logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 5 Menikah

Tak terasa, hampir setahun Agus menjadi pacarku. Pacar pertamaku dan mudah-mudahan menjadi pacar terakhirku. Aminin dong ges!
Aku sangat berharap banyak padanya, karena tak ku temukan cacat pada sifat dan sikapnya. Dia soleh, pintar, dan tentunya ganteng.
"Nanti pas hari jadian kita, kamu mau kado apa?" alisnya terpaut seolah memikirkan jawaban yang tepat.
"Aku cuman minta hati kamu buat aku selamanya."
"Iihhh... Aguuus. Gembel."
"Olan, ish."
"Eeuuuh. Gombal, Gus. Salah ngemeng aku."
"Kalo kamu mau kado apa?"
"Emmm, apa ya?"
"Kalo aku kadoin cincin buat lamaran gimana?" dadaku berdentum hebat saat Agus mengatakan itu. Lamaran? Sebuah kata yang tidak aku fikirkan dalam waktu dekat ini.
"Iii...ga usah lah, Gus."
"Sebenernya dari awal jadian, aku udah punya niat serius sama kamu."
"Aku juga, Gus." pipiku merona saat mengatakan itu.
"Alhamdulillah. Kita bisa langsung nikah pas lulus SMA."
"Nikah, Gus?" dada rasanya tiba-tiba sesak. Bisa-bisanya cowok seperti Agus berfikiran seperti itu. Entah apa yang aku fikirkan tentang Agus sekarang.
"Iyah."
"Tapi, aku gak bisa nikah sambil kuliah." tegasku dengan nada selembut mungkin.
"Kuliah? Kamu tidak perlu kuliah. Biarkan aku saja yang kuliah dan bekerja. Kamu hanya perlu duduk manis di rumah menungguku pulang. Melayaniku dan mengasuh selusin anak-anak kita kelak." tiba-tiba hasratku pada Agus musnah seketika. Ternyata tujuan kita sangat jauh berbeda.
Aku tak lagi terkagum-kagum pada sosok Agus. Fikirannya sangat sempit menurutku. Kuno. Tidak kekinian sama sekali.
Masa aku harus dasteran sepanjang waktu, dengan wajah berminyak tanpa make up. Trus katanya ngasuh bocah selusin. Ya ampun, aku ngelahirin tim sepak bola plus wasitnya kali.
Dan akhirnya, mungkin sebuah keputusan harus segera aku ambil.
[Gus, sepertinya kita udahan aja ya. Aku masih mau melanjutkan kuliah seperti yang diharapkan almarhum Abi]
Send!
Centang dua biru.
[Olan, aku g mau putus. Aku syng kmu. Bahkan sejak lama, sejak masih SMP.]
[Tapi misi kita skr beda.]
[Aku ga mau kehilanganmu, Olan. Aku mau kita nikah abis klulusan.]
[Ga bisa]
[Olan..?]
Entah ini sebuah kesalahan atau bukan. Yang pasti aku sangat mengagumi Agus tapi tiba-tiba harus pergi dan menjauh. Lamunanku membuyar saat hape berdering menandakan panggilan masuk.
Si Manusia Singa Calling...
"Apa?"
"Ciye...ciye yang lagi mewek kejer abis putus." suara berat di sebrang sana membuat dada bergemuruh.
"Diem, mau gue santet?"
"Etdah.. Udah jangan nangis, ntar makin jelek lo."
"Jangan ngehina orang, ntar malah jadi cinta."
"Ebbusseeeeeettt. Amit-amit gue. Sini lo, bantuin gue."
"Ogah."
"Yaudah, gue aja yang kesana."
Tutt
Tutt
Tutt
Lima belas menit kemudian, sebuah kepala gondrong nongol dari balik pintu kamar.
"Kalo masuk ucapin salam."
"Wa'alaikumsalam."
"Dodol." ketusku tanpa semangat.
"Gue mau nikah." tegasnya tiba-tiba. Entah maksudnya apa. Namun yang kurasa, seperti petir yang menyambar di samping telinga. Ada rasa tidak ikhlas yang menyelusup.
Dalam satu waktu dua kejadian bertubi-tubi menggoncang keimananku. Dan untuk sekarang, aku harus menolak untuk yang kedua kalinya.
"Enggaaaaaaak." sepertinya suaraku terdengar sampai ke ruang keluarga. Terbukti, tak berselang lama Umi dan Bunda muncul bersamaan di pintu kamar yang terbuka.
"Aku ga mau elo nikah sama Umiiiiiiiii." teriakku histeris sembari memukul-mukul dada Si Ojan.
Semua mata nampak melotot dengan mulut menganga sedetik setelah aku mengucapkan penolakan.
Kemudian semuanya tertawa terbahak, bahkan Si Ojan tertawa terpingkal-pingkal nungging di ranjangku. Umi dan Bunda meneteskan air mata kegelian. Tentunya masih menahan tawa.
"Aku ga mau Si Ojan jadi bapak tiriku." teriakku lagi, kali ini dengan raut wajah marah.
"Sayang. Bang Malik emang mau nikah." tangan hangat Bunda mengelus kerudungku yang acak-acakan karena digaruk-garuk.
"Aku ga sudi, Bunda." tangis ku pecah, perlahan dan sangat menyayat hati.
"Emang siapa gitu yang mau nikah sama Bang Malik?" kali ini Umi yang mengelus kepalaku sekaligus mentoyor kepala.
"Dol, gue ga sudi jadi bapak tiri bocah kayak elo. Makanya gue nikahnya sama pacar gue aja." Si Ojan tertawa terbahak-bahak seolah menertawakan lenong yang ku perankan.
"Hah?" tetiba kepalaku mendongak. Air mata kuseka dengan cepat. Kemudian memandang Umi penuh tanya.
"Bang Malik minggu depan nikah sama Sinta, pacarnya. Nikahnya dadakan karna Sinta ga bisa cuti dari kantornya." jelas Umi disisipi anggukan Bunda.
"Makanya otaknya pake, mentang-mentang abis putus otaknya dijual ama tukang loak." Si Ojan kembali mengacak kerudungku hingga menutupi wajahku yang kini sudah bersih dan glowing.
Aku biarkan kerudung menutupi muka yang pasti merah membara karena tengsin. Tapi, ada sedikit kelegaan karena ternyata selama ini Si Ojan punya pacar beneran dan akan menikahinya. Bukan calon bapak tiri seperti dugaan ku beberapa taun belakangan. Aku ketawa juga meski dalam kegalauan.
***
"Saahhh."
Akhirnya, presiden jomblo jadi pensiun di usia kepala tiga lewat.
Rangkaian acara pernikahan sederhana Si Ojan selesai juga. Hari masih siang kala aku, Umi, Bunda, dan Ayah pulang kembali ke rumah.
Kita tinggalkan Si Ojan menikmati acara pasca nikah selanjutnya.
Membersihkan badan, memakai piyama, tak lupa ku kenakan bergo senada dengan baju. Kemudian beranjak meraih pintu depan.
Setelah sampai ke rumah Bunda, nampak Ayah sedang tiduran di pangkuan Bunda sembari menonton televisi.
"Idih, udah tua keles. Mesra-mesraan gitu. Sebel deh liatnya." gerutuku dengan volume suara diperkeras.
"Masuk rumah tuh ucapin salam." tegas Ayah mencubit hidungku. Persis kelakuan anak sulungnya. Mentang-mentang mereka keturunan gen idung perosotan.
"Salaaaaaammm." lirihku di telinga ayah sambil cekikikan. Namun hanya dibalas denga gelengan kepala Ayah.
"Olan, kamu rapihin baju Bang Malik gih di atas. Pilih yang mau dianter ke rumah Sinta. Masukin ke koper langsung." titah Sang Bunda ratu pada diriku.
"Asyiiaaaapp."
Menaiki tangga sembari bersenandung kopi lambada. Berjalan dengan gerakan yang sengaja ku hafalkan untuk membuat konten tiktok. Kadang tersenyum karena merasa tak sadar usia. Tapi biarin lah, yang laen justru emak-emak yang aktif di dunia pertiktokan.
Gagang pintu ku dorong. Jadi teringat, aku pernah terjebak di kamar ini berdua sama Si Manusia Singa. Untung setan gak ikutan nimbrung. Hehe.
Ada rasa rindu menyelusup, yang entah ini rindu semacam apa.
Ku langkahkan kaki membuka lemari pakaian yang nampak rapih. Ternyata ada ya, mahluk berbelalai yang kamarnya terurus seperti ini, wangi lagi.
Ku pilih beberapa kemeja kerjanya, dasi, kaus kaki dan perintilan lainnya. Juga ku ambil kaos-kaos kasualnya dengan jeans dan celana chino pendek miliknya. Perlengkapan make up ala cowo, alat mandinya, semua sudah rapi dalam koper berwarna navi.
Sebelum rebahan di ranjang orang, ku raih laptop yang sering dipakainya untuk bekerja. Kunyalakan dan ku lihat-lihat menu yang ku kira menarik. Lantas ku buka galeri foto dan video. Bisa jadi kan dia nyimpen2 foto atau video dewasa.
Tak banyak foto yang ku temukan. Cuman ada beberapa foto dan video tentang pekerjaannya. Tapi, ada nama folder TERSAYANG yang menarik rasa penasaranku. Mungkin isinya semua tentang dia dan istrinya. Pasti foto-foto saat pacaran.
'Ih Si Ojan, lebay amat dia. Umur udah aki-aki juga, namain folder foto pake sayang-sayangan.'
Klik.
'Umi Abi...lah ini...semua futu anakmu yang jelita ini.'
Terpampang seribu limaratusan fotoku yang diambil secara kendid. Ada fotoku yang lagi makan bakso di kios Mas Watir, ada yang lagi tengkurep di balkon kamar Si Ojan, dan inih masya alloh fotoku lagi nungging. Untung masih pake pakaian lengkap dengan kerudung.
Dan ini apaaaaa...wajahku yang masih kucel jerawatnya tak tau malu nongkrong di hidung. Foto kapan ini? Sepertinya fotonya bener-bener foto dimulai dari zaman firaun orok.
Segera ku tutup laptop dan memasukannya ke tas hitam beserta charger dan tektek bengek lainnya.
Ku bawa koper dan tas laptop menuruni anak tangga. Kemudian Ayah membantuku menarik gagang koper menuruni tangga dan secepatnya memasukkan ke bagasi mobil.
"Bun, emang mau dianterin sama Ayah?"
"Ayah kan mau balik lagi ke Papua, sekalian ke bandara mampir dulu ke rumah Sinta."
"Bun, Ayah kapan mutasi ke sini?"
"Tujuh bulan lagi pensiun langsung pindah kesini."
"Bun, tadi aku buka laptop Abang. Kok isinya banyak foto aku? Kendid lagi."
"Emmm gitu ya."
"Euh Bunda jawabnya gitu doang."
"Pengagum rahasiamu kali." tiba-tiba Ayah menghampiri kami yang masih duduk di sofa.
"Katanya Ayah mau berangkat sekarang." Bunda memilih topik lain seolah menghindar.
"Yaudah, Olan pulang aja."
"Bentar, Bunda ikut. Sekalian nginep, serem di rumah sendirian."
Ayah pun berangkat diantar supir dadakan, Pak Didi tetangga samping rumah. Sementara aku dan Bunda melesat menuju rumahku.
Sepanjang perjalanan sampai tiba di kamar, pikiranku tak henti-hentinya melayang membayangkan foto-fotoku yang dijepret secara sembunyi-sembunyi. Kenapa tak kuhapus saja tadi ya.
'Apa benar Si Manusia Singa pelakunya?'
'Buat apa coba?'
Ku raih gawai di atas bantal. Ku cari kontak.
Tapi tidak tersambung.
Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar service area. Mohon tinggalkan pesan setelah nada bip.
"Eh maaf gue lupa malah nelpon elo. Pan lagi belah duren ya."
Telepon ku tutup dan berbaring. Dua jam kemudian notifikasi chatku berbunyi.
[Maff hp nya mati, ini charger nya baru dateng. Makasi ya udah rapihin baju gue. Lain kali jangan buka-buka laptop orang, RAHASIA...baydeway...belah durennya tertunda, nyonya pe em es...emang elo mao gantiin? Bhuahaha...]
[Penjahat kelamin lo] Emot tanduk sama muka merah.
#
kok aku ngenes ya ditinggal nikah ama Bang Malik?
Nah lho, jeyuk mamam jeyuk
canda...canda...awas jangan bully

Book Comment (50)

  • avatar
    AndreasJhon

    bagus

    16/08

      0
  • avatar
    Ramadhanzaki

    yabgus

    08/07

      0
  • avatar
    AurelEnjel

    wow

    27/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters