. Yah, jadi teringat kisah satu bulan lalu. Polisi menemukan bukti narkoba jenis sabu dalam jumlah cukup banyak. Bisnis itu dikendalikan seorang bandar dan juga dibantu kepala desaku, pak Norman. Dia seolah menyamar sebagai seorang lurah yang baik hati dan juga sering membagikan uang dan makanan.
Pak Lurah Norman pun berusaha menyembunyikan barang narkoba di rumah tua bekas mbah Pati. Dia melakukan teror dengan seolah – olah hantu mbah Pati bergentayangan. Dia bekerjasama dengan para penjahat pengedar narkoba selalu menakuti masyarakat yang lewat atau mendekati rumah tua itu.
Soal bantuan untuk desa, sesungguhnya itu satu kali selama panen. Namun di desa kami bisa empat kali. Ternyata, di mobil bantuan pupuk selalu diselipkan narkoba. Pantas saja waktu itu aku hendak memeriksa tidak diperbolehkan oleh kulinya.
Para penjahat pun ditangkap dan sudah terbukti, begitupun pak Norman. Dia juga selalu bersama janda desa, mbak Murni selalu berbuat buruk di rumah tua itu. Mereka selalu melakukan hal itu dan saat Nadia melaporkan ada kejanggalan. Pak Norman meminta pada Nadia untuk diajak memeriksa, saat itu Nadia pun disekap.
Soal hantu – hantu itu, semuanya adalah suruhan yang memang ditugaskan menakuti warga di malam hari agar seolah – olah angker.
Satu hal lagi, di rumah pak Lurah ada kotak peninggalan almarhum mbah Pati. Ternyata, surat wasiat mbah Pati bukan meminta kalau meninggal di kuburkan di belakang rumahnya. Mbah Pati tidak pernah meminta hal itu. Dalam surat itu ditandatangani oleh mbah Pati bahwa jika dia meninggal karena tidak memiliki keluarga, maka rumah dan kebunnya diwakafkan untuk tempat mengaji, atau pondok pesantren, atau tempat untuk yatim piatu.
Benar saja, mbah Pati tentu saja tidak ikhlas jika rumahnya malah dibuat tempat dosa dan juga maksiat.
Mbah Pati..., semoga engkau diampuni Allah segala dosa dan juga diterima segala amal ibadahnya, Amin.
Aku melanjutkan perjalanan, hendak shalat subuh sebelum iqomat. Saat melewati depan rumah Nadia, aku melihat pak Kusrin di depan rumahnya dan Nadia yang sudah mengenakan mukena putinya.
Aku tak berani mendahului mereka, tahu sendiri kan pak Kusrin galaknya.. hmm...
Pak kusrin berhenti berjalan, dia menatapku. Sepertinya dia menungguku, aku pun mencoba berjalan seperti biasa.
”Assalamu’alaikum pak Kusrin, Nadia.”
Karena aku melihat mereka tidak melangkah, maka aku pun terpaksa melewati mereka dengan berjalan perlahan.
Pak Kusrin menjawab salam.
”Nak Adnan.”
Pak Kusrin memanggilku. Aku berhenti di tengah jalan, pak Kusrin mendekatiku.
Dia menggerakkan tangan kanannya, mau apa dia? Pak Kusrin menepuk pundak kananku, ”Kerja bagus Adnan! Hmm...., berkat kalian semua, desa kita kini seperti ketiban matahari. Sudah lama rasanya desa kita ini jadi desa angker dan klenik. Kerja bagus!”
Pak Kusrin tersenyum menatapku, dia pun pamitan berlalu untuk ke masjid. Baru kali ini, Pak Kusrin biasanya hawanya mau marah saja. He.. he.. he...
Aku tersenyum dan melangkah pelan, Nadia juga melangkah di dia kini di sebelahku. Aku jadi teringat mimpiku tadi. Ah! Bujang memang bahagia kalau memikirkan hal begituan. Ah sudahlah!
”Kenapa senyum – senyum mas Adnan,” suara Nadia indah terdengar, dia melihatku sepertinya. He.. he.. he.. asyik juga.
”Ndak papa dik Nadia. Bapakmu itu lho, tak biasanya dia jadi begitu ramah, he.. he..”
Nadia menggelengkan kepalanya, ”Oya mas Adnan, terima kasih ya. Soal malam itu.”
Aku pun tersenyum sambil melangkah, ”Biasa saja Nadia, sudah kewajiban sebagai sesama untuk saling membantu.”
Sok pahlawan juga diriku ini, batinku tertawa sendiri.
”Mas Adnan sudah punya pacar?”
Deg!
Aku berhenti melangkah, seolah kaki berhenti sendiri. Apa aku tidak salah dengar, Nadia bertanya pacar?
”Ah, Nadia suka bercanda begitu. Masak tanya pacar pada saya.”
”Nadia serius Mas.”
Nadia menatap wajahku sejenak, aku pun reflek menatapnya. Sadar, aku pun langsung beristighfar, Nadia juga. Kami lalu melanjutkan langkah kembali.
”Mana ada yang mau sama saya Nadia, hmm... aku ini kan seorang buruh. Kalau Nadia pasti sudah banyak yang naksir. Ah sudahlah! Ayo buruan sebelaum qomat.”
Aku berjalan lagi, tak mau berpikir terlalu dalam, siapakah aku ini.
”M.. Mas Adnan.”
Suara lembut dan lirih itu membuatku terhenti sejenak, ”Ada apa Nadia?”
”Ada pesan dari Bapak buat mas Adnan,”
Aku jadi penasaran, ”Pesan dari pak Kusrin?”
Nadia mengangguk, nampak ragu dia pun mulai membuka bibirnya, ”Kata bapak, jika mas Adnan memang suka pada Nadia, Mas Adnan ditunggu di rumah takutnya nanti ada orang yang mendahului. Itu pesan Bapak,”
Nadia seperti susah berkata – kata, dia terlihat memerah wajahnya, ”Itu saja pesan Bapak.”
Nadia pun berlarlu meninggalkanku dengan cepat, aku terpaku di tempat berdiriku. Nadia? Pak Kusrin? Pesan rahasia? Datang ke rumah? Ngapain? Kok bilang nanti keduluan orang lain? Apa sih sebenarnya maksud.....
Masyaallah!
Plak!
Ini bukan mimpi kan? Aku menampar pipi kananku dengan kuat. Sakitnya....
Aku sadar sekarang.
Allahuakbar allahuakbar
Asyhaduallaa ilaa haillallah.
Iqomat berkumandang. Eh, ketinggalan lagi! Aku bergegas menuju masjid sambil setengah berlari.
Aku dilamar Nadia? Aku ditembak Nadia?
Biuhhh... aku bahagia ya Allah, aku datang.....
TAMAT
(Penulis minta maaf ya jika ada yang tidak suka dengan novel saya, apalagi di endingnya ini. Penulis berharap kalian semua terhibur dan juga dapat mengambil pelajaran. Salam dari kami, Ideabadar).

Book Comment (233)

  • avatar
    GunawanMia

    novelnya cukup baguss... bahasanya ringan dan menghibur..... 👍👍

    07/02/2022

      6
  • avatar
    Pella Nur Anggraini

    Keren ceritanya

    23h

      0
  • avatar
    NdesXyzz

    bagus

    10d

      0
  • View All

End

Recommendations for you