logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Chapter 3 Pembelajaran Terus

"Jir, elo nabok gue." Si Ojan tetap melongo saat aku mengata-ngatainya panjang lebar.
"Karena lo kurang ajar banget, jangan-jangan lo mau ngelakuin ehm ehm kan ama gue?"
"Ck...drama banget...heh...gue megang pantat lo karena gue mau nutupin tuh yang robek." jelas Si Ojan membuatku seketika meraba aset berhargaku.
Dan betul saja. Pantesan dingin semriwing gitu. Bagaikan cicak, langsung kutempelkan bagian belakang tubuhku menclok di dinding. Melipir ke pintu, jalan udah kayak kepiting dah.
"Hehe...maafin Eneng ya Bwuaang...." senyumku malu-malu sembari nempel-nempel di pintu yang masih ketutup.
"Makanya jangan suuzon terus, gue mau nutupin takutnya ntar keliatan ama tetangga atau orang lewat. Bahaya kan kalo yang liatnya cowok."
"Tunggu...berarti elo juga liat dong."
"Woiya jelas dong...kuning."
"Ojaaaaaan...minggat sana."
"Iya-iya...ini minggat, takut khilaf mulai tegang nih bhuahaha...." Si Ojan lari tunggang langgang saat punggungnya kulempar sepatu. Bahkan motor dan helmnya tertinggal di halaman rumah. Dasar manusia kamvretos.
Berjuang sekuat tenaga menahan sakit yang masih bersarang di kening ditambah menahan rasa malu karena Si Ojan udah liat daleman yang suci. Membuatku semakin ingin memeluk Umi. Tapi entah dimana Umi berada.
Pas masuk rumahpun pintu dalam keadaan terkunci. Aku sampe megol-megol susah jalan. Nyesel banget gak nurut sama perkataan mendiang Abi dulu.
Kalo pake baju yang longgar, Olan.
Nah sekarang kerasanya. Kerasa banget berharganya pepatah orangtua. Coba rok seragam SMA ku dibuat longgar, mungkin ga akan robek seperti ini jahitannya.
Mana malu diliat Si Gondrong usil lagi. Jatuh deh harga diriku.
***
Tidak terasa waktu makan malam tiba. Aku bangkit dari tidur dan menyenderkan punggung di kepala ranjang kecil milikku.
Nyeri di dahi sudah makin berkurang setelah diobati Umi. Cuman nyeri karena malu yang masih ngiung-ngiung diseluruh bagian otak. Seandainya waktu bisa diputar.
"Olan, nih makan dulu. Masih sakit?" tanya Bunda yang ternyata sudah ada di dalam kamar.
"Mendingan, Bun. Bun...emmm... Bang Malik gak cerita ke Bunda kan?"
"Ya cerita lah...dia mah kalo nyeritain kamu paling semangat. Kayak sales panci demo di rumah Bu RT hehe..." haduh Bunda ngomongnya kayak gak merasa bersalah sama sekali. Persis Si Gondrong. Padahal hati aku udah ketar ketir inih.
"Bun, jangan cerita ke orang-orang ya... Olan kan malu kalo semua tau Bang Malik liat pantat Olan yang pake cd kuning terus diuyel-uyel...."
"Apaaaaa...?" mata Bunda melotot. Bukannya tadi bilang Si Ojan udah cerita, tapi kok sekarang kaget gitu.
"Olan, kamu diuyel-uyel Bang Malik? Kalian...gak habis ngelakuin yang aneh-aneh kan?"
"Ta...tadi kan Bunda bilang...kalo...kalo Bang Malik udah cerita...."
"Iya, tapi gak pake cerita nguyel-nguyel kamu." Bunda nampak meringis dan kaget.
"Sebenernya Bang Malik cerita apa, Bun?"
"Cerita yang waktu di sekolah sama kamu yang jatuh dari motor, ngegusruk jidatnya nabrak pot bunga...." alamak, pantesan Bunda syok. Ternyata Si Ojan gak cerita waktu uyel-uyelan.
