logo text
Add to Library
logo
logo-text

Download this book within the app

Bab 8

Argatha memasang earphone di kedua telinganya lalu memasukkan wajahnya di kedua lipatan tangan yang ia taruh di atas meja lalu memejamkan matanya.
Tidak lama kemudian, Argatha merasakan earphone sebelah kanannya ditarik dan terlepas. Argatha mengangkat kepalanya dan mendapati Ayana duduk di sampingnya.
“Mau dengerin?”
Ayana menganggukkan cepat.
Argatha tersenyum sedikit lalu memasangkan earphone sebelah kanannya di telinga Ayana.
“Lo tau nggak lagu ini?” tanya Argatha.
Ayana menggelengkan kepalanya.
“Ini judulnya apa?” tanya Ayana.
“Dust in the wind.”
“Argatha suka lagunya?”
“Suka banget,” jawab Argatha.
“Gimana caranya supaya Ayana juga suka lagu ini?”
“Nanti juga lama-lama lo suka.”
Ayana menganggukkan kepalanya sembari tersenyum pada pria yang sedang menatapnya.
Tanpa mereka sadari berpasang-pasang mata menatap mereka penuh tanda tanya.
“Mereka akur?”
“Pacaran?”
“Ini serius Ayana pacaran sama Argatha?”
“Ah, paling Argatha Cuma dijadiin objek main-mainnya aja, kayak yang dulu-dulu,” ucap salah satu murid.
“Bisa jadi sih.”
“Nah, lo tau sendiri Ayana tuh nggak bisa suka sama satu orang aja,” ucapnya lagi.
“Paling nanti kalau udah dapat, terus ditinggalin,” ucap salah satu murid sarkas.
“Kalian teman apa musuh sih?” tanya Farah.
“Harusnya sebagai teman tuh, kalian dukung Ayana, dan support Ayana, kalian kasih tau dia,” tambah Farah.
“Nggak semua laki-laki tuh sama, nggak semua bisa dipermainin sama Ayana,” tambah murid lain
°°°°°°
Ayana dan Farah melangkah keluar kelas setelah bel pulang berbunyi beberapa menit yang lalu.
“Ayana.”
Ayana dan Farah berhenti lalu menoleh ke belakang. Mereka mendapati Argatha yang berdiri beberapa langkah dari mereka.
Argatha menghampiri kedua gadis itu.
“Kenapa Argatha?” tanya Ayana.
“Mau pulang bareng nggak?” tanya Argatha.
Kedua mata Farah membulat. Mulutnya hampir terbuka sempurna. “Ini gue nggak salah dengar?” tanya Farah memastikan.
“Besok uang jajan lo jangan buat beli bakso, mending buat beli korek kuping!”
Farah mendesis pelan, ia menyesali pikirannya yang menduga bahwa Argatha berubah menjadi pria yang lembut, ternyata sama saja.
“Lo tuh bisa nggak sih kalau ngomong nggak nyelekit?”
“Nggak,” jawab Argatha datar.
“Mau pulang bareng nggak?” tanya Argatha lagi pada Ayana.
Ayana melihat ke Farah yang berdiri di sampingnya.
“Gue ikut pulang bareng dong,” pinta Farah.
“Motor gue Cuma cukup buat berdua,” ucap Argatha.
“Terus gue gimana?” tanya Farah.
“Ya pulang sana, ngapain malah nanya,” jawab Argatha datar.
“Lo benar-benar ya jadi cowok, nggak ada lembutnya sama sekali!”
“Ayo Ay,” Argatha langsung menarik tangan Ayana tanpa menunggu jawaban dari gadis itu.
“Far, gue balik duluan ya” ucap Ayana sedikit keras. Mengingat Ayana sudah berjarak beberapa langkah dengan Farah.
Ayana dan Argatha berjalan menuju parkiran untuk mengambil motor milik Argatha.
“Argatha jahat banget sih, masa Farah nggak diajak pulang bareng,” gerutu Ayana.
Argatha menghentikan langkahnya, lalu menghela napasnya berat. “Gue pakai motor Ay, bukan pakai mobil.”
“Udah ayo pulang. Farah udah gede, bisa pulang sendiri,” tambah Argatha.
“Jadi maksud Argatha, Ayana masih kecil?”
Argatha mengelus dadanya pelan, gadis di depannya saat ini sangat membuatnya frustrasi. “Nggak gitu maksudnya, Ay.”
°°°°°
Ayana turun dari motor Argatha, memberikan helm yang sudah beberapa detik lalu ia lepas pada Argatha. “Makasih Argatha,” ucapnya manja.
Argatha mengangguk. “Gue pulang ya,” ucapnya sembari mengambil helm yang diberikan Ayana.
“Argatha tunggu..”
“Kenapa?”
“Hati-hati ya pulangnya, Ga”
Argatha tersenyum sedikit, lalu menganggukan kepalanya. “Pasti.”
“Masuk sana,” tambahnya.
“Argatha aja pulang dulu.”
“Lo aja masuk dulu.”
“Nggak. Argatha pulang dulu.”
“Gue nggak akan pulang sebelum lo masuk.”
Ayana mengembangkan kedua sudut bibirnya, lalu membuka pagar dan masuk ke dalam rumahnya.
Argatha menutup kaca helmnya dan melajukan motornya dengan kecepatan sedang.
Ayana masuk ke dalam rumahnya sembari merasakan jantungnya yang berdegup tidak beraturan. “Astaga, kok jadi deg-degan gini sih.”
“Apa Ayana benar-benar jatuh cinta sama Argatha?” tanyanya sendiri.
°°°°°
Argatha memutar knop pintu rumahnya lalu mendorong pintu itu secara perlahan.
“Assalamualaikum, Ga,” ucap ibu Mona, Mama Argatha.
Argatha menyeringai tak berdosa sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Walaikumsalam, Ma.” Argatha mengangguk lalu salim.
“Tumben kamu jam segini baru pulang?” tanya Mama.
“Hehe.. abis nganterin teman dulu, Ma” jawab Argatha.
“Teman apa teman?” goda Mama sembari mencolek hidung mancung Argatha.
“Teman, Ma,” jawab Argatha sedikit salah tingkah.
“Sejak kapan kamu peduli sama teman kamu? Sejak kamu TK sampai SMA di tempat lama, Mama nggak pernah dengar tuh kamu pergi sama teman kamu,” ucap Mama.
“Ya ampun Ma, dengar omongan Mama, Argatha berasa jadi manusia anti sosial banget,” sahut Argatha dramatis.
“Hahaha.. Mama bercanda sayang.”
“Udah sana masuk kamar, ganti baju, abis itu makan,” suruh Mama.
“Oke siap, Ma.”
Argatha segera masuk ke kamarnya. Pria itu membuka seragamnya hingga menyisakan kaos putih. Sebelum melakukan aktivitas lain, Argatha terbesit pikiran untuk menghubungi Ayana.
Tanpa pikir panjang Argatha mengambil handphonenya lalu mencari nama Ayana di kontak WhatsApp nya.
Argatha Bumi Y: Gue udah sampai rumah.
Tring!
Dengan cepat Argatha melihat handphonenya.
Ayana R Udara: Kenapa Argatha ngasih tau?”
Argatha Bumi Y: Nggak apa-apa, pengin ngasih tau aja ke lo, kalau gue udah sampai rumah dengan selamat.
Kedua sudut bibir Argatha mengembang sedikit. Entah kenapa ia sering merasa sesuatu yang berbeda ketika dengan Ayana.
“Ga! Kamu kenapa senyum-senyum?” tanya Mama yang tiba-tiba membuka pintu kamar Argatha.
Argatha mendongak dan melihat Mamanya sedang berdiri di tengah-tengah pintu.
“Nggak, Ma.” Argatha menggeleng cepat lalu menyimpan handphonenya di bawah bantal.
“Kamu lagi kasmaran ya?” tanya Bu Monq
“Nggak, Ma.”
“Nggak usah bohong. Mama tuh pernah muda. Dulu Mama sama Papa juga gitu, pacaran waktu SMA, dan berlanjut ke pelaminan deh,” jelas Mama.
“Haha… Apaan sih Ma, Argatha belum kepikiran sampai situ,” sahut Argatha salah tingkah.
Sang Mama berjalan menghampiri Argatha dan mengelus rambut anaknya itu dengan lembut. “Kalau Argatha mencintai seorang gadis, cintai dia seperti Argatha mencintai Mama, jangan pernah bikin dia menangis. Oke?”

Book Comment (252)

  • avatar
    Cunda Damayanti

    keren bgt sumpa

    11d

      0
  • avatar
    EN CHo Ng

    hi thank u

    17d

      0
  • avatar
    NgegameAlfat

    ini saya yang mau bicara ya tolong cerita ini sangat menyentuh hati dan prasaan hampir sama seperti yang kisah ku

    22/08

      0
  • View All

Related Chapters

Latest Chapters