Tau gitu mah aku ga bakalan ngomong sama Bunda. Hiih malah buka aib sendiri.
"Olan, Bunda beneran kaget...khawatir...kamu diapain aja ama Bang Malik?" hadeh Bunda, tuh matanya malah merah berkaca-kaca.
Daripada Bunda mikirnya kemana-mana, jadi aku ceritain kejadian sebenarnya. Meskipun agak ada rasa malu-malunya gitu.
"Ooo...gitu...hadeh Olan, Bunda sampe syok, takutnya kalian gitu-gituan." Bunda mengelus dada sembari membuang nafas.
"Gitu-gituan apa, Bun?"
"Hah...ya itu...uyel-uyelan...." seketika wajah Bunda panik lagi. Tapi aku tetap menyuapkan sesendok demi sesendok harapan. Ciyee. Maksudnya nasi pake telor ceplok setengah mateng digaremin plus dikasih kecap manis. Ada yang satu selera?
Suara pintu yang terbuka menghentikan suapan terakhirku. Aku dan Bunda sama-sama menoleh saat sebuah kepala muncul terlebih dahulu tanpa badan. Ya, kepala gondrong milik Si Manusia Singa.
Heuh aku jadi males ketemu dia kalo inget kejadian tadi. Ini malah seenaknya masuk kamar gadis dengan raut muka yang B aja. Tanpa ada rasa malu atau bersalah gitu.
"Gimana jenong lo udah sembuh?" tanya Si Ojan sembari mengecek dahiku yang terluka dengan cara melintir-melintirin kepala. Niat banget kayaknya pengen matahin leher.
"Ih Abang, jangan gitu kasian kan Olan." Bunda menepuk lengan anak sulungnya yang kurang ajaran dan pendidikan.
"Hahaha...lucu Bun, kayak ikan hias yang mahal itu lho." ledek Si Ojan.
"Bundaaa...aku dikatain ikan lohan. Ikan itu kan jelek...aaaaa...." ku keluarkan jurus ampuh.
"Aw sakit, Bun." tuh kan berhasil. Bunda menjewer kuping Si Ojan yang nakalnya gak ada batasan. Anak durhako.
Rasain deh. Panjang-panjang tuh kuping.
Akhirnya Bunda menyeret tangan Si Ojan untuk ikut keluar kamar. Aku pun menyendok nasi terakhir yang sudah dingin dan sedikit anyir. Mubazir kan kalo sampe dibuang.
Ketika ku letakan piring di nakas. Terlihat di gawai jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Tiba-tiba ingat telepon tadi siang dari Kak Safar yang akan datang ke rumah. Alhasil membuat jantung kembali dibuat ajojing. Mulut megap-megap, idung kembang-kempis. Seperti ada rasa-rasa bahagia yang menyelinap kala ingat perkataannya tadi yang ingin mengenalku lebih dalam.
Apakah maksudnya itu dia pengen seriusan? Sampe sengaja mau maen ke rumah segala lagi. Hehe kan aku jadi ge-er.
Tanpa babibu, aku segera keluar kamar dengan menenteng handuk. Meskipun dahi masih menjerit-jerit tapi badan harus wangi.
Saat melewati ruang keluarga, nampak Si Ojan, Ayah, Bunda, dan Umi sedang menonton televisi. Jelas aku tak dihiraukannya saat melawati meraka.
Setelah sepuluh menit ngegosok daki di kamar mandi, akhirnya aku keluar dengan handuk seadanya yang melilit di dada.
Langkahku terhenti ketika ingat di ruang keluarga lagi banyak orang. Aku pun kembali masuk ke kamar mandi dan mengandalkan suara indahku yang membahana.
"Umiiii...maaf ambilin baju ganti aku dong." teriakku dari dalam kamar mandi yang ada di bagian paling belakang rumah.
Tak berselang lama tangan Umi mengetuk pintu dan memberikan pesanan lengkap dengan kerudung instan.
Setelah berdandan rapih di kamar, aku keluar menuju teras. Dengan asa yang berharap-harap cemas duduk menyendiri di lantai depan pintu. Sesekali melirik gawai yang tiada berbunyi.
Sudah jam sembilan, wujudnya tak jua datang. Kabarpun tak dikirimkan. Sampe Ayah Bunda dan Si Ojan udah pulang pun, dia belum nongol juga. Apa Kak Safar lupa?
Mungkinkah ketiduran? Ah aku tak tahan penasaran, akhirnya ku kirimkan pesan padanya.
Tapi, setelah setengah jam tak ada tanda-tanda dibalasnya. Dibaca saja enggak, masih centang dua abu- abu warnanya.
"Olan, ngapain sih diluar? Masuk udah malem, entar ada yang nyulik lagi." Umi mengagetkanku yang setengah melamun ria.
"Iya, Mi. Ni mau masuk."
"Kamu ngapain sih malem-malem di teras?"
"Engga kok, ngadem aja hehe...."
"Yaudah sekarang tidur, udah hampir jam sepuluh nih. Lampunya mau Umi matiin."
"Jangan, Mi. Nanti Olan aja yang matiin. Ini masih mau duduk-duduk di sini."
"Okeh, Umi tidur duluan ya ngantuk."
Setelah Umi masuk kandang. Eh masuk kamar. Maaf Umi sayang, canda hehe.
Setelah Umi masuk kamar dan menutup pintu, aku merebahkan diri di sofa ruang tamu. Berharap sofa ini segera diduduki Kak Safar. Tapi, semakin ditunggu Kak Safar tak jua memberi kabar.
Jam sebelas malam mataku masih melotot karena kantuk hilang saking bahagianya. Apa mungkin Kak Safar akan datang? Sedangkan malam makin beranjak larut.
Aku mematikan lampu ruang tamu dan beralih duduk di ruang keluarga. Badan kembali direbahkan di sofa panjang yang terasa empuk. Namun, kantuk lagi-lagi tak kunjung datang juga.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Harapan benar-benar telah sirna, karena gak mungkin ada orang bertamu di jam segini. Yang ada tamunya mbak kunkun. Hihiiy.
Okeh, save your heart Olan.
Aku bergegas masuk ke dalam selimut hangat setelah penantian yang sia-sia. Baru saja mata terpejam suara chat masuk mengembalikan kewarasanku.
Ahha, dari Kak Safar. Sebelum membuka pesannya, aku raba dada sebelah kiri sambil senyum-senyum sendiri. Seperti ada yang menghangat di kedua pipiku.
[Olan, maaf ya tadi ga sempet dateng.]
[Iyah gapapa, Kak.] Balasku cepat. Ge pe el.
[Tadinya aku mau ke curhat ktemu kamu. Tapi skr aku udah plong, lega rasanya.]
[Maksudnya, Kak?]
[Aku udah ngungkapin smuanya sama Via. Cintaku diterima, kami dah jadian. Ini baru pulang dr rumah Via.]
What? Omaygas. Jadian? Ya Alloh, apa maksudnya ini? Jadi, aku ini cuman kege-eran doang. Kutepuk pipi beberapa kali. Berusaha meyakini kalo semua ini cuman mimpi.
***
Tepukan tangan Umi di pipi membangunkanku. Mataku bengkak karena menangis semalaman.
"Mata kamu kenapa? Cepet bangun Umi mau berangkat."
"Berapa lama Umi di Cianjur?" tanyaku masih dengan mode merem.
"Gak tau, sampe semingguan mungkin." tangannya menarik-narik selimut yang masih membungkus badan. "Udah, cepat sana ke rumah Bunda. Umi mau kunci-kunci pintu." huuhh jam 4 subuh udah diusir sama Umi sendiri.
Tanpa cuci muka, aku segera berangkat dengan menjinjing tote bag yang isinya baju ganti. Umi barusan sudah berangkat ke terminal diantar Bunda pake motor. Dan aku masih berjalan lemah menuju rumah berlantai dua dengan desain modern minimalis. Rumah keduaku.
Dalam keadaan masih ngantuk, aku langsung menuju kamar kosong di lantai atas. Persis di samping kamar Si Ojan.
Berusaha berbaring, tapi kini kantuk malah hilang. Yang tertinggal hanya sebuah kesedihan. Ciyeee.
Sulit meredam kekecewaan, aku pun berajak ke kamar sebelah setelah melaksanakan solat subuh on time.
Pintunya tidak tertutup sempurna karena diganjal keset kaki. Aku pun leluasa melangkah masuk. Dan menutup pintu dengan sempurna dengan menyingkirkan keset yang mengganjel.
Kuedarkan pandangan ke setiap penjuru kamar yang luas, bercat putih tulang dan desain interior yang nyaman dipandang mata.
Terdengar suara gemericik air di kamar mandi menandakan si pemilik kamar tengah berada di dalamnya. Akupun melangkah berkeliling kamar yang luasnya hampir tiga kali lipat dari kamarku. Kemudian duduk di kasur besar yang mungkin ukurannya 2x2 meter. Nyaman.
Springbed empuk milik Si Ojan mungkin bukan merk abal-abal seperti punyaku.
"Jadi pengen tiduran aaah...." kutelentangkan badan sembari menghirup bekas ngoroknya Si Gondrong. Segar.
"Eemmm yang lagi bobo di kasur pangeran...nyaman ya? Awas tuh iler nempel di bantal gue...." tiba-tiba Si Ojan keluar dari kamar mandi lengkap dengan kostum kokonya. Pake sarung plus rambut yang tertutup peci putih. Aaahh, kalian ngarep Si Ojan keluar dari kamar mandi handukan doang kan? Hayo ngaku.
"Mamenit doang ya...di kamar gue kasurnya sempit ga bisa guling-guling."
Kulirik dengan ujung mata, Si Ojan tengah melaksanakan solat subuh. Perasaan solat subuh itu dua rokaat tapi ini ditungguin gak selse juga. Apa jangan-jangan dia salah rokaat ya. Hehe.
Mataku pun terlelap saking nyamannya. Kejadian semalam seolah menguap karena aroma terapi yang menempel di bantal yang ku tiduri.
Selang beberapa menit, seolah ada yang meraba ujung kakiku. Terasa dielus dengan lembut. Semakin turun ke bawah ke ujung jari. Dan....
"Aaaaaaaaaa...sakit." mataku terbuka sempurna kala jempol kaki ditarik keras sampai berbunyi.
Si pelaku penganiayaan malah tertawa terbahak-bahak. Beranjak dari tidur dan berbalik menuju arah pintu kamar. Namun langkahnya berhenti tiba-tiba.
"Cil, elo yang nutup pintu?" tanyanya mematung di pinggir ranjang yang ku tiduri.
"Ho'oh." kuanggukan kepala dengan mantap.
"Aargh bociiiiil...pintunya rusak...sengaja gue ganjel pake keset." tangannya meremas kepala gondrongnya yang sudah acak-acakan. "Dan kita terkunci disini...berdua...."
"Haah... Bundaaaa... tolong bukain." aku berlari ke arah pintu dan berusaha membuka hendelnya.
"Ck...percuma tereak juga." Si Ojan malah berbaring di ranjangnya. Nyantai. Sementara aku kelabakan. Gimana kalo ada yang ketiga lewat. "Mukanya jangan kayak gitu...bahaya...."
Aku meraba muka sendiri. Bahaya apanya? Baik-baik saja kok.
Si Ojan kemudian bangun berjalan menghampiriku. Matanya menatap tajam ke arahku. Sementara tubuh sudah bergetar menempel erat ke daun pintu.
Jangan-jangan dia mau nganu lagi...Umiiii....
#
hai, gengs jumpa lagih kita....kuy baca lanjut ya...

Book Comment (50)

  • avatar
    AndreasJhon

    bagus

    16/08

      0
  • avatar
    Ramadhanzaki

    yabgus

    08/07

      0
  • avatar
    AurelEnjel

    wow

    27/06

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